Mohon tunggu...
Syaifull Hisyam
Syaifull Hisyam Mohon Tunggu... wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

23 Oktober 2017   01:51 Diperbarui: 23 Oktober 2017   03:18 3612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Surga Dunia

Telah tercipta

Surga dunia

Bagi orang-orang yang bersyukur

Tetapi kala surga hanya tujuan

Meski seorang alim, abid


Menyelubung harap

Maka surga tiada merapat

Usianya telah senja, warna perak menyepuh hampir seluruh rambutnya. Matanya cekung, gigi serinya masih utuh meski terlihat agak kusam oleh sebab kebiasaan mengunyah daun sirih, hanya beberapa gigi geraham yang telah tanggal. Wajahnya menyiratkan sebuah pertanda telah berkurangnya usia, semakin keriput karena ditelan masa, dihempas oleh perjalanan waktu.

Jika diukur dengan usia, semestinya ia sudah saatnya beristirahat ongkang-ongkang kaki di rumah, tetapi ia tetap saja melakoni rutinitasnya di pematang sawah saban hari meski sudah udzur. Kedua kakinya sebenarnya sudah ringkih, tetapi masih sanggup menopang tubuh rentanya. Masih mampu menaiki dan menuruni tanjakan menyusuri jalanan berliku menuju peraduannya, yaitu sawah. Mungkin karena rutinitasnya itulah tulang-tulang di kakinya malah justru menjadi semakin kuat. 

Semua itu dilakukannya sebagai ungkapan dari rasa syukur kepada yang kuasa atas rahmat dan karunianya, pada siang dan malam tanpa tiada terhitung. Jika matahari telah terasa di ubun-ubun, ia lalu melepas lelah dan menghabiskan waktunya di sebuah gubuk  di pinggir sungai. Pakaian kebesarannya hanyalah kebaya kuno dan beberapa utas jarek. Tidak ada kemewahan sama sekali dalam diri perempuan tua itu. Sekilas perawakan tubuhnya sedang-sedang saja, seperti kebanyakan perempuan-perempuan jawa pada umumnya.

Rumahnya tak seberapa besar, tetapi halamannya cukup luas, dengan sumur dan sebuah bangunan kecil sebagai tempat mandi dan mencuci di belakang rumah. Tak jauh dari sumur sekitar dua puluh lima meter, terdapat sebuah sungai yang biasa digunakan oleh sebagian warga kampung Bendo. Tetapi kini jarang yang mencuci pakaian di sungai karena telah mempunyai sumur masing-masing. Di samping rumahnya di sebelah barat, terdapat rumpun bambu yang berjajar. 

Disitulah kerap kali para ibu berkumpul dengan sesekali menyisir rambutnya secara bergantian. Mencari kutu rambut beserta telur-telurnya dengan begitu rumitnya, lalu lama-lama salah seorang dari mereka mengantuk dan tertidur di atas tikar daun pandan yang telah disediakan. Begitu terbangun katanya,

"Asem kecut! orang-orang sudah pada pulang, Aku ditinggal sendirian".

Di samping rumahnya di bagian timur, terdapat kebun pisang miliknya yang tidak seberapa luas. Sebuah pohon jati besar yang menjulang tinggi serta tiga buah pohon kelapa. Suatu saat kelak, pohon jati itu akan dijadikan tabungan bersama empat pohon jati lainnya yang terletak beberapa meter di belakang rumahnya. Jauh-jauh hari perempuan tua itu telah mempersiapkan tabungan pohon buat cucu satu-satunya. Tak jauh dari kebun pisang terdapat dua pohon sawo yang berjajar. 

Pohon yang selalu berbuah dan tidak kenal musim itu telah menjadi salah satu sumber penghidupan baginya, sekaligus sebagai tempat penghidupan bagi sekelompok kalong, tupai dan sejenisya. Tepat di bawah salah satu pohon sawo terdapat sebuah gubuk kecil tak beratap. Luasnya kurang lebih untuk tiduran sebanyak lima orang. Di situlah kerap kali perempuan tua itu beristirahat sepulangnya dari sawah. Tempatnya tak kalah sejuk dari rumpun bambu di sebelah barat rumahnya. Di tempat itu pula sering dijumpai anak-anak tengah bermain siguk, bandul, kelereng dan sejenisnya.

Di saat bayang-bayang matahari mulai sedikit bergeser ke arah timur, di atas jerami kering diantara bebatuan, perempuan tua itu duduk bersila dipinggir sungai. Di bawah pohon nangka yang rimbun. Dengan ditemani semilirnya angin, perempuan tua itu bermunajat kepada yang kuasa sembari berdzikir dan bertafakur. Dengan bermunajat dan bertafakkur itulah yang membuatnya betah berlama-lama, untuk sekedar duduk bersila sembari membuang lelah setelah seharian bekerja.

Dari atas tebing sewaktu menyiangi rumput, Aminah melihat seekor induk bulus tengah menggembalakan lima ekor anaknya di dasar sungai. Air sungai yang jernih bagaikan aquarium raksasa itu tidak mengaburkan pandangannya. Tak jemu-jemu diperhatikannya kawanan bulus yang terdiri dari seekor induk dan anak-anaknya itu. Bulus-bulus itu berlalu lalang dengan santai sambil sesekali menangkap sesuatu. Terkadang nampak diam lalu maju perlahan, kemudian mundur dan maju lagi. 

Entah apa yang sedang dilakukannya. Aminah hanya bisa tertawa sendiri menyaksikannya. Ketika ia mencoba iseng dengan melemparkan sebuah batu kerikil yang dilempar ke dasar sungai, seketika itu juga induk bulus seperti menghilang entah kemana, begitu juga dengan kelima tukiknya. 

Tetapi Aminah tahu persis kemana tukik-tukik itu menghilang. Rupanya kelima tukik itu nampaknya belum menguasai ilmu menghilangnya itu. Ketika induk bulus merasa terancam karena sesuatu, maka ia akan bersembunyi di balik lumpur atau di bawah serasah dedaunan di dasar sungai. Dengan menyepakkan kaki dayungnya sekuat mungkin, sehingga menimbulkan air yang semula bening menjadi keruh bercampur lumpur pekat. Itulah cara penyelamatan terbaiknya yang telah Aminah saksikan. 

Tetapi lain halnya dengan perilaku kelima tukik yang ia saksikan. Tukik-tukik itu memang bersembunyi di balik serasah daun, di dasar sungai dan sebagian yang lain di dalam lumpur. Tetapi perilaku kagetnya itu tidak menimbulkan hentakan yang mengakibatkan air menjadi keruh. Perilaku tukik-tukik itu seperti lelucon baginya, tak ubahnya seperti bersembunyi di balik kaca yang transparan. Sejenak ia terhibur oleh perilaku tukik-tukik itu. Seandainya jika semua itu diketahui oleh para pemburu, maka habis sudah riwayat bulus beserta kelima tukiknya.

Kini keberadaan bulus semakin terancam dan kian punah. Tanda-tanda kepunahannya itu terlihat dari langkanya bekas tempat bertelurnya bulus.  Jika pada zaman dahulu seringkali ditemukan telur-telur bulus di dalam lumpur, di beberapa tempat, maka sekarang hanya tinggal satu dua tempat, itupun seringkali kecolongan oleh para pemburu.

Di atas sungai terbentang sawah beberapa petak peninggalan dari suaminya. Sawah pemberian dari pemerintah atas jasa-jasanya dalam memperjuangkan kemerdekaan. Sebagian lagi berupa hibah dari Pemerintah kolonial Belanda.

Waktu dluhur telah berlalu, panas terik mentari telah mulai berkurang. Perempuan tua itu masih belum beranjak dari Musholla yang dibuatnya dari jerami kering. Ia masih duduk bersimpuh sembari melawan kantuk. Dari kedua bibirnya tak henti-hentinya melafadzkan Asma-Asma Allah, memanjatkan rasa syukur teriring dzikir lalu diakhiri doa sapu jagat seperti biasanya.

Setiap kali ke sawah, perempuan tua itu selalu menyempatkan diri membawa bekal makanan secukupnya, dua lapis jarek untuk Shalat dan beberapa helai daun sirih. Terkadang dua lapis jarik itu ia tinggalkan di atas langit-langit gubuknya, tetapi jika ia lupa membawanya, maka ia akan pulang sebelum tiba saatnya waktu dluhur.

Usai melawan kantuk dengan berdzikir yang di akhiri doa sapu jagat, iapun beranjak menuju cangkruk. Sebuah gubuk kecil yang dibuatnya sendiri untuk sekedar istirahat, disela-sela kesibukannya di sawah. Di dalam bilik tanpa jendela dan hanya diberi rumbai-rumbai pelepah daun pisang kering itu, ia duduk selonjor beberapa saat. Selembar daun pisang diambilnya langsung dari pohonnya. Selembar daun pisang itu lalu dijadikannya sebagai alas makan pengganti piring. Diambilnya nasi beserta urap sambal daun singkong, oseng-oseng kangkung dan ditemani lalapan kacang panjang mentah, daun kemangi, dan dua buah mentimun sedang.

Apabila merasakan kenikmatan duniawi, maka seakan-akan rasa syukur senantiasa tercurah dari kedua bibirnya tanpa henti. Sebuah kenikmatan dunia yang tidak bisa dibeli maupun ditukar, meskipun ditukar dengan kenikmatan di Surga. Maka wajar jika di dalam pikirannya, tidak terlintas untuk menggapai kenikmatan Surga di Akhirat kelak. Apa yang ada pada dirinya kini sudah lebih dari cukup. Hanya satu kata yang senantiasa mengiringi langkah hidupnya, yaitu syukur. Ungkapan dari sebuah rasa terima kasih kepada sang pemberi warna pada daun dan buah.

Jika teringat pada masa penjajahan, ia mati-matian berjuang untuk bertahan hidup. Peristiwa itu membuatnya lebih mensyukuri dan menghargai arti hidup. Sisa umurnya yang kian berkurang itu tak ingin disia-siakannya begitu saja. Waktu yang tak pernah kembali walau sedetikpun itu, ia gunakan dengan cara berdzikir setiap habis shalat fardlu. Kelak yang ia harapkan setelah dirinya dipanggil yang Maha Kuasa bukanlah surga maupun neraka, melainkan keridlaannya. Ia ingin menjadi hamba yang diridlai Allah di Akhirat kelak dan tidak lebih.

Seusai makan lalu diteguknya air kendi. Ces!! dingin dan sejuk. Peluh-peluh keringat dari kening, leher dan di sekujur punggungnya mulai keluar perlahan, mengalir membasahi bajunya. Lalu angin sepoi-sepoi menyambanginya. Kesegaran alami yang hanya bisa didapat dipersawahan, di bawah rindangnya pepohonan. Inilah surga dunia yang hanya bisa dirasakan bagi orang-orang yang bersyukur.

Tak jauh dari tempat perempuan tua itu, sekumpulan ikan bader dan udang berkejaran lalu menggerombol menungguinya dengan setia. Menantikan sisa-sisa makanan yang biasanya sengaja disisakan untuknya. ketika sisa-sisa nasi putihnya ditumpahkan ke arah aliran sungai, ikan-ikan dan udangpun terkesiap sambil berlompat-lompatan membentuk sebuah formasi. Jika mau, perempuan tua itu bisa saja mengambil dengan mudahnya ikan-ikan itu untuk lauk sehari-hari. Tapi demi ketulusan hati dan kesetiaan, sifat kanibalisme tergeser menjadi nomor yang kesekian.

Menyaksikan sebuah sandiwara kecil makhluk-mahluk lain adalah suatu keistimewaan tersendiri. Perempuan tua itu telah menyatu dengan alam. Demikian pula dengan burung-burung terkuok, berkeliaran bebas berkejar-kejaran disatu tempat ke tempat lain. Burung-burung itu mulai menampakkan sayap-sayap indahnya di siang hari, kala suara-suara riuh mulai lenyap, sepi dari hiruk pikuk kegiatan manusia. Disaat orang-orang mulai kembali pulang melepas lelah dan letih setelah setengah hari bekerja. 

Burung-burung itu mencuri-curi waktu selepas suasana senyap. Seolah tercipta untuk selalu menjaga jarak dengan manusia. Jalannya tampak anggun dengan kombinasi warna hitam, hijau perak di leher dan kepala, serta bintik-bintik kuning hitam di bagian ekornya. Sesekali burung itu menyelam, menghilang kedasar sungai sambil mencari mangsa dengan lincahnya. Bulunya yang anti air, lebih mirip dengan angsa berukuran lebih kecil sepuluh kali-lipat. 

Burung yang terbiasa berenang-renang berlalu lalang dan berkejar-kejaran di kala senyap itu, kini sudah mulai berkurang oleh sebab perburuan. Pada hal kemunculannya di saat-saat sepi setelah keadaan terasa aman, barulah burung-burung itu keluar dari semak-semak. Tetapi ada pula yang bermalas-malasan bertengger di dahan dan ranting-ranting pohon bambu, sehingga mudah untuk diburu. Apalagi telurnya yang lebih mirip seukuran telur ayam, seringkali menarik minat pemuda-pemuda kampung untuk  mayoran1. Hanya di dekat perempuan tua itu, burung-burung terkuok menampakkan diri.

Setelah burung-burung terkuok  pergi, datang sekawanan burung bubut yang mencari katak, cacing dan ikan-ikan kecil sisa garapan burung terkuok. Mereka tak pernah hadir bersamaan. Diantara burung-burung itu seperti menyadari kekalahan dan kelemahannya, rela menunggu lalu silih berganti sampai menjelang sore.

Dengan dihiasi birunya langit dan mentari yang terkadang mengintip dari balik awan yang bergerombol. Siang itu burung-burung kutilang, burung betet bersaut-sautan. Saling unjuk gigi dan kebolehan, memamerkan suaranya masing-masing. Suaranya melengking-lengking seolah-olah tak mau kalah dengan lengkingan suara penyanyi populer Melly goeslaw.

Di bibir-bibir sungai biawak tampak hilir mudik menanti giliran. Mencari bangkai-bangkai ikan, katak dan sejenisnya. Dengan sesekali menjulurkan lidah panjangnya, mencoba menelisik aroma bangkai di setiap sudut-sudut dipinggiran sungai.

Walau hanya sekedar melintas, sekawanan ikan, burung-burung dan binatang lainnya tidak takut ataupun gentar menampakkan diri, di depan perempuan tua itu. Seakan perempuan tua itu telah menyatu dan berjanji untuk tidak saling mengganggu, menyakiti dan menguasai. Hanya orang-orang yang berhati sebersih embun di pagi hari yang senantiasa disambut kehadirannya.

Akhir-akhir ini mulai muncul kekhawatiran dalam benak perempuan Tua itu. Ia merisaukan keadaan alam yang mulai rusak oleh ulah tangan-tangan manusia. Hampir di beberapa tempat ia menjumpai sungai dan sawah sudah berbau obat penyemprot hama berdosis tinggi. Berceceran bangkai-bangkai ikan kecil, katak, belut dan berbagai jenis serangga air yang mati disepanjang persawahan dan aliran sungai. Sepanjang bau busuk bahan kimia mengalir, sepanjang itu pula ikan-ikan kecil dan serangga air mati secara tidak wajar. 

Di tempat yang lain, setiap hari ada saja para pemuda yang menyandang senapan angin, mereka berburu apa saja di sepanjang sungai.  Jika menyaksikan para pemuda yang mencari sarang burung dengan membabi buta, perempuan tua itu ingin melarang atau memarahinya. Tetapi semua itu hanya timbul sesaat di dalam benaknya, ia merasa tidak punya kewenangan untuk melarang-larang apalagi memarahinya. Ulah para pemuda itu pelan dan pasti telah merusak ekosistem sungai. 

Terakhir kali rombongan para pemuda beramai-ramai mencari ikan dengan puluhan gelondong racun apotas dan insektisida, racun-racun itu ditebar di sepanjang aliran sungai. Beberapa botol kaleng insektisida bekas diantaranya masih tercecer di pinggir-pinggir sungai, sebagai bukti kepongahan dan kerakusan Manusia.

Sepulangnya dari sawah, perempuan Tua itu menyempatkan waktunya untuk memulung kacang tanah yang telah selesai dipanen. Baginya memulung kacang tanah merupakan pekerjaan sampingan yang cukup menguntungkan. Biasanya dalam beberapa jam ia bisa mendapatkan satu ember ukuran sedang. Cukup kalau hanya untuk camilan beberapa hari. Kacang tanah yang telah dimasak terlebih dahulu itu jika dikeringkan, bisa bertahan hingga enam bulan lamanya. 

Sisa kacang tanah rebus yang tidak sempat dimakan lalu dikeringkan begitu seterusnya. Tanpa terasa kacang kering itupun menjadi semakin banyak, untuk persediaan cemilan di musim penghujan. Telah menjadi semacam tradisi, apabila datang musim penghujan orang-orang kampung biasanya selalu ingin ngemil, terutama cemilan yang mengandung banyak karbohidrat, semacam singkong, talas maupun umbi-umbian lainnya. Musim penghujan yang cenderung berhawa dingin diperlukan gizi yang banyak mengandung karbohidrat untuk menghangatkan badan.

Setiap perempuan tua itu pulang dari ladang, ia selalu membawa barang-barang bawaan macam kayu bakar, sayuran atau buah-buahan. Bakul yang biasanya untuk membawa bekal makan siang itu dijadikannya wadah untuk menampungnya. Apabila tidak membawa bakul, ia punya wadah cadangan untuk persiapan manakala dibutuhkan. Wadah-wadah cadangan itu untuk kebutuhan mendadak, seperti memulung kacang tanah, mengambil umbi-umbian, buah pepaya atau barang-barang bawa'an yang tak terduga sebelumnya. Wadah-wadah cadangan itu adalah plastik-plastik lusuh yang didapat dari tepian sungai yang semula hanyut terbawa banjir.

 Sengaja disimpan diantara bebatuan, dibawah pohon nangka. Tak jauh dari pohon nangka berjajar rumpunan pohon pisang dari berbagai jenis yang berbeda, ada pisang tanduk, pisang ambon, pisang raja, pisang emas dan yang lainnya. Pisang-pisang itu ditanam tepat diatas sungai yang mengalir dari pegunungan Muria. Setiap kali terkena banjir, sebagian pohon-pohon pisang yang remah itu ikut tumbang dan hanyut mengikuti arus sungai. Selanjutnya perempuan tua itu mencari anakan pisang yang lain, lalu menanaminya kembali, begitu seterusnya jika banjir besar kembali melanda.

Sesampainya di rumah, seorang perempuan paruh baya menghampirinya, lalu menanyakan perihal barang bawaannya. Perempuan paruh baya itu biasa dipanggil dengan panggilan Rukini. Sudah berjam-jam ia menggendong seorang balita yang sedang tidak enak badan. Sesekali bocah lelaki itu merengek ingin menetek ibunya. Matanya yang bulat terus memandangi perempuan tua itu, seolah terasa asing atau mungkin bocah kecil itu ingin mendekat. Di tangan kanannya menggenggam manisan gulali yang terus meleleh jika tak segera dihisapnya. Tangan kirinya masih berpegangan pada seutas selendang yang dikenakan Rukini. 

Di wajahnya coreng moreng belepotan penuh manisan gulali. Hanya di bagian kedua belah matanya, sesekali diusapnya dengan ujung selendang. Rambutnya kaku menantang langit seperti tidak pernah terjamah air, berwarna merah kecoklatan seperti terjerang panas matahari selama beberapa hari. Sekitar tiga hari yang lalu bocah itu terjatuh setelah bersusah payah mengejar cempe yang baru saja terlahir beberapa hari. Lutut di bagian kanannya mengalami memar sedikit, tetapi ia menjadi lebih manja karenanya. Cempe itu milik Kasanah, kakak perempuan Rukini yang rumahnya berdekatan tepat di sampingnya. Kini Rukini tengah mengandung kembali.

"Bawa sayur lembayung Mbok1. Minta ya Mbok?" pintanya dengan penuh keakraban.

"Bawa tapi sedikit, ini ada daun singkong banyak kalau mau!"

"Daun singkong juga tak apa, kebetulan sudah lama tidak mecel daun singkong."

Tidak ada rasa malu ataupun canggung pada diri Rukini, karena memang telah menjadi suatu kebiasaan dan lambat laun menjadi suatu keakraban. Apabila ada pesanan sayuran dalam jumlah yang lumayan banyak biasanya pemesan akan mengganti ongkos, ongkos tenaga ala kadarnya.

Perempuan Tua itu mengeluarkan daun singkong dari balik selendangnya, lalu memberikan seikat daun singkong yang lumayan besar, untuk ukuran seikat daun singkong pada umumya. Perempuan Tua yang kesehariannya hidup bersahaja itu biasa dipanggil dengan panggilan Mbok Nah. Ada pula yang menyebutnya dengan sebutan Aminah, sesuai namanya, Dwi Aminah. Dinamakan demikian karena dirinya terlahir sebagai anak kedua. Dwi yang berarti dua, sebuah nama titisan yang telah turun temurun dari ajaran Agama nenek moyangnya. sebuah ajaran yang jejak-jejaknya masih bisa dilihat dan disaksikan hingga kini.

Kendati ia tidak bisa melupakan ajaran-ajaran luhur Agama terdahulu, yang disadari telah mengakar ke dalam sendi-sendi kehidupan orang-orang jawa pada umumnya, akan tetapi semua itu adalah suatu penjabaran dari sebuah toleransi semata dan bukan berarti harus selalu menaati ajaran-ajaran Agama terdahulu. Ajaran-ajaran orang-orang terdahulu adalah peletak dasar kebudayaan Jawa yang santun, ramah dan bersahaja. Karena itulah ia tidak akan membuang dan melupakan begitu saja. Ajaran-ajaran yang telah mengakar ke dalam sendi-sendi kehidupan orang-orang Jawa semenjak ratusan tahun silam. 

Perempuan Tua bermata cekung itu tinggal di Kampung Bendo, sebuah kampung yang secara administratif ikut dalam kawasan Desa Rakusan. Meski letaknya terpencil, ada satu kebanggaan yang melingkupi warganya. Kampung Bendo berada dekat dengan jalan raya lintas Provinsi. Jalan raya lintas provinsi itu berada tepat di ujung kampung. Jalan itu baru diresmikan beberapa tahun yang lalu. Mulanya puluhan tahun yang lalu jalan itu adalah rel kereta api, peninggalan pemerintah Hindia Belanda yang tidak lagi terurus. 

Pemerintah kala itu terpuruk, tidak punya anggaran hanya untuk sekedar perawatan rel kereta api, sehingga rel sepanjang ratusan kilometer yang membentang di atas lahan dua Provinsi itupun tidak lagi layak pakai, usang dan berjelaga disana-sini, baru kemudian beberapa tahun yang lalu lintasan rel kereta api itu disulap dan dialih fungsi menjadi jalan raya.

Di atas amben, Aminah mengakrabi sayurannya, mencuci bersih lalu menyimpannya di atas genuk yang berisi air, supaya tetap terjaga kesegaranya. Ia kemudian beranjak ke sumur membasuh kedua kaki dan tangannya, hendak tidur siang. Tak lupa Sebelum merebahkan badannya, dilihatnya sebuah kamar yang ditempati cucunya. 

Kamar itu berada tepat di samping kamarnya, ternyata kosong. Qohar, bocah lelaki berusia enam tahun, cucu satu-satunya itu tak ada di kamarnya, biasanya di waktu siang ia beristirahat dan tidur di kamarnya. Hanya di waktu malam terkadang Qohar tidur bersamanya, itupun lebih karena ketertarikannya pada dongeng-dongeng dan ceritanya semata.

"Kemanaa cucuku, pintu terbuka, ayam dibiarkan masuk, kemana ini orangnya" gumamnya dalam hati.

"Mak ! Maknyak" panggil Qohar dengan berteriak.

Perempuan tua itu lalu menoleh ke asal suara. Cucunya berlari ke arahnya sambil menangis. Ia mengernyitkan dahi.

"Ada apa?" tanyanya penasaran.

"Gemak1ku hilang !" jawabnya dengan muka muram, dari kedua bola matanya terlihat basah oleh air mata.

"Hilang yo wis! jangan di tangis, coba kamu pikir, burung gemak kok dikurung terus, apa kamu tidak kasihan? Bayangkan kalau seandainya kamu yang saya kurung di dalam kamar, sampai seharian atau bahkan berbulan-bulan. Apa kamu mau?" hiburnya sembari menasehati. Qohar terdiam.

"Burung itu juga mahluknya Gusti Allah, biarkan saja burung itu terbang bebas. Bila terus-terusan kamu kurung, nanti kamu akan dibalas di akhirat, kamu dikurung seperti apa yang telah kamu perbuat terhadap burung itu" sambungnya.

" Nanti gemakku tidur di mana?"keluhnya.

" Wis tidak usah dipikir, nanti burung itu juga punya tempat sendiri di kebun"pungkasnya.

Mulanya panggilan Maknyak kepada neneknya hanyalah gurauan semata, waktu itu Qohar baru saja menonton tv di rumah Fariz temannya. Usianya jauh lebih muda dari Qohar, namun Fariz tergolong bongsor. Fariz yang mempunyai kebiasaan mengisap jempol menjelang tidur itu, tak pernah jauh-jauh dari permen coklat, sehingga wajar gigi-giginya hitam dan keropos. Lebih mirip dengan gigi seorang nenek yang hitam coklat oleh baluran kapur sirih. 

Fariz, putra Pak Karni baru beberapa minggu dibelikan televisi. Di rumah Fariz itu ia menonton televisi serial drama Betawi Si Doel Anak Sekolahan. Di situ si Doel dan Mandra sang pemeran utama memanggil Ibunya dengan sebutan Maknyak. Qohar yang masih polos itupun ikut-ikutan memanggil neneknya dengan sebutan Maknyak. Kini panggilan Maknyak menjadi suatu kebiasa'an yang mengakar dan berangsur menjadi sebuah kebanggaan sekaligus hiburan baginya. Ada semacam rasa teduh apabila panggilan Maknyak itu terlontar dari mulut cucunya.

"Di genuk1 ada beberapa ikat daun singkong. Ambil seikat saja lalu berikan sama Mbok Rumi, nanti terus pulang jangan keluyuran." perintah Aminah sembari menasehati.

"Kemarin sore kan sudah diberi Mak?" ujar Qohar berselidik.

"Kamu kemarin sore kan juga sudah makan!" timpalnya enteng.

"Aku tidak makan, tapi sarapan." kilahnya.

"Sarapan kok sore-sore. Sudah! sana buruan, besok Insyaallah ku carikan gemak lagi." perintahnya sambil menghibur, untuk mengobati kekhawatirannya.

"Saya mau kencing dulu Mak!" tunda Qohar beralasan.

"Pinterr, yo wis kencing dulu sana!" ujarnya memberinya ruang untuk beralasan.

Mbok Rumi adalah seorang janda tua, hidup sebatangkara, walau sebenarnya usianya terpaut jauh lebih muda dari Aminah, tetapi Mbok Rumi sering sakit-sakitan sehingga terlihat lebih tua darinya. Ia ibarat pohon beringin yang rimbun dengan berhiaskan dedaunan yang lebat, akan tetapi cepat meranggas. Daunnya dengan mudah berguguran lalu mengering, laksana menghadapi musim kemarau selama bertahun-tahun. Ia tidak punya keturunan maupun sanak saudara untuk mengisi tempat berbagi. Seminggu yang lalu rumahnya yang lebih mirip gubuk itu, tiba-tiba roboh berantakan. 

Sekarang gubuknya yang rata dengan tanah itu telah berdiri, tetangga di kanan kiri, gotong royong memperbaiki dan membangunnya kembali. Sebelumnya ia menumpang makan dan tidur di rumah Kartini, yang hidup dalam kesendirian pula karena ditinggal pergi suaminya merantau. Sampai sekarang selama kurang lebih dua puluh tahun, suaminya itu tidak pernah ada kabarnya. Entah orangnya masih hidup atau sudah mati.

Rumah Mbok Rumi yang berdindingkan anyaman bambu itu ambruk, rata dengan tanah oleh ulah kambing- kambing snewen milik Haji Malik. Tiga ekor kambingnya terlepas dari kandangnya. Dua ekor kambing jantannya ngebet ingin kawin lalu mengejar seekor kambing betina yang tengah berahi. Ketiganya berkejar-kejaran dan berlari-lari bebas mengelilingi kampung. Tanpa diduga sebelumnya, salah satu kambing jantan itu, tali tambangnya tersangkut di salah satu tiang rumahnya Mbok Rumi. 

Rumah gubug itupun roboh hanya kurang dari hitungan menit, ambruk berantakan. Untung Mbok Rumi waktu itu pergi ke Sungai untuk keperluan buang hajat, sehingga selamat dari musibah. Mengetahui rumah tempat tinggalnya telah porak poranda, Mbok Rumi hanya sedikit heran. Tak tampak sama sekali kesedihan di wajahnya. Nampaknya penderitaan hidup yang dialami selama ini  telah membiasakannya untuk tetap tegar.

"Lha rumahku kok jadi begini." ujarnya dengan suara yang di seret-seret.

Tidak ada barang-barang berharga yang tersisa, diantara puing-puing kehancuran rumahnya. Kecuali sebuah wajan besar, seperangkat alat dapur, selusin baju gamis dan sebuah mukena renda serta sajadah pemberian dari Haji Qomar beberapa bulan yang lalu.

Kepada Mbok Rumi, Pak Haji Malik hanya berujar. "Wong rumahnya memang sudah reyot kok. Sudah waktunya ambruk". Begitu mudahnya kata-kata itu terlontar dari mulutnya, tanpa mempedulikan perasaannya. Karuan saja Mbok Rumi hanya mengiyakannya, karena ia telah kehilangan hawa nafsu. Baginya, hanya kematian yang senantiasa mendekat padanya. 

Pak Haji Malik yang kikir itu ingin berlari dari kenyataan dan sengaja melupakan, apa yang telah menjadi pertanggung jawabannya. Seorang tokoh yang dituakan itu tidak ingin merugi meski barang secuil. Pantas saja semakin lama hidupnya semakin pas-pasan. Rupanya ia tidak mau berderma. Sedangkan derma adalah suatu tangga menuju hidup berkecukupan.

Beberapa hari belakangan Mbok Rumi terasa sedikit nyeleneh, perubahan itu menjadi sebuah pertanda, semakin berkurang daya ingatnya. Tidak biasanya ia sarapan sebanyak dua piring. Sewaktu Mbok Karmini melewati rumahnya dan menyempatkan mampir barang sebentar, ia bertanya.

"Mbok ! Sampeyan sudah sarapan?" tanyanya berbasa-basi.

"Belum" jawabnya.

Terasa janggal dengan jawaban yang dilontarkan Mbok Rumi. Pada hal di mulutnya masih belepotan bekas makan bubur nasi, entah dari siapa. Sebuah piring dengan buburnya yang tinggal sedikit tergeletak di depannya. Tetapi kenapa ia bilang belum? belum yang kedua kalinya?  

Mbok Rumi sudah pikun, demikian orang-orang mulai menerka-nerka tentang keadaannya. Telah berulang kali para tetangga memperingatkannya, supaya tidak usah lagi mengikuti acara pengajian, baik itu rutinan maupun mingguan. Tetapi peringatan itu hanya menjadi angin lalu baginya. Percuma saja nasehat dan peringatan itu didengungkan kalau pendengarannya telah mulai berkurang. Para tetangga lama-lama menjadi bosan dan membiarkannya. Terkadang salah seorang tetangganya iseng ingin bertanya padanya.

"Mbah ! Sampeyan habis pengajian" tak ada jawaban

"Sampeyan ikut pengajian di mana?" tetap tak ada jawaban

"Habis mengaji tentang bab apa?"Hanya tatapan kosong yang diberikannya, sekali menjawab hanya menunjukkan kealpaannya.

"Hambuh!"

Khadija

.

Malam purnama begitu terang, dalam penanggalan tahun hijriyah tepatnya jatuh di pertengahan bulan. Berjuta-juta bintang bertaburan menghiasi langit, konon seluruh pasir di seluruh alam tak mampu mengimbangi jumlah bintang yang bertebaran di angkasa raya. Bintang dan ribuan galaksi itu tak ada yang menjinjing, tiada pula yang menyangga, tetapi tetap pada porosnya. Itulah sebuah maha karya dari yang kuasa. Tak akan pernah tertandingi walaupun oleh sekumpulan para ilmuwan sekalipun.  Benda-benda angkasa bergerak, berputar pada porosnya sesuai fungsinya masing masing. Karena saking banyaknya, manusia tidak akan mampu untuk menghitungnya, apalagi menamakan kesemuanya. Setiap planet- planet mempunyai galaksi masing-masing seperti beranak-pinak.

Malam itu Aminah dan Qohar duduk selonjor di teras depan, berbagi cerita dan sesekali diselingi guyon, sembari mengupas tebu sebagai cemilan. Tak lama kemudian rasa kantuknya tiba-tiba mulai menyerang perlahan. Tidak tahan terlalu lama menahan kantuknya, Qohar lalu segera pamit mohon diri untuk tidur terlebih dahulu. 

Aminah masih bertahan di teras, tatapan kedua bola matanya mulai memudar lalu kosong, seperti ada sesuatu yang memasuki jasadnya. Ia menerawang, seolah-olah terpaku dan berubah menjadi sebuah patung. Untaian tasbih di tangannya tidak lagi bergeser lalu terhenti. Sementara di luar sana, hanya sesekali terdengar celepuk burung hantu diselingi walang kekek dan jangkrik jalenggong yang senantiasa mengisi kesunyian. Sekumpulan tupai dan kalong samar-samar masih terdengar bercericit, di seputaran ranting pohon sawo. 

Di keheningan malam itu ia teringat semasa kecil dahulu, sewaktu zaman penjajahan. Ingatan masa lalunya pelan-pelan merapat dalam benaknya. Ia bersama Badrun, Azar dan Khadija mencuri tebu milik para cukong Belanda. Mereka berempat mencuri tebu di atas truk yang terperosok di pinggir jalan. Kejadian itu persis di malam bulan purnama. Tanpa dinyana sebelumnya, truk berisi penuh dengan muatan tebu itu ditunggui dua orang berbadan kekar yang tengah tertidur. 

Ia berempat pun kaget bukan kepalang, setelah salah seorang penjaga tebu tiba-tiba terbangun dan mengejarnya. Dengan membawa masing masing beberapa batang tebu, Ia berempat lalu lari terbirit-birit. Pada saat berlari itulah mata Khadija di sebelah kirinya tertancap ujung tebu yang lancip dikedua ujungnya.

Tebu yang sebenarnya sepele itupun membawa petaka. Begitu ujung tebu yang menancap di bola mata sebelah kirinya dilepas, darah lalu mengucur dan mengalir perlahan. Bajunya yang telah usang menjadi basah dipenuhi darah. Khadija, perempuan yang selalu memakai tusuk konde itu merintih menahan rasa sakitnya. Ia berempat tidak tahu harus bagaimana, hanya bisa menangis dihantui rasa takut yang mencekam. Di tengah malam, ia berempat tidak berani pulang karena takut dimarahi orang tua. Mereka lalu tidur disebuah gubuk di bawah pohon kapuk randu. 

Kebetulan waktu itu tengah musim buah kapuk, Khadija lalu membalut sendiri, mengelap dan membersihkan bekas-bekas darah, di sekitar mata dan sebagian mukanya dengan kapuk randu. Malam itu hingga fajar tiba, ia berempat tidak bisa tidur. Hanya bisa meratap, menangis dan merenungi nasibnya .

Atas peristiwa malam itu, Khadija menjadi terluka lahir dan bathin. Luka-luka itu lalu membekas di kalbunya. Luka bathin yang selalu basah dan tidak akan bisa kering sampai kapanpun. Jika luka-luka itu sampai mengering, maka akan mudah tersulut api dan terus berkobar oleh hembusan angin perjuangan. Menginjak remaja, ia dengan gigih memperjuangkan hak orang-orang pribumi, meski harus meniti hidup dengan satu mata. Hingga pada suatu saat, ia dipersunting kang Umar. Orang yang selama ini sejalan dengannya. Kang Umar adalah seorang pemuda yang terkenal memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Sangat disegani dan diperhitungkan kaum penjajah kala itu. Mereka sama-sama gigih melawan segala bentuk penjajahan.

Suatu hari di tengah malam, Khadija bersama suaminya berniat menyamar ke markas tentara Belanda. Dengan sangat hati-hati ia dan suaminya  mengendap-endap masuk dari belakang gudang senjata. Mereka berdua hendak mencuri amunisi dan peluru, namun takdir berkata lain, ia dan suaminya diketahui Tentara Belanda. Keduanya lalu ditembak dengan puluhan selongsong peluru. Dalam peristiwa itu, tubuh kang Umar tak mampu ditembus peluru dan berhasil melarikan diri, sedangkan Khadija langsung tergeletak tak berdaya. 

Dalam ketidak berdayaan itu, ia lalu dihadapkan ke kediaman Letnan jenderal Diego Van Gogh, lalu diberondong dengan puluhan peluru. Disaksikan pasang-pasang mata para Tentara Belanda dan para pembelot tanah air. Puluhan peluru bersarang di tubuhnya. Gumpalan-gumpalan hitam bercak darah yang telah mengering memehuhi wajahnya. Beberapa saat kemudian ia menghembuskan nafas terakhirnya. Jasadnya lalu dibuang disebuah sumur belakang markas.

Entah kenapa bau harum semerbak menguar di sekitar sumur, hingga tujuh hari lamanya. Sepeninggal Khadija tak ada tanda gelar ataupun jasa yang diberikan pemerintah kepadanya. Tetapi Tuhan maha adil dan bijaksana, meski tanpa uang tunjangan ataupun bantuan dari pemerintah, anak cucu Khadija tak kurang suatu apa. 

Mereka kini telah menemukan kebahagiaan dan menjadi orang terpandang di Desanya. Seandainya Khadija dan suaminya masih hidup, menyaksikan berkah dan karunia Tuhan yang dilimpahkan kepada anak cucunya, mungkin tangis bahagia akan senantiasa mengiringi hari-hari tuanya. Tak banyak yang diharapkan dari seorang Khadija selain kemerdekaan dan kemakmuran suatu bangsa.

Mengalun kecapi tua

Dan suara sumbang menggema

Juga  dendang dan balada

Isi kisah hidupnya

Dia

Yang pernah merasakan

Pahitnya penjajahan.

Perang kemanusiaan telah sirna terabaikan.

Yang pernah merasakan

Kerasnya perjuangan.

Untuk kemerdekaan bangsa dan negerinya.

Bertopang tongkat penyangga.

Dan timpang langkah kakinya.

Namun langkah nuraninya

Tetap tak tergoyahkan.

Dia

Masih bergelora semangat di dalam dada.

Walau tubuh telah renta termakan usia.

Bukan tanda jasa atau istana dan harta.

Tapi yang didambakan.

Negeri yang sentosa.

Kini tinggal tugas kita.

Wahai generasi muda.

Capai adil Makmur bangsa

Jaya.1

Tanpa terasa kedua pipinya yang telah keriput basah oleh airmata. Aminah lalu segera beranjak tidur menyusul Qohar yang telah tertidur pulas. Selimut yang tergantung dibalik pintu diambilnya untuk menyelimuti cucunya.

Maqoomam Mahmuuda

Semburat cahaya emas mulai tampak diantara ranting pepohonan, pertanda fajar akan segera menyingsing. Bulan yang bertengger dibalik awan pun kian meredup. Tak kasat mata, mentari di ujung timur tiba-tiba terlihat merah menyala. Titik-titik embun yang begitu jernih masih setia bergelayut di pucuk-pucuk daun. Sementara itu sekumpulan ayam mulai keluar begitu pintu dapur dibuka. Mencari sesuatu untuk mengisi temboloknya di sekitar pekarangan.

Pagi itu Aminah pergi  ke sawah, di rumah tinggal Qohar seorang yang masih tidur. Begitu terbangun Qohar lalu berwudlu kemudian melaksanakan sholat shubuh, berdzikir beberapa saat dan diakhiri do'a sapu jagat seperti biasanya.

Ia menyusul neneknya tanpa sarapan terlebih dahulu, cukup hanya meminum dua gelas air putih. Ia mengira akan pulang agak pagi seperti kemarin. Letak sawahnya yang begitu jauh dari perkampungan tak mematahkan semangatnya untuk tetap menyusul neneknya. Di tengah perjalanan ia merasakan capek, dulu jika dirinya merasa lelah ada yang mau menggendongnya tapi kali ini memang sudah saatnya tidak memerlukannya. Ia lalu istirahat sejenak di bawah pohon asam di tepi jalan. Dari kejauhan ia melihat segerombolan perangkat Desa sedang mengukur persawahan. Biasanya orang-orang penting macam perangkat Desa membawa serta makanan dan buah-buahan.

Para perangkat Desa tengah menikmati hidangannya. Beberapa menit kemudian mereka kembali mengukur persawahan. Persawahannya begitu luas dihiasi rimbunnya pohon tebu. Apabila sisa-sisa makanan itu dimakan, tidak ada yang tahu kecuali yang Kuasa. Qohar dengan sigap merayap menuju letak makanan dan buah-buahan itu berada. Dengan tenang ia melahap sebahagian. Makanan-makanan itu sengaja ditinggal para perangkat Desa untuk sementara.

Sesampainya di persawahan, ia melihat neneknya tengah membungkuk menyiangi rumput, sambil sesekali berdiri membuang kumpulan rumput sembari menghilangkan rasa pegal-pegal. Sawah Aminah yang hanya tinggal beberapa petak sengaja ditanami berbagai macam tanaman.

Dengan mengendap-endap di bawah pohon ketela, Qohar mencoba untuk mengelabuhi neneknya. Ia ingin membuat neneknya terkejut dan kaget dibuatnya. Tetapi hari itu agaknya nasib baik tidak memihak padanya. Sebelum rencana miringnya itu terlaksana, Aminah telah lebih dulu mengetahui rencana cucu kesayangannya ini, karena hampir tiap hari ia dibuatnya kaget. Sambil membungkuk menyiangi rumput, Aminah melirik cucunya. Sementara Qohar dengan sigap menghela nafas panjang-panjang kemudian memuntahkan suara sekeras-kerasnya

"Darrr !!!"

Seketika itu juga neneknya terjatuh pingsan. Kali ini ia mencoba membalas kenakalan Qohar, dengan berpura-pura pingsan di depannya.

"Mak ! Maknyak kenapa ? bangun Mak!" Qohar membangunkannya dengan perasaan yang semakin cemas. Tiba-tiba ia menjadi khawatir dengan keadaan neneknya.

Sambil menangis sesenggukan ia berujar seraya berjanji, tidak akan mengulangi lagi perbuatan konyolnya itu. Ia benar-benar lugu dan belagu, tidak tahu harus bagaimana. Sementara Aminah masih melanjutkan sandiwara, tanpa mempedulikan keluh kesahnya yang terus memelas.

"Mak! bangun Mak? nanti aku hidup dengan siapa?" ia kembali mengeluh, tanpa terasa pipinya basah oleh air mata, diusapnya air mata yang bening itu.

Mbok Nah masih memejamkan matanya, tetapi ia tak kuasa menahan tawa, guratan senyum simpul yang samar tersungging semakin nyata.

"Aku tahu sekarang, Maknyak pura-pura kan?  Tuh kaan pipinya dekil, Aku kan tidak bisa ditipu" selidiknya sembari manggut-manggut.

"Tak bisa ditipu tapi kok nangis," sahutnya ketus.

"Aku kan pura-pura," kilahnya dengan wajah malu.

"Hmm...pura-pura." Aminah pura-pura mengiyakan meski hatinya ingkar.

Tanpa terasa hari telah siang, suara burung terkuok mulai terdengar bersahut-sahutan di sudut-sudut sepanjang aliran sungai. Burung-burung kutilang pun tak mau kalah, mulai memamerkan suaranya yang khas, melengking cukup lama seperti seorang Qori'. Burung-burung itu memanggil kawanannya, selang beberapa menit kemudian sekawanan burung kutilang terbang melayang meniti angin, lalu hinggap di dahan-dahan di atas pucuk pohon kapuk randu. 

Seakan-akan suara lengkingan burung kutilang yang pertama adalah suatu instruksi dari atasan agar secepatnya mengatur barisan. Bersatu dan bersama-sama mencari makan. Sementara di atas sana langit begitu cerah seperti terhampar karpet biru yang sangat luas. Sayup-sayup terlihat rembulan seperti merana dikesendiriannya. Kalah oleh pancaran sinar terik panasnya matahari.

Mereka telah pulang, Aminah menanak nasi sementara Qohar mulai asyik bermain egrang, mainan kuno yang cukup menantang. Setelah bosan ia lalu mencoba tantangan baru. Ia ingin neneknya bingung dan panik dibuatnya. Ia lalu pergi ke kamar dan mengendap-endap masuk ke kolong tempat tidurnya. Disiapkannya tikar pandan dan ditata sedemikian rupa. Di bawah kolong tempat tidur itu ia tidur-tiduran. Alangkah senangnya ia dengan tempat barunya itu, hingga ia terlupa akan segalanya. Cukup lama ia sembunyi hingga akhirnya tertidur.

Usai memasak Aminah mencari cucunya. Seluruh isi rumah telah diperiksa namun belum juga ditemukan. Ia mengira Qohar pergi kesungai seperti biasanya bersama teman-temannya. Setelah dicari kesana kemari, ternyata tidak juga diketemukan. Tanpa terasa bulir-bulir air matanya menetes dari kelopak matanya yang cekung. Selama ini kedua bola matanya selalu kering, hanya basah dikala berdo'a di tengah malam dan ketika teringat susahnya hidup pada zaman penjajahan.

Kekuatan bathinnya yang kian ulet itu tak lepas dari peran suaminya, Kang Karta. Ilmu siasat dari kang Karta telah merasuk ke dalam diri perempuan tua itu. Pesan-pesan kang Karta masih teringat betul dibenaknya.

Swiji bentuk roso tresno sangkeng Gusti Allah mareng poro kawulane, iku hakikote saben-saben manungso kapesten diwenehi ujian uriping dunyo. Saben-saben manungso kang katitis ono ingatase nduwur lemah, kudu biso ngalahake ujineng ngalam dunyo ingkang datenge sangkeng gusti. Ora kalebu manungso pilihan kang agaweane nyerah lan pasrah tanpo arekoso. Opo maneh nyerah lan pasrahe tanpo obahe lelakon. Sak tumleking atusaning masalah kang thukul, sahinggo supados ditanemake ingatase awak dewene, sifat gatot koco. Supoyo gampang olehe nemu kecukupaning bathin. Masalahing wong urip iku kapesten, ora nggo diwedheni, dilhayoni lan didhohi tinapi nggo diadhepi, sahinggo bakal dadi manungso kang mulyo.

Sebuah bentuk rasa cinta dan kasih sayang dari Tuhan kepada para hambanya, pada hakikatnya setiap Manusia selalu diberi ujian dan tantangan. Setiap manusia yang terlahir di atas Bumi, sebagai konsekuensinya harus bisa dan berani menghadapi sebuah ujian dari sang Khalik. Namun bukan termasuk manusia pilihan, apabila harus menyerah begitu saja. 

Apalagi penyerahan dan kepasrahannya sebelum babak pertandingan usai. Begitu kompleksnya suatu permasalahan hidup. Sehingga perlu  ditanamkan dalam diri manusia sifat ulet dan pantang menyerah. Agar mudah  mencapai titik klimaks  sebuah kepuasan bathin. Permasalahan hidup adalah suatu keniscayaan. Bukan untuk ditakuti, di kejar atau dijauhi, tetapi untuk dihadapi. Sehingga kelak menjadi insan yang mendapat tempat yang tertinggi,'Maqoomam mahmuuda'.

Sepeninggal Kang Karta Aminah menjalani hidup bersama kedua putrinya. Putri pertamanya Marsinah, menyusul bibinya, Sukarti ke negeri Sakura. Putri keduanya, Marsiyah yang meninggal beberapa saat setelah melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Qohar Abdullah. Sebelum meninggal ia sempat mengutarakan keinginannya, pergi menyusul Marsinah ke negeri Sakura, namun Aminah melarangnya.

Sebenarnya Marsiyah ingin pergi ke negeri sakura, lantaran ingin melupakan suatu masalah yang dianggapnya sebagai beban. Ia mencoba untuk keluar dari belenggu rumah tangganya. Ternyata suaminya, Arman yang pengangguran itu belum bisa mencerna arti dari sebuah tanggung jawab. Seorang lelaki dengan kebiasaannya nongkrong di pinggir jalan dengan ditemani asap rokok dan secangkir kopi. Lama-lama marsiyah menyebut suaminya dengan sebutan lelaki tempe busuk.

Belum sempat ke negeri sakura menyusul Marsinah, ia lebih dulu memenuhi panggilan Ilahi, pergi menuju alam baka. Meski bathin Aminah sebenarnya terpukul kala itu, karena kehilangan seorang anak perempuan satu-satunya yang masih tersisa. Namun ia berusaha tegar meski itu terasa berat. Aminah hanyalah sesosok manusia yang terus mencoba untuk tawakkal dan berusaha mengikhlaskan kepergian putrinya. Toh kalaupun ditangisi dengan lelehan air mata seluas samudra, Marsiyah tak akan pernah kembali dan bertemu lagi dengannya, kecuali pertemuan itu hanya dalam mimpi.

Setelah kepergian Marsiyah, Aminah mengganti perannya, merawat Qohar dengan penuh kesabaran. Kala Qohar menangis, Aminah mensiasati tangisannya dengan merelakan puting susunya yang telah keriput. Walau pada hakikatnya sudah tidak bisa keluar air susu setetespun, tetapi mampu membuat Qohar serasa terobati. Setiap hari Qohar diberi asupan air tajin sebagai pengganti susu. Dan kini cucu satu-satunya yang senantiasa dicintainya itu hilang entah kemana. Ia telah mencoba bertanya kepada para tetangga tetapi hasilnya nihil. Mereka tidak mengetahui keberadaannya, para tetangga yang bersimpati datang silih berganti hingga sore menjelang lalu kemudian satu persatu pamit pulang.

Di saat suasana kembali lengang pikirannya kembali buyar. Aneka macam makanan dan buah-buahan pemberian tetangga sama sekali tak disentuhnya. Tidak ada nafsu makan dan juga gairah hidup malam itu. Meskipun diliputi rasa gundah, ia masih saja berharap dan tetap meyakini bahwa Qohar pasti kembali ke pangkuannya, tetapi rasa khawatir itu semakin memenuhi pikirannya. 

Sekujur tubuhnya terasa berat seperti orang yang baru kerja seharian. Tubuhnya yang renta semakin lemas tak berdaya, hanya pasrah kepada yang Kuasa yang ia mampu. Ia mencoba berdiri dan berjalan menuju sumur mengambil air wudlu hendak melaksanakan shalat ashar. Belum sempat melaksanakan wudlu ia dikejutkan suara gesekan sendok dan piring. Alangkah terkejutnya Aminah setelah melihat Qohar tengah menenteng sepiring nasi di ruang dapur yang bersebelahan dengan sumur.

"Qohar! kamu masih ingat rumah?" ujarnya tak habis pikir." Ingat makan lagi.." sambungnya kemudian.

"Saya lapar Mak!" keluhnya. Mengalihkan pembicaraan.

"Kalau lapar ya makan jangan keluyuran. Kamu tahu! tadi kamu kucari sampai buyeng"

"Saya tidak tahu" katanya "Ooiya Mak, Aku ingat, tadi siang ngumpet di bawah kolong tempat tidur sampai ketiduran." ujarnya berselidik mencoba mengingat peristiwa yang baru saja terjadi.

"Jadi kamu sengaja ngumpet?"  tanyanya dengan geram.

"Iya." jawabnya singkat.

"Dassar gemblung!"

Kali ini Aminah benar-benar lega, tanpa dikomando akhirnya Qohar kembali ke rumah.

"Ooiya di lemari tadi ada berkat dari Wak Sarmah. Coba kamu makan daripada basi."

"Kayaknya sudah dimakan kucing Mak!" kilahnya.

"Apa? sudah dimakan kucing! Wong di lemari kok dimakan kucing, kucing berkepala hitam ?"  katanya berseloroh.

"He'emm" jawab Qohar cengengesan dan tersenyum geli, pipinya yang dekil itu semakin terlihat cekung.

"Kamu tadi sudah sholat?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"Sudah Mak." jawabnya mantap.

"Sudah kemarin siang? sekarang sudah ashar. Di kolong tempat tidur itu, kamu tidur sejak masih dluhur. Sekarang kamu mandi terus sholat. Selama kamu masih doyan nasi kamu harus sholat. Supaya selalu bersih dan sehat."

"Iya Mak" balasnya pelan.

Kala mentari belum menenggelamkan diri, Qohar telah bersolek rapi hendak ke Musholla. Disandangnya baju koko, peci, seutas sarung serta sebuah kitab suci. Petang itu Qohar berangkat sendiri tanpa ditemani Faiz seperti biasanya. Aminah di dapur tengah mempersiapkan menu berbuka puasa. Telah menjadi semacam tradisi, apabila tiada aral melintang ia melaksanakan puasa senin kamis. Menu tambahan untuk cemilan malam nanti telah disediakan tebu sebanyak tiga batang. Begitu masakan telah tersaji di meja makan ia lalu mengupas tebu di teras belakang sembari menunggu waktu berbuka puasa.

Suara adzan maghrib telah berkumandang, memecah kesunyian petang itu. Diteguknya dawet hangat yang sebelumnya telah dicampur cairan kental gula jawa dan aneka macam rempah-rempah. Manis dan sedap aromanya menggugah selera. Dawet manis suam-suam kuku, yang hampir segelas penuh itupun langsung membasahi kerongkongannya yang semula kering. Dawet manis itu seakan-akan langsung merembes menembus kulit arinya yang tipis.

Malam itu selepas sholat isya' Aminah berbaring di kursi panjang, kedua kakinya berselonjor, tangan kanannya mulai menyisir helai demi helai rambut peraknya, terbersit keinginan di benaknya untuk membeli gulai kambing. Sepulangnya dari mengaji, disuruhnya Qohar ke warung gulai Mbok Pairah.Tanpa perasaan terbebani, Qohar menyanggupinya. Sebenarnya ia takut karena jaraknya yang lumayan jauh, apalagi waktunya malam hari. Tetapi dihadapan neneknya ia mencoba memperlihatkan keberanian dan percaya diri.

Di luar rumah anak-anak seusianya tengah bermain singkongan1. Qohar lalu mengajak Rudi, usianya dua tahun lebih tua darinya, namun ia mempunyai sifat pemalu dan kekanak-kanakan. Sewaktu kecil Rudi pernah mengejar anak ayam sampai terjatuh dan menyisakan belang di keningnya. Hingga kini sebagian teman-temannya memanggil Rudi dengan sapaan si belang sehingga menyisakan mental minder pada dirinya. Merekapun pergi ke warung sate dan gulai yang tersohor sekampung itu. Warung gulai dan sate kambing Mbok Pairah. Cukup lama mereka menunggu, akhirnya dapat juga gulai kambingnya, sementara Rudi memohon diri, ia berbelok pulang ke rumahnya.

Setibanya di rumah, Aminah sudah tertidur di atas kursi panjangnya.

"Maknyak, bangun Mak! ini gulainya nanti keburu adem." dibangunkannya neneknya.

"Taruh saja di lemari nanti bisa dihangatkan lagi. Aku ngantuk, jangan lupa pintunya ditutup!" perintahnya seraya ke tempat tidur.

Di tengah malam Aminah terbangun lalu melaksanakan shalat tahajjud diakhiri baca'an Do'a Abu Nawas.

Ilaahi lastulil Firdausi ahlaa

Walaa aqwaa a'lannaril Jakhiimi

Fahablii taubatan waghfir dlunuubi

Fainnaka ghaafiruddzanbil Adliimi.

Dzunubi mitslu a'daadir- rimali,

Fahabli taubatan ya Dzal Jalaali,

Wa umri naaqishun fi kulli yaaumi,

Wa dzanbi zaaidun kaifahtimaali

Ilaahi abdukal 'aashi ataaka,

Muqirran bid dzunuubi

Wa qad di'aaka

Fain taghfir fa anta lidzaka ahlun,

Wain tadrud faman narju siwaaka1

Usai berdo'a, ia lalu ke dapur hendak makan malam dengan gulai Kambing. Tak lupa di dalam hatinya mengucap syukur, atas rizki dan nikmat yang Allah anugerahkan kepadanya. Kenikmatan dunia kini telah dicecapnya. Ia selalu bersyukur jika teringat bagaimana zaman penjajahan dahulu, harus hidup diantara dentuman bom dan peluru. Jiwa tergoncang, dihantui rasa takut dan penuh ancaman. Makan sehari sekali dengan perut keroncongan di sore hari telah menjadi hal yang biasa.

Selesai menyantap makan malam, ia lalu menghampiri Qohar yang tengah terlelap. Diusapnya keningnya berulang-ulang lalu diciumi keningnya. Sebuah ungkapan rasa cinta yang tulus dari seorang nenek kepada cucu satu-satunya. Seperti dalam sebuah Syair.

Tahukah kamu ku ciumimu disaat kamu terlelap.

Tahukah kamu ku dekap kamu disaat kamu termimpi.

Tahukah kamu nggak cuma kamu pemilik hatiku.

Tahukah kamu hatiku ini adalah hatimu.

Tahukah kamu di setiap hidupku ku kagumi wajahmu.

Nanti kau kan tahu

Nanti kau kan dengar bahwa aku begitu.

Kamu-kamu adalah surga yang ada.

Dalam hidupku dalam kenyataanku.

Kamu aku adalah penghuni surga.

Tahukah kamu disaat kamu menangis adalah air mataku yang jatuh berlinang.

Tahukah kamu disaat kamu tersakiti adalah aku yang pertama terluka.

Tahukah kamu yang cuma aku yang punya cinta untukmu

Tahukah kamu yang cuma aku yang rela mati untukmu1.

Dikeheningan malam, Aminah merenungi kembali jalan hidupnya. Matanya menerawang kosong lalu basah, sembab. Sesekali tersenyum dalam kesendirian, dari matanya yang cekung setetes air matanya terjatuh. Aminah teringat semasa kecilnya, di usia belia dengan penuh kesadaran, ia turut serta menyelamatkan nyawa pamannya secara tidak langsung. Waktu itu pamannya Ki Rasmin mendapatkan tugas dari letnan Jalal. Menyelamatkan belasan pucuk senjata dan ratusan selongsong peluru timah yang hendak dirampas tentara kolonial. 

Senjata dan puluhan selongsong peluru itu lalu disimpan rapi dalam gulungan rumput. Ia bersama Ki Rasmin, menelusuri tebing yang curam dan terjal. Tanpa disadari sebelumnya, tiga orang tentara Belanda menghadang perjalanan. Ki Rasmin mendadak seolah-olah kedua lututnya patah. Sekujur tubuhnya gemetar lalu keluar keringat dingin. Kedua tangannya juga dingin seperti mayat.

Aminah yang masih polos waktu itu mencoba untuk memanfaatkan kepolosannya. Meski jiwanya seperti dikejar sekawanan anjing, tanah tempat berpijak serasa bergoyang, matanya nanar tertuju pada wajah beringas tiga orang tentara Belanda. Sambil menangis, merengek ia meminta tolong kepada salah seorang tentara Belanda. Ditunjukkannya luka-luka di jemari kakinya yang terus berdarah, sebuah kebetulan. Padahal semasa itu penyakit gudik maupun nanah sudah biasa menjangkiti sebagian besar orang-orang kampung, terutama anak-anak kecil. 

Penyakit nanah maupun gudik apabila semakin digaruk, akan semakin terlihat mengelupas kulitnya dan mengeluarkan darah yang terus menetes beberapa saat. Apabila tidak digaruk terasa gatal, tetapi apabila digaruk menjadi terasa sakit dan berdarah. Tak dinyana, setelah melihat tetesan darah hatinya terenyuh. Seorang tentara yang juga tercipta dari segumpal tanah dan akan kembali ke tanah pula yang dilengkapi akal pikiran dan hati nurani. Akhirnya mampu mendobrak tembok nafsu amarah. 

Seorang manusia yang hakikatnya tercipta untuk saling tolong menolong. Tentara itu memberikan syalnya yang putih bersih untuk membersihkan lukanya. Tak Cuma itu, ia juga diberi beberapa potong roti. Di hari itu, ia merasa menjadi orang yang paling beruntung di dunia. Apabila peristiwa itu bersandar dalam ingatannya, hatinya selalu menyeruak rasa bangga, teriring rasa syukur hingga mampu menggetarkan jiwanya. Satu ma'unah dari Tuhan.

Selingkuh

Telah sekian kali ku selingkuh

Berpaling dari kasihmu

Berbelok dari jalanmu

Mengingkari kenyatan

Meski kian kentara Kuasamu

Tetapi kenapa denganku?

Terasa berat langkah-langkah kaki

Meski terasa begitu dekat

Kusadari semuanya

Dari kalbuku yang dalam

Berhasrat meniti jalan

walau bergelombang

Diparuh sisa usia.

Usai melaksanakan shalat shubuh, Aminah menuju dapur untuk menanak nasi. Diambilnya air satu ember dari sumur di belakang rumah. Embun pagi bercampur kabut masih membuyarkan pandangannya. Samar-samar dari jauh, nampak seekor anjing berlari dari arah semak-semak di belakang rumahnya. Segera diperiksanya kandang yang terletak di teras belakang. Tidak ada bekas kegaduhan atau bekas sayap-sayap yang mungkin patah di dalam kandang. Syukurlah, sepertinya tidak ada sesuatu yang mengkhawatirkan.

 Sambil menunggu nasi matang, ia membersihkan kamar tidur cucunya setelah meracik bumbu-bumbu masakan. Aminah terkejut begitu melihat senapan angin tergeletak di pinggiran bale-bale bilik, di samping cucunya yang masih terlelap. Rupanya tanpa sepengetahuannya, Qohar mengambil senapan angin dari balik lemari pakaiannya.

Senapan angin itu mengingatkan peristiwa masa lalu, puluhan tahun silam. Kenangan pahit masa-masa sulit, yang musti dilakoni dalam keprihatinan. Pada masa sebelum kemerdekaan diproklamirkan, era kependudukan tentara Jepang.  Awal kedatangannya ke Indonesia ketika itu menunjukkan misi persaudaraan. Beberapa bulan kemudian kerakusan dan keserakahannya semakin nyata terlihat ke permukaan.

Sekitar tahun 1942 Aminah dan suaminya menjalani hidup dengan serba kekurangan. Pada masa itu umbi-umbian menjadi sesuatu hal yang biasa dimakan sehari-hari sebagai makanan pokok. Untuk mendapatkan umbi-umbian tidaklah mudah, harus berjalan menaiki bukit sejauh enam hingga tujuh kilometer. Umbi-umbian itu sengaja ditanam di lereng-lereng pegunungan Muria, sebagian lagi tumbuh liar tanpa perawatan. Jika umbi-umbian itu ditanam di tanah lapang dekat perkampungan, sudah barang tentu akan menjadi keroyokan. 

Tidak jarang mereka sengaja memakannya di tempat dalam keadaan mentah. Alangkah rakusnya orang-orang pada masa itu, tetapi nasib mereka lebih beruntung daripada kabar yang didapatkan di radio-radio ketika itu. Jutaan orang meninggal dunia oleh sebab kelaparan yang melanda sebagian besar kawasan Asia selatan dan sebagian di Afrika. Semua itu adalah imbas yang terjadi selama perang dunia kedua masih berlangsung.

 Singkong rebus semasa itu sangatlah istimewa. Jarang orang kampung yang kuat membelinya, hanya terbatas di sebagian kalangan. Jika ingin menikmati lezatnya singkong rebus kala itu, tak cukup hanya dengan uang maupun tenaga, tetapi harus melewati serangkaian jalanan yang berliku pula, menuju lereng-lereng gunung. Berkilo-kilometer jauhnya jalan yang mesti ditempuh dan berkelok-kelok, dengan lebar kurang dari satu meter. Ketika itu hanya di lereng-lereng gunung tanaman singkong dibudidayakan.

Di saat serba sulit itulah Aminah menemukan Oshi koizumi, seorang Tentara Jepang yang selalu tersenyum tanpa harus diminta. Senyumnya yang khas itu selalu tersungging apabila bertemu dengannya. Satu hal yang unik dari tentara Jepang itu adalah kebiasaannya yang selalu salah tingkah. Oshi ketika itu  terjebak di atas ranjau jebakan yang dipakai untuk menjebak babi-babi hutan perusak tanaman. 

Dengan tanggap tanpa memperdulikan siapa dan asal usulnya, Aminah datang sebagai malaikat penyelamat. Di dalam sebuah gua yang tak begitu dalam, seorang yang diketahui sebagai tentara jepang itu dirawat dengan ala kadarnya hingga sembuh. Untuk mengobati luka-luka di dadanya oleh tusukan-tusukan kawat, Aminah memakai ramuan kuno berupa perasan daun binahong serta air liur siput.

Atas jasa- jasa dan kebaikannya, Oshi selalu menyempatkan waktunya untuk sekedar menemuinya di sebuah gubuk kecil, tak jauh dari perkampungan. Dengan sesekali membawa makanan dan keperluan lainnya. Kebiasaan itu dilakoninya setiap selesai bertugas. Sebelum pulang kenegaranya, Oshi sempat memberi kenang- kenangan helm, senapan angin dan celana kolor. Hanya senapan angin itulah satu-satunya kenangan yang masih tersisa. Melihat kenyataan pahit itu, kang karta menyadari kekurangannya dan mereka pun saling memahami keadaan.

Kang Karta dan Aminah meyadari betul betapa susahnya untuk bertahan hidup di masa itu. Menanam singkong yang baru berumur sebulan sudah dirusak babi-babi hutan. Musuh utama masa itu bukan hanya babi hutan, tetapi juga sesama manusia. Padi yang belum menguning sempurna disore hari, tiba-tiba habis di pagi harinya. 

Disikat habis oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Kala itu orang-orang yang menanam padi harus rela tinggal di gubuk-gubuk persawahan, menungguinya siang dan malam, nyawa sebagai taruhannya. Kalau pun padi itu berhasil dipanen, bukan berarti nasib mujur berpihak padanya. Separuh dari hasil panen padi harus disetorkan kepada Pemerintah Boneka, kaki tangan para Penjajah. Akhir dari semua itu, banyak sawah dan ladang tidak terhitung luasnya dengan sengaja tidak digarap sama sekali. 

Orang-orang pribumi lebih memilih membiarkan sawah dan ladangnya menganggur daripada harus menanaminya, lalu hasilnya diserahkan kepada orang lain. Pada masa itu perkebunan berbagai komoditi secara massal sedang gencar-gencarnya digalakkan, untuk mendukung pesatnya kemajuan industri di kawasan Eropa.

Setiap Tentara Jepang itu datang memberi makanan kepadanya, ia tidak segera mencicipinya sebagai bentuk penghormatan pada suaminya. Sering kali Aminah beralasan sudah kenyang lalu kemudian dibawanya pulang makanan itu, begitu seterusnya. Peristiwa itu berjalan sekitar dua tahun lamanya, tepatnya setelah perang dunia kedua berakhir.  Jepang mengalami kekalahan telak, dengan dihancur luluhkannya kota Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika serikat1. Sebelumnya tentara Jepang membombardir Pearl Harbour, sebuah pelabuhan militer Angkatan Laut di kepulauan Hawaii Amerika Serikat.

Mulanya Setiap kali Aminah pulang membawa makanan, Kang Karta selalu menanyakan dari mana makanan itu didapat. Namun Aminah selalu merahasiakannya. Hingga akhirnya seiring berjalannya waktu, Kang Karta mengetahui dari mana makanan itu berasal. Kang Karta berusaha memahami keadaan dan berusaha mengikhlaskannya. Ia seperti tidak mampu terus-terusan bergelut dengan kehidupannya yang serba kurang.

Aminah tidak pernah memberitahukan keberadaan senapan angin, yang tergeletak dibalik lemarinya. Muncul tanda tanya dibenaknya namun urung ia tanyakan, menunggu suasana yang tepat untuk menanyakannya. Usai menanak nasi dan mencuci piring, Aminah segera membangunkan Qohar. Ditariknya selimut erat-erat seperti yang biasa dilakukannya, setiap Qohar menarik kembali selimutnya. Begitu terbangun, Qohar pergi ke padasan1mencuci muka lalu kembali ke kamar tidur, mengambil senapan angin yang telah menjadi mainan baru baginya.

" Ayo shalat dulu?"

" Iya Mak!" balasnya sambil merapikan selimutnya.

"Sehabis shalat nanti sarapan!, lauknya ku taruh diatas rak." perintahnya sambil merapikan pakaian kotornya, hendak dicuci.

" Lauknya apa? "

"Pecel terong sama tempe."

"Kok tiap hari makan terong terus Mak!"

"Maunya sama ayam ?"

"Iya." Qohar mengangguk senang.

"Ya sudah, makan sama ayam saja di kebun! Sudah berapa kali Maknyak bilang, kita harus idup sederhana. Jangan terbiasa bermewah-mewah dan makan enak terus menerus. Biasakan apa adanya jangan ada apanya. Bagaimana kalau suatu saat sedang tidak punya. Apa kamu terus-terusan menuntut? " begitulah pesan Aminah pada Qohar berkali- kali.

Sebuah prinsip hidup sederhana dipegang teguh oleh Aminah atas nasehat kyai Haji Idris, kyai kampung. Kyai yang berkepribadian teguh dan bersahaja itu sangat menjunjung tinggi nama besarnya. Kepadanya, Aminah selama ini berkeluh kesah tentang liku-liku dan permasalahan hidupnya.

Dalam sebuah kesempatan Aminah bersilaturahmi ke rumah Kyai Haji Idris. Ia menanyakan perihal masalah wanita yang diasumsikan sebagian masyarakat, sebagai kaum lemah yang selalu dinomor duakan baik itu di Dunia maupun di Akhirat. Kiai Haji Idris kala itu hanya tersenyum dan tidak memberikan saran apapun kepada Aminah.

Kiai Haji Idris hanya bercerita pada masa zaman Rasulullah tentang seorang muslimah yang tidak malu bertanya dan kritis terhadap permasalahan perempuan dan juga tentang persoalan Agama yang belum dipahaminya. Ia mewakili kaum muslimah dalam bertanya langsung kepada Rasulullah. Ia adalah Asma binti yazid bin Sakan. Asma binti Yazid adalah seorang ahli pidato yang ulung, wanita pemberani yang halus perasaannya dan budi bahasanya.  Asma binti Yazid datang kepada Rasulullah Saw berkenaan dengan tawanan wanita.

"Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya adalah utusan bagi seluruh muslimah di belakangku, seluruhnya mengatakan sebagaimana yang Aku katakan dan seluruhnya berpendapat sesuai pendapatku. Sesungguhnya Allah Ta'ala telah mengutus engkau bagi seluruh kaum pria dan wanita, kemudian kami beriman kepadamu dan membai'atmu. Namun kami sebagai kaum wanita terkurung dan terbatas langkah kami, kami hanya tinggal di rumah, kami yang mengandung dan melahirkan anak-anak mereka, kami menjadi penyangga rumah tangga kaum pria dan kami adalah tempat melampiasan syahwat mereka. Akan tetapi kaum pria diberi kelebihan dan mendapat keutamaan melebihi kami dengan sholat jum'at, mengantar jenazah dan berjihad. Manakala mereka keluar untuk berjihad kamilah yang menjaga harta mereka, mendidik anak-anak mereka, Maka apakah kami juga mendapat pahala sebagaimana yang mereka dapat dari amalan mereka?"

Mendengar pertanyaan tersebut Rasulullah Saw menoleh kepada para sahabat dan bersabda kepada para sahabatnya, " Pernahkah kalian mendengar pertanyaan seorang wanita tentang agama yang lebih baik dari apa yang  dia tanyakan?" Para sahabat menjawab. " Benar. Kami belum pernah mendengarnya ya Rasulullah!" Kemudian Rasulullah bersabda : Kembalilah Wahai Asma dan beritahukanlah kepada para wanita yang berada di belakangmu bahwa perlakuan baik salah seorang dari mereka kepada suaminya dan meminta keridlhaan suaminya itu semua setimpal dengan seluruh amal yang kamu sebutkan. Pahalanya sebanding dengan pahala yang didapat kaum pria yang engkau sebutkan itu."

Beliau adalah seorang ahli hadits yang mulia, seorang mujahidah yang agung, memiliki kecerdasan dien1 yang bagus dan ahli argumen sehingga beliau dijuluki sebagai 'juru bicara wanita'. Diantara keistimewaan yang dimiliki oleh Asma` adalah kepekaan inderanya dan kejelian perasaannya serta kehalusan hatinya. Selebihnya dalam segala sifat sebagaimana yang dimiliki oleh wanita-wanita Islam yang lain yang telah lulus dari madrasah nubuwwah yakni tidak terlalu lunak (manja) dalam berbicara, tidak merasa hina, tidak mau dianiaya dan dihina, bahkan beliau adalah seorang wanita yang menjadi contoh yang baik dalam banyak medan peperangan. Begitulah penuturan KH Idris yang mengalir begitu saja.

Penuturan KH Idris itu semakin memantapkan prinsip hidupnya. Pelan dan pasti mampu mengobati kegundahan hati yang selama ini menghantuinya. Selama apa yang dilakukannya mendatangkan manfaat baginya dan tidak mendatangkan madhorot bagi orang lain, maka diperbolehkan suatu amalan untuk diamalkan. Di usia senja ia tidak kehilangan semangat, tapi ia malah menemukan semangat yang terbarukan.

Sepiring nasi beserta lauknya telah dimakan hingga tiada tersisa, lalu dibawanya piring itu ke sumur belakang dan dicuci bersih. Aminah yang sejak tadi berada di samping sumur mendekatinya.

"Qohar! Sejak kapan kamu bermain-main senapan di kamar?" tanya Aminah sambil menenteng ember hendak menyiram tanaman. Qohar hanya diam tidak menanggapi.

"Tahu dari mana senapan itu ku simpan ?" tanyanya kali kedua dengan suara direndahkan.

"Dari kura-kura" jawabnya dengan senyuman yang tersungging di pipi dekilnya.

"kura-kura! yang benar saja, bagaimana mungkin itu bisa terjadi?" Aminah menjadi penasaran mendengarnya.

"Ceritanya saya cari kura-kuraku yang lepas di sekitar kamar Maknyak. Eh tak taunya kura-kuranya ngumpet dibawah lemari, terus tak ambil dan kutemukan sesuatu seperti gagang panjang, ternyata ya bedil itu, apa saya salah ?"

"Siapa yang menyalahkan, tapi lain kali tanya dulu biar nanti Maknyak ajarin."

"Benar Mak ?"

"Apa untungnya Maknyak berbohong,"

"Memangnya Maknyak bisa?"

"Kalau hanya menggendongnya ya bisa"

"Kalau memakainya?"

"Buat apa? Buat gagah-gagahan, tidak malu sama jangkrik yang bisa berjalan, melompat dan terbang!"

Demikianlah setiap kali Aminah mengakhiri sebuah nasehat apabila orang yang dinasehati memperlihatkan tanda ketidakpercayaan. Sementara Qohar hanya bisa diam.

Masalah

Sekumpulan manusia

Tersiksa antara hidup dan mati

Hilang arah dan tujuan

Walau sepanjang hayat

Bersujud bertahun-tahun

Tapi padanya

Kedengkian menghujam

Panjangkan urusan

Ia akan remuk redam

Dalam api yang terus menyala

Pagi itu Aminah seperti biasa, meninggalkan rumahnya setelah sarapan. Tetapi ia tidak pergi ke ladang seperti yang biasa dilakukannya. Namun justru ia menuju ke kebun pisang sambil membawa parang dan cangkul. Pinggangnya terasa nyeri, tidak enak badan. Ia pikir dengan pergi ke kebun pisang, rasa nyeri yang dideritanya berangsur-angsur sembuh, dengan tempatnya yang teduh dan tidak terlalu panas. Apalagi matahari, sang bola api raksasa telah merangkak mendaki hingga sepenggalah ketinggiannya.

Di kebun telah ada shobari sedang memanen pisang. Tak seperti biasanya, pagi itu shobari tak bertegur sapa dengannya. Dari raut muka dan sorot matanya terlihat seperti ada sesuatu yang ingin diutarakannya. Namun Ia hanya menggerutu menahan amarah. Sebagai Orang tua, Aminah berusaha mengalah dengan mengawali sebuah pembicaraan.

"Pisangnya sudah tua Shob?" tanpa basa-basi Aminah menyapanya.

"Mau tua mau muda bukan urusanmu Mbok! memang apa hak Simbok melarang-larang!" balasnya seperti sengatan kalajengking. Dengan air muka memerah seperti hendak mengajak perang. Lelaki yang berjerawat hampir di seluruh punggungnya itu ingin menguasai tanah yang belum selesai dibukukan.

"Aku tidak melarang, kalau perlu ambil semua pisangnya!" ucapnya dengan hati dongkol. Hatinya serasa teriris kala terdengar perkataan Shobari yang kasar, kata-kata itu telah menghujam tepat di hatinya sehingga berdarah dan meninggalkan luka, luka yang tidak mudah untuk disembuhkan. Sambil menahan amarah Aminah pergi meninggalkannya.

Tak biasanya ia mengalah begitu saja tanpa suatu alasan yang jelas. Tapi siang itu Aminah yang setegar karang itu hanya bisa mengalah dan menjerit sakit dalam bathin, lalu ditumpahkannya kesedihan itu di rumah. Qohar yang tak tahu masalahnya ikut sedih kala melihatnya.

Aminah adalah perempuan biasa yang gemar bersilaturahmi, namun bukan berarti ia hidup tanpa suatu rintangan. Ada saja rasa dengki dari sebagian tetangga tanpa diketahui sebabnya. Tetapi ia berusaha mengalah dan menempatkan dirinya sebagai orang tua yang lemah. Ia lebih memilih menangis ketimbang beradu otot atau perang mulut apabila terjadi kisruh dengan tetangga. Tetapi tidak demikian halnya, apabila menghadapi masalah dengan orang yang tidak begitu dikenalnya dengan akrab.

Pernah suatu hari, Aminah berhadapan dan perang mulut dengan Pak Taufik, seorang ladu. Masalahnya, jatah pengairan belum selesai dan hanya tinggal sekitar seperempatnya, namun Pak Taufik mengklaim telah selesai dan memutus mata rantai aliran air. Kontan saja Aminah tak terima, diacungkannya parang serta sebatang patahan pohon singkong. Dengan bersuara lantang ia meminta jatah airnya dikembalikan, tetapi Pak Taufik tetap bergeming tidak mempedulikan kemarahannya. Pak Taufik malah justru berbalik mengancam, akan membabat habis seluruh tanaman padi dan sayurannya.

Segagah apapun Aminah, ia juga  seorang manusia yang punya hati sanubari. Seorang perempuan yang telah renta. Apabila sampai terjatuh dari tebing yang tidak terlalu tinggi, maka akan mengakibatkannya menjadi fatal. Karena jaringan tulang yang tersusun dalam tubuhnya sudah terlalu tua. Ia tak mungkin berbuat senekat itu, Pak Taufik tahu betul siapa itu Aminah, watak dan tabiat yang sebenarnya. Pak Taufik tak takut sama sekali dengan bentuk perlawanan darinya. Lelaki yang selalu berpenampilan necis, berkalung dan perutnya membuncit itu, telah terbiasa menghadapi orang-orang yang dianggapnya membandel macam Aminah.

Mengetahui gertak sambalnya tak digubris, Aminah tak habis akal. Dilucutinya Pakaian yang menempel di badannya satu persatu, hingga kemudian terlihat bertelanjang hingga separuh badannya. Tanpa banyak kata Pak Taufik segera pergi meninggalkannya. Aksi gilanya itu sempat membuat pasang-pasang mata ibu-ibu buruh tandur disawah tetangga terbelalak, dengan mulut menganga. Tetapi mereka hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan semua itu.

Masya Allah......

Begitu suasana terasa aman, lalu dikenakan kembali Pakaiannya. Aminah tak peduli dengan para tetangga sawah yang melihatnya. Kemudian dengan cekatan ia berlalu pergi menuju sawah Pak Taufik, mengambil jatah pengairan lalu mengalirkan ke sawahnya. Peristiwa itu menjadi headline berita para ibu-ibu di pematang sawah beberapa hari lamanya.

Kebun yang digarap Shobari itu adalah milik Aminah. Puluhan tahun yang lalu, lahan perkebunannya di beberapa tempat tidak terawat dengan baik, karena terlalu banyak garapan. Sebagian lagi dibiarkannya tak tergarap, salah satunya adalah lahan yang dirawat Shobari. Lahan itu kini ditanami pohon pisang, nenas dan beberapa pohon jambu. Dahulu tanah itu diberikan pada Wak Rini,ibunya dengan perjanjian lisan. Sebuah perjanjian yang tidak tertulis. Sesuatu hal yang lumrah pada zamannya, mengingat pada masa itu tak semua orang bisa mengerti dan memahami baca dan tulis.

Wak Rini keadaannya memprihatinkan kala itu. Hidupnya serba kekurangan, hingga kemudian mengundang rasa simpati. Ia tidak tega melihat kenyataan pahit di depan mata, lalu disuruhlah Wak Rini menggarap salah satu lahannya, seumur hidup. Dengan catatan, apabila Tuhan lebih dulu mengambil nyawanya, maka tanah itu menjadi milik Wak Rini. Sebaliknya, apabila Wak Rini diambil nyawanya terlebih dahulu oleh yang kuasa, maka tanah itu kembali menjadi miliknya. Tetapi akhirnya Wak Rini telah lebih dulu dipanggil ke haribaan Ilahi. Itu artinya tanah pekarangan jatuh ke tangan Aminah dengan sendirinya. Atas pertimbangannya, maka hasil kebun boleh dipanen anak-anaknya, dengan cara dibagi sepertiga. Awalnya Aminah memberi pilihan satu per dua, namun anak-anaknya tidak menyetujuinya, lalu mengajukan usul agar dibagi satu pertiga. Dua bagian untuk anak-anak Wak Rini dan satu bagian untuknya. Atas usulan itu Aminah menyetujuinya, tetapi sifat serakah yang telah tertanam dalam setiap diri manusia tiba-tiba menyeruak ke permukaan, bermetamorfosa menjadi wajah yang penuh kedengkian dan beringas.

Tak ingin dirundung sedih yang berlarut-larut karena disapa Shobari dengan kata-kata yang tidak sepantasnya, Aminah lalu menuju ke kebun. Ia menilik pohon purba, pohon sawo. Diperhatikannya dua pohon sawo yang berjajar itu penuh dengan buah. Sebagian telah terlihat tua dan sebagian lagi masih terlihat muda. Aminah lalu memanggil Qohar dengan suara datar, ia menyuruh diambilkan horok.

"Haar ...Qohar!"

"Iya, Mak?"

"Maknyak ambilkan horok1 di samping rumah"

"Iya Maknyak, tunggu sebentar"

Kedua pohon sawo itu telah berdiri di tempat yang sama, semenjak ratusan tahun yang lalu. Ketika Aminah belum terlahir, kedua pohon itu telah menghidupi banyak orang, termasuk para pejuang pribumi. Menjadi saksi bisu kejayaan kerajaan kalingga, yang begitu masyhur di semenanjung pegunungan Muria kala itu. Dari cerita orang-orang terdahulu, kedua pohon sawo itu adalah sebuah tetenger yang menandakan kekuasaan kerajaan kalingga. Maka tak heran banyak pohon sawo ditemukan di kaki gunung Muria, sebagai pertanda menjadi daerah kekuasaannya.

Sawo-sawo itu telah terkumpul sebanyak dua ember, lalu disortir terlebih dahulu kemudian dicuci bersih dan dijemur hingga layu. Diperlukan serangkaian panjang mengiringi proses masa kematangannya. Hanya beberapa buah yang biasanya matang di pohon. Begitu dicecap terasa manis penuh air.

Alhamdulillah...

Rasa syukur yang tulus kepada Tuhan, mampu mengalahkan ego yang seringkali menguasai manusia. Melunakkan sifat syirik, dengki, hasud dan kawanannya. Entah telah berapa kali Aminah menjadi tempat pergunjingan para tetangga, mengenai ulahnya yang dinilai melanggar kaidah hukum agama. Seringkali selentingan itu terdengar langsung ke telinganya dan seringkali pula rasa dengki itu sengaja dihembuskan ke telinga cucunya.

Di atas amben pohon sawo, Aminah beristirahat. Hanya sebentar ia menahan kantuk lalu tertidur. Qohar sesekali memperhatikan burung pipit yang tengah membangun sarangnya disalah satu ranting pohon sawo. Satu persatu akar bambu atau rumput kering diangkut melalui paruhnya lalu ditata sedemikian rupa.  Sarang burung pipit itu begitu bagus menyerupai sebuah gua. Sebuah maha karya yang sempurna, hanya dibangunnya dalam hitungan hari. Sarang-sarang burung pipit di atas ranting pohon sawo semakin banyak pada saat memasuki musim kemarau. Jika telah tiba masanya induk burung pipit akan mengerami telur-telurnya. Induk burung pipit akan melaksanakan ritual bertapa selama beberapa hari. Selama masa bertapa itulah induk burung pipit hanya mengerami telur-telurnya tanpa aktivitas apapun. Induk burung pipit hanya sesekali mengintip dunia luar dari dalam sarangnya yang lebih menyerupai sebuah gua. Tidak hanya sekali dua kali Qohar memelihara anakan burung pipit, tetapi usahanya itu selalu berakhir pada kematian. Mulai saat itu, Aminah melarangnya mengambil sarang burung pipit di atas ranting pohon sawo.

Aminah masih tertidur di atas amben, dibawah pohon sawo. Qohar pergi menuju sebuah kebun kopi melewati semak-semak sejauh puluhan meter. Beberapa meter dari kebun kopi terdapat dua pohon jambu biji liar. Dipanjatnya pohon itu dengan hati-hati.  Hampir saja ia terjatuh jika tidak berpegangan pada ranting erat-erat. Satu persatu jambu itu digayutnya hingga tak mampu lagi tangan kiri menggenggamnya. Di bawah pohon jambu itu ia terduduk beberapa menit lamanya, meregangkan otot-otot tangan dan kaki yang masih terasa gemetar. Dari kulit luarnya, jambu-jambu itu terlihat agak kuning oleh sebab pantulan sinar matahari, tetapi begitu dimakan masih terasa keras. Ternyata masih mentah, belum sepenuhnya matang. Mungkin masih memerlukan waktu satu minggu lagi jambu-jambu itu masak di pohon. Dibuanglah jambu-jambu yang masih mentah itu ke kolam tak jauh dari pohon jambu. Kolam itu lebih mirip kubangan yang tidak begitu dalam, berisi lumpur bekas galian untuk menambang pasir. Kembali ia berpetualang mencari sesuatu yang bisa menyumpal mulutnya.

Di musim kemarau buah-buahan liar mulai sulit didapatkan. Hanya tiga tempat yang selama ini menjadi jujugannya. Pertama di bekas reruntuhan asrama pegawai kantor kereta api. Di sana banyak dijumpai pohon jambu biji liar dan sebuah pohon jambu air yang sudah tidak terawat, tetapi sekarang telah habis karena terus-terusan dijarah oleh anak-anak muda. Yang kedua di dekat perkebunan tebu, di sana banyak ditemui pohon salam dan juwet, tetapi sekarang buahnya juga sudah habis karena telah melewati musim. Dan yang terakhir disebuah kebun kopi yang tidak bertuan, dengan dua pohon jambu biji didekatnya. 

Jika semua buah-buahan yang dianggap liar itu habis, maka hanya satu yang masih tetap bertahan yaitu buah kopi. Tak banyak yang bisa diharapkan dari buah kopi, selain sebagai manisan penggoyang lidah. Buah itu sama sekali tidak bisa mengganjal perut ketika sedang lapar. Hanya dicecap di bagian kulit dalamnya yang terasa manis lalu bijinya mesti dibuang karena keras, lagipula tidak ada daging buah sama sekali selain daging buah yang teramat tipis yang masih menempel. Lain halnya dengan buah juwet yang mempunyai ketebalan daging yang menyatu dalam biji, serta diperkaya dengan air yang terkandung di dalamnya. rasanya manis dan sedikit sepat.

Di atas ranting pohon kopi, Qohar bertengger sambil sesekali menggaet dahannya yang penuh dengan dompolan buah masak. Dari warnanya cukup mudah membedakan antara yang baru masak dan masak sempurna. Dahan dan ranting kopi yang begitu kuat dan tidak terlalu tinggi itu membuatnya betah berlama-lama tinggal diatasnya, tanpa terbebani perasaan khawatir. Lama-lama ia bosan dan merasakan pegal pada giginya. 

Setumpuk kulit buah kopi telah dihasilkannya, tetapi bukannya perut kenyang yang ia dapatkan, melainkan pegal-pegal di seluruh rahang gigi dan gusi. Sebenarnya beberapa meter dari kebun kopi terdapat perkebunan pohon kelapa yang cukup luas, tetapi bocah kecil seusia Qohar masih terlalu lemah walau hanya sekedar memanjatnya. Kedua tangannya belum terlalu kuat untuk mencengkeram batang pohon kelapa.

Aminah terbangun dari tidurnya, Qohar tidak ada di sampingnya. Dilihatnya kesana kemari tetapi tak kunjung ditemuinya.

"Bocah edan! baru ditinggal tidur sebentar sudah menghilang."

Pada hari selanjutnya, Qohar baru pulang dari sungai, bermain bersama teman-temannya. Rupanya dirumah telah menunggu seorang tamu. Seorang wanita paruh baya berkacamata dan memakai sebuah celana jeans. Di bahunya tergantung sebuah tas bermerek dan ditangannya sebuah handphone dengan layarnya yang lebar, dari penampilannya jelaslah ia dari kalangan orang yang berada. Wanita itu datang bersama seorang pria yang masih menunggu di mobil. Pria yang berkulit kuning dengan mata sipit itu memarkir mobilnya tepat di depan rumah neneknya.

"Wahai bocah kecil siapa namamu?" Wanita itu memulai pembicaraan lalu berdiri dari bale teras dan bersalaman.

"Qohar."

"Apa benar ini rumahnya Aminah?"

"Iya, saya cucunya"

"Kamu cucunya. Sini mendekap Nak"   

"Dimana nenekmu? "

"Masih di sawah,"

"Jangan kau panggil ya? Waktuku tinggal sebentar. Ada beberapa pekerjaan yang harus kuselesaikan hari ini. Sampaikan saja salamku pada nenek ya? bilang saja dari Marsinah. Oh ya kebetulan saya membawa dua handphone. Kamu saya beri yang satu ini ya."  Wanita itu Lalu mengambil charge dari dalam tasnya.

"Terima kasih Bu."ucapnya senang.

"Iya sama-sama. Suatu saat nanti aku akan menghubungimu melalui handphone yang kau bawa itu. Baiklah aku akan pergi." didekapnya Qohar erat-erat.

Handphone pemberian dari Marsinah begitu mewah. Layarnya lebar dengan Desain yang dinamis dengan warna biru cerah. Qohar sama sekali belum pernah melihat handphone semewah itu, apalagi memilikinya. Ia kini seperti dalam kisaran dunia mimpi. Siang itu ia merasa sebagai orang yang paling beruntung di dunia.

Dengan hati-hati diletakkannya handphone itu di atas meja dapur. Ia lupa jika di atas meja itu juga terdapat tempe goreng dan dadar telur di dalam sebuah mangkok. Tanpa diduga sebelumnya seekor kucing mencoba mencuri lauk di dalam mangkok . Begitu Qohar melihatnya, kucing itu melompat keatas lemari dan kakinya menyepak handphone yang baru saja ditaruhnya. Handphone yang baginya terlalu mewah itupun pecah.

Kini rasa sedih dan sesal bersandar padanya. Kegembiraan itu hanya merapat padanya dalam hitungan menit. Hasrat hati ingin sekali menyampaikan kabar gembira itu kepada neneknya, namun terpaksa harus ia urungkan.

Dikumpulkannya serpihan kaca handphone itu lalu dibungkus dalam sebuah plastik kecil. Disimpannya handphone mewah yang telah pecah disebagian layarnya itu kedalam lemari pakaiannya. Ia ingin merahasiakan semua kejadian yang baru saja terjadi. Ia merasa bersalah karena telah menaruhnya di atas meja bukan di lemari pakaiannya. Ia begitu menyayangkan, kenapa semua itu harus terjadi. Ia khawatir jika suatu saat diketahui oleh neneknya. Ia harus bisa merahasiakan ini semua, pikirnya dalam hati. Beruntung waktu itu tidak ada teman atau tetangga yang sedang bermain di rumahnya.

Besok hari senin legi, Aminah hampir lupa jika hari itu adalah hari kematian kang Karta. Biasanya di hari peringatannya dibacakan Tahlil, Lantunan Istighfar dan surat-surat pendek lalu menyuguhkan bubur merah putih dan dibacakan do'a-do'a. Bubur merah putih itu lalu dibagi-bagikan ke tetangga sekitar dengan harapan, orang yang telah meninggal mendapatkan ampunan dan tetap dalam lindungan Tuhan yang Kuasa. Aminah menuju dapur memeriksa bahan-bahan yang kurang. 

Sesekali tangan kirinya menggaruk-garuk kulit kepala hingga seperti menemukan sesuatu. Persediaan bumbu-bumbu dapur telah menipis, hanya tinggal beberapa cabe, bawang putih, dan kelapa. ia  hendak ke sawah mengambil daun pisang, kunyit dan sayur-sayuran beserta bumbu dapur lainnya. Sebelum berangkat, dilihatnya Qohar tengah bermain senapan angin di dalam kamar.

"Maknyak mau ke sawah, jaga rumah!" perintahnya sambil menyibak tirai pintu kamarnya.

"Aku ikut Mak!" balasnya.

"Kalau ikut jangan lupa tutup pintu!" katanya lagi sembari berpesan.

Dengan terburu disimpannya Senapan angin itu ke dalam laci di bawah lemari, lalu berlari mengejar neneknya.

Di tepi jalan raya mereka berhenti sejenak menunggu jalannya mobil tronton lalu menyeberanginya. Kali ini Aminah tidak menuju ke sawah, tetapi menuju ke sebuah pohon asam jawa ditepi jalan. Aminah mengais sisa-sisa asam tua yang berjatuhan, sementara Qohar lebih memilih memanjat pohonnya. Dahannya yang rimbun dan bercabang-cabang memudahkannya untuk segera memanjatnya.

Dipetiknya beberapa dompolan buah asam yang tengah masak, pikir Qohar dengan mengambil langsung di dahan dan ranting, neneknya tidak perlu susah-susah untuk memulung yang tercecer di tanah. Tanpa diduga sebelumnya, sedompol buah asam yang telah masak dan baru dipetiknya itu jatuh mengenai kepala Aminah, tetapi tidak menimbulkan rasa sakit.

"Aduh! " keluhnya setelah buah asam jatuh mengenai kepalanya.

" Tidak apa-apa kan Mak?"

" Iya, tidak apa-apa."

Pohon asam meski tinggi dan besar tetapi buahnya hanya seukuran jari. Apabila telah masak dan mulai berjatuhan, meski menghujani kepala beribu kali tidak akan menimbulkan rasa sakit ataupun luka yang serius. Tetapi seandainya pohon asam itu berbuah sebesar buah semangka atau sebesar labu, maka orang yang tertimpa akan pingsan dibuatnya, bahkan mungkin bisa mati berdiri karenanya. Tetapi lazimnya pohon yang besar dan tinggi, buahnya tidak sebesar buah semangka ataupun labu. Semua itu adalah suatu bukti keadilan Tuhan, hanya dimengerti dan dipahami oleh orang-orang yang berfikir.

Tanpa disadarinya sebuah mobil berwarna merah silver telah terparkir tak jauh dari pohon asam. Tak seberapa lama kemudian keluar tiga orang laki-laki dari dalam mobil. Mereka lalu menghampiri Aminah yang tengah mengumpulkan buah asam. Mereka memperkenalkan diri. Pertama, Pak Yusuf Chen Lau seorang wakil direktur sebuah perusahaan minyak goreng dan juga pengelola perkebunan kelapa sawit, seorang Chunghoa. Kedua Pak Amin ong gwe, seorang Betawi berdarah Jawa Sunda, menjabat Consultant dan merangkap sebagai wartawan lepas sebuah harian Ibu Kota, dan yang terakhir Afeng, sopir pribadi Pak Yusuf, seorang yang berkaca mata, kurus dan tinggi.

Pak Yusuf dan Pak Amin lalu menanyakan kepada Aminah perihal tanah kosong tak jauh dari pohon asam. Aminah lalu menunjukkan lahan yang tengah mangkrak di dua tempat. Sudah lama kedua lahan yang tak digarap itu dijual oleh pemiliknya, tetapi belum laku terjual. Tempat yang pertama milik Bu Marni tetangga jauhnya. Seorang perempuan paruh baya, keturunan priyayi, trah darah biru. Bu Marni ingin menjual tanah kapling warisan ayahnya untuk membiayai perjalanan ibadah Haji tahun depan. Tanah kapling yang kedua milik Pak Sarwo, rencananya ia akan hijrah ke Lampung membuka usaha warung pecel di sana.

Lahan itu berada di jalur lintas Provinsi, sangat baik untuk pengembangan usaha dengan hasil alamnya yang masih melimpah. Sayangnya oleh orang-orang kampung tanah-tanah itu tidak dikelola dengan baik, tak jarang di beberapa tempat dibiarkan mangkrak tidak tergarap sama sekali. Sedangkan pemiliknya kebanyakan menjadi kaum urban di perkotaan, menjadi buruh kaum borjuis.

Hari telah sore, mentari di ufuk barat telah memberi pertanda sebuah sinyal akan segera membenamkan diri. Aminah menyarankan agar pertemuannya disambung dilain waktu, bertandang ke rumah. Mereka lalu mohon diri dan memberikan sebuah amplop berisi uang sebagai sebuah bentuk rasa terima kasih. Diterimanya amplop itu, lalu dengan terburu Aminah dan cucunya bergegas menuju kebun mengambil daun pisang, memanen cabe, kunyit dan sayur-sayuran.

Langit di bagian barat telah terbentang warna merah keemasan. Matahari seakan-akan tergesa-gesa membenamkan diri. perlahan rembulan memancarkan auranya. Bintang-bintang bermunculan diikuti serbuan kelelawar yang hilir mudik mencari mangsa. Hanya sekumpulan ayam yang petang itu mulai bersantai lalu mencari tempat beristirahat di kandang dan sebagian lagi memilih nangkring di atas ranting pohon mangga di dekat sumur..

Selesai shalat maghrib dan berdzikir Aminah teringat dua hari yang lalu, Wak Sarmah mengajaknya menjenguk Bambang. Bocah kecil seumuran Qohar yang menderita gizi buruk disertai pembengkakan di selangkangan. Ia masih tergolek lemas di atas bale kayu selama beberapa minggu lamanya. Tetangga kampung sebelah.

Selesai shalat Isya'Aminah ke rumah Wak Sarmah, mengajaknya menjenguk Bambang.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam."

"Bagaimana? jadi menjenguk Bambang?"

"Iya. Jadi Mbok." jawab Wak Sarmah sambil ngeloyor ke dalam rumah. " Aku ganti pakaian dulu".

Merekapun berangkat. Aminah malam itu membawa setandan pisang dan sekilo gula merah. Tak ingin ketinggalan, Qohar segera membuntutinya setelah sebelumnya mengunci rumah rapat-rapat.

Aminah tertegun melihat kenyataan. Keadaan rumahnya memprihatinkan, dari setiap dinding bambu yang dipasang terlihat jelas celah-celah yang menganga. Jika celah-celah itu tanpa dilapisi plastik, maka angin malam senantiasa bebas keluar masuk kedalam rumahnya. Aminah dan Wak Sarmah berusaha membesarkan hati dan menghiburnya, sementara Qohar berdiam diri di teras rumah menunggu neneknya pulang. Miris menggambarkan cobaan yang dilakoni Bambang.

Di usianya yang ke tujuh berat badannya terus merosot. Tak jauh beda dengan anak seusia tiga tahun. Perutnya membusung, paru-parunya terlihat melebar dengan lekuk-lekuk tulang yang sangat kentara. Wajahnya pucat, kedua bola matanya cekung dengan keningnya yang semakin kentara jelas akan guratan-guratan daging tipis yang membalut tempurung kepalanya. Jari-jari kaki dan tangannya terlihat seperti kerangka yang bergerak-gerak dengan balutan kulit yang amat tipis setebal kain. 

Hanya daging tipis yang menghiasi tubuhnya, selebihnya seperti tengkorak yang bergerak-gerak. Di setiap ujung jari-jari kaki kirinya membusuk, membiru dan bernanah. Bambang, demikian orang-orang memanggil bocah malang itu terus-terusan menitikkan air mata apabila keinginannya belum juga terpenuhi. Semisal merasakan sakit disekujur badannya yang ingin dipijat atau di obati. Dari kedua bibirnya yang terlihat kering tanpa sepatah katapun terucap. Seperti ada sesuatu yang ingin dikatakannya namun terasa sulit untuk mengucapkannya. 

Semenjak seminggu yang lalu mendadak ia tak bisa bicara. Hanya bisa dengan bahasa isyarat, paling jauh hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Dalam dua hari belakangan kesehatannya telah berangsur-angsur membaik setelah ia rutin meminum ramuan mengkudu matang sehabis sarapan. Anjuran itu berasal dari Pak Raju, seorang dukun kampung di desa tetangga. Di rumahnya yang hanya berdinding bambu beratapkan ilalang itu, hanya dihuni berdua Bambang dan kakak perempuannya Handayani yang setia menungguinya. Ayah ibunya telah lama pergi meninggalkannya. Mengadu nasib di Ibu Kota.

Menyaksikan itu semua, Aminah menjerit dalam bathinnya. Kenapa semua ini harus ditimpakan padanya? Tidak adakah orang lain yang lebih mampu dalam menghadapi ujianmu Yaa Tuhan?

Mungkin orang-orang yang berkalang duka dan penderitaan itu akan menemukan kebahagiaannya di Akhirat kelak. Bersanding menjadi manusia pilihan atau mungkin menjadi kekasihnya. Hari telah malam, merekapun pamit pulang dengan membawa sejuta hikmah teriring rasa syukur kepada Tuhan, atas karunia yang telah diberikan selama ini, berupa kesehatan jasmani maupun rohani.

Pagi-pagi sekali Aminah telah selesai menanak bubur merah putih, untuk memperingati hari kematian Kang Karta. Sementara Qohar mempersiapkan daun pisang untuk bahan bungkusan bubur merah putih. Tak lupa jajanan tradisional ikut disertakan dalam bungkusan daun pisang. Selesai mempersiapkan semuanya, Qohar lalu menyambangi rumah teman-temannya kemudian acarapun dimulai. Kali ini acaranya diimami oleh Aminah sendiri. Diawali dengan bacaan Basmalah, Hamdalah lalu Istighfar kemudian Tahlil dan diakhiri doa.

Acara prosesi peringatan kematian kang karta yang digelar sederhana itu telah selesai. Bubur merah putih itupun dibagikan dengan disertai oleh-oleh berupa jajanan tradisional berupa pisang, pepaya dan jeruk sebagai buah tangan. Aminah lalu kembali mengisi rutinitasnya, pergi kesawah bersama Qohar dengan membawa pupuk kompos setengah karung.

Di jalan, dekat pinggir jalan raya anak-anak muda Desa berkerumun menyaksikan arak-arakan rombongan Pak Menteri yang tengah melintas entah kemana. Suara  klakson mobil mulai bersaut-sautan persis suara ambulans. Ditambah suara sirine meraung-raung memekakkan telinga karena saking asingnya. Iring-iringan mobil pengawal Pak Menteri melaju dengan kecepatan tinggi. Sebuah perkampungan yang mulanya sunyi senyap, mendadak penuh dengan gegap gempita euphoria kehidupan. 

Sekumpulan kambing dan kerbau berlarian seperti ada rasa kaget yang tiba-tiba mendera. Tanpa diduga sebelumnya banyak binatang ternak berhamburan kejalan Raya. Ternak-ternak yang biasa diikat disepanjang pinggiran jalan Raya itu tiba-tiba lepas karena saking takutnya dengan keadaan yang drastis. Orang-orang kampung hanya bisa menyaksikan dengan penuh kedongkolan. Binatang ternak banyak yang luka-luka dan hilang, lari sekencang-kencangnya tak tentu arah. Adapula beberapa anakan ternak yang mati tertabrak mobil pengawal Pak Menteri.

Menyaksikan sandiwara nyata didepan mata hanyalah menyisakan trenyuh. Aminah dan cucunya lalu kembali melanjutkan perjalanan menuju sawah. Memupuk tanaman-tanamannya dengan pupuk kompos setengah karung.

Happy birthday

Sebuah kado ku buka

Buatku nanar melihatnya

Air laut menggulung setinggi gunung

Bumi merekah lalu terpecah

Gunung-gunung beterbangan bagai kapas

Aku menjerit

Ku sembut asmanya

Dalam sebuah mimpi.

Hari-hari berlalu tanpa terasa, seiring berdzikirnya bumi sepanjang waktu. Musim berganti dan zaman selalu berbenah menuju peradaban yang madani. Sebagian insan berlomba-lomba membangun jati dirinya yang seolah-olah hidup untuk selamanya. Musim kemarau telah bergeser dan berganti menjadi musim hujan. Semua mahluk hidup gegap gempita menyambutnya, kerbau, kambing, burung-burung, katak, ikan hingga belut dan cacing tanah. Hamparan luas perkebunan Tebu mulai memamerkan dedaunan yang kian menghijau, pertanda tanah mulai gembur. Luasan rumputan perdu membentang sejauh mata memandang mulai bersemi.

Menyambut datangnya musim hujan, sekumpulan Katak di segenap penjuru merayakan hari kemenangannya, hujan kali pertama. Sekumpulan katak itu tak henti-hentinya bersyukur sembari berdzikir kehadirat Ilahi dengan suaranya yang nyaring. Sedari sore hingga menjelang malam suara-suara itu seolah sambung menyambung tiada jemu. Burung-burung mengeluarkan suaranya yang khas, seperti alunan melodi silih berganti mewarnai kesunyian. Belalang-belalang kecilpun ikut bersambut dengan caranya sendiri. Terbang kesana kemari, lengah dengan musuhnya yang senantiasa sewaktu-waktu datang menerkamnya. 

Di saat-saat seperti itulah suatu kesempatan bagi kadal untuk segera memangsanya. Tanpa bersiap siaga, tiba-tiba belalang seakan menawarkan diri untuk dijadikan mangsa. Belalang-belalang kecil itu beterbangan persis di depan kadal. Telah menjadi semacam takdir dari yang kuasa, jika petualangan hidup belalang akan berakhir tragis dimangsa kadal. Demikian pula dengan nasib kadal yang harus menyerah pada takdir, ketika berhadapan dengan musang. Burung-burung, Jangkrik, Siput serta sekumpulan ikan dan binatang lainnya tumpah ruah ikut merayakan datangnya musim hujan. Pucuk-pucuk dahan dan ranting pepohonan mulai basah memperlihatkan kesegarannya. Para penggarap sawah di segenap penjuru mulai menggarap kembali lahan sawah yang sebelumnya mangkrak tak terurus karena kekeringan. Benih-benih padi mulai ditebar di bedeng-bedeng yang sebelumnya telah ditata sedemikian rupa.

Pagi itu masih terlihat gelap, suara kokok ayam mulai terdengar bersahut-sahutan, seakan-akan menyuruh si empunya untuk segera membukakan pintu dapur, tempat kandang ayam berada. Usai sholat shubuh Aminah memeriksa dan mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk memperingati hari kelahiran Qohar. Diambilnya beberapa bekas keringat di lehernya meski ia masih tertidur lelap. Sebagai sebuah pra syarat untuk memperingati hari lahirnya. Orang-orang terdahulu mengartikan ritual tersebut sebagai bentuk penyadaran, jika sesuap nasi itu harus didapat melalui jerih payah memeras keringat dan banting tulang demi kesejahteraan hidupnya.

Sejumput daki ditaburkannya ke dalam tungku bakal tempat pembuatan bubur. Tanpa terasa, dari kedua bola matanya yang cekung merembes bulir-bulir air mata. Terkenang saat-saat indah bersama kedua anaknya. Kini mereka tiada disisinya. Walau mereka tiada disisi, namun baginya, mereka ada untuk selama-lamanya. Ingin rasanya Aminah menyusul putrinya ke negeri sakura, tetapi ia tidak tahu dimana keberadaannya dan kepada siapa harus bertanya.

Persediaan kayu bakar di dapur telah menipis,tinggal beberapa ranting. Diambilnya kayu di belakang rumah, ternyata juga sudah menipis, hanya tersisa serpihan kayu-kayu kecil. Tanpa sengaja ia melihat sesuatu benda mirip gundukan batu diantara serpihan kayu, seperti membentuk sebuah formasi sarang. Tanpa pikir panjang ia mengambil ranting kayu kecil lalu mencoba membalikkan benda asing itu. Alangkah terkejutnya ia setelah melihat ada sesuatu benda dibawah gundukan serpihan-serpihan kayu-kayu kecil itu. Ternyata benda asing itu adalah kura-kura seukuran telapak tangan. Mendadak raut mukanya menjadi berbinar-binar, guratan-guratan senyum menghiasi wajahnya.

Seikat serpihan Kayu ditaruhnya di dapur, lalu menuju  ke tempat tidur cucunya. Tak lupa kura-kuranya di ikat dengan benang supaya tidak terlepas, ia hendak membuat kejutan pada cucunya. Benang tipis itupun diikatkan pada kain sprai persis di dekat cucunya. Ia lalu melanjutkan pembuatan buburnya kembali.

Di kegelapan fajar saat jendela masih tertutup rapat, Qohar terperanjat, ada sesuatu benda aneh yang bergerak-gerak di jari kakinya. Ia segera lari kedapur, namun tak ditemukan seseorang yang selama ini menjadi tempat berkeluh kesah. Ia lalu segera keluar dan mendapati neneknya sedang duduk di bangku teras depan. Sedang mengupas kacang sembari melantunkan tembang campursari.

Aku pancen wong seng tuno aksoro.

Ora biso nulis ora biso moco.

Nanging ati iki iseh nduwe roso.

Roso tresno koyo tumrape manungso.

Aku pancen wong cilik ra koyo rojo.

Iso mangan wae aku uwes trimo.

Nanging ati iki isih nduwe roso.

Jero ning bathin sak tenane pingin kondo.

Pupus godhong gedang.

Ajang pincuk saiki wus ra kelingan.

Aku memang orang yang buta aksara.

Tidak bisa menulis  tidak bisa membaca.

Tapi hati ini masih punya rasa.

Rasa cinta seperti manusia kebanyakan.

Aku memang orang kecil bukan orang kaya.

Bisa makan saja aku terima'bersyukur'.

Tapi hati ini masih punya rasa.

Dari hati yang dalam ingin berkata.

Pupus'kuncup' daun pisang.

Piring dedaunan sekarang mulai terlupakan1.

"Maknyak! Kok malah nembang!" gerutunya dengan nada tinggi.

"Ada apa ? Kamu mencariku?" Aminah pura-pura bertanya.

"Apa Maknyak tidak dengar saya panggil-panggil !"

"Aku tak mendengarnya, Apa yang terjadi?" selidiknya berbasa-basi.

"Tidak usah tanya ayo kekamar!" ajak Qohar dengan terburu-buru.

"Ada apa ? Aku mau ke sawah," bantah Aminah.

"Sebentar Mak."

"Ada apa dulu?" tanya Aminah pura-pura  penasaran.

"Ada setan Mak!" ucapnya serius.

"Ooo ..kamu setannya?"

"Serius Mak!"

"Ya sudah nanti kalau ketemu diapakan? dipelihara? Atau disembelih saja."

"Ah .. Maknyak, jangan bercanda!"

"Maknyak serius, "

"Ya sudah ayo kita lihat!" rengek Qohar dengan penuh penasaran dan dihantui rasa takut.

Dibukanya jendela satu-persatu. Kura-kura itu nampak terlihat jelas, namun Qohar tak mengetahui jika kura-kura itu ternyata diberi ikatan benang oleh neneknya supaya tak terlepas dari tempat tidur.

"Itu apa cucuku ?" tanya Aminah sembari menunjuk ke arah kura-kura.

"Itu kan Kura-kura Mak!" selorohnya dengan raut muka berbinar-binar.

"Siapa yang bilang kalau itu setan. Sudah, ayo ditangkap! nanti disembelih," Perintah Aminah sembari menakut-nakutinya.

"Maknyak gemblung apa ? Maknyak kan tahu sendiri kalau aku suka kura-kura,"  dengan wajah menggerutu Qohar meluapkan kekecewaannya.

"Siapa peduli, yang penting disembelih."jawabnya seolah tak ada rasa peduli.

"Ahh, Maknyak! pokoknya jangan!" Ia mencegahnya dengan menutupkan kedua telapak tangannya di atas kura-kura mungilnya itu.

"Yo wis, kalau begitu saya mau ambil pisau!" sahut Aminah menakut-nakuti.

"Maknyak memang gemblung!"

Dengan terharu didekatinya kura-kura mungil itu lalu diambilnya, sementara Aminah menuju ke dapur. Begitu diperhatikan dengan seksama, Qohar terperangah, kaget bercampur heran bukan kepalang. Ternyata salah satu kaki kura-kuranya telah terikat benang. Terpikir di benaknya pasti ada dalang dibalik semua ini. Teringat pesan neneknya dalam suatu kesempatan. Tak ada sesuatu tanpa ada sebab. Terciptanya tulisan pasti ada yang menulis. Begitupula dirinya dan alam seisinya, pasti ada yang menciptakan. Lalu siapakah yang menyebabkan kura-kuranya terikat? terbersit dipikirannya, siapa pelaku dibalik semua ini kalau bukan neneknya sendiri. Ia pun menemui neneknya dengan penuh dongkol, menuduhnya tanpa basa-basi terlebih dahulu.

"Maknyak sengaja menakut-nakutiku? Aku tidak takut!"

"Lha, kok tahu?" tanya Aminah tanpa rikuh sembari tersenyum simpul.

"Yaa iya to." jawabnya penuh bangga.

"Lalu kenapa minta tolong?"

"Kan hanya pura-pura Mak!"  kilahnya.

"Apa ? Maknyak tidak dengar,"

"Maknyak kan sudah tua, tapi aku juga punya kejutan Mak! Tunggu saja".  kilahnya lagi dengan muka serius, seperti mengancam.

"Tantanganmu selalu ku tunggu cucuku. Maknyak tidak takut, sekarang kamu makan dulu buburnya, nanti keburu adem. Jangan lupa beri makan kura-kuranya." ucapnya datar sembari mengingatkan.

"Maknyak buat bubur?"

"Iya, nyelametin hari lahirmu biar panjang umur dan sehat selalu" jawab Aminah dengan bijak"buburnya nanti dihabiskan?" sambungnya.

"Iya Mak," Katanya sambil tersenyum "Sudah dido'akan?" tanyanya kemudian.

"Tentu, untuk apa aku berlama-lama menunggumu" balasnya sedikit cuek.

Siang itu sepulang dari pematang, samar-samar dari kejauhan Aminah melihat sebuah mobil merah silver di bawah pohon sawo miliknya. Mobil itu persis dengan warna mobil yang ditemuinya beberapa waktu yang lalu pada saat mengais buah asam. Aminah lalu menemui si empunya namun tak didapati seorangpun. Dilongoknya seisi ruangan di dalam mobil dari balik kaca hitam. Tak ada seorangpun yang berada di dalamnya. Aminah menunggu sambil duduk di cangkruk pohon sawo. Dari rumah, Qohar berlari-lari seperti ada sesuatu yang ingin diutarakannya.

"Maknyaak !" panggilnya kemudian.

"Ada apa ?"

"Maknyak dicari orang kemarin sore."

"Kemarin sore kapan?"

"Itu lho Mak sewaktu memulung asam."

"Ooh iya ." Aminah mengangguk-angguk seperti teringat sesuatu."Dimana orangnya?" sambungnya kemudian.

"Orangnya sudah menunggu di rumah. Ayo Mak cepat!" ajak Qohar terburu-buru.

Di teras telah ada Bu Lela, tetanngga jauh yang kebetulan lewat depan rumah lalu mampir, menemani tamu mengobrol. Mereka datang hanya berdua, Pak Amin Ong dan Pak Puji, sopir pribadinya.

"Ee Bu Lela Silahkan masuk." sapa Aminah pada Bu Lela. Lalu kemudian menyapa Pak Amin dan Pak Puji. "Silahkan masuk Pak! Pak Yusufnya tidak ikut?" tanya Aminah pada Pak Amin.

"Kebetulan Pak Yusuf hari ini sedang ada urusan di kantor, jadi saya yang ditunjuk mewakilinya," kata Pak Amin, lalu mereka duduk lesehan bersama di ruang depan.

Aminah kembali menyapa dua orang tamunya.

"Jangan sungkan-sungkan Pak, memang beginilah adanya."

"Lela! tolong ditemani ya ? saya buat minum dulu." pinta Aminah pada Bu Lela.

"Ya Mbok!" jawabnya, lalu dengan agak sungkan Bu Lela, seorang janda yang suka berdandan itu mencoba memberanikan diri untuk bertanya perihal pembelian lahan.

" Ma'af ya Pak ? Kalau boleh tahu nanti rencananya untuk membangun apa ?" tanya Bu Lela sungkan.

" Untuk membangun pabrik kopra, di sini kan belum ada pabriknya, apalagi dari sumber yang dapat dipercaya, bahan baku kelapa di sini lumayan murah dan didukung infrastruktur jalan yang telah memadai. Berangkat dari dua faktor tersebut kami melihat prospek ke depannya sangat cerah. Maka dari itu kami berniat membangun pabrik kopra di kampung ini." urainya panjang lebar.

"Oh begitu." kata Bu Lela mengangguk-angguk.

"Apakah di Kampung ini sering ada tindak kriminal Bu?" kata Pak Amin dengan merendahkan suaranya.

"Tidak ada Pak, Kampung ini Alhamdulillah selalu aman." kata Bu Lela meyakinkan. "Memangnya kenapa Pak" tanyanya kemudian.

"Begini Bu, sepanjang perjalanan kami merintis usaha, kami lebih mengutamakan keamanan, disamping dua faktor penting yaitu sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Sehingga ke depannya kami bisa lebih fokus dalam pengembangan usaha tanpa banyak hambatan. Intinya dengan iklim usaha yang kondusif kami optimis kemajuan perusahaan akan terkatrol dan mungkin bisa berkembang dengan pesat."

"Jadi nomor satu itu keamanan ya Pak?" ujar Bu Lela berkesimpulan.

"Iya, keamanan menjadi syarat yang mutlak."

Bu Lela mendengarkan penjelasan Pak Amin dengan sungguh-sungguh, seperti seorang anak TK yang khidmat mendengarkan dongeng dari gurunya.

"Qohar!" panggil Aminah dengan suara datar.

"Iya Mak?"

"Gula putihnya habis, kamu sekarang beli gula putih, ini uangnya" Aminah kembali ke ruang tamu lalu membuka topik pembicaraan.

"Bagaimana? bapak jadi beli tanah yang di seberang jalan itu?"

"Jadi Mbah, tapi yang penting bagaimana dengan pihak penjual, apa sudah diberi tahu?"

"Sudah Pak, kebetulan Lela ini  saudaranya yang punya tanah." jawabnya sambil ibu jari menunjuk lurus ke arah Bu Lela.

"Lela! Tolong kang Sarwo suruh ke sini mumpung ada Pak Amin." pintanya kepada Bu Lela.

"Kang Sarwo sudah ke sawah, kemarin Aku diberitahu, katanya sih terserah. Bagi siapa saja yang bisa menjualkan tanahnya akan diberi komisi sepuluh persen. Kang Sarwo sudah keburu akan pergi bulan depan ke Lampung, pengen buka usaha di sana." jawabnya panjang lebar.

"Yo wis, kalau begitu tinggal Bu Marni Pak," kata Aminah sambil menahan nafas.

"Kemarin Saya dari rumah Bu Marni, katanya, kebunnya dijual dengan harga biasanya, tetapi dengan syarat, beberapa pohon kelapa dan durian yang berada tepat di pinggir jalan tidak ikut dijual, jadi Bu Marni boleh kapan saja mengambilnya." sahut Bu Lela menjelaskan dengan gamblang.

"Baiklah, Semuanya bisa diatur asal jangan ada sengketa dikemudian hari." ujar Pak Amin lugas.

Dengan terburu Aminah memohon ijin ke dapur mengambil minuman dan suguhan berupa pisang dan bubur merah putih, kebetulan hari itu sedang merayakan hari ulang tahun Qohar. Aminah lalu mempersilahkan tamu-tamu untuk mencicipinya.

Zaman Belanda

Sejarah

Kepadamu

ku berguru dan mengetuk pintu

Sejarah

Tempatku mengadu dan berpijak

Sejarah

Hanya padamu

ku berpegang dan berjalan

Ku lelah tanpamu dalam beban

Telah dua hari Aminah tidak mengunjungi sawahnya, sementara ia harus memastikan jika sawahnya selalu tergenang air, belum lagi rumput liar yang semakin bertambah. Sayur-sayuran apabila tidak dipangkas, akan menjalar ke mana-mana. Dicarinya parang untuk keperluan penyiangan, namun tak juga didapatinya .

"Qohar ! dimana kau simpan parangnya?"teriaknya sambil merapikan wadah bakulnya.

"Sepertinya masih di teras," jawab Qohar, matanya menerawang "Saya lupa naruhnya, mau ke sawah Mak?" sambungnya kemudian.

"Iya, kamu di rumah apa ikut?"

"Aku ikut, bawa nasi apa tidak ?"

"Terserah kamu, hari ini Maknyak puasa."

"Bungkus Mak?"

"Iya, pakai sambal tidak?"

"Tidak usah!" ucapnya menggeleng.

Sejauh mata memandang pesawahan mulai dihiasi oleh pemandangan padi yang kian menghijau. Sayur-sayuran di sepanjang tepian guludan tampak rimbun. Tunas-tunas rebung bambu mulai bermunculan, menyembul ke permukaan tanah. Jika memasuki musim rebung, maka tiada harga yang layak untuk menjualnya. Rebung-rebung itu lalu dibiarkan tumbuh liar karena terlalu banyak tunas yang tumbuh. Rumpunan pohon pisang berlomba-lomba memamerkan buahnya. 

Ada yang hampir masak, yang masih muda dan yang masih kuncup. Selama rumpunan pisang tidak mengalami longsor, maka selama itu pula rumpunan pisang akan terus berbuah sepanjang bulan, sepanjang tahun. Sebuah nangka matang terjatuh dari pohonnya. Separuh dari nangka itu telah digerogoti oleh tupai. Satu janjang buah kelapa tergeletak di pinggir sungai, rupanya orang-orang yang tidak bertanggung jawab telah mencurinya. Di antara tanaman padi, Aminah terdiam sejenak. Diperhatikannya hamparan tanaman padi dari pangkal hingga ke ujung, nampak menghijau sempurna.    

"Alhamdulillah sudah pada menghijau." gumamnya dalam hati.

"Mulai dari sini saja cucuku." ajaknya pada Qohar, memulai pekerjaan menyiangi rumputan liar. "Bismillahirrahmanirrakhiim nyambut gawe1."

Sambil mencabuti rumput, mereka yang telah terpaut usia hingga puluhan tahun itu berbagi cerita, tentang masa lalu. Sepenggal peristiwa pada masa penjajahan, masa sebelum kemerdekaan diproklamirkan.

Di pagi buta, Aku kedatangan seorang tamu dua orang tentara Belanda. Waktu itu, Aku masih berumur tiga belas tahun, sedangkan keponakanku, Sukarti masih berumur sembilan tahun. Emak Rasup telah pergi ke lereng-lereng gunung, mencari umbi-umbian berupa talas, kerot, ganyong dan sejenisnya bersama kang Imran.

Biasanya sebelum Emak pergi, Aku sering diwanti-wanti supaya jangan takut dalam menghadapi siapapun, termasuk terhadap para Tentara Belanda, bahkan kalau bisa, perdayai mereka agar mau memberikan bahan makanan. Waktu itu mencari makan susahnya tiada terkira, tak semudah mencari ikan-ikan di sungai.

Awalnya, kedatangan dua orang Tentara Belanda itu membuatku merinding ketakutan, Sukarti juga demikian, Aku berusaha menenangkannya. Rupanya maksud dan tujuan mereka datang hanya untuk mencari Kang Umar, seorang gerilyawan yang selama ini menjadi tameng masyarakat. Terkenal sakti, tubuhnya tak mampu ditembus ratusan peluru. Seorang jawara kampung dan bertindak sebagai perisai bagi orang-orang pribumi. Tanpa berbasa basi mereka tiba-tiba memasuki rumah tanpa permisi,mereka meneror kami.

"Dimana keberadaan Umar, si keparat itu?" gertak salah seorang tentara, di wajahnya terdapat bekas luka yang melintang tepat di atas alisnya, dengan mata melotot.

"Kami sama sekali tidak tahu". jawabku dengan agak bingung.

"Jangan coba-coba menipuku! kalau kamu tak ingin senjataku menembus kepalamu. Cepat beritahu dimana keberadaannya?

"Silahkan duduk dulu Tuan?" Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan wajahku yang pucat pasi.

"Saya tidak ada waktu untuk istirahat barang sebentar!" Kembali kedua bola mata tentara itu melotot hingga seperti mau keluar.

"Baiklah Tuan, saya akan coba cari tahu keberadaannya. Tunggulah sebentar!" Pintaku penuh harap.

"Ingat! jangan sekali-kali kamu beritahukan keberadaan kami di sini, atau akan kuhancurkan perkampungan ini!"

"Jangan tuan, biarkan kami hidup dengan tenang tuan." Pintaku dengan memelas penuh rasa cemas.

"Jangan banyak bicara!, cepat cari tahu dimana keberadaannya?"

"Baik Tuan"

Tentara Belanda yang terlihat garang itu lalu duduk di kursi. Temannya yang nampak lebih muda usianya ikut menuju kursi, rambutnya cepak lurus seperti sedang menantang langit. Di tangannya menggenggam sebuah sapu tangan.

Tentara berambut cepak itu baru saja duduk, lalu tiba-tiba menjerit. Ia terperangah dan ketakutan melihat tikus melintas di depannya. Rupanya tentara berambut cepak dan tidak kalah garang dengan Tentara yang satunya itu takut sama tikus, binatang pengerat itu mencoba mengajaknya bermain-main.

"Mana tikusnya!"sahut Tentara yang satunya, sambil terus mencari keberadaan tikus. Sementara, tentara yang berambut cepak itu masih terdiam, hanya bisa nangkring di atas kursi.

Dicarinya tikus dengan menodongkan senjatanya ke belakang pintu, tapi tikus itu berhasil melarikan diri melalui lubang kecil di dekatnya. Dengan susah payah ku menahan tawa, kugigit bibirku sampai hampir putus untuk menahannya. Sementara Sukarti terdiam beberapa saat, lalu tawanya tiba-tiba pecah, segera ia tutupi mulutnya dengan tangan kanannya.

"Kau berani menghinaku!" Tentara yang matanya melotot itu menghadapkan moncong senjatanya ke wajah Sukarti. Ia gemetar, Hampir saja ia mati seandainya tentara itu melepaskan tembakannya.

"Tidak, tuan."jawabnya dengan rasa gemetar yang mulai menjalar ke seluruh tubuhnya

"Dwarrgh  "

Suara tembakan itu memekakkan telingaku, rupanya peluru timah sebesar cabai itu di arahkan ke arah lemari hingga tembus. Aku pura-pura tak melihatnya, meski rasa takut kehilangan keponakanku satu-satunya mencengkeram kuat di dadaku. Tetapi lama-lama rasa takut dalam diriku kian terkikis karena peristiwa itu.

"Karti, ambilkan pisang yang ada di dapur!" Perintahku untuk mengalihkan suasana yang mencekam.

"Iya Mbak,"jawab sukarti, dari kelopak matanya terlihat air mata yang masih meleleh, lalu menuju dapur.

"Permisi tuan,"Aku menyusul sukarti dan mengikutinya dari belakang.

Di dapur, Sukarti masih merasakan gemetar di sekujur tubuhnya. Ia tidak berani menyuguhkan pisang itu ke depan. Aku berusaha menenangkannya hingga ia menjadi tenang. Tetapi meskipun sukarti sudah tenang, aku tidak mengijinkannya keluar, Aku khawatir jika terjadi sesuatu padanya. Aku hendak merencanakan sesuatu dengan mengatur taktik sedemikian rupa. Tetapi apabila terjadi sesuatu sedikit saja, maka bukan hanya nyawaku yang menjadi taruhannya, tetapi nyawa seluruh keluargaku yang akan menjadi sasarannya.

Satu sisir pisang raja kusuguhkan tanpa memberikan air minum, sementara  Sukarti ku suruh mengambil getah air tuba di pekarangan belakang rumah. Saripati air tuba itu akan kusajikan bersama teh manis. Cukup lama aku bersitegang dengan sukarti di dapur, tentang rencanaku itu. Aku lalu memutuskan untuk melarangnya keluar, meskipun ia sendiri ketakutan setelah mendengar rencanaku. Syukurlah, akhirnya ia menuruti perintahku. Dua orang tentara itu mungkin mengira, diriku telah pergi ke suatu tempat, mencari informasi mengenai keberadaan kang umar.

Dengan hati-hati ku suguhkan teh manis, yang sebelumnya telah kucampur dengan air tuba.  Aku sempat berpura-pura mengeluh sakit di bagian pinggangku untuk mengalihkan perhatian. Setelah kupastikan mereka sudah meminumnya, lalu aku memberitahukan keberadaan kang umar, yaitu di Gua Ngerong. Jaraknya begitu jauh dari kampung bendo, sejauh delapan belas kilometer. Tempat persembunyian itu telah bertahun-tahun menjadi markas para pejuang pribumi. Untuk bertapa, bersemedi dan mengasingkan diri, guna untuk menyusun kekuatan yang lebih besar.

Dengan hati-hati Aku menyuguhkan teh manis yang sebelumnya telah ku campur dengan air tuba. Aku terlebih dahulu pura-pura mengeluh sakit di bagian pinggangku untuk mengalihkan sebuah perhatian, setelah itu teh manis kusuguhkan. Setelah ku pastikan mereka meminumnya akupun sedikit lega. Dengan perhitungan yang matang, aku berbagi tugas dengan Sukarti. Ku perintahkan ia supaya mengabarkan kepada Pak Abdullah, tetua kampung, perihal tempat persembunyian kang Umar yang telah diketahui Tentara Belanda. Tak lama kemudian setelah meminum teh manis, dua orang tentara itupun pergi. 

Aku mengawasi dari jauh gerak dan langkah kedua tentara Belanda itu. Hanya berselang beberapa menit kemudian, di depan mata kepalaku, dua orang itu ngajal. Mereka menggelonjot hampir bersamaan, di lahan perkebunan kopi, tak jauh dari perkampungan. Setelah keduanya dipastikan meninggal, Aku mendekati jasad-jasadnya. Dari mulutnya, keluar busa yang tidak berukuran, kedua bola matanya melotot seperti mau menyembul keluar dengan garangnya. Tetapi meskipun terlihat garang, itu hanyalah mayat yang tidak bisa berbuat apa-apa. 

Lapisan kulitnya yang semula nampak putih bersih mendadak terlihat membiru. Barangkali ruhnya baru saja pergi meninggalkan jasadnya. Jasad yang telah dihuni selama puluhan tahun itu ditinggalkan begitu saja. Dalam hitungan hari, jasad yang tak bernyawa itu akan menjadi ajang pesta bagi ribuan atau mungkin jutaan belatung. Mereka berpesta dalam jangka waktu yang terbatas. 

Satu persatu dari pakaian jasad-jasad yang telah menjadi mayat itu ku geledah. Aku mendapati dua buah senjata laras panjang, dua puluhan mortir, tujuh selongsong peluru dan beberapa lembar mata uang negara kerajaan Belanda. Beberapa peralatan perang itupun lalu ku serahkan kepada Pak Abdullah Untuk keperluan para pejuang. Baju dan celananya dikemudian hari diambil para pemuda dan mayatnya dikubur di tepi kebun kopi.

Sukarti kini mungkin, telah hidup berkecukupan di negeri sakura bersama Yuji Shiojiro, suaminya. Sejak masa kemerdekaan diproklamirkan hingga kini, aku belum pernah melihatnya walau hanya sekali, tetapi ia pernah berjanji padaku, suatu saat nanti ia akan kembali.

Usai bertutur sebagian perjalanan hidupnya semasa penjajahan, Aminah tak mampu membendung kesedihan. Tiba-tiba kedua bola matanya sembab, tak kuasa menahan air mata mengingat kegetiran masa lalu. Qohar berusaha menghiburnya, memberi kesimpulan seraya bertanya.

"Jadi, Maknyak dulu pernah membunuh para Tentara ? Aku jadi takut kalau melihat Maknyak.." canda Qohar.

"Badanku malah jadi menggigil gemetaran karena melihatmu." balasnya dengan mimik serius.

"Kenapa Mak?"

"Lha wong kamu kayak tuyul, tidak memakai pakaian" timpal Aminah.

"Segera kenakan pakaianmu, matahari sudah terasa semakin menyengat." sambungnya.

"Iya Mak, tapi?"

"Apa ?"

"Maknyak kok kelihatan" canda Qohar sembari jari telunjuknya menunjuk lurus ke arah neneknya.

"Kelihatan apanya?" tanyanya dengan memperhatikan tubuhnya dari atas hingga ke bawah.

"Itu...?" kembali ujung jari telunjuknya menunjuk lurus.

"Apanya cucuku?" kali ini pertanyaannya semakin bertambah geram.

"Kelihatan matanya." jawabnya kemudian dengan nada santai.

"Ooo...dassar cucu kurang ajar!" dimuntahkannya rasa kesal itu lalu tersenyum cukup lama.

Aminah hanya bisa menelan ludah, berusaha menyimpan kekesalannya. Sementara Qohar terdiam sejenak seperti patung sembari meringis manja. Sebuah kemenangan telah diraihnya, satu upaya untuk menunjukkan jati dirinya sebagai cucu seorang Aminah, perempuan tahan banting yang senantiasa menantang takdir dan tidak ingin menyerah kepada nasib. Demikian siang itu Qohar tiba-tiba seperti menemukan senjata pamungkas untuk mengalahkan neneknya. Aminah sendiri mengakui kekalahannya, ia kesulitan mencari kata-kata ampuh untuk mengimbangi dan mengalahkan kata-kata cucunya. Betapapun akhirnya, Aminah berhenti pada satu titik sebuah kepuasan meski terasa menjengkelkan.

Surprise

Tiba-tiba bumi dilipat

Lautan manusia mengambang diliputi ketakutan

Kemana kuharus berlari dan berlindung

Ujung dunia manakah yang tersisa

Dahulu diriku tiada

Dan pasti kan tiada

Tapi aku punya rasa

Rasa cintaku pada sang cipta

Dan hanya ridlonya

Kuharapkan senantiasa.

Semoga pintu surga kan terbuka

Matahari telah merangkak naik hingga sepenggalah ketinggiannya, biasanya Qohar memohon diri untuk pulang terlebih dahulu, tapi tidak di pagi itu. Dari kejauhan terdengar suara Doni dan Amar memanggilnya di gubuk sawah tetangga. Mereka melambaikan tangan, mengajak untuk bergabung. Qohar lalu memohon diri ikut teman-teman kehutan Jati milik Pak Haji Badawi.

"Maknyak, aku ke hutan !" pinta Qohar memohon ijin berpetualang ke hutan jati.

"Iya, hati-hati." ucap Aminah berpesan.

Di dalam hutan jati banyak ditemui berbagai jenis pepohonan lain selain hutan jati. Di tengah-tengah dan disepanjang pinggiran hutan Jati berjajar pohon mangga liar, jengkol, dan jambu Monyet. Sayangnya Hutan itu telah lama telantar ditinggal pergi pemiliknya ke Kota. Hanya sekali dua kali dalam setahun dikunjunginya. Sementara di kanan kiri hutan jati hanya tanah kosong yang banyak ditumbuhi ilalang dan semak-semak. Terkadang orang-orang kampung ke hutan jati untuk sekedar mencari kayu atau mencari buah Jambu dan Jengkol.

Di dalam hutan, Qohar dan teman-teman berlari-larian, bermain petak umpet dan bersenandung Ria.

Gundul-gundul pacul-cul gembelengan.

Nyunggi1-nyunggi wakul2-kul gelelengan.

Wakul ngglempang3 segane dadi sak ratan

Wakul ngglempang segane dadi sak ratan.

Seorang anak berkepala pelontos berjalan dengan sempoyongan.

Membawa wakul dengan tidak ada keseimbangan.

Wakul tumpah nasinya berceceran di sepanjang jalan.4

Udara di dalam hutan begitu dingin. Qohar memandangi langit-langit hutan yang senantiasa menghadang percikan sinar mentari. Setidaknya Qohar bisa mengingat kembali sepenuhnya, kata-kata neneknya beberapa hari yang lalu, dan semuanya memang benar adanya. Tidak ada siang ataupun malam di dalam hutan jati melainkan hanya ada temaram.

Di dalam hutan suasana siang hari tak ubahnya seperti pada malam hari. Terasa mencekam apabila tanpa terdengar suara ayam-ayam hutan berkokok, serta burung-burung berkicau dan jerit lirih binatang-binatang kecil lainnya. Tetapi kesan teduh, angker dan sejenisnya tak terbayang sama sekali dibenak anak-anak kecil itu. Di dalam hutan itu berjajar pohon-pohon besar penuh daun-daun kering yang menebal dan terus bertambah, sampai tiba masanya musim penghujan. Lambat laun dedaunan kering itu menjadi humus, membaur kedalam tanah.

Meski panas terik matahari begitu panas, tidak seberkas sinar pun yang berhasil menerobos diantara lebatnya dedaunan. Dengan hembusan angin sepoi-sepoi, menjadikannya adem sehingga mereka betah berlama-lama bermain di dalamnya.

Lama-lama rasa bosan kian merasuk di antara teman-temannya, apalagi Amar yang berbadan gendut dan mempunyai kebiasaan ngorok semenjak kecil itu sudah mengajukan beberapa syarat. Pada syarat-syarat tertentu yang diajukan, secara khusus ia bahkan akan memboikot permainan petak umpet apabila batas waktu yang ditentukan tidak juga dipatuhi. Ada satu hal unik dari obesitas yang mendera Amar, ketika masih kecil ia sangat kurus. 

Suatu hari Amar yang kurus kering itu pulang dari mengaji Alquran di Musholla, karena didera rasa haus, dengan serampangan ia meminum sebungkus cairan berwarna kuning di atas meja yang disangkanya teh manis. Rupanya sebungkus cairan berwarna kuning itu adalah minyak goreng seperempat liter yang diminumnya sekaligus. Ibunya memang sudah biasa mendapatkan bungkusan teh manis dalam plastik sehabis dari pengajian, baik itu pengajian senenan, selasanan, maupun rebonan. Aneh memang, tetapi atas karunia Tuhan pelan-pelan Amar yang kurus kering itu bobotnya bertambah dari hari ke hari.

Selesai bermain petak umpet mereka akhirnya pulang. Dalam perjalanan pulang, Doni yang sebelah matanya berwarna putih dan tidak bisa melihat itu menangkap suatu keanehan. Tiba-tiba saja banyak anak-anak ayam hutan yang melintas di depannya, tetapi urung ditangkap, karena anak-anak ayam hutan itu lari kedalam semak-semak berduri. Anehnya, anak-anak ayam itu melintas melawan arah pada jalur setapak yang dilaluinya, tanpa diketahui teman-temannya. Sesuatu hal ganjil berbau aura mistis, tetapi Doni sengaja merahasiakannya karena dirinya khawatir. Ia ingin menceritakan kejadian aneh itu setelah sampai di rumah.

Kali ini mereka bertiga melewati perkebunan singkong yang luas, tidak seperti biasanya yang melalui jalur setapak. Qohar dan teman-teman memotong jalan pulang dengan jalan pintas menuju kampung. Ia sengaja pulang tanpa mampir ke sawah untuk menemui neneknya memohon diri.

Lama tidak kunjung kembali, Aminah mulai waswas. Pikiranya mulai dihinggapi perasaan khawatir. Ia menduga, telah terjadi apa-apa pada cucunya. Apalagi setahun yang lalu masih teringat segar dalam ingatannya, Wak Aryo tetangganya hilang tanpa diketahui sebabnya, sewaktu mencari kayu di hutan jati. Hanya sepikul kayu waktu itu yang didapatinya, beberapa hari kemudian baru ditemukan jasadnya tanpa kepala. Jasad Wak Aryo tanpa kepala itu ditemukan, tepat di atas tumpukan ranting-ranting kayu jati yang mirip sebuah sarang burung raksasa. Maka tak heran, meski tak ada yang menakut-nakuti, rasa khawatir dan takut kehilangan cucu terus menerus membayanginya.

"Rasanya aku belum siap melepas cucuku. Aku harus tahu keadaannya sebelum semuanya menjadi bubur." pikir Aminah dalam hati.

Dilaluinya setapak demi setapak menuju hutan jati dengan agak tergesa-gesa. Kekhawatirannya semakin bertambah ketika di dalam hutan itu tak dijumpai sama sekali seorangpun, meski telah menyisirnya hingga ke ujung hutan. Rasa-rasanya tak satupun jalan setapak yang luput dari penyisiran yang dilaluinya. Rasa lelah dan letih tiada lagi terasa, sementara kedua bola matanya tetap memperhatikan sekitar hutan jati tanpa jemu. Dari kedua bibirnya yang telah mengerut tidak henti-hentinya mengadu kepada Yang Kuasa.

Yaa Allah Gusti. Dimanakah keberadaan cucuku. Astaghfirullaahal adziim. Ampunilah dosa-dosa hambamu ini Gusti. Hanya kepadamulah ku memohon ampun. Ya Allah Yaa Rabbi. Bukakanlah pintu maaf bagi hambamu yang nista ini Yaa Allah.

Siang itu keresahan hatinya ditumpahkan. Ia berjanji untuk selalu ta'at dan senantiasa menjauhi larangan-larangannya.

Usai mengadu kepada Yang Kuasa, Aminah seperti mendapatkan ketenangan. Ia meyakini jika cucunya telah pulang terlebih dahulu bersama teman-temannya. Dengan berat hati ia langkahkan kakinya kembali ke sawah. Siapa tahu Qohar mencarinya di sawah, begitu pikirnya dalam hati. Ketika telah melangkahkan kakinya beberapa langkah, Aminah seperti melihat seorang kakek berjubah putih tak jauh dari tempatnya berdiri. 

Awalnya bulu kuduk Aminah merinding begitu melihat seorang kakek berjubah putih, tanpa memperlihatkan mukanya, kakek berjubah putih itu hanya terlihat jubah dan punggungnya. Tetapi setelah terlihat menoleh dan menyiratkan senyum simpulnya, rasa takut itu mencair menjadi suasana yang penuh kehangatan. Tanpa sepatah kata terlebih dahulu Kakek berjubah putih itu lalu memberi petuah

"pulanglah!".

Hasrat hati sebenarnya ingin mengutarakan sesuatu hal, tetapi mulutnya seolah terkunci rapat-rapat, terasa berat untuk mengucapkan sebuah kata-kata. Di depan mata kepalanya sendiri kakek berjubah putih itu lalu menghilang sedemikian rupa. Aminah sempat kaget, bathinnya tersentak tetapi tiba-tiba ketenangan seolah mendiami jiwanya.  Akhirnya Aminah pulang dengan memendam beribu tanda tanya. Seakan ia tidak percaya dengan peristiwa yang baru saja terjadi. Ia seperti berada dalam kisaran dunia mimpi, padahal mestinya ia tidak perlu takut meski hanya menanyakan sesuatu.

Di teras rumah Aminah mendapati Qohar tengah menenteng sepiring nasi. Dengan nada menggerutu Aminah ngomel dari kamarnya sembari melepas satu per satu bajunya. Hendak mandi untuk sekedar melepas panas dan gerah.

"Masih ingat nasi.".

"Tidak, saya ingat piring." jawabnya serampangan.

"Kenapa tidak dimakan saja piringnya biar kenyang," timpalnya seperti menantang Qohar sambil menahan senyum.

"Iya, nanti," ucapnya enteng sambil cengar-cengir.

"Kalau makan harus dihabiskan!" Aminah memperingatkan lalu mengambil ember hendak mencuci pakaian.

Setelah mencuci, Aminah memanggil Qohar dengan nada tinggi.

"Qohar! sini kamu!"

Diambilnya sapu lidi lalu dipukulkan ke tubuhnya dengan keras. Sebagai bentuk hukuman demi kedisiplinan dan kemandirian, karena sehabis makan tidak mencuci piringnya.

"Kenapa piringnya tidak kamu cuci?"

"Lupa Mak!"

"Apa? Ucapkan sekali lagi!"

Aminah kali ini lebih tegas dari biasanya karena itu adalah sebuah bentuk rasa sayang yang tulus darinya. Seandainya rasa sayang yang tulus itu telah lenyap dari dirinya maka cucu semata wayangnya akan dibiarkan begitu saja menjadi anak manusia yang liar dan hidup tanpa aturan. Sementara Qohar hanya terdiam membisu, tak terucap sepatah katapun dari mulutnya, lalu tak lama kemudian ia mengucapkan beberapa patah kata.

"Maknyak! Aku pergi." ucapnya datar.

"Kemana?"

"Main.. "

"Ingat! kalau main jangan nakal jangan suka ngerjain teman dan jangan lupa ingat waktu." begitulah pesan itu sering terucap dari bibir perempuan tua berambut perak itu, setiap kali Qohar akan main ke rumah teman atau disaat-saat akan pergi tanpa dampingan darinya.

Tanpa sepengetahuannya, Qohar main ke rumah Faiz, kedua orang tua serta adiknya pergi kondangan ke rumah saudara di luar desa, menghadiri acara perkawinan kang Badrun yang terbilang masih kerabat dekatnya, sebuah kebetulan. Sementara Faiz tidak di ajaknya supaya jaga rumah. Jarak rumah Faiz dengan rumah Qohar tidaklah jauh, hanya dibatasi tiga bangunan rumah dan beberapa petak kebun pekarangan. Kepada Faiz, Qohar menuturkan jika dirinya telah mendapat ijin dari neneknya, dengan tujuan supaya di ijinkan untuk tinggal dan menginap semalam. Bak di sodori  ang, Faiz tak bisa menolak karena dirinya memang kesepian dan kebetulan tanpa dikomando, teman itu hadir dengan menawarkan diri.

Sore itu Qohar melakukan aksi nekat, ia tidak memberitahukan perihal keberadaannya. Ia pikir neneknya sudah tidak mencarinya lagi, karena baru saja dimarahinya. Sebenarnya di dalam hatinya berkecamuk antara berterus terang mengenai keberadaannya atau tidak sama sekali. Ia seperti kesulitan membohongi diri sendiri, hati kecilnya yang masih bening sebening embun di pagi hari itu terus bergejolak, mendesak agar berterus terang dan jujur perihal dimana keberadaannya sekarang. Supaya tidak membuat neneknya gusar dan gundah diliputi tanda tanya. 

Tapi benih-benih nafsu agaknya terus membiak, menyatu dan menguasai akal beserta hati nuraninya. Rasa khawatir lambat laun kian tergerus dengan sendirinya karena terobati dengan kehangatan bercengkrama, guyonan diantara keduanya.

Kekhawatiran rupanya tak hanya berpihak pada Qohar semata, begitu pula pada diri Aminah. Tidak biasanya di waktu menjelang maghrib Qohar masih di luar rumah. Biasanya di waktu-waktu seperti itu Qohar sudah mandi dan terlihat rapi. Menunggu saat-saat adzan maghrib. Menjalankan sholat lalu pergi mengaji ke Musholla, tapi sore itu tidak.

Setiap kali selesai waktu isya'Aminah terkadang menunggui dan menjemputnya pulang. Walau Aminah telah ringkih tapi tidak  menyurutkan semangatnya untuk tetap setia menjemputnya dari acara mengaji. Hanya Qohar satu-satunya pengganti suami dan anak-anaknya untuk tempat berbagi dan bercengkerama.

Menjelang petang Aminah duduk di teras depan dengan tatapan mata kosong, hatinya bergejolak dan bertanya-tanya lalu mencoba mengingat perkataannya tempo hari. Mungkinkah perkataannya sanggup membuat hati Qohar yang masih bening sebening embun di pagi hari itu terluka?

Kembali Aminah merenungi nasib dan perjalanan hidup cucu satu-satunya itu. Sejak kecil tumbuh dan berkembang tanpa asuhan kedua orang tuanya, hanya dirinya satu-satunya orang yang selama ini menjadi tumpuan hidup dengan berbagai keluh kesahnya. Walau bagaimanapun belaian kasih sayang darinya akan tetap dibutuhkan.

Adzan maghrib telah berkumandang dengan merdunya, kekhawatiran Aminah akan keberadaan Qohar semakin merapat di benaknya. Perasaan takut menghinggapi pikirannya, menunggu dan terus menunggu hingga gerah lalu kemudian mencoba berikhtiar menanyai para tetangga satu persatu tetapi hasilnya nihil, dari keterangan para tetangga tidak juga ia dapati jawaban pasti mengenai keberadaan dan keadaannya.

"Nyari siapa Mbok ?" tanya karti, tetangga sebelah yang hendak pergi ke Musholla untuk menunaikan  ibadah  sholat  maghrib.

"Nyari cucuku, gini hari kok belum juga pulang. Apa kamu melihat cucuku?"

"Aku tidak melihatnya Mbok. Aku baru saja pulang dari rumah mertua" jawab Karti.

"Kalau lihat Qohar tolong suruh pulang ya?" pinta Aminah memelas.

"Iya Mbok!"

"Kok maghrib-maghrib baru nyari Mbok? tidak tadi sore." sergah Mini yang juga hendak ke Musholla bersama Karti, seakan ia ingin menyalahkannya.

"Saya kira ya akan pulang seperti biasanya, tapi setelah ku tunggu sampai maghrib kok masih juga belum pulang, bikin pegal hatiku saja." katanya menggerutu sambil ngeloyor pergi meninggalkannya.

Aminah lalu pergi ke rumah Pak RT meminta pertolongan. Belum kelar ke rumah Pak RT hujan sudah mulai turun setelah sebelumnya langit mendung memayungi seluruh perkampungan. Aminah malam itu mengakhiri pencarian karena sepertinya hujan akan turun lebat dengan ditandai datangnya angin kencang dan suara gemuruh disertai petir yang terus menyambar.

Rasa khawatir dan cemas bercampur menjadi satu. Malam itu Aminah mengambil air wudlu lalu melaksanakan sholat-sholat sunnah, duduk bersimpuh memohon ampunan kepada Yang Kuasa. Dalam lamunan, terpikir olehnya jujugan saudaranya satu persatu. Ipar, sepupu, sampai kemenakan. Jika tidak ada aral melintang, besok pagi ia akan berkunjung ke rumah saudara-saudaranya, siapa tahu Qohar menginap di rumah salah satu saudaranya.

Aminah lalu ke dapur untuk makan malam. Tetapi malam itu sesuap nasipun tidak bisa ia telan, pikirannya terus teringat cucu satu-satunya. Tidak ada nafsu makan, tidak ada gairah hidup dan tidak ada cerita malam itu.

Ditengah malam kedua orang tua Faiz pulang dari kondangan. Hingga tiga kali mengucap salam, Faiz baru terbangun, ia tertidur pulas sehabis bermain semalaman dengan Qohar. Sebenarnya ketika kedua orang tuanya mengucapkan salam yang pertama telah terdengar oleh Qohar tetapi malam itu ia tidak berani membuka pintu,Faiz lalu terbangun dan membukakan pintu.

"Kok lama sekali?" tanya ayahnya menggerutu.

"Cari gembok." jawabnya beralasan.

"Biasanya memang di lemari kan?"

"Tidak ada, tadi gembok itu kutemukan di atas meja makan."

"Lho Qohar kok disini. Apa tidak dicari nenekmu?" tanya Ibunya  pada Qohar begitu pintunya terbuka.

"Tidak kok Budhe." jawab Qohar membela diri.

"Yo wis. Ini berkat1nya dimakan! Di dalam ada bolunya sama pisang." perintahnya pada Faiz dan Qohar. Selesai makan Qohar memohon diri.

"Saya pulang dulu ya Pakdhe?"  pintanya setelah mencuci kedua tangannya.

"Jangan! sudah tengah malam, tidur di sini saja sama Faiz, nanti pagi saja pulangnya, di luar masih gerimis." orang tua Faiz melarangnya pulang, rencana pulang pun urung dilakukannya. Malam itu Qohar tidur di rumah Faiz.

Saat shubuh menjelang, terdengar suara kokok ayam bersaut-sautan dari rumah ke rumah seperti terdengar irama yang indah. Menjadi suatu pertanda akan datangnya fajar.  Mengulang siklus, matahari kembali memercikkan sinar merahnya di ufuk timur, awan menumpuk membentuk sebuah formasi keemasan. Memperlihatkan keindahannya lalu menjelma menjadi awan putih dan terciptalah pagi. Harmoni alam yang senantiasa memamerkan sayap-sayap keagungan Tuhan, tak pernah ada yang mampu menandinginya. Begitu bangun tidur Qohar segera pamit pulang tanpa mencuci muka terlebih dahulu.

Di pagi buta Aminah telah menata buah pisang yang akan dibawa sebagai buah tangan untuk saudaranya, kang Imran. Ia ingin meminta tolong agar mencaritahu keberadaan cucunya. Belum kelar menata pisangnya terdengar suara ketukan pintu. Lalu tak lama kemudian di iringi salam.

"Assalamualaikum.."

"Waalaikum salam.."

Oh ternyata....

"Kamu too..! tak kira siapa, dari mana saja kamu? Kenapa tidak bilang kalau tidak pulang? Masih ingat rumah! Kamu kira Maknyak tidak mencarimu, jangan sampai diulangi lagi ?" kata-kata Aminah nerocos begitu saja.

Tanpa sepatah kata, Qohar berjalan menuju kamarnya memperhatikan kura-kuranya yang terlihat lesu. Seakan-akan memahami apa yang telah terjadi pada dirinya. Sambil terus mengomelinya Aminah mengikutinya dari belakang lalu memerintah Qohar seolah-olah sebagai ganjaran baginya.

"Dari tadi sore Maknyak tidak ngeliwet2 gara-gara memikirkanmu. Sekarang  kamu kupas rebungnya juga sekalian kangkungnya dipotong-potong! Maknyak mau belanja dulu ke warung membeli keperluan dapur.

Sambil berbelanja Aminah mampir kerumah tetangga. Sekedar memberitahukan perihal cucunya yang baru saja pulang. Pagi itu hatinya lega karena orang yang telah dicarinya telah kembali.

Pak Amin bersama A kwan Asisten pribadi Pak Yusuf Chen Lau serta Pak Puji sopir pribadinya datang memenuhi janjinya, menyambangi rumah Aminah untuk melunasi pembayaran tanah kavling dan mengurus kepemilikannya serta surat-surat Masalah

Sekumpulan manusia

Tersiksa antara hidup dan mati

Hilang arah dan tujuan

Walau sepanjang hayat

Bersujud bertahun-tahun

Tapi padanya

Kedengkian menghujam

Panjangkan urusan

Ia akan remuk redam

Dalam api yang terus menyala

Pagi itu Aminah seperti biasa, meninggalkan rumahnya setelah sarapan. Tetapi ia tidak pergi ke ladang seperti yang biasa dilakukannya. Namun justru ia menuju ke kebun pisang sambil membawa parang dan cangkul. Pinggangnya terasa nyeri, tidak enak badan. Ia pikir dengan pergi ke kebun pisang, rasa nyeri yang dideritanya berangsur-angsur sembuh, dengan tempatnya yang teduh dan tidak terlalu panas. Apalagi matahari, sang bola api raksasa telah merangkak mendaki hingga sepenggalah ketinggiannya.

Di kebun telah ada shobari sedang memanen pisang. Tak seperti biasanya, pagi itu shobari tak bertegur sapa dengannya. Dari raut muka dan sorot matanya terlihat seperti ada sesuatu yang ingin diutarakannya. Namun Ia hanya menggerutu menahan amarah. Sebagai Orang tua, Aminah berusaha mengalah dengan mengawali sebuah pembicaraan.

"Pisangnya sudah tua Shob?" tanpa basa-basi Aminah menyapanya.

"Mau tua mau muda bukan urusanmu Mbok! memang apa hak Simbok melarang-larang!" balasnya seperti sengatan kalajengking. Dengan air muka memerah seperti hendak mengajak perang. Lelaki yang berjerawat hampir di seluruh punggungnya itu ingin menguasai tanah yang belum selesai dibukukan.

"Aku tidak melarang, kalau perlu ambil semua pisangnya!" ucapnya dengan hati dongkol. Hatinya serasa teriris kala terdengar perkataan Shobari yang kasar, kata-kata itu telah menghujam tepat di hatinya sehingga berdarah dan meninggalkan luka, luka yang tidak mudah untuk disembuhkan. Sambil menahan amarah Aminah pergi meninggalkannya.

Tak biasanya ia mengalah begitu saja tanpa suatu alasan yang jelas. Tapi siang itu Aminah yang setegar karang itu hanya bisa mengalah dan menjerit sakit dalam bathin, lalu ditumpahkannya kesedihan itu di rumah. Qohar yang tak tahu masalahnya ikut sedih kala melihatnya.

Aminah adalah perempuan biasa yang gemar bersilaturahmi, namun bukan berarti ia hidup tanpa suatu rintangan. Ada saja rasa dengki dari sebagian tetangga tanpa diketahui sebabnya. Tetapi ia berusaha mengalah dan menempatkan dirinya sebagai orang tua yang lemah. Ia lebih memilih menangis ketimbang beradu otot atau perang mulut apabila terjadi kisruh dengan tetangga. Tetapi tidak demikian halnya, apabila menghadapi masalah dengan orang yang tidak begitu dikenalnya dengan akrab.

Pernah suatu hari, Aminah berhadapan dan perang mulut dengan Pak Taufik, seorang ladu. Masalahnya, jatah pengairan belum selesai dan hanya tinggal sekitar seperempatnya, namun Pak Taufik mengklaim telah selesai dan memutus mata rantai aliran air. Kontan saja Aminah tak terima, diacungkannya parang serta sebatang patahan pohon singkong. Dengan bersuara lantang ia meminta jatah airnya dikembalikan, tetapi Pak Taufik tetap bergeming tidak mempedulikan kemarahannya. Pak Taufik malah justru berbalik mengancam, akan membabat habis seluruh tanaman padi dan sayurannya.

Segagah apapun Aminah, ia juga  seorang manusia yang punya hati sanubari. Seorang perempuan yang telah renta. Apabila sampai terjatuh dari tebing yang tidak terlalu tinggi, maka akan mengakibatkannya menjadi fatal. Karena jaringan tulang yang tersusun dalam tubuhnya sudah terlalu tua. Ia tak mungkin berbuat senekat itu, Pak Taufik tahu betul siapa itu Aminah, watak dan tabiat yang sebenarnya. Pak Taufik tak takut sama sekali dengan bentuk perlawanan darinya. Lelaki yang selalu berpenampilan necis, berkalung dan perutnya membuncit itu, telah terbiasa menghadapi orang-orang yang dianggapnya membandel macam Aminah.

Mengetahui gertak sambalnya tak digubris, Aminah tak habis akal. Dilucutinya Pakaian yang menempel di badannya satu persatu, hingga kemudian terlihat bertelanjang hingga separuh badannya. Tanpa banyak kata Pak Taufik segera pergi meninggalkannya. Aksi gilanya itu sempat membuat pasang-pasang mata ibu-ibu buruh tandur disawah tetangga terbelalak, dengan mulut menganga. Tetapi mereka hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan semua itu.

Masya Allah......

Begitu suasana terasa aman, lalu dikenakan kembali Pakaiannya. Aminah tak peduli dengan para tetangga sawah yang melihatnya. Kemudian dengan cekatan ia berlalu pergi menuju sawah Pak Taufik, mengambil jatah pengairan lalu mengalirkan ke sawahnya. Peristiwa itu menjadi headline berita para ibu-ibu di pematang sawah beberapa hari lamanya.

Kebun yang digarap Shobari itu adalah milik Aminah. Puluhan tahun yang lalu, lahan perkebunannya di beberapa tempat tidak terawat dengan baik, karena terlalu banyak garapan. Sebagian lagi dibiarkannya tak tergarap, salah satunya adalah lahan yang dirawat Shobari. Lahan itu kini ditanami pohon pisang, nenas dan beberapa pohon jambu. Dahulu tanah itu diberikan pada Wak Rini,ibunya dengan perjanjian lisan. Sebuah perjanjian yang tidak tertulis. Sesuatu hal yang lumrah pada zamannya, mengingat pada masa itu tak semua orang bisa mengerti dan memahami baca dan tulis.

Wak Rini keadaannya memprihatinkan kala itu. Hidupnya serba kekurangan, hingga kemudian mengundang rasa simpati. Ia tidak tega melihat kenyataan pahit di depan mata, lalu disuruhlah Wak Rini menggarap salah satu lahannya, seumur hidup. Dengan catatan, apabila Tuhan lebih dulu mengambil nyawanya, maka tanah itu menjadi milik Wak Rini. Sebaliknya, apabila Wak Rini diambil nyawanya terlebih dahulu oleh yang kuasa, maka tanah itu kembali menjadi miliknya. Tetapi akhirnya Wak Rini telah lebih dulu dipanggil ke haribaan Ilahi. Itu artinya tanah pekarangan jatuh ke tangan Aminah dengan sendirinya. Atas pertimbangannya, maka hasil kebun boleh dipanen anak-anaknya, dengan cara dibagi sepertiga. Awalnya Aminah memberi pilihan satu per dua, namun anak-anaknya tidak menyetujuinya, lalu mengajukan usul agar dibagi satu pertiga. Dua bagian untuk anak-anak Wak Rini dan satu bagian untuknya. Atas usulan itu Aminah menyetujuinya, tetapi sifat serakah yang telah tertanam dalam setiap diri manusia tiba-tiba menyeruak ke permukaan, bermetamorfosa menjadi wajah yang penuh kedengkian dan beringas.

Tak ingin dirundung sedih yang berlarut-larut karena disapa Shobari dengan kata-kata yang tidak sepantasnya, Aminah lalu menuju ke kebun. Ia menilik pohon purba, pohon sawo. Diperhatikannya dua pohon sawo yang berjajar itu penuh dengan buah. Sebagian telah terlihat tua dan sebagian lagi masih terlihat muda. Aminah lalu memanggil Qohar dengan suara datar, ia menyuruh diambilkan horok.

"Haar ...Qohar!"

"Iya, Mak?"

"Maknyak ambilkan horok1 di samping rumah"

"Iya Maknyak, tunggu sebentar"

Kedua pohon sawo itu telah berdiri di tempat yang sama, semenjak ratusan tahun yang lalu. Ketika Aminah belum terlahir, kedua pohon itu telah menghidupi banyak orang, termasuk para pejuang pribumi. Menjadi saksi bisu kejayaan kerajaan kalingga, yang begitu masyhur di semenanjung pegunungan Muria kala itu. Dari cerita orang-orang terdahulu, kedua pohon sawo itu adalah sebuah tetenger yang menandakan kekuasaan kerajaan kalingga. Maka tak heran banyak pohon sawo ditemukan di kaki gunung Muria, sebagai pertanda menjadi daerah kekuasaannya.

Sawo-sawo itu telah terkumpul sebanyak dua ember, lalu disortir terlebih dahulu kemudian dicuci bersih dan dijemur hingga layu. Diperlukan serangkaian panjang mengiringi proses masa kematangannya. Hanya beberapa buah yang biasanya matang di pohon. Begitu dicecap terasa manis penuh air.

Alhamdulillah...

Rasa syukur yang tulus kepada Tuhan, mampu mengalahkan ego yang seringkali menguasai manusia. Melunakkan sifat syirik, dengki, hasud dan kawanannya. Entah telah berapa kali Aminah menjadi tempat pergunjingan para tetangga, mengenai ulahnya yang dinilai melanggar kaidah hukum agama. Seringkali selentingan itu terdengar langsung ke telinganya dan seringkali pula rasa dengki itu sengaja dihembuskan ke telinga cucunya.

Di atas amben pohon sawo, Aminah beristirahat. Hanya sebentar ia menahan kantuk lalu tertidur. Qohar sesekali memperhatikan burung pipit yang tengah membangun sarangnya disalah satu ranting pohon sawo. Satu persatu akar bambu atau rumput kering diangkut melalui paruhnya lalu ditata sedemikian rupa.  Sarang burung pipit itu begitu bagus menyerupai sebuah gua. Sebuah maha karya yang sempurna, hanya dibangunnya dalam hitungan hari. 

Sarang-sarang burung pipit di atas ranting pohon sawo semakin banyak pada saat memasuki musim kemarau. Jika telah tiba masanya induk burung pipit akan mengerami telur-telurnya. Induk burung pipit akan melaksanakan ritual bertapa selama beberapa hari. Selama masa bertapa itulah induk burung pipit hanya mengerami telur-telurnya tanpa aktivitas apapun. Induk burung pipit hanya sesekali mengintip dunia luar dari dalam sarangnya yang lebih menyerupai sebuah gua. Tidak hanya sekali dua kali Qohar memelihara anakan burung pipit, tetapi usahanya itu selalu berakhir pada kematian. Mulai saat itu, Aminah melarangnya mengambil sarang burung pipit di atas ranting pohon sawo.

Aminah masih tertidur di atas amben, dibawah pohon sawo. Qohar pergi menuju sebuah kebun kopi melewati semak-semak sejauh puluhan meter. Beberapa meter dari kebun kopi terdapat dua pohon jambu biji liar. Dipanjatnya pohon itu dengan hati-hati.  Hampir saja ia terjatuh jika tidak berpegangan pada ranting erat-erat.

 Satu persatu jambu itu digayutnya hingga tak mampu lagi tangan kiri menggenggamnya. Di bawah pohon jambu itu ia terduduk beberapa menit lamanya, meregangkan otot-otot tangan dan kaki yang masih terasa gemetar. Dari kulit luarnya, jambu-jambu itu terlihat agak kuning oleh sebab pantulan sinar matahari, tetapi begitu dimakan masih terasa keras. 

Ternyata masih mentah, belum sepenuhnya matang. Mungkin masih memerlukan waktu satu minggu lagi jambu-jambu itu masak di pohon. Dibuanglah jambu-jambu yang masih mentah itu ke kolam tak jauh dari pohon jambu. Kolam itu lebih mirip kubangan yang tidak begitu dalam, berisi lumpur bekas galian untuk menambang pasir. Kembali ia berpetualang mencari sesuatu yang bisa menyumpal mulutnya.

Di musim kemarau buah-buahan liar mulai sulit didapatkan. Hanya tiga tempat yang selama ini menjadi jujugannya. Pertama di bekas reruntuhan asrama pegawai kantor kereta api. Di sana banyak dijumpai pohon jambu biji liar dan sebuah pohon jambu air yang sudah tidak terawat, tetapi sekarang telah habis karena terus-terusan dijarah oleh anak-anak muda. Yang kedua di dekat perkebunan tebu, di sana banyak ditemui pohon salam dan juwet, tetapi sekarang buahnya juga sudah habis karena telah melewati musim. Dan yang terakhir disebuah kebun kopi yang tidak bertuan, dengan dua pohon jambu biji didekatnya. 

Jika semua buah-buahan yang dianggap liar itu habis, maka hanya satu yang masih tetap bertahan yaitu buah kopi. Tak banyak yang bisa diharapkan dari buah kopi, selain sebagai manisan penggoyang lidah. Buah itu sama sekali tidak bisa mengganjal perut ketika sedang lapar. Hanya dicecap di bagian kulit dalamnya yang terasa manis lalu bijinya mesti dibuang karena keras, lagipula tidak ada daging buah sama sekali selain daging buah yang teramat tipis yang masih menempel. Lain halnya dengan buah juwet yang mempunyai ketebalan daging yang menyatu dalam biji, serta diperkaya dengan air yang terkandung di dalamnya. rasanya manis dan sedikit sepat.

Di atas ranting pohon kopi, Qohar bertengger sambil sesekali menggaet dahannya yang penuh dengan dompolan buah masak. Dari warnanya cukup mudah membedakan antara yang baru masak dan masak sempurna. Dahan dan ranting kopi yang begitu kuat dan tidak terlalu tinggi itu membuatnya betah berlama-lama tinggal diatasnya, tanpa terbebani perasaan khawatir. 

Lama-lama ia bosan dan merasakan pegal pada giginya. Setumpuk kulit buah kopi telah dihasilkannya, tetapi bukannya perut kenyang yang ia dapatkan, melainkan pegal-pegal di seluruh rahang gigi dan gusi. Sebenarnya beberapa meter dari kebun kopi terdapat perkebunan pohon kelapa yang cukup luas, tetapi bocah kecil seusia Qohar masih terlalu lemah walau hanya sekedar memanjatnya. Kedua tangannya belum terlalu kuat untuk mencengkeram batang pohon kelapa.

Aminah terbangun dari tidurnya, Qohar tidak ada di sampingnya. Dilihatnya kesana kemari tetapi tak kunjung ditemuinya.

"Bocah edan! baru ditinggal tidur sebentar sudah menghilang."

Pada hari selanjutnya, Qohar baru pulang dari sungai, bermain bersama teman-temannya. Rupanya dirumah telah menunggu seorang tamu. Seorang wanita paruh baya berkacamata dan memakai sebuah celana jeans. Di bahunya tergantung sebuah tas bermerek dan ditangannya sebuah handphone dengan layarnya yang lebar, dari penampilannya jelaslah ia dari kalangan orang yang berada. Wanita itu datang bersama seorang pria yang masih menunggu di mobil. Pria yang berkulit kuning dengan mata sipit itu memarkir mobilnya tepat di depan rumah neneknya.

"Wahai bocah kecil siapa namamu?" Wanita itu memulai pembicaraan lalu berdiri dari bale teras dan bersalaman.

"Qohar."

"Apa benar ini rumahnya Aminah?"

"Iya, saya cucunya"

"Kamu cucunya. Sini mendekap Nak"   

"Dimana nenekmu? "

"Masih di sawah,"

"Jangan kau panggil ya? Waktuku tinggal sebentar. Ada beberapa pekerjaan yang harus kuselesaikan hari ini. Sampaikan saja salamku pada nenek ya? bilang saja dari Marsinah. Oh ya kebetulan saya membawa dua handphone. Kamu saya beri yang satu ini ya."  Wanita itu Lalu mengambil charge dari dalam tasnya.

"Terima kasih Bu."ucapnya senang.

"Iya sama-sama. Suatu saat nanti aku akan menghubungimu melalui handphone yang kau bawa itu. Baiklah aku akan pergi." didekapnya Qohar erat-erat.

Handphone pemberian dari Marsinah begitu mewah. Layarnya lebar dengan Desain yang dinamis dengan warna biru cerah. Qohar sama sekali belum pernah melihat handphone semewah itu, apalagi memilikinya. Ia kini seperti dalam kisaran dunia mimpi. Siang itu ia merasa sebagai orang yang paling beruntung di dunia.

Dengan hati-hati diletakkannya handphone itu di atas meja dapur. Ia lupa jika di atas meja itu juga terdapat tempe goreng dan dadar telur di dalam sebuah mangkok. Tanpa diduga sebelumnya seekor kucing mencoba mencuri lauk di dalam mangkok . Begitu Qohar melihatnya, kucing itu melompat keatas lemari dan kakinya menyepak handphone yang baru saja ditaruhnya. Handphone yang baginya terlalu mewah itupun pecah.

Kini rasa sedih dan sesal bersandar padanya. Kegembiraan itu hanya merapat padanya dalam hitungan menit. Hasrat hati ingin sekali menyampaikan kabar gembira itu kepada neneknya, namun terpaksa harus ia urungkan.

Dikumpulkannya serpihan kaca handphone itu lalu dibungkus dalam sebuah plastik kecil. Disimpannya handphone mewah yang telah pecah disebagian layarnya itu kedalam lemari pakaiannya. Ia ingin merahasiakan semua kejadian yang baru saja terjadi. Ia merasa bersalah karena telah menaruhnya di atas meja bukan di lemari pakaiannya. Ia begitu menyayangkan, kenapa semua itu harus terjadi. Ia khawatir jika suatu saat diketahui oleh neneknya. Ia harus bisa merahasiakan ini semua, pikirnya dalam hati. Beruntung waktu itu tidak ada teman atau tetangga yang sedang bermain di rumahnya.

Besok hari senin legi, Aminah hampir lupa jika hari itu adalah hari kematian kang Karta. Biasanya di hari peringatannya dibacakan Tahlil, Lantunan Istighfar dan surat-surat pendek lalu menyuguhkan bubur merah putih dan dibacakan do'a-do'a. Bubur merah putih itu lalu dibagi-bagikan ke tetangga sekitar dengan harapan, orang yang telah meninggal mendapatkan ampunan dan tetap dalam lindungan Tuhan yang Kuasa. Aminah menuju dapur memeriksa bahan-bahan yang kurang. Sesekali tangan kirinya menggaruk-garuk kulit kepala hingga seperti menemukan sesuatu. Persediaan bumbu-bumbu dapur telah menipis, hanya tinggal beberapa cabe, bawang putih, dan kelapa. ia  hendak ke sawah mengambil daun pisang, kunyit dan sayur-sayuran beserta bumbu dapur lainnya. Sebelum berangkat, dilihatnya Qohar tengah bermain senapan angin di dalam kamar.

"Maknyak mau ke sawah, jaga rumah!" perintahnya sambil menyibak tirai pintu kamarnya.

"Aku ikut Mak!" balasnya.

"Kalau ikut jangan lupa tutup pintu!" katanya lagi sembari berpesan.

Dengan terburu disimpannya Senapan angin itu ke dalam laci di bawah lemari, lalu berlari mengejar neneknya.

Di tepi jalan raya mereka berhenti sejenak menunggu jalannya mobil tronton lalu menyeberanginya. Kali ini Aminah tidak menuju ke sawah, tetapi menuju ke sebuah pohon asam jawa ditepi jalan. Aminah mengais sisa-sisa asam tua yang berjatuhan, sementara Qohar lebih memilih memanjat pohonnya. Dahannya yang rimbun dan bercabang-cabang memudahkannya untuk segera memanjatnya.

Dipetiknya beberapa dompolan buah asam yang tengah masak, pikir Qohar dengan mengambil langsung di dahan dan ranting, neneknya tidak perlu susah-susah untuk memulung yang tercecer di tanah. Tanpa diduga sebelumnya, sedompol buah asam yang telah masak dan baru dipetiknya itu jatuh mengenai kepala Aminah, tetapi tidak menimbulkan rasa sakit.

"Aduh! " keluhnya setelah buah asam jatuh mengenai kepalanya.

" Tidak apa-apa kan Mak?"

" Iya, tidak apa-apa."

Pohon asam meski tinggi dan besar tetapi buahnya hanya seukuran jari. Apabila telah masak dan mulai berjatuhan, meski menghujani kepala beribu kali tidak akan menimbulkan rasa sakit ataupun luka yang serius. Tetapi seandainya pohon asam itu berbuah sebesar buah semangka atau sebesar labu, maka orang yang tertimpa akan pingsan dibuatnya, bahkan mungkin bisa mati berdiri karenanya. Tetapi lazimnya pohon yang besar dan tinggi, buahnya tidak sebesar buah semangka ataupun labu. Semua itu adalah suatu bukti keadilan Tuhan, hanya dimengerti dan dipahami oleh orang-orang yang berfikir.

Tanpa disadarinya sebuah mobil berwarna merah silver telah terparkir tak jauh dari pohon asam. Tak seberapa lama kemudian keluar tiga orang laki-laki dari dalam mobil. Mereka lalu menghampiri Aminah yang tengah mengumpulkan buah asam. Mereka memperkenalkan diri. Pertama, Pak Yusuf Chen Lau seorang wakil direktur sebuah perusahaan minyak goreng dan juga pengelola perkebunan kelapa sawit, seorang Chunghoa. Kedua Pak Amin ong gwe, seorang Betawi berdarah Jawa Sunda, menjabat Consultant dan merangkap sebagai wartawan lepas sebuah harian Ibu Kota, dan yang terakhir Afeng, sopir pribadi Pak Yusuf, seorang yang berkaca mata, kurus dan tinggi.

Pak Yusuf dan Pak Amin lalu menanyakan kepada Aminah perihal tanah kosong tak jauh dari pohon asam. Aminah lalu menunjukkan lahan yang tengah mangkrak di dua tempat. Sudah lama kedua lahan yang tak digarap itu dijual oleh pemiliknya, tetapi belum laku terjual. Tempat yang pertama milik Bu Marni tetangga jauhnya. Seorang perempuan paruh baya, keturunan priyayi, trah darah biru. Bu Marni ingin menjual tanah kapling warisan ayahnya untuk membiayai perjalanan ibadah Haji tahun depan. Tanah kapling yang kedua milik Pak Sarwo, rencananya ia akan hijrah ke Lampung membuka usaha warung pecel di sana.

Lahan itu berada di jalur lintas Provinsi, sangat baik untuk pengembangan usaha dengan hasil alamnya yang masih melimpah. Sayangnya oleh orang-orang kampung tanah-tanah itu tidak dikelola dengan baik, tak jarang di beberapa tempat dibiarkan mangkrak tidak tergarap sama sekali. Sedangkan pemiliknya kebanyakan menjadi kaum urban di perkotaan, menjadi buruh kaum borjuis.

Hari telah sore, mentari di ufuk barat telah memberi pertanda sebuah sinyal akan segera membenamkan diri. Aminah menyarankan agar pertemuannya disambung dilain waktu, bertandang ke rumah. Mereka lalu mohon diri dan memberikan sebuah amplop berisi uang sebagai sebuah bentuk rasa terima kasih. Diterimanya amplop itu, lalu dengan terburu Aminah dan cucunya bergegas menuju kebun mengambil daun pisang, memanen cabe, kunyit dan sayur-sayuran.

Langit di bagian barat telah terbentang warna merah keemasan. Matahari seakan-akan tergesa-gesa membenamkan diri. perlahan rembulan memancarkan auranya. Bintang-bintang bermunculan diikuti serbuan kelelawar yang hilir mudik mencari mangsa. Hanya sekumpulan ayam yang petang itu mulai bersantai lalu mencari tempat beristirahat di kandang dan sebagian lagi memilih nangkring di atas ranting pohon mangga di dekat sumur..

Selesai shalat maghrib dan berdzikir Aminah teringat dua hari yang lalu, Wak Sarmah mengajaknya menjenguk Bambang. Bocah kecil seumuran Qohar yang menderita gizi buruk disertai pembengkakan di selangkangan. Ia masih tergolek lemas di atas bale kayu selama beberapa minggu lamanya. Tetangga kampung sebelah.

Selesai shalat Isya'Aminah ke rumah Wak Sarmah, mengajaknya menjenguk Bambang.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam."

"Bagaimana? jadi menjenguk Bambang?"

"Iya. Jadi Mbok." jawab Wak Sarmah sambil ngeloyor ke dalam rumah. " Aku ganti pakaian dulu".

Merekapun berangkat. Aminah malam itu membawa setandan pisang dan sekilo gula merah. Tak ingin ketinggalan, Qohar segera membuntutinya setelah sebelumnya mengunci rumah rapat-rapat.

Aminah tertegun melihat kenyataan. Keadaan rumahnya memprihatinkan, dari setiap dinding bambu yang dipasang terlihat jelas celah-celah yang menganga. Jika celah-celah itu tanpa dilapisi plastik, maka angin malam senantiasa bebas keluar masuk kedalam rumahnya. Aminah dan Wak Sarmah berusaha membesarkan hati dan menghiburnya, sementara Qohar berdiam diri di teras rumah menunggu neneknya pulang. Miris menggambarkan cobaan yang dilakoni Bambang.

Di usianya yang ke tujuh berat badannya terus merosot. Tak jauh beda dengan anak seusia tiga tahun. Perutnya membusung, paru-parunya terlihat melebar dengan lekuk-lekuk tulang yang sangat kentara. Wajahnya pucat, kedua bola matanya cekung dengan keningnya yang semakin kentara jelas akan guratan-guratan daging tipis yang membalut tempurung kepalanya. Jari-jari kaki dan tangannya terlihat seperti kerangka yang bergerak-gerak dengan balutan kulit yang amat tipis setebal kain. Hanya daging tipis yang menghiasi tubuhnya, selebihnya seperti tengkorak yang bergerak-gerak. Di setiap ujung jari-jari kaki kirinya membusuk, membiru dan bernanah. Bambang, demikian orang-orang memanggil bocah malang itu terus-terusan menitikkan air mata apabila keinginannya belum juga terpenuhi. Semisal merasakan sakit disekujur badannya yang ingin dipijat atau di obati. Dari kedua bibirnya yang terlihat kering tanpa sepatah katapun terucap. Seperti ada sesuatu yang ingin dikatakannya namun terasa sulit untuk mengucapkannya. Semenjak seminggu yang lalu mendadak ia tak bisa bicara. Hanya bisa dengan bahasa isyarat, paling jauh hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Dalam dua hari belakangan kesehatannya telah berangsur-angsur membaik setelah ia rutin meminum ramuan mengkudu matang sehabis sarapan. Anjuran itu berasal dari Pak Raju, seorang dukun kampung di desa tetangga. Di rumahnya yang hanya berdinding bambu beratapkan ilalang itu, hanya dihuni berdua Bambang dan kakak perempuannya Handayani yang setia menungguinya. Ayah ibunya telah lama pergi meninggalkannya. Mengadu nasib di Ibu Kota.

Menyaksikan itu semua, Aminah menjerit dalam bathinnya. Kenapa semua ini harus ditimpakan padanya? Tidak adakah orang lain yang lebih mampu dalam menghadapi ujianmu Yaa Tuhan?

Mungkin orang-orang yang berkalang duka dan penderitaan itu akan menemukan kebahagiaannya di Akhirat kelak. Bersanding menjadi manusia pilihan atau mungkin menjadi kekasihnya. Hari telah malam, merekapun pamit pulang dengan membawa sejuta hikmah teriring rasa syukur kepada Tuhan, atas karunia yang telah diberikan selama ini, berupa kesehatan jasmani maupun rohani.

Pagi-pagi sekali Aminah telah selesai menanak bubur merah putih, untuk memperingati hari kematian Kang Karta. Sementara Qohar mempersiapkan daun pisang untuk bahan bungkusan bubur merah putih. Tak lupa jajanan tradisional ikut disertakan dalam bungkusan daun pisang. Selesai mempersiapkan semuanya, Qohar lalu menyambangi rumah teman-temannya kemudian acarapun dimulai. Kali ini acaranya diimami oleh Aminah sendiri. Diawali dengan bacaan Basmalah, Hamdalah lalu Istighfar kemudian Tahlil dan diakhiri doa.

Acara prosesi peringatan kematian kang karta yang digelar sederhana itu telah selesai. Bubur merah putih itupun dibagikan dengan disertai oleh-oleh berupa jajanan tradisional berupa pisang, pepaya dan jeruk sebagai buah tangan. Aminah lalu kembali mengisi rutinitasnya, pergi kesawah bersama Qohar dengan membawa pupuk kompos setengah karung.

Di jalan, dekat pinggir jalan raya anak-anak muda Desa berkerumun menyaksikan arak-arakan rombongan Pak Menteri yang tengah melintas entah kemana. Suara  klakson mobil mulai bersaut-sautan persis suara ambulans. Ditambah suara sirine meraung-raung memekakkan telinga karena saking asingnya. Iring-iringan mobil pengawal Pak Menteri melaju dengan kecepatan tinggi. Sebuah perkampungan yang mulanya sunyi senyap, mendadak penuh dengan gegap gempita euphoria kehidupan. Sekumpulan kambing dan kerbau berlarian seperti ada rasa kaget yang tiba-tiba mendera. Tanpa diduga sebelumnya banyak binatang ternak berhamburan kejalan Raya. Ternak-ternak yang biasa diikat disepanjang pinggiran jalan Raya itu tiba-tiba lepas karena saking takutnya dengan keadaan yang drastis. Orang-orang kampung hanya bisa menyaksikan dengan penuh kedongkolan. Binatang ternak banyak yang luka-luka dan hilang, lari sekencang-kencangnya tak tentu arah. Adapula beberapa anakan ternak yang mati tertabrak mobil pengawal Pak Menteri.

Menyaksikan sandiwara nyata didepan mata hanyalah menyisakan trenyuh. Aminah dan cucunya lalu kembali melanjutkan perjalanan menuju sawah. Memupuk tanaman-tanamannya dengan pupuk kompos setengah karung.

Happy birthday

Sebuah kado ku buka

Buatku nanar melihatnya

Air laut menggulung setinggi gunung

Bumi merekah lalu terpecah

Gunung-gunung beterbangan bagai kapas

Aku menjerit

Ku sembut asmanya

Dalam sebuah mimpi.

Hari-hari berlalu tanpa terasa, seiring berdzikirnya bumi sepanjang waktu. Musim berganti dan zaman selalu berbenah menuju peradaban yang madani. Sebagian insan berlomba-lomba membangun jati dirinya yang seolah-olah hidup untuk selamanya. Musim kemarau telah bergeser dan berganti menjadi musim hujan. Semua mahluk hidup gegap gempita menyambutnya, kerbau, kambing, burung-burung, katak, ikan hingga belut dan cacing tanah. Hamparan luas perkebunan Tebu mulai memamerkan dedaunan yang kian menghijau, pertanda tanah mulai gembur. Luasan rumputan perdu membentang sejauh mata memandang mulai bersemi.

Menyambut datangnya musim hujan, sekumpulan Katak di segenap penjuru merayakan hari kemenangannya, hujan kali pertama. Sekumpulan katak itu tak henti-hentinya bersyukur sembari berdzikir kehadirat Ilahi dengan suaranya yang nyaring. Sedari sore hingga menjelang malam suara-suara itu seolah sambung menyambung tiada jemu. Burung-burung mengeluarkan suaranya yang khas, seperti alunan melodi silih berganti mewarnai kesunyian. Belalang-belalang kecilpun ikut bersambut dengan caranya sendiri. Terbang kesana kemari, lengah dengan musuhnya yang senantiasa sewaktu-waktu datang menerkamnya. Di saat-saat seperti itulah suatu kesempatan bagi kadal untuk segera memangsanya. Tanpa bersiap siaga, tiba-tiba belalang seakan menawarkan diri untuk dijadikan mangsa. Belalang-belalang kecil itu beterbangan persis di depan kadal. Telah menjadi semacam takdir dari yang kuasa, jika petualangan hidup belalang akan berakhir tragis dimangsa kadal. Demikian pula dengan nasib kadal yang harus menyerah pada takdir, ketika berhadapan dengan musang. Burung-burung, Jangkrik, Siput serta sekumpulan ikan dan binatang lainnya tumpah ruah ikut merayakan datangnya musim hujan. Pucuk-pucuk dahan dan ranting pepohonan mulai basah memperlihatkan kesegarannya. Para penggarap sawah di segenap penjuru mulai menggarap kembali lahan sawah yang sebelumnya mangkrak tak terurus karena kekeringan. Benih-benih padi mulai ditebar di bedeng-bedeng yang sebelumnya telah ditata sedemikian rupa.

Pagi itu masih terlihat gelap, suara kokok ayam mulai terdengar bersahut-sahutan, seakan-akan menyuruh si empunya untuk segera membukakan pintu dapur, tempat kandang ayam berada. Usai sholat shubuh Aminah memeriksa dan mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk memperingati hari kelahiran Qohar. Diambilnya beberapa bekas keringat di lehernya meski ia masih tertidur lelap. Sebagai sebuah pra syarat untuk memperingati hari lahirnya. Orang-orang terdahulu mengartikan ritual tersebut sebagai bentuk penyadaran, jika sesuap nasi itu harus didapat melalui jerih payah memeras keringat dan banting tulang demi kesejahteraan hidupnya.

Sejumput daki ditaburkannya ke dalam tungku bakal tempat pembuatan bubur. Tanpa terasa, dari kedua bola matanya yang cekung merembes bulir-bulir air mata. Terkenang saat-saat indah bersama kedua anaknya. Kini mereka tiada disisinya. Walau mereka tiada disisi, namun baginya, mereka ada untuk selama-lamanya. Ingin rasanya Aminah menyusul putrinya ke negeri sakura, tetapi ia tidak tahu dimana keberadaannya dan kepada siapa harus bertanya.

Persediaan kayu bakar di dapur telah menipis,tinggal beberapa ranting. Diambilnya kayu di belakang rumah, ternyata juga sudah menipis, hanya tersisa serpihan kayu-kayu kecil. Tanpa sengaja ia melihat sesuatu benda mirip gundukan batu diantara serpihan kayu, seperti membentuk sebuah formasi sarang. Tanpa pikir panjang ia mengambil ranting kayu kecil lalu mencoba membalikkan benda asing itu. Alangkah terkejutnya ia setelah melihat ada sesuatu benda dibawah gundukan serpihan-serpihan kayu-kayu kecil itu. Ternyata benda asing itu adalah kura-kura seukuran telapak tangan. Mendadak raut mukanya menjadi berbinar-binar, guratan-guratan senyum menghiasi wajahnya.

Seikat serpihan Kayu ditaruhnya di dapur, lalu menuju  ke tempat tidur cucunya. Tak lupa kura-kuranya di ikat dengan benang supaya tidak terlepas, ia hendak membuat kejutan pada cucunya. Benang tipis itupun diikatkan pada kain sprai persis di dekat cucunya. Ia lalu melanjutkan pembuatan buburnya kembali.

Di kegelapan fajar saat jendela masih tertutup rapat, Qohar terperanjat, ada sesuatu benda aneh yang bergerak-gerak di jari kakinya. Ia segera lari kedapur, namun tak ditemukan seseorang yang selama ini menjadi tempat berkeluh kesah. Ia lalu segera keluar dan mendapati neneknya sedang duduk di bangku teras depan. Sedang mengupas kacang sembari melantunkan tembang campursari.

Aku pancen wong seng tuno aksoro.

Ora biso nulis ora biso moco.

Nanging ati iki iseh nduwe roso.

Roso tresno koyo tumrape manungso.

Aku pancen wong cilik ra koyo rojo.

Iso mangan wae aku uwes trimo.

Nanging ati iki isih nduwe roso.

Jero ning bathin sak tenane pingin kondo.

Pupus godhong gedang.

Ajang pincuk saiki wus ra kelingan.

Aku memang orang yang buta aksara.

Tidak bisa menulis  tidak bisa membaca.

Tapi hati ini masih punya rasa.

Rasa cinta seperti manusia kebanyakan.

Aku memang orang kecil bukan orang kaya.

Bisa makan saja aku terima'bersyukur'.

Tapi hati ini masih punya rasa.

Dari hati yang dalam ingin berkata.

Pupus'kuncup' daun pisang.

Piring dedaunan sekarang mulai terlupakan1.

"Maknyak! Kok malah nembang!" gerutunya dengan nada tinggi.

"Ada apa ? Kamu mencariku?" Aminah pura-pura bertanya.

"Apa Maknyak tidak dengar saya panggil-panggil !"

"Aku tak mendengarnya, Apa yang terjadi?" selidiknya berbasa-basi.

"Tidak usah tanya ayo kekamar!" ajak Qohar dengan terburu-buru.

"Ada apa ? Aku mau ke sawah," bantah Aminah.

"Sebentar Mak."

"Ada apa dulu?" tanya Aminah pura-pura  penasaran.

"Ada setan Mak!" ucapnya serius.

"Ooo ..kamu setannya?"

"Serius Mak!"

"Ya sudah nanti kalau ketemu diapakan? dipelihara? Atau disembelih saja."

"Ah .. Maknyak, jangan bercanda!"

"Maknyak serius, "

"Ya sudah ayo kita lihat!" rengek Qohar dengan penuh penasaran dan dihantui rasa takut.

Dibukanya jendela satu-persatu. Kura-kura itu nampak terlihat jelas, namun Qohar tak mengetahui jika kura-kura itu ternyata diberi ikatan benang oleh neneknya supaya tak terlepas dari tempat tidur.

"Itu apa cucuku ?" tanya Aminah sembari menunjuk ke arah kura-kura.

"Itu kan Kura-kura Mak!" selorohnya dengan raut muka berbinar-binar.

"Siapa yang bilang kalau itu setan. Sudah, ayo ditangkap! nanti disembelih," Perintah Aminah sembari menakut-nakutinya.

"Maknyak gemblung apa ? Maknyak kan tahu sendiri kalau aku suka kura-kura,"  dengan wajah menggerutu Qohar meluapkan kekecewaannya.

"Siapa peduli, yang penting disembelih."jawabnya seolah tak ada rasa peduli.

"Ahh, Maknyak! pokoknya jangan!" Ia mencegahnya dengan menutupkan kedua telapak tangannya di atas kura-kura mungilnya itu.

"Yo wis, kalau begitu saya mau ambil pisau!" sahut Aminah menakut-nakuti.

"Maknyak memang gemblung!"

Dengan terharu didekatinya kura-kura mungil itu lalu diambilnya, sementara Aminah menuju ke dapur. Begitu diperhatikan dengan seksama, Qohar terperangah, kaget bercampur heran bukan kepalang. Ternyata salah satu kaki kura-kuranya telah terikat benang. Terpikir di benaknya pasti ada dalang dibalik semua ini. Teringat pesan neneknya dalam suatu kesempatan. Tak ada sesuatu tanpa ada sebab. Terciptanya tulisan pasti ada yang menulis. Begitupula dirinya dan alam seisinya, pasti ada yang menciptakan. Lalu siapakah yang menyebabkan kura-kuranya terikat? terbersit dipikirannya, siapa pelaku dibalik semua ini kalau bukan neneknya sendiri. Ia pun menemui neneknya dengan penuh dongkol, menuduhnya tanpa basa-basi terlebih dahulu.

"Maknyak sengaja menakut-nakutiku? Aku tidak takut!"

"Lha, kok tahu?" tanya Aminah tanpa rikuh sembari tersenyum simpul.

"Yaa iya to." jawabnya penuh bangga.

"Lalu kenapa minta tolong?"

"Kan hanya pura-pura Mak!"  kilahnya.

"Apa ? Maknyak tidak dengar,"

"Maknyak kan sudah tua, tapi aku juga punya kejutan Mak! Tunggu saja".  kilahnya lagi dengan muka serius, seperti mengancam.

"Tantanganmu selalu ku tunggu cucuku. Maknyak tidak takut, sekarang kamu makan dulu buburnya, nanti keburu adem. Jangan lupa beri makan kura-kuranya." ucapnya datar sembari mengingatkan.

"Maknyak buat bubur?"

"Iya, nyelametin hari lahirmu biar panjang umur dan sehat selalu" jawab Aminah dengan bijak"buburnya nanti dihabiskan?" sambungnya.

"Iya Mak," Katanya sambil tersenyum "Sudah dido'akan?" tanyanya kemudian.

"Tentu, untuk apa aku berlama-lama menunggumu" balasnya sedikit cuek.

Siang itu sepulang dari pematang, samar-samar dari kejauhan Aminah melihat sebuah mobil merah silver di bawah pohon sawo miliknya. Mobil itu persis dengan warna mobil yang ditemuinya beberapa waktu yang lalu pada saat mengais buah asam. Aminah lalu menemui si empunya namun tak didapati seorangpun. Dilongoknya seisi ruangan di dalam mobil dari balik kaca hitam. Tak ada seorangpun yang berada di dalamnya. Aminah menunggu sambil duduk di cangkruk pohon sawo. Dari rumah, Qohar berlari-lari seperti ada sesuatu yang ingin diutarakannya.

"Maknyaak !" panggilnya kemudian.

"Ada apa ?"

"Maknyak dicari orang kemarin sore."

"Kemarin sore kapan?"

"Itu lho Mak sewaktu memulung asam."

"Ooh iya ." Aminah mengangguk-angguk seperti teringat sesuatu."Dimana orangnya?" sambungnya kemudian.

"Orangnya sudah menunggu di rumah. Ayo Mak cepat!" ajak Qohar terburu-buru.

Di teras telah ada Bu Lela, tetanngga jauh yang kebetulan lewat depan rumah lalu mampir, menemani tamu mengobrol. Mereka datang hanya berdua, Pak Amin Ong dan Pak Puji, sopir pribadinya.

"Ee Bu Lela Silahkan masuk." sapa Aminah pada Bu Lela. Lalu kemudian menyapa Pak Amin dan Pak Puji. "Silahkan masuk Pak! Pak Yusufnya tidak ikut?" tanya Aminah pada Pak Amin.

"Kebetulan Pak Yusuf hari ini sedang ada urusan di kantor, jadi saya yang ditunjuk mewakilinya," kata Pak Amin, lalu mereka duduk lesehan bersama di ruang depan.

Aminah kembali menyapa dua orang tamunya.

"Jangan sungkan-sungkan Pak, memang beginilah adanya."

"Lela! tolong ditemani ya ? saya buat minum dulu." pinta Aminah pada Bu Lela.

"Ya Mbok!" jawabnya, lalu dengan agak sungkan Bu Lela, seorang janda yang suka berdandan itu mencoba memberanikan diri untuk bertanya perihal pembelian lahan.

" Ma'af ya Pak ? Kalau boleh tahu nanti rencananya untuk membangun apa ?" tanya Bu Lela sungkan.

" Untuk membangun pabrik kopra, di sini kan belum ada pabriknya, apalagi dari sumber yang dapat dipercaya, bahan baku kelapa di sini lumayan murah dan didukung infrastruktur jalan yang telah memadai. Berangkat dari dua faktor tersebut kami melihat prospek ke depannya sangat cerah. Maka dari itu kami berniat membangun pabrik kopra di kampung ini." urainya panjang lebar.

"Oh begitu." kata Bu Lela mengangguk-angguk.

"Apakah di Kampung ini sering ada tindak kriminal Bu?" kata Pak Amin dengan merendahkan suaranya.

"Tidak ada Pak, Kampung ini Alhamdulillah selalu aman." kata Bu Lela meyakinkan. "Memangnya kenapa Pak" tanyanya kemudian.

"Begini Bu, sepanjang perjalanan kami merintis usaha, kami lebih mengutamakan keamanan, disamping dua faktor penting yaitu sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Sehingga ke depannya kami bisa lebih fokus dalam pengembangan usaha tanpa banyak hambatan. Intinya dengan iklim usaha yang kondusif kami optimis kemajuan perusahaan akan terkatrol dan mungkin bisa berkembang dengan pesat."

"Jadi nomor satu itu keamanan ya Pak?" ujar Bu Lela berkesimpulan.

"Iya, keamanan menjadi syarat yang mutlak."

Bu Lela mendengarkan penjelasan Pak Amin dengan sungguh-sungguh, seperti seorang anak TK yang khidmat mendengarkan dongeng dari gurunya.

"Qohar!" panggil Aminah dengan suara datar.

"Iya Mak?"

"Gula putihnya habis, kamu sekarang beli gula putih, ini uangnya" Aminah kembali ke ruang tamu lalu membuka topik pembicaraan.

"Bagaimana? bapak jadi beli tanah yang di seberang jalan itu?"

"Jadi Mbah, tapi yang penting bagaimana dengan pihak penjual, apa sudah diberi tahu?"

"Sudah Pak, kebetulan Lela ini  saudaranya yang punya tanah." jawabnya sambil ibu jari menunjuk lurus ke arah Bu Lela.

"Lela! Tolong kang Sarwo suruh ke sini mumpung ada Pak Amin." pintanya kepada Bu Lela.

"Kang Sarwo sudah ke sawah, kemarin Aku diberitahu, katanya sih terserah. Bagi siapa saja yang bisa menjualkan tanahnya akan diberi komisi sepuluh persen. Kang Sarwo sudah keburu akan pergi bulan depan ke Lampung, pengen buka usaha di sana." jawabnya panjang lebar.

"Yo wis, kalau begitu tinggal Bu Marni Pak," kata Aminah sambil menahan nafas.

"Kemarin Saya dari rumah Bu Marni, katanya, kebunnya dijual dengan harga biasanya, tetapi dengan syarat, beberapa pohon kelapa dan durian yang berada tepat di pinggir jalan tidak ikut dijual, jadi Bu Marni boleh kapan saja mengambilnya." sahut Bu Lela menjelaskan dengan gamblang.

"Baiklah, Semuanya bisa diatur asal jangan ada sengketa dikemudian hari." ujar Pak Amin lugas.

Dengan terburu Aminah memohon ijin ke dapur mengambil minuman dan suguhan berupa pisang dan bubur merah putih, kebetulan hari itu sedang merayakan hari ulang tahun Qohar. Aminah lalu mempersilahkan tamu-tamu untuk mencicipinya.

Zaman Belanda

Sejarah

Kepadamu

ku berguru dan mengetuk pintu

Sejarah

Tempatku mengadu dan berpijak

Sejarah

Hanya padamu

ku berpegang dan berjalan

Ku lelah tanpamu dalam beban

Telah dua hari Aminah tidak mengunjungi sawahnya, sementara ia harus memastikan jika sawahnya selalu tergenang air, belum lagi rumput liar yang semakin bertambah. Sayur-sayuran apabila tidak dipangkas, akan menjalar ke mana-mana. Dicarinya parang untuk keperluan penyiangan, namun tak juga didapatinya .

"Qohar ! dimana kau simpan parangnya?"teriaknya sambil merapikan wadah bakulnya.

"Sepertinya masih di teras," jawab Qohar, matanya menerawang "Saya lupa naruhnya, mau ke sawah Mak?" sambungnya kemudian.

"Iya, kamu di rumah apa ikut?"

"Aku ikut, bawa nasi apa tidak ?"

"Terserah kamu, hari ini Maknyak puasa."

"Bungkus Mak?"

"Iya, pakai sambal tidak?"

"Tidak usah!" ucapnya menggeleng.

Sejauh mata memandang pesawahan mulai dihiasi oleh pemandangan padi yang kian menghijau. Sayur-sayuran di sepanjang tepian guludan tampak rimbun. Tunas-tunas rebung bambu mulai bermunculan, menyembul ke permukaan tanah. Jika memasuki musim rebung, maka tiada harga yang layak untuk menjualnya. Rebung-rebung itu lalu dibiarkan tumbuh liar karena terlalu banyak tunas yang tumbuh. Rumpunan pohon pisang berlomba-lomba memamerkan buahnya. Ada yang hampir masak, yang masih muda dan yang masih kuncup. Selama rumpunan pisang tidak mengalami longsor, maka selama itu pula rumpunan pisang akan terus berbuah sepanjang bulan, sepanjang tahun. Sebuah nangka matang terjatuh dari pohonnya. Separuh dari nangka itu telah digerogoti oleh tupai. Satu janjang buah kelapa tergeletak di pinggir sungai, rupanya orang-orang yang tidak bertanggung jawab telah mencurinya. Di antara tanaman padi, Aminah terdiam sejenak. Diperhatikannya hamparan tanaman padi dari pangkal hingga ke ujung, nampak menghijau sempurna.    

"Alhamdulillah sudah pada menghijau." gumamnya dalam hati.

"Mulai dari sini saja cucuku." ajaknya pada Qohar, memulai pekerjaan menyiangi rumputan liar. "Bismillahirrahmanirrakhiim nyambut gawe1."

Sambil mencabuti rumput, mereka yang telah terpaut usia hingga puluhan tahun itu berbagi cerita, tentang masa lalu. Sepenggal peristiwa pada masa penjajahan, masa sebelum kemerdekaan diproklamirkan.

Di pagi buta, Aku kedatangan seorang tamu dua orang tentara Belanda. Waktu itu, Aku masih berumur tiga belas tahun, sedangkan keponakanku, Sukarti masih berumur sembilan tahun. Emak Rasup telah pergi ke lereng-lereng gunung, mencari umbi-umbian berupa talas, kerot, ganyong dan sejenisnya bersama kang Imran.

Biasanya sebelum Emak pergi, Aku sering diwanti-wanti supaya jangan takut dalam menghadapi siapapun, termasuk terhadap para Tentara Belanda, bahkan kalau bisa, perdayai mereka agar mau memberikan bahan makanan. Waktu itu mencari makan susahnya tiada terkira, tak semudah mencari ikan-ikan di sungai.

Awalnya, kedatangan dua orang Tentara Belanda itu membuatku merinding ketakutan, Sukarti juga demikian, Aku berusaha menenangkannya. Rupanya maksud dan tujuan mereka datang hanya untuk mencari Kang Umar, seorang gerilyawan yang selama ini menjadi tameng masyarakat. Terkenal sakti, tubuhnya tak mampu ditembus ratusan peluru. Seorang jawara kampung dan bertindak sebagai perisai bagi orang-orang pribumi. Tanpa berbasa basi mereka tiba-tiba memasuki rumah tanpa permisi,mereka meneror kami.

"Dimana keberadaan Umar, si keparat itu?" gertak salah seorang tentara, di wajahnya terdapat bekas luka yang melintang tepat di atas alisnya, dengan mata melotot.

"Kami sama sekali tidak tahu". jawabku dengan agak bingung.

"Jangan coba-coba menipuku! kalau kamu tak ingin senjataku menembus kepalamu. Cepat beritahu dimana keberadaannya?

"Silahkan duduk dulu Tuan?" Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan wajahku yang pucat pasi.

"Saya tidak ada waktu untuk istirahat barang sebentar!" Kembali kedua bola mata tentara itu melotot hingga seperti mau keluar.

"Baiklah Tuan, saya akan coba cari tahu keberadaannya. Tunggulah sebentar!" Pintaku penuh harap.

"Ingat! jangan sekali-kali kamu beritahukan keberadaan kami di sini, atau akan kuhancurkan perkampungan ini!"

"Jangan tuan, biarkan kami hidup dengan tenang tuan." Pintaku dengan memelas penuh rasa cemas.

"Jangan banyak bicara!, cepat cari tahu dimana keberadaannya?"

"Baik Tuan"

Tentara Belanda yang terlihat garang itu lalu duduk di kursi. Temannya yang nampak lebih muda usianya ikut menuju kursi, rambutnya cepak lurus seperti sedang menantang langit. Di tangannya menggenggam sebuah sapu tangan.

Tentara berambut cepak itu baru saja duduk, lalu tiba-tiba menjerit. Ia terperangah dan ketakutan melihat tikus melintas di depannya. Rupanya tentara berambut cepak dan tidak kalah garang dengan Tentara yang satunya itu takut sama tikus, binatang pengerat itu mencoba mengajaknya bermain-main.

"Mana tikusnya!"sahut Tentara yang satunya, sambil terus mencari keberadaan tikus. Sementara, tentara yang berambut cepak itu masih terdiam, hanya bisa nangkring di atas kursi.

Dicarinya tikus dengan menodongkan senjatanya ke belakang pintu, tapi tikus itu berhasil melarikan diri melalui lubang kecil di dekatnya. Dengan susah payah ku menahan tawa, kugigit bibirku sampai hampir putus untuk menahannya. Sementara Sukarti terdiam beberapa saat, lalu tawanya tiba-tiba pecah, segera ia tutupi mulutnya dengan tangan kanannya.

"Kau berani menghinaku!" Tentara yang matanya melotot itu menghadapkan moncong senjatanya ke wajah Sukarti. Ia gemetar, Hampir saja ia mati seandainya tentara itu melepaskan tembakannya.

"Tidak, tuan."jawabnya dengan rasa gemetar yang mulai menjalar ke seluruh tubuhnya

"Dwarrgh  "

Suara tembakan itu memekakkan telingaku, rupanya peluru timah sebesar cabai itu di arahkan ke arah lemari hingga tembus. Aku pura-pura tak melihatnya, meski rasa takut kehilangan keponakanku satu-satunya mencengkeram kuat di dadaku. Tetapi lama-lama rasa takut dalam diriku kian terkikis karena peristiwa itu.

"Karti, ambilkan pisang yang ada di dapur!" Perintahku untuk mengalihkan suasana yang mencekam.

"Iya Mbak,"jawab sukarti, dari kelopak matanya terlihat air mata yang masih meleleh, lalu menuju dapur.

"Permisi tuan,"Aku menyusul sukarti dan mengikutinya dari belakang.

Di dapur, Sukarti masih merasakan gemetar di sekujur tubuhnya. Ia tidak berani menyuguhkan pisang itu ke depan. Aku berusaha menenangkannya hingga ia menjadi tenang. Tetapi meskipun sukarti sudah tenang, aku tidak mengijinkannya keluar, Aku khawatir jika terjadi sesuatu padanya. Aku hendak merencanakan sesuatu dengan mengatur taktik sedemikian rupa. Tetapi apabila terjadi sesuatu sedikit saja, maka bukan hanya nyawaku yang menjadi taruhannya, tetapi nyawa seluruh keluargaku yang akan menjadi sasarannya.

Satu sisir pisang raja kusuguhkan tanpa memberikan air minum, sementara  Sukarti ku suruh mengambil getah air tuba di pekarangan belakang rumah. Saripati air tuba itu akan kusajikan bersama teh manis. Cukup lama aku bersitegang dengan sukarti di dapur, tentang rencanaku itu. Aku lalu memutuskan untuk melarangnya keluar, meskipun ia sendiri ketakutan setelah mendengar rencanaku. Syukurlah, akhirnya ia menuruti perintahku. Dua orang tentara itu mungkin mengira, diriku telah pergi ke suatu tempat, mencari informasi mengenai keberadaan kang umar.

Dengan hati-hati ku suguhkan teh manis, yang sebelumnya telah kucampur dengan air tuba.  Aku sempat berpura-pura mengeluh sakit di bagian pinggangku untuk mengalihkan perhatian. Setelah kupastikan mereka sudah meminumnya, lalu aku memberitahukan keberadaan kang umar, yaitu di Gua Ngerong. Jaraknya begitu jauh dari kampung bendo, sejauh delapan belas kilometer. Tempat persembunyian itu telah bertahun-tahun menjadi markas para pejuang pribumi. Untuk bertapa, bersemedi dan mengasingkan diri, guna untuk menyusun kekuatan yang lebih besar.

Dengan hati-hati Aku menyuguhkan teh manis yang sebelumnya telah ku campur dengan air tuba. Aku terlebih dahulu pura-pura mengeluh sakit di bagian pinggangku untuk mengalihkan sebuah perhatian, setelah itu teh manis kusuguhkan. Setelah ku pastikan mereka meminumnya akupun sedikit lega. Dengan perhitungan yang matang, aku berbagi tugas dengan Sukarti. Ku perintahkan ia supaya mengabarkan kepada Pak Abdullah, tetua kampung, perihal tempat persembunyian kang Umar yang telah diketahui Tentara Belanda. Tak lama kemudian setelah meminum teh manis, dua orang tentara itupun pergi. Aku mengawasi dari jauh gerak dan langkah kedua tentara Belanda itu. Hanya berselang beberapa menit kemudian, di depan mata kepalaku, dua orang itu ngajal. Mereka menggelonjot hampir bersamaan, di lahan perkebunan kopi, tak jauh dari perkampungan. Setelah keduanya dipastikan meninggal, Aku mendekati jasad-jasadnya. Dari mulutnya, keluar busa yang tidak berukuran, kedua bola matanya melotot seperti mau menyembul keluar dengan garangnya. Tetapi meskipun terlihat garang, itu hanyalah mayat yang tidak bisa berbuat apa-apa. Lapisan kulitnya yang semula nampak putih bersih mendadak terlihat membiru. Barangkali ruhnya baru saja pergi meninggalkan jasadnya. Jasad yang telah dihuni selama puluhan tahun itu ditinggalkan begitu saja. Dalam hitungan hari, jasad yang tak bernyawa itu akan menjadi ajang pesta bagi ribuan atau mungkin jutaan belatung. Mereka berpesta dalam jangka waktu yang terbatas. Satu persatu dari pakaian jasad-jasad yang telah menjadi mayat itu ku geledah. Aku mendapati dua buah senjata laras panjang, dua puluhan mortir, tujuh selongsong peluru dan beberapa lembar mata uang negara kerajaan Belanda. Beberapa peralatan perang itupun lalu ku serahkan kepada Pak Abdullah Untuk keperluan para pejuang. Baju dan celananya dikemudian hari diambil para pemuda dan mayatnya dikubur di tepi kebun kopi.

Sukarti kini mungkin, telah hidup berkecukupan di negeri sakura bersama Yuji Shiojiro, suaminya. Sejak masa kemerdekaan diproklamirkan hingga kini, aku belum pernah melihatnya walau hanya sekali, tetapi ia pernah berjanji padaku, suatu saat nanti ia akan kembali.

Usai bertutur sebagian perjalanan hidupnya semasa penjajahan, Aminah tak mampu membendung kesedihan. Tiba-tiba kedua bola matanya sembab, tak kuasa menahan air mata mengingat kegetiran masa lalu. Qohar berusaha menghiburnya, memberi kesimpulan seraya bertanya.

"Jadi, Maknyak dulu pernah membunuh para Tentara ? Aku jadi takut kalau melihat Maknyak.." canda Qohar.

"Badanku malah jadi menggigil gemetaran karena melihatmu." balasnya dengan mimik serius.

"Kenapa Mak?"

"Lha wong kamu kayak tuyul, tidak memakai pakaian" timpal Aminah.

"Segera kenakan pakaianmu, matahari sudah terasa semakin menyengat." sambungnya.

"Iya Mak, tapi?"

"Apa ?"

"Maknyak kok kelihatan" canda Qohar sembari jari telunjuknya menunjuk lurus ke arah neneknya.

"Kelihatan apanya?" tanyanya dengan memperhatikan tubuhnya dari atas hingga ke bawah.

"Itu...?" kembali ujung jari telunjuknya menunjuk lurus.

"Apanya cucuku?" kali ini pertanyaannya semakin bertambah geram.

"Kelihatan matanya." jawabnya kemudian dengan nada santai.

"Ooo...dassar cucu kurang ajar!" dimuntahkannya rasa kesal itu lalu tersenyum cukup lama.

Aminah hanya bisa menelan ludah, berusaha menyimpan kekesalannya. Sementara Qohar terdiam sejenak seperti patung sembari meringis manja. Sebuah kemenangan telah diraihnya, satu upaya untuk menunjukkan jati dirinya sebagai cucu seorang Aminah, perempuan tahan banting yang senantiasa menantang takdir dan tidak ingin menyerah kepada nasib. Demikian siang itu Qohar tiba-tiba seperti menemukan senjata pamungkas untuk mengalahkan neneknya. Aminah sendiri mengakui kekalahannya, ia kesulitan mencari kata-kata ampuh untuk mengimbangi dan mengalahkan kata-kata cucunya. Betapapun akhirnya, Aminah berhenti pada satu titik sebuah kepuasan meski terasa menjengkelkan.

Surprise

Tiba-tiba bumi dilipat

Lautan manusia mengambang diliputi ketakutan

Kemana kuharus berlari dan berlindung

Ujung dunia manakah yang tersisa

Dahulu diriku tiada

Dan pasti kan tiada

Tapi aku punya rasa

Rasa cintaku pada sang cipta

Dan hanya ridlonya

Kuharapkan senantiasa.

Semoga pintu surga kan terbuka

Matahari telah merangkak naik hingga sepenggalah ketinggiannya, biasanya Qohar memohon diri untuk pulang terlebih dahulu, tapi tidak di pagi itu. Dari kejauhan terdengar suara Doni dan Amar memanggilnya di gubuk sawah tetangga. Mereka melambaikan tangan, mengajak untuk bergabung. Qohar lalu memohon diri ikut teman-teman kehutan Jati milik Pak Haji Badawi.

"Maknyak, aku ke hutan !" pinta Qohar memohon ijin berpetualang ke hutan jati.

"Iya, hati-hati." ucap Aminah berpesan.

Di dalam hutan jati banyak ditemui berbagai jenis pepohonan lain selain hutan jati. Di tengah-tengah dan disepanjang pinggiran hutan Jati berjajar pohon mangga liar, jengkol, dan jambu Monyet. Sayangnya Hutan itu telah lama telantar ditinggal pergi pemiliknya ke Kota. Hanya sekali dua kali dalam setahun dikunjunginya. Sementara di kanan kiri hutan jati hanya tanah kosong yang banyak ditumbuhi ilalang dan semak-semak. Terkadang orang-orang kampung ke hutan jati untuk sekedar mencari kayu atau mencari buah Jambu dan Jengkol.

Di dalam hutan, Qohar dan teman-teman berlari-larian, bermain petak umpet dan bersenandung Ria.

Gundul-gundul pacul-cul gembelengan.

Nyunggi1-nyunggi wakul2-kul gelelengan.

Wakul ngglempang3 segane dadi sak ratan

Wakul ngglempang segane dadi sak ratan.

Seorang anak berkepala pelontos berjalan dengan sempoyongan.

Membawa wakul dengan tidak ada keseimbangan.

Wakul tumpah nasinya berceceran di sepanjang jalan.4

Udara di dalam hutan begitu dingin. Qohar memandangi langit-langit hutan yang senantiasa menghadang percikan sinar mentari. Setidaknya Qohar bisa mengingat kembali sepenuhnya, kata-kata neneknya beberapa hari yang lalu, dan semuanya memang benar adanya. Tidak ada siang ataupun malam di dalam hutan jati melainkan hanya ada temaram.

Di dalam hutan suasana siang hari tak ubahnya seperti pada malam hari. Terasa mencekam apabila tanpa terdengar suara ayam-ayam hutan berkokok, serta burung-burung berkicau dan jerit lirih binatang-binatang kecil lainnya. Tetapi kesan teduh, angker dan sejenisnya tak terbayang sama sekali dibenak anak-anak kecil itu. Di dalam hutan itu berjajar pohon-pohon besar penuh daun-daun kering yang menebal dan terus bertambah, sampai tiba masanya musim penghujan. Lambat laun dedaunan kering itu menjadi humus, membaur kedalam tanah.

Meski panas terik matahari begitu panas, tidak seberkas sinar pun yang berhasil menerobos diantara lebatnya dedaunan. Dengan hembusan angin sepoi-sepoi, menjadikannya adem sehingga mereka betah berlama-lama bermain di dalamnya.

Lama-lama rasa bosan kian merasuk di antara teman-temannya, apalagi Amar yang berbadan gendut dan mempunyai kebiasaan ngorok semenjak kecil itu sudah mengajukan beberapa syarat. Pada syarat-syarat tertentu yang diajukan, secara khusus ia bahkan akan memboikot permainan petak umpet apabila batas waktu yang ditentukan tidak juga dipatuhi. Ada satu hal unik dari obesitas yang mendera Amar, ketika masih kecil ia sangat kurus. Suatu hari Amar yang kurus kering itu pulang dari mengaji Alquran di Musholla, karena didera rasa haus, dengan serampangan ia meminum sebungkus cairan berwarna kuning di atas meja yang disangkanya teh manis. Rupanya sebungkus cairan berwarna kuning itu adalah minyak goreng seperempat liter yang diminumnya sekaligus. Ibunya memang sudah biasa mendapatkan bungkusan teh manis dalam plastik sehabis dari pengajian, baik itu pengajian senenan, selasanan, maupun rebonan. Aneh memang, tetapi atas karunia Tuhan pelan-pelan Amar yang kurus kering itu bobotnya bertambah dari hari ke hari.

Selesai bermain petak umpet mereka akhirnya pulang. Dalam perjalanan pulang, Doni yang sebelah matanya berwarna putih dan tidak bisa melihat itu menangkap suatu keanehan. Tiba-tiba saja banyak anak-anak ayam hutan yang melintas di depannya, tetapi urung ditangkap, karena anak-anak ayam hutan itu lari kedalam semak-semak berduri. Anehnya, anak-anak ayam itu melintas melawan arah pada jalur setapak yang dilaluinya, tanpa diketahui teman-temannya. Sesuatu hal ganjil berbau aura mistis, tetapi Doni sengaja merahasiakannya karena dirinya khawatir. Ia ingin menceritakan kejadian aneh itu setelah sampai di rumah.

Kali ini mereka bertiga melewati perkebunan singkong yang luas, tidak seperti biasanya yang melalui jalur setapak. Qohar dan teman-teman memotong jalan pulang dengan jalan pintas menuju kampung. Ia sengaja pulang tanpa mampir ke sawah untuk menemui neneknya memohon diri.

Lama tidak kunjung kembali, Aminah mulai waswas. Pikiranya mulai dihinggapi perasaan khawatir. Ia menduga, telah terjadi apa-apa pada cucunya. Apalagi setahun yang lalu masih teringat segar dalam ingatannya, Wak Aryo tetangganya hilang tanpa diketahui sebabnya, sewaktu mencari kayu di hutan jati. Hanya sepikul kayu waktu itu yang didapatinya, beberapa hari kemudian baru ditemukan jasadnya tanpa kepala. Jasad Wak Aryo tanpa kepala itu ditemukan, tepat di atas tumpukan ranting-ranting kayu jati yang mirip sebuah sarang burung raksasa. Maka tak heran, meski tak ada yang menakut-nakuti, rasa khawatir dan takut kehilangan cucu terus menerus membayanginya.

"Rasanya aku belum siap melepas cucuku. Aku harus tahu keadaannya sebelum semuanya menjadi bubur." pikir Aminah dalam hati.

Dilaluinya setapak demi setapak menuju hutan jati dengan agak tergesa-gesa. Kekhawatirannya semakin bertambah ketika di dalam hutan itu tak dijumpai sama sekali seorangpun, meski telah menyisirnya hingga ke ujung hutan. Rasa-rasanya tak satupun jalan setapak yang luput dari penyisiran yang dilaluinya. Rasa lelah dan letih tiada lagi terasa, sementara kedua bola matanya tetap memperhatikan sekitar hutan jati tanpa jemu. Dari kedua bibirnya yang telah mengerut tidak henti-hentinya mengadu kepada Yang Kuasa.

Yaa Allah Gusti. Dimanakah keberadaan cucuku. Astaghfirullaahal adziim. Ampunilah dosa-dosa hambamu ini Gusti. Hanya kepadamulah ku memohon ampun. Ya Allah Yaa Rabbi. Bukakanlah pintu maaf bagi hambamu yang nista ini Yaa Allah.

Siang itu keresahan hatinya ditumpahkan. Ia berjanji untuk selalu ta'at dan senantiasa menjauhi larangan-larangannya.

Usai mengadu kepada Yang Kuasa, Aminah seperti mendapatkan ketenangan. Ia meyakini jika cucunya telah pulang terlebih dahulu bersama teman-temannya. Dengan berat hati ia langkahkan kakinya kembali ke sawah. Siapa tahu Qohar mencarinya di sawah, begitu pikirnya dalam hati. Ketika telah melangkahkan kakinya beberapa langkah, Aminah seperti melihat seorang kakek berjubah putih tak jauh dari tempatnya berdiri. Awalnya bulu kuduk Aminah merinding begitu melihat seorang kakek berjubah putih, tanpa memperlihatkan mukanya, kakek berjubah putih itu hanya terlihat jubah dan punggungnya. Tetapi setelah terlihat menoleh dan menyiratkan senyum simpulnya, rasa takut itu mencair menjadi suasana yang penuh kehangatan. Tanpa sepatah kata terlebih dahulu Kakek berjubah putih itu lalu memberi petuah

"pulanglah!".

Hasrat hati sebenarnya ingin mengutarakan sesuatu hal, tetapi mulutnya seolah terkunci rapat-rapat, terasa berat untuk mengucapkan sebuah kata-kata. Di depan mata kepalanya sendiri kakek berjubah putih itu lalu menghilang sedemikian rupa. Aminah sempat kaget, bathinnya tersentak tetapi tiba-tiba ketenangan seolah mendiami jiwanya.  Akhirnya Aminah pulang dengan memendam beribu tanda tanya. Seakan ia tidak percaya dengan peristiwa yang baru saja terjadi. Ia seperti berada dalam kisaran dunia mimpi, padahal mestinya ia tidak perlu takut meski hanya menanyakan sesuatu.

Di teras rumah Aminah mendapati Qohar tengah menenteng sepiring nasi. Dengan nada menggerutu Aminah ngomel dari kamarnya sembari melepas satu per satu bajunya. Hendak mandi untuk sekedar melepas panas dan gerah.

"Masih ingat nasi.".

"Tidak, saya ingat piring." jawabnya serampangan.

"Kenapa tidak dimakan saja piringnya biar kenyang," timpalnya seperti menantang Qohar sambil menahan senyum.

"Iya, nanti," ucapnya enteng sambil cengar-cengir.

"Kalau makan harus dihabiskan!" Aminah memperingatkan lalu mengambil ember hendak mencuci pakaian.

Setelah mencuci, Aminah memanggil Qohar dengan nada tinggi.

"Qohar! sini kamu!"

Diambilnya sapu lidi lalu dipukulkan ke tubuhnya dengan keras. Sebagai bentuk hukuman demi kedisiplinan dan kemandirian, karena sehabis makan tidak mencuci piringnya.

"Kenapa piringnya tidak kamu cuci?"

"Lupa Mak!"

"Apa? Ucapkan sekali lagi!"

Aminah kali ini lebih tegas dari biasanya karena itu adalah sebuah bentuk rasa sayang yang tulus darinya. Seandainya rasa sayang yang tulus itu telah lenyap dari dirinya maka cucu semata wayangnya akan dibiarkan begitu saja menjadi anak manusia yang liar dan hidup tanpa aturan. Sementara Qohar hanya terdiam membisu, tak terucap sepatah katapun dari mulutnya, lalu tak lama kemudian ia mengucapkan beberapa patah kata.

"Maknyak! Aku pergi." ucapnya datar.

"Kemana?"

"Main.. "

"Ingat! kalau main jangan nakal jangan suka ngerjain teman dan jangan lupa ingat waktu." begitulah pesan itu sering terucap dari bibir perempuan tua berambut perak itu, setiap kali Qohar akan main ke rumah teman atau disaat-saat akan pergi tanpa dampingan darinya.

Tanpa sepengetahuannya, Qohar main ke rumah Faiz, kedua orang tua serta adiknya pergi kondangan ke rumah saudara di luar desa, menghadiri acara perkawinan kang Badrun yang terbilang masih kerabat dekatnya, sebuah kebetulan. Sementara Faiz tidak di ajaknya supaya jaga rumah. Jarak rumah Faiz dengan rumah Qohar tidaklah jauh, hanya dibatasi tiga bangunan rumah dan beberapa petak kebun pekarangan. Kepada Faiz, Qohar menuturkan jika dirinya telah mendapat ijin dari neneknya, dengan tujuan supaya di ijinkan untuk tinggal dan menginap semalam. Bak di sodori  ang, Faiz tak bisa menolak karena dirinya memang kesepian dan kebetulan tanpa dikomando, teman itu hadir dengan menawarkan diri.

Sore itu Qohar melakukan aksi nekat, ia tidak memberitahukan perihal keberadaannya. Ia pikir neneknya sudah tidak mencarinya lagi, karena baru saja dimarahinya. Sebenarnya di dalam hatinya berkecamuk antara berterus terang mengenai keberadaannya atau tidak sama sekali. Ia seperti kesulitan membohongi diri sendiri, hati kecilnya yang masih bening sebening embun di pagi hari itu terus bergejolak, mendesak agar berterus terang dan jujur perihal dimana keberadaannya sekarang. Supaya tidak membuat neneknya gusar dan gundah diliputi tanda tanya. Tapi benih-benih nafsu agaknya terus membiak, menyatu dan menguasai akal beserta hati nuraninya. Rasa khawatir lambat laun kian tergerus dengan sendirinya karena terobati dengan kehangatan bercengkrama, guyonan diantara keduanya.

Kekhawatiran rupanya tak hanya berpihak pada Qohar semata, begitu pula pada diri Aminah. Tidak biasanya di waktu menjelang maghrib Qohar masih di luar rumah. Biasanya di waktu-waktu seperti itu Qohar sudah mandi dan terlihat rapi. Menunggu saat-saat adzan maghrib. Menjalankan sholat lalu pergi mengaji ke Musholla, tapi sore itu tidak.

Setiap kali selesai waktu isya'Aminah terkadang menunggui dan menjemputnya pulang. Walau Aminah telah ringkih tapi tidak  menyurutkan semangatnya untuk tetap setia menjemputnya dari acara mengaji. Hanya Qohar satu-satunya pengganti suami dan anak-anaknya untuk tempat berbagi dan bercengkerama.

Menjelang petang Aminah duduk di teras depan dengan tatapan mata kosong, hatinya bergejolak dan bertanya-tanya lalu mencoba mengingat perkataannya tempo hari. Mungkinkah perkataannya sanggup membuat hati Qohar yang masih bening sebening embun di pagi hari itu terluka?

Kembali Aminah merenungi nasib dan perjalanan hidup cucu satu-satunya itu. Sejak kecil tumbuh dan berkembang tanpa asuhan kedua orang tuanya, hanya dirinya satu-satunya orang yang selama ini menjadi tumpuan hidup dengan berbagai keluh kesahnya. Walau bagaimanapun belaian kasih sayang darinya akan tetap dibutuhkan.

Adzan maghrib telah berkumandang dengan merdunya, kekhawatiran Aminah akan keberadaan Qohar semakin merapat di benaknya. Perasaan takut menghinggapi pikirannya, menunggu dan terus menunggu hingga gerah lalu kemudian mencoba berikhtiar menanyai para tetangga satu persatu tetapi hasilnya nihil, dari keterangan para tetangga tidak juga ia dapati jawaban pasti mengenai keberadaan dan keadaannya.

"Nyari siapa Mbok ?" tanya karti, tetangga sebelah yang hendak pergi ke Musholla untuk menunaikan  ibadah  sholat  maghrib.

"Nyari cucuku, gini hari kok belum juga pulang. Apa kamu melihat cucuku?"

"Aku tidak melihatnya Mbok. Aku baru saja pulang dari rumah mertua" jawab Karti.

"Kalau lihat Qohar tolong suruh pulang ya?" pinta Aminah memelas.

"Iya Mbok!"

"Kok maghrib-maghrib baru nyari Mbok? tidak tadi sore." sergah Mini yang juga hendak ke Musholla bersama Karti, seakan ia ingin menyalahkannya.

"Saya kira ya akan pulang seperti biasanya, tapi setelah ku tunggu sampai maghrib kok masih juga belum pulang, bikin pegal hatiku saja." katanya menggerutu sambil ngeloyor pergi meninggalkannya.

Aminah lalu pergi ke rumah Pak RT meminta pertolongan. Belum kelar ke rumah Pak RT hujan sudah mulai turun setelah sebelumnya langit mendung memayungi seluruh perkampungan. Aminah malam itu mengakhiri pencarian karena sepertinya hujan akan turun lebat dengan ditandai datangnya angin kencang dan suara gemuruh disertai petir yang terus menyambar.

Rasa khawatir dan cemas bercampur menjadi satu. Malam itu Aminah mengambil air wudlu lalu melaksanakan sholat-sholat sunnah, duduk bersimpuh memohon ampunan kepada Yang Kuasa. Dalam lamunan, terpikir olehnya jujugan saudaranya satu persatu. Ipar, sepupu, sampai kemenakan. Jika tidak ada aral melintang, besok pagi ia akan berkunjung ke rumah saudara-saudaranya, siapa tahu Qohar menginap di rumah salah satu saudaranya.

Aminah lalu ke dapur untuk makan malam. Tetapi malam itu sesuap nasipun tidak bisa ia telan, pikirannya terus teringat cucu satu-satunya. Tidak ada nafsu makan, tidak ada gairah hidup dan tidak ada cerita malam itu.

Ditengah malam kedua orang tua Faiz pulang dari kondangan. Hingga tiga kali mengucap salam, Faiz baru terbangun, ia tertidur pulas sehabis bermain semalaman dengan Qohar. Sebenarnya ketika kedua orang tuanya mengucapkan salam yang pertama telah terdengar oleh Qohar tetapi malam itu ia tidak berani membuka pintu,Faiz lalu terbangun dan membukakan pintu.

"Kok lama sekali?" tanya ayahnya menggerutu.

"Cari gembok." jawabnya beralasan.

"Biasanya memang di lemari kan?"

"Tidak ada, tadi gembok itu kutemukan di atas meja makan."

"Lho Qohar kok disini. Apa tidak dicari nenekmu?" tanya Ibunya  pada Qohar begitu pintunya terbuka.

"Tidak kok Budhe." jawab Qohar membela diri.

"Yo wis. Ini berkat1nya dimakan! Di dalam ada bolunya sama pisang." perintahnya pada Faiz dan Qohar. Selesai makan Qohar memohon diri.

"Saya pulang dulu ya Pakdhe?"  pintanya setelah mencuci kedua tangannya.

"Jangan! sudah tengah malam, tidur di sini saja sama Faiz, nanti pagi saja pulangnya, di luar masih gerimis." orang tua Faiz melarangnya pulang, rencana pulang pun urung dilakukannya. Malam itu Qohar tidur di rumah Faiz.

Saat shubuh menjelang, terdengar suara kokok ayam bersaut-sautan dari rumah ke rumah seperti terdengar irama yang indah. Menjadi suatu pertanda akan datangnya fajar.  Mengulang siklus, matahari kembali memercikkan sinar merahnya di ufuk timur, awan menumpuk membentuk sebuah formasi keemasan. Memperlihatkan keindahannya lalu menjelma menjadi awan putih dan terciptalah pagi. Harmoni alam yang senantiasa memamerkan sayap-sayap keagungan Tuhan, tak pernah ada yang mampu menandinginya. Begitu bangun tidur Qohar segera pamit pulang tanpa mencuci muka terlebih dahulu.

Di pagi buta Aminah telah menata buah pisang yang akan dibawa sebagai buah tangan untuk saudaranya, kang Imran. Ia ingin meminta tolong agar mencaritahu keberadaan cucunya. Belum kelar menata pisangnya terdengar suara ketukan pintu. Lalu tak lama kemudian di iringi salam.

"Assalamualaikum.."

"Waalaikum salam.."

Oh ternyata....

"Kamu too..! tak kira siapa, dari mana saja kamu? Kenapa tidak bilang kalau tidak pulang? Masih ingat rumah! Kamu kira Maknyak tidak mencarimu, jangan sampai diulangi lagi ?" kata-kata Aminah nerocos begitu saja.

Tanpa sepatah kata, Qohar berjalan menuju kamarnya memperhatikan kura-kuranya yang terlihat lesu. Seakan-akan memahami apa yang telah terjadi pada dirinya. Sambil terus mengomelinya Aminah mengikutinya dari belakang lalu memerintah Qohar seolah-olah sebagai ganjaran baginya.

"Dari tadi sore Maknyak tidak ngeliwet2 gara-gara memikirkanmu. Sekarang  kamu kupas rebungnya juga sekalian kangkungnya dipotong-potong! Maknyak mau belanja dulu ke warung membeli keperluan dapur.

Sambil berbelanja Aminah mampir kerumah tetangga. Sekedar memberitahukan perihal cucunya yang baru saja pulang. Pagi itu hatinya lega karena orang yang telah dicarinya telah kembali.

Pak Amin bersama A kwan Asisten pribadi Pak Yusuf Chen Lau serta Pak Puji sopir pribadinya datang memenuhi janjinya, menyambangi rumah Aminah untuk melunasi pembayaran tanah kavling dan mengurus kepemilikannya serta surat-surat perijinan lainnya ke Kelurahan. Pagi itu di rumah Aminah telah berkumpul dua orang, Bu Marni dan Ambar putri sulung Pak sarwo. Pak sarwo berhalangan hadir karena pergi mengantar Bu Kasanah, istrinya ke puskesmas. Kebetulan pagi itu Bu Lela sedang main di rumah Aminah sehingga menambah kehangatan suasana. Seperti biasa apabila si biang gosip itu sedang tidak ada kerjaan, kerapkali yang dilakukan adalah pergi kerumah tetangga lalu membicarakan keborokan orang yang sedang menjadi buah bibir. Mengurai benang kusut mulai dari A sampai Z. Wajar mengingat orang-orang kampung hanya mengenal dua musim, musim tanam dan musim panen. Diperlukan waktu beberapa bulan untuk mengulang siklus musiman itu.

Pak Amin yang berperawakan sedang, berambut ikal membawa beberapa berkas. Gerak-geriknya mantap penuh percaya diri. Disampingnya A Kwan yang tambun berkepala botak dan berkaca mata hitam menenteng sebuah laptop, wajahnya menyiratkan keseriusan tingkat tinggi. Mungkin karena saking seriusnya yang totally itu ia seperti kehabisan otak untuk berfikir sehingga menjadi botak.  Dua orang itu masuk ke rumah Aminah.  Merekapun berembug.

Keuangan Yang Maha Kuasa

perijinan lainnya ke Kelurahan. Pagi itu di rumah Aminah telah berkumpul dua orang, Bu Marni dan Ambar putri sulung Pak sarwo. Pak sarwo berhalangan hadir karena pergi mengantar Bu Kasanah, istrinya ke puskesmas. Kebetulan pagi itu Bu Lela sedang main di rumah Aminah sehingga menambah kehangatan suasana. Seperti biasa apabila si biang gosip itu sedang tidak ada kerjaan, kerapkali yang dilakukan adalah pergi kerumah tetangga lalu membicarakan keborokan orang yang sedang menjadi buah bibir. Mengurai benang kusut mulai dari A sampai Z. Wajar mengingat orang-orang kampung hanya mengenal dua musim, musim tanam dan musim panen. Diperlukan waktu beberapa bulan untuk mengulang siklus musiman itu.

Pak Amin yang berperawakan sedang, berambut ikal membawa beberapa berkas. Gerak-geriknya mantap penuh percaya diri. Disampingnya A Kwan yang tambun berkepala botak dan berkaca mata hitam menenteng sebuah laptop, wajahnya menyiratkan keseriusan tingkat tinggi. Mungkin karena saking seriusnya yang totally itu ia seperti kehabisan otak untuk berfikir sehingga menjadi botak.  Dua orang itu masuk ke rumah Aminah.  Merekapun berembug.

Keuangan Yang Maha Kuasa

Cari-cari uang

Pikir-pikir uang

Sana-sini uang

Ini jaman uang

Selalu menjadi rebutan

Selalu menjadi pikiran

Tapi jangan karena uang

Menghalalkan segala cara

Walau zaman sekarang semuanya uang

Jatuh cinta bisa karena uang

Yang pendek tampak jangkung

Yang pesek jadi mancung

Itu semua karena uang

Jangan heran kalau ada pasangan

Yang satu dua lima

Satunya lima dua

Bisa jadi karena uang

Mina jadi mince

Yanto jadi yanti

Juga karena uang.1

Bisa jadi karena uang

Mina jadi mince

Yanto jadi yanti

Juga karena uang.1

Kesepakatan hitam di atas putih diantara ketiga belah pihak telah dibuat, semua berkas surat-surat penting dan kartu pajak telah terkumpul, kini hanya tinggal mengurus kepemilikan tanah dan surat-surat perijinan lainnya ke kelurahan.

"Bagaimana proses selanjutnya? Apa sudah bisa dibukukan?" tanya Pak Amin, tangan kanannya menyingkap lengan bajunya, lalu memelototi jam tangan di pergelangan tangan kirinya sembari mengerutkan dahi, seperti para pebisnis lainnnya yang sangat menghormati arti sebuah waktu.

"Biasanya kalau berkas-berkas sudah lengkap lalu dilakukan serah terima dahulu di kelurahan atau di rumah Pak Lurah, baru kemudian bisa dibukukan, atau bisa juga di rumah Pak Carik" kata Bu Marni menjelaskan.

"Kalau informasi yang kudapat dari Bu Maryam, katanya sekarang ada peraturan baru. Serah terima harus di rumah Pak Carik sekaligus nanti langsung bisa dibukukan. Oh ya sekalian bawa saksi-saksi" sahut Ambar memotong pembicaraan antara Pak Amin dan Bu Marni.

"Berapa kira-kira saksi yang diperlukan?"  tanya Pak Amin.

"Tidak banyak Pak, biasanya dari pihak pembeli dua orang dan pihak penjual juga dua orang, itu saja sudah cukup." sahut Bu Lela menambahkan.

"Ya sudah! kalau begitu kita bisa ke rumah Pak Carik sekarang?" pungkas Pak Amin

"Iya Pak, biar semua cepat kelar".jawab Bu Marni sambil mengangguk setuju.

"Aku ikut apa tidak?" tanya Aminah sembari membawa beberapa tandan pisang rebus dari dapur, lalu menyuguhkannya di atas meja.

"Yo ikut too, nanti jadi saksinya sama saya" gerutu Bu Lela.

"Lha cucuku bagaimana?

ujar Aminah. Ia ingin mengikut sertakan cucunya dalam rombongan itu.

"Lha wong biasane yo ditinggal ke sawah kok". ujar Bu Lela ketus.

"Ikut juga tak apa, lha wong tak ada yang melarang kok" sahut Ambar dengan cuek.

Mereka berangkat kerumah Pak Carik dengan mengendarai mobil yang dikemudikan Pak Puji. Di dalam mobil, meski jalanan terjal dan berliku tapi sama sekali tak terasa. Mereka tak bisa menyembunyikan kegembiraannya, karena seumur-umur belum pernah menaiki mobil semewah itu. Toh kalaupun pernah, sepuluh tahun sekali belum tentu kenangan manis itu terulang, sehingga wajar jika Aminah tak tega melihat Qohar sendirian di rumah. Sementara dirinya pergi menikmati dunia dengan menaiki mobil dengan suara yang amat halus..

"Kalau kayak gini setiap hari ya enak to?"  ucap Bu Lela memecah keheningan.

"Ikut Pak Amin saja biar nanti bisa naik mobil setiap hari" sahut  Ambar setengah sewot.

"Terus makan apa kalau tidak kerja, masa ngikut terus?" potong Aminah. Sementara Pak Amin, A kwan dan Pak Puji hanya bisa menahan tawa menyaksikan ulah para Ibu itu meski kurang memahami maksudnya.

"Ya makan kacanya atau makan joknya gitu" jawab Bu Marni yang sejak tadi cuek saja.

"Ngawur!" timpal Bu Lela.

"Walah sampeyan itu lho kelihatan ndeso" ejek Ambar pada Bu Lela.

"Pancen aku wong ndeso, apa kamu kelihatan orang kota?" jawab Bu Lela membela diri sembari berseloroh.

"Aku sih bukan orang kota, tapi walaupun bukan orang kota tapi kan kotangan" Ambar membela diri.

"Kotangan kok dibilangin ke orang-orang, dassar ndeso." ejek Bu Lela pada Ambar, tidak mau kalah.

"Lha kamu malah katro Pakai kemeja kok kebalik." kata Ambar berkelit, sambil menunjuk ke arah kemeja yang dikenakan Bu lela.

"Yo wis ben, memang sudah modelnya kok. Model terbaru." balasnya dengan pamer.

"Pancen nyaman ya naik mobil alus, adem lagi". kata Aminah kepada Bu Lela memecah kebekuan.

"Memang nyaman." sahut Bu Lela.

"Bukan nyaman tapi nyuaman!" ujar Ambar dengan mantap.

Tanpa terasa mereka telah tiba di rumah Pak Carik. Mobilnya hanya boleh diparkir di pintu gerbang,oleh tukang kebun tidak di ijinkan kendaraan roda empat masuk ke dalam, karena masih dalam tahap pengerjaan paving block. Di dalam gerbang itu ada empat orang pekerja yang tengah mengerjakan pemasangan paving, dua orang tukang dan dua orang kenek. Halaman rumahnya yang begitu luas dipenuhi dengan kandang dan kerangkeng berjeruji besi, berisi burung-burung langka dan binatang-binatang aneh. Sekawanan kera yang menghuni kerangkeng besi tampak kepanasan. Burung-burungpun demikian, terlihat mondar-mandir seperti tengah kelaparan. Sekumpulan tupai bersama kancil dijadikan satu kandang berukuran dua kali dua meter. Tupai-tupai dan kancil itu tampak sayu berkerumun dibawah tumpukan rumput kering dan kulit pisang, beberapa anakannya tampak mondar-mandir seperti ingin berontak. Mungkin Pak Carik tidak menyadari jika hakikat kedua jenis binatang itu dari spesies yang berbeda.

Beberapa ekor penyu dan biawak tampak bolak-balik nyemplung ke dasar air yang dangkal. Tak ada langit-langit sejengkalpun yang menaunginya. Di halaman yang sangat luas itu hanya ada dua pohon cemara berukuran sedang. Dua tanaman itu meranggas karena kekurangan nutrisi atau mungkin unsur haranya telah berkurang.

"Silahkan masuk!" sapa seorang wanita tua yang juga hendak masuk kerumah sambil menenteng sekeranjang barang belanja.

Begitu memasuki rumah Pak Carik mereka tertahan di teras depan, menunggu tuan rumah mempersilahkan masuk terlebih dahulu. Tak lama kemudian muncul dari balik pintu seorang perempuan muda yang tengah mengandung. Seperti yang diketahui dari kabar yang beredar di masyarakat, Pak Carik telah menghamili seorang janda muda beranak satu, sementara Pak Carik sendiri telah berkeluarga dan telah dikaruniai tiga orang anak.

Perempuan asing yang tengah mengandung itu menjadi sebuah misteri tersendiri dengan statusnya yang masih belum jelas. Menambah pekerjaan orang-orang kampung untuk terus bergunjing, serta menempatkan objeknya sebagai artis desa.

"Eeee ada tamu, monggo silahkan masuk." ucap perempuan muda yang tengah hamil itu berbasa-basi.

"Ada perlu sama Pak Carik?". sambungnya kemudian.

"Iya mbak ". jawab Bu Lela.

" Bapak masih di kebun, tadi pagi bawa bibit mahoni yang dari kelurahan kemarin. Mungkin Bapak sebentar lagi datang. Saya istri barunya tidak tau apa-apa, hanya disuruh jaga rumah". akunya dengan memberi sedikit gambaran. Sebuah pengakuan yang mampu sejukkan keadaan, mengunci rapat-rapat sebuah tanda tanya yang terkadang mengusik ketenangan, serta menyapih akan fitnah dan memutus tali prasangka.

Hanya beberapa menit kemudian keluar hidangan senampan teh hangat dan beberapa cemilan dalam toples. Pak Carik belum pulang, ada lagi seorang tamu perempuan paruh baya, tukang jahit pesanan. Menenteng dua buah Pakaian, mencari Bu Carik.

"Bu Cariknya ada? " tanyanya pada perempuan yang tengah hamil itu.

"Lagi pergi ke rumah saudara perempuannya, katanya lagi ada acara mitoni."jawabnya.

"Ya sudah ini tolong nanti berikan sama Bu Carik terus bilang. Uangnya sudah pas itu saja." pinta tukang jahit pesanan sambil menyodorkan dua Bungkus pakaian yang dikemas dalam plastik.

"Aku pamit dulu.." sambungnya kemudian.

"Iya, terimakasih!"

"sama-sama."

Tak seberapa lama Pak Carik pulang bersama seorang anak laki-laki.

"Walah ada tamu rupanya tunggu sebentar ya, aku mau salin pakaian dulu, habis nganter bibit mahoni masih belepotan. Silahkan diminum dulu tehnya." pintanya sambil bersalaman.

Pak carik kemudian keluar menemui para tamu. Aminah dan rombongan belum sempat mengutarakan maksud kedatangan rombongannya. Datang lagi dua orang tamu, sepasang suami istri. Tanpa basa-basi terlebih dahulu, mereka mempertanyakan kejelasan status tanah mereka yang baru dibelinya setahun yang lalu, yang hingga kini belum juga dibukukan. Sementara kartu pajak masih mengatas namakan pihak penjual. Dengan santai Pak Carik mampu meredam keadaan, disuruhnya tamu itu menunggu proses dua bulan lagi karena dua bulan lagi itu akan ada pengukuran massal dan pembukuan tanah. Pak Carik lalu menawarkan dua pilihan. Pertama menunggu dua bulan dengan biaya standar atau yang kedua dalam minggu ini tetapi dengan biaya yang lumayan tinggi karena diluar ketentuan, dengan alasan uang tambahan itu untuk biaya warawiri ke kecamatan lalu ke kabupaten.

Karena tak ingin terlalu lama menunggu tanpa suatu kepastian, dua orang semuhrim itu memilih pilihan yang kedua. Lazimnya seorang manusia yang tidak menginginkan permasalahan tak berujung. Permasalahan berlarut-larut dalam dimensi waktu yang tak berkesudahan.

Dari pada harus menanti sesuatu yang tidak pasti dan menunggu terlalu lama seperti yang sudah-sudah. Pak Amin dan A Kwan lalu mengutarakan keinginannya kepada kedua belah pihak supaya mengurus kepemilikan tanah dengan cara yang secepatnya. Mulanya Bu Marni menentang dan tidak menyetujui tata cara yang ditempuh Pak Amin. Tetapi setelah dijelaskan, ihwal keseluruhan biaya diluar ketentuan ditanggung pihak pembeli, maka kemudian Bu Marni menyetujuinya. Sementara Aminah sebagai orang tua yang kurang begitu paham hanya bisa mengiyakan, meski rasanya ingin protes mempertanyakan tata cara yang terkesan dipersulit. Tetapi apa boleh buat, orang kecil macam Aminah tidak bisa berbuat apa-apa.

Setelah urusan Pak Carik dengan suami istri itu selesai, Pak Amin dan A Kwan kemudian menemui Pak Carik di ruang tengah, entah apa yang dibicarakannya, ketiga orang itu hanya berbicara beberapa menit. Mereka lalu keluar ke ruang tamu dan menandatangani sebuah kwitansi beserta sebuah materai. Pak carik meminta kerelaan saksi dari kedua belah pihak untuk memberikan tanda tangan atau cap jempol. Di luar perjanjian tanpa persetujuan pihak penjual, Pak Carik meminta uang tambahan kepada A Kwan tanpa rasa canggung. Dengan enteng A Kwan menambahkan lagi segepok uang dan tercapailah kesepakatan yang tidak biasa. Apabila masyarakat biasanya menunggu proses hingga dua tahun atau bahkan lebih, Pak Amin dan A Kwan hanya butuh waktu selama dua minggu, fantastis.

Selama ratusan tahun bangsa ini dijajah oleh bangsa asing dan kini telah merdeka. Tetapi Kemerdekaan itu hanya berlaku bagi orang-orang yang berkuasa. Bangsa ini tidak lekang oleh penjajahan, penjajahan oleh sebangsanya sendiri. Satu bentuk penjajahan yang mengusik ketenangan Aminah yaitu peraturan yang dibuat rumit oleh pemerintah Desa. Mengurus suatu masalah bisa melalui jalur cepat atau jalur lambat. Semua itu sebenarnya mudah, tetapi urusan yang bernilai sepele itu dibuat sulit dan sengaja disulap menjadi mesin rupiah. Meski telah renta dimakan usia, Aminah tak habis semangat juangnya untuk terus mengkritisi, meski hanya di dalam bathin. Dibenaknya muncul hasrat untuk menguak kebobrokan Pemerintah Desa Rakusan. Hasrat itu semakin berkobar dan terus berkobar didadanya. Sementara itu, ia tidak tahu harus bagaimana. Dalam bathinnya bermunculan pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya semakin bertambah heran. Mengapa orang-orang yang mengaku mengabdikan diri sebagai pelayan dan pengayom masyarakat, justru malah bermain topeng dan mempermainkan jati dirinya? Untuk apa semua itu? Tak bisakah mereka hargai jasa orang-orang terdahulu di dalam merebut kemerdekaan?. Mereka relakan jasadnya menjadi korban keganasan perang. Membayar mahal dengan bentangan ratusan mayat atau bahkan ribuan. Mereka dengan terpaksa harus merelakan ceceran darah saudara-saudaranya disepanjang jalan, sebagai tumbal kemerdekaan. Kemerdekan adalah keinginan untuk bersatu dalam membangun sebuah peradaban menuju kemajuan. Kemerdekaan itu begitu mahal harganya. Tidak bisa ditukar dengan apapun meski dengan nilai rupiah bergudang-gudang. Dengan diliputi rasa gundah, siang itu Aminah pergi ke rumah Karmini, adik dari suaminya. Ia mencari keponakannya Mansur, setahun yang lalu Mansur telah merampungkan sekolah menengahnya. Anak bungsu dari Karmini itu kini melanjutkan sekolahnya disebuah pondok pesantren.

"Mini....?" panggilnya dengan suara keibuan.

"Ya Mbakyu. Ada apa?" tanya karmini sambil membawa pakaian satu ember penuh ke sungai untuk mencuci pakaian.

"Nyari Mansur" jawab Aminah. "Dimana dia sekarang?" sambungnya

"Lagi ngirim sarapan ke sawah."

"Nanti suruh ke rumahku ya?" pesannya

"Ada apa?" tanya Karmini setengah penasaran.

"Ada perlu sedikit sambil makan-makan, selametan." jawabnya sambil guyon.

"Tenane? yo wis nanti tak suruh ke rumahmu." timpal Karmini dengan gurauan.

Tak lama kemudian, Mansur datang menyambangi rumahnya. Di teras hanya ada Qohar yang tengah asyik bermain dengan kura-kura disebuah balok kayu.

"Qohar! simbahmu dimana?"

"Di dapur lagi masak." sebelun diperintah Qohar segera berlari menuju dapur.

"Mak! ada Paman Mansur!"

"Ya, suruh masuk. Aku cuci tangan dulu."

Di kesempatan yang sempit, saat Qohar pergi ke dapur, Mansur dengan cekatan mengerjainya. Secepat para pesulap profesional. Diambilnya kura-kura mungil itu dan dimasukkan ke dalam kantong celananya.

"Masuk Paman!" lalu Qohar kembali ke teras. Kaget, kura-kuranya tak ada di dalam ember di samping sebuah balok kayu. Dilongoknya setiap sudut kayu bakar di samping rumah, di bawah kursi tak juga didapatinya. Wajah Qohar terlihat semakin memerah, tak dapat disembunyikan lagi. Ia semakin bingung harus mencari kemana. Segala arah dan tempat telah disisir dengan seksama namun tak juga ditemukan kura-kuranya. Kura-kuraku kemana? pikirnya dalam hati. Lalu menanyakan pada Pamannya.

"Apa Paman melihat kura-kuraku ?" tanyanya berselidik.

"Kau tanya Aku, Aku tanya siapa?" timpal Mansur balik bertanya. Qohar lalu meninggalkannya menuju dapur.

"Maknyak, kura-kuraku hilang, tolong carikan Mak." teriak Qohar meminta tolong neneknya dengan suara parau, lalu ke kamar mandi hendak buang hajat.

Aminah keluar rumah tanpa sepengetahuan Qohar, Mansur lalu memperlihatkan kura-kura dan memberikannya pada Aminah. Ia lalu menyuruh Qohar mengambilkan sesuatu.

"Paman ambilkan pisang dulu didapur sama kolak nangkanya, biar kura-kuranya Maknyak yang cari." perintahnya sambil menghibur.

Dengan cekatan Qohar keluar dari kamar mandi lalu mengambilkan suguhan buat paman Mansur kemudian menghampiri neneknya yang tengah bermain dengan kura-kuranya di atas dipan.

"Lho kok bisa ketemu Mak?" tanyanya dengan nada heran.

"Masa tidak bisa" balasnya berkelit.

"Tidak mungkin!".

"Nyatanya mungkin."

" Tadi ku cari-cari tidak ada." kilahnya.

" Lha wong kenyataannya ada. Dibilangin kok tak percaya. Lain kali disimpan yang rapi. Aku mau belajar sama Pamanmu jangan diganggu!" suruhnya dengan nada gurauan.

Aminah ke ruang tamu menemui keponakannya. Ia menyodorkan dua buah lembaran kertas dan ballpoint. Diperintahnya Mansur untuk menulis dan ia yang mendikte.

"Untuk apa Mbah?"

"Dibuat pengingat!"

"Pengingat apa?"

"Pokoknya pengingat, ada gunanya."

Jawaban itu sedikit mengurangi rasa penasarannya, dari kata-katanya yang terakhir itu sudah bisa ditebak, ada sesuatu yang ingin dirahasiakan, meski itu oleh Mansyur sendiri. Iapun tidak mau lagi melontarkan pertanyaan.

Aminah mulai mendikte.

Manungso sing becik iku gampangan, lan amrih nggampangake perkoro. Ora seneng gawe mungkar lan olo. Wong sing gawe angele perkoro iku ora bedo karo njajah sedulure dewe. Luwih tega tinimbang perilakune kewan sing buas. Manungso kang ora ono bedo karo kewan. Opo ora kepikiran? mbiyen tanah iki dijajah pirang-pirang atus tahun ngente'ake korban ora itungan. Wong tuo-tuo mbiyen berjuang ngelawan penjajah kanti tujuan kepingin urip merdeko lan mulyo. Saiki wes merdeko tapi malah sedulure tego njajah sedulure dewe. Urip koyo ora ono aturan. Ilingo kabeh! kowe poro perangkat deso. Ora nganti sak abad nyawamu kumantil. Kowe kabeh bakal mati, mbaur karo lemahh.

Begitu selesai Mansyur lalu pulang tanpa dihujam rasa penasaran. Ia tidak memahami maksud dan tujuan Aminah mendiktekan tulisan semacam itu. Sementara siang itu meski terik matahari tepat di atas ubun-ubun, tak menyurutkan niatnya untuk pergi ke Kantor Balai Desa, sekedar menempelkan selembar kertas di papan pengumuman. Perjalanan yang ditempuh dari rumah ke Bale Desa cukup jauh, berjarak sejauh lima kilo meter.

Qohar siang itu tengah asik bermain dengan kura-kuranya, ia tak terlalu merisaukan kepergiannya. Ia pikir, neneknya pergi ke sawah seperti biasanya. Sementara itu menjelang kepergiannya ke Kantor Balai Desa, di sudut pintu belakang rumah seekor laba-laba jantan sedang berkorban nyawa dan jasad, tubuhnya dijadikan santapan laba-laba betina. Sekujur tubuh laba-laba jantan dipenuhi lilitan jaring yang keluar dari air liur laba-laba betina, lalu seakan-akan seluruh energi dan asupan gizi yang terdapat pada jasad sang jantan disedot habis. Hukum alam mengajarkan sebuah pengorbanan yang maha agung demi kelestarian jenis. Sebagai bekal selama masa kebuntingannya. Tak lama setelah itu laba-laba betina akan mengeluarkan ratusan butir telur kemudian mengeraminya. Lazimnya binatang yang bertelur akan mengerami telur-telurnya persis di bawah tubuhnya supaya tetap hangat. Tetapi laba-laba betina punya cara lain untuk menetaskan telur-telurnya. Ditaruhnya telur-telur itu di atas punggungnya, ditata sedemikian rupa lalu digendongnya kemanapun laba-laba betina itu pergi, mirip perilaku kalajengking dalam upaya melestarikan jenisnya. Tak jauh dari jaring laba-laba, di bawah dipan belakang rumah, seekor kucing jantan tengah mengawasi gerak-gerik seekor kucing betina yang tengah menggigit anak kucing yang baru saja dilahirkannya. Sekilas perilakunya terlihat buas, tetapi itulah cara penyelamatan yang terbaik. Induk kucing itu memindahkan anak-anaknya ke tempat yang lebih aman, khawatir jika sewaktu-waktu tanpa sepengetahuannya, kucing jantan menerkam anakannya, terutama apabila terlahir seekor anak kucing berkelamin jantan. Induk kucing juga senantiasa mewaspadai gerak-gerik kucing jantan. Takdir yang telah ditorehkan yang kuasa telah menjadi semacam hukum alam, oleh sebagian orang awam menyebutnya sebagai sebuah misteri Ilahi.

Waktu terus berlalu, sementara manusia semakin sibuk dengan urusan dunianya. Siang berganti malam dan seterusnya. Tanpa disadari para penghuninya kian terlena meski bukti kekuasannya kian kentara terasa. Kini bukti-bukti nyata selalu hadir di tengah-tengah kebimbangan, tetapi semua itu tidak disadari dan ditafakuri. Bukti-bukti yang semakin terlihat jelas itu justru melengahkan manusia dari fungsi utamanya, merefleksikan bentuk terimakasih kepada yang kuasa dengan bersujud barang beberapa menit.

kantor Balai Desa telah tutup, hanya Pak Ali, seorang tukang kebun yang masih setia duduk selonjor di Aula depan. Pak Ali adalah seorang veteran perang, usianya telah mendekati kepala tujuh, tetapi ia tidak ingin hanya berdiam diri di dalam rumah. Saban hari, jika tidak mencabuti rumput halaman Kantor Kepala Desa, maka ia lebih memilih mendongeng di rumah bersama cucu-cucunya. Aminah lalu menyuruh Pak Ali untuk menempelkan sebuah kertas yang dibawanya, di sebuah papan pengumuman.

Menjelang keberangkatannya ke sawah pagi itu, Pak RT datang menemuinya. Tanpa berbasa-basi terlebih dahulu, Pak RT menyodorkan sepucuk surat berisi pemanggilan dirinya dari kelurahan, dengan diiringi pertanyaan sengit.

"Mbok ! Ini ada titipan surat dari kelurahan, besok pagi kamu disuruh ke Kantor Balai Desa"

"Ada apa?"

"Justru saya yang mau bertanya. Sampeyan kemarin ke kelurahan itu untuk apa? kok kabarnya buat cemar kelurahan. Sudah tua mbok ya ingat tuanya, diperbanyak ibadahnya, tidak ditambah ibadahnya kok malah maksiatnya yang semakin menjadi, memalukan sekali" kata-kata kasar itu mampu memancing kemarahan perempuan tua berambut perak itu, ia lalu membalasnya dengan kata-kata sengit pula.

"Apa aku kemarin tak berpakaian di tengah jalan?, kok memalukan, memalukan apanya?"

"Dipikir tho, lha wong kamu kan punya otak !" jawab Pak RT tak kalah kecut, jawaban itu menyentak di dadanya.

"Oo wong edan!" balasnya dengan kedongkolan. Pak RT diam tidak menanggapinya lalu ngeloyor pergi dengan tersenyum sinis dan meninggalkannya.

Selama ini Aminah merasa, apa yang telah dilakukannya adalah benar. Ia ingin mengingatkan para perangkat Desa, bahwa kedzaliman sebenarnya tidaklah pantas sebagai pakaian manusia. Ia sendiri tidak tahu secara pasti, untuk apa dirinya diundang ke Balai Desa. Pak RT hanya menyodorkan sepucuk surat undangan tanpa memberi tahu lebih jelas ihwal undangan itu berisi apa. Dari wajahnya hanya terlihat semburat wajah sinis dan kecut, berkelakar dan menyuruhnya ke Kelurahan besok pagi.

Di atas bale pohon sawo, Aminah dengan tekun mengupasi kacang tanah bersama Qohar. Disampingnya terdapat lima buah sawo matang, dua dari lima buah sawo itu telah dimakan tupai kurang dari separuh. Sawo-sawo itu masih utuh sejak ditemukan di sekitarnya. Barangkali Qohar telah bosan sehingga tidak mau walau hanya sekedar menyentuhnya. Buah sawo yang begitu manis apabila tercecap di lidah itu telah menjadi sesuatu hal yang biasa, tidak mengundang selera. Qohar lebih memilih buah jambu biji yang begitu keras, tidak begitu manis dengan biji-bijinya yang seringkali terselip diantara gigi-giginya. Dan satu lagi, buah kopi yang sama sekali tidak berdaging dan hanya sedikit meninggalkan rasa manis di lidahnya.

Meskipun kedua tangan Aminah mengupasi kacang tanah, tetapi pikirannnya masih teringat surat dari pak RT. Entah apa yang akan terjadi esok hari.

Katimah akan mengunjungi kebun jati dan kelapanya di belakang kampung tak jauh dari kebun kopi. Ia melewati jalan setapak pohon sawo, tempat Aminah beristirahat.

"Mbok!"sapanya dengan hangat.

"Mbook.." sapanya kali kedua.

"Iya ada apa ? bikin kaget saja kau"

"Sampeyan tahu tidak?"Katimah sengaja memancing rasa penasaran.

"Ya belum tahu, wong kamunya belum kasih tahu."

"Tadi ada sambatan di rumah Kasanah."ujar Katimah, di tangan kiirinya mengepit sebuah golok.

"Sambatan apa?"

"sambatan merenovasi rumah"

"Ooh... Aku malah tidak tahu sama sekali, untung kamu beritahu. Lha kamu tahunya dari mana?"tanya Aminah sambil menuangkan kulit kacang ke dalam keranjang tempat sampah yang terbuat dari bambu.

"Aku lihat sendiri. Lha wong kasanah hanya diam-diam kok. Ia tidak ingin diketahui banyak orang. Tadi sembokku ke sana, ikut sambatan memarut kelapa, walaupun Kasanah sendiri tidak mengundangnya".

"Seandainya aku tahu, aku juga ikut sambatan, wong pekerjaan di sawah sudah selesai. Lha kamu sekarang mau kemana?"

"Mau menengok kebun jati, barangkali dahan dan rantingnya sudah terlalu panjang, mau saya babat untuk dijadikan kayu bakar. Kelapanya mungkin juga sudah pada jatuh, karena sudah terlalu lama tidak ku tengok. Ya sudah. Saya pergi dulu ya mbok?"

"Jangan pergi dulu, ini sawoku dimakan"

"Aku tidak sempat"

"Ya sudah. Dibawa saja sekalian untuk bekal"tawarnya dengan membungkus sawo itu dengan daun pisang kering yang tercecer di bawah dipan lalu mengulurkannya.

"Terima kasih Mbok."

"Iya sama-sama"

Dengan terburu-buru diambilnya sisa kacang tanah yang masih separuh itu, lalu dibawa ke dapur.

"Semua kulit kacangnya dibersihkan, sapunya ada di samping rumah." teriaknya pada Qohar sambil berjalan menuju dapur.

Kali ini Aminah akan membuat kacang open. Kacang tanah yang masih tersisa itu dirasa masih kurang, lalu diambilnya lagi dari dalam karung di pojok dapur. Dibuatlah kacang open yang disangrai di atas wajan tebal. Setelah lama dibolak-balik akhirnya matang dengan ditandai warna coklat kehitam-hitaman, serta harum menguar aroma kacang bakar. Seperempat kacang open disisihkannya dan selebihnya dibuat khusus untuk sambatan di rumah Kasanah.

"Qohar" panggilnya sambil menuang kacang open ke dalam plastik.

"Iya mak"

"Antarkan kacang open ini ke rumah Kasanah"

"Iya."

Setiap ada sambatan Aminah seringkali menyumbang sesuatu, entah itu berupa beras, gula, kacang atau apa saja, yang penting bermanfaat. Kegiatan menyumbang dalam bentuk makanan dilakukannya karena itu adalah pilihan satu-satunya. Ia menyadari, tidak bisa menyumbang dalam bentuk tenaga, sebab tidak mempunyai wakil dalam keluarganya. Setidaknya jika ia ingin mengikutkan wakil dalam sebuah acara sambatan, maka sekurang-kurangnya wakil itu telah memasuki masa akil baligh dan itu artinya masih jauh panggang dari api.

Pagi harinya Aminah berangkat ke Kantor Balai Desa. Tak ada yang dirisaukan, tak ada sesuatu hal yang ganjil atau firasat apapun, tetapi pagi itu Qohar seperti tidak merelakan kepergian neneknya ke Kelurahan. Dari bola matanya, menetes air mata. Seakan-akan bocah kecil itu tahu, apa yang akan terjadi nanti. Ia meratap, meminta agar dirinya diijinkan ikut ke Kelurahan. Dengan berat hati neneknya mengijinkannya pergi ke Kelurahan.

Di sepanjang jalan Aminah bercerita tentang kepahlawanan seorang wanita, Ratu Kalinyamat, cita-cita luhurnya ingin menyatukan Nusantara. Bersama kerajaan Johor di Malaka, terhitung telah dua kali Ratu Kalinyamat berupaya mengusir orang-orang Portugis, tetapi upayanya gagal, ketika prajurit Kalinyamat ini melakukan serangan darat dalam upaya mengepung benteng pertahanan Portugis di Malaka, tentara Portugis dengan persenjataan lengkap berhasil mematahkan kepungan tentara Kalinyamatt.

Banyak tentara Jawa yang gugur di medan perang kala itu. Jasad mereka akhirnya dikuburkan di sana. Hingga kini masih terdapat Kuburan massal para tentara Jawa di Johor Malaka. Salah satu tentara Jawa yang gugur di medan perang itu adalah ki Bagja, buyutnya. Konon kabarnya istri ki Bagja yang berperan sebagai tukang masak kala itu masih hidup dan mewariskan banyak keturunan disana. Aminah berharap suatu saat bisa mengunjungi anak cucu dari buyutnya di sana.

Di tengah perjalanan, perempuan tua itu mulai merasakan letih. Keringatnya yang seukuran biji jagung mulai membasahi lehernya. Separuh baju dipunggungnya juga mulai basah oleh biang keringat, tetapi Qohar masih menikmati perjalanan. Di sa'at rasa letih kian menyerang, ada sebuah bangku kayu di pinggir jalan. Tempat nongkrong anak-anak muda, suatu kebetulan. Lumayan Aminah dan cucunya lalu beristirahat sebentar, duduk selonjor di atas bangku kemudian dikeluarkannya sebotol minuman dari balik selendangnya.

"Alhamdulillah seger tenan." ucapnya dengan menghela nafas panjang-panjang. "kamu tidak minum?" tanyanya kemudian.

"Tidak Mak!". jawabnya dengan menggelengkan kepala.

Di sepanjang jalan, pikirannya selalu teringat sebuah surat dari kelurahan. Ia merenungkan kembali sambil terus berjalan. kenapa dirinya dipanggil ke kelurahan? mungkinkah perbuatan kemarin itu melanggar hukum sehingga pihak kelurahan melayangkan surat panggilan baginya? Akankah orang-orang lingkaran Balai desa tega menganiaya dan mendzalimi seorang perempuan yang telah renta seperti dirinya?  Apapun yang akan terjadi, perempuan berambut perak itu tak gentar untuk menghadapinya. Sementara itu sejauh mata memandang, di ujung pematang dekat perkebunan tebu, seekor anjing tengah menenteng seekor musang hasil buruannya, tiba-tiba musang yang terlihat sudah mati lemas itu lepas dari gigitan anjing lalu kemudian lari terbirit-birit kedalam semak-semak. Hikmah yang bisa diambil, ternyata musang yang tidak punya otak itu juga bisa mengelabuhi musuhnya, layaknya seperti manusia yang berfikir. Musang itu bisa lolos dari musibah, meski nyawanya berada diujung tanduk. Torehan takdir dari yang kuasa tidak ada seorangpun yang tahu, hanya pasrah kepada tuhan yang bisa ia lakukan.

Yaa Allah ya Tuhanku, mati hidupku adalah hak Mu. Apa yang akan terjadi nanti semoga bisa ku terima, Aku pasrah Yaa Robbi.

Tak seperti apa yang diduga sebelumnya. Di depan Kantor  Balai Desa telah berjajar puluhan sepeda motor. Rupanya seluruh perangkat Desa juga diundang dan telah hadir menunggu kedatangannya. Memasuki halaman Balai Desa tanpa sepatah katapun basa-basi yang mereka ucapkan. Sekali sapaan itu terdengar serasa seperti petir yang menyambar.

"Jadi ini rupanya orang yang telah mempermalukan Desa kita.". ucap Pak Carik nerocos begitu saja.

"Dulu kamu mengajariku sopan santun dan tata krama, tetapi setelah tahu sifat aslimu seperti ini, aku sudah tidak percaya lagi dengan kata-kata maupun petuahmu." ujar Edi Baskoro yang tengah menjabat sebagai modin Desa, anak kedua Mbah Imran, kakak kandung Aminah.

Emosi perempuan tua itu tertahan, ia terima kesumat-kesumat yang dimuntahkan oleh keponakannya sendiri. Tidak sepatah katapun yang terucap dari bibirnya yang mulai kelu membiru. Walau hakikatnya, hati dan perasaannya seperti tersambar petir. Salah seorang perangkat Desa yang masih muda dengan gayanya yang dibuat-buat, mempersilahkan duduk terlebih dahulu.

"Monggo Mbah! duduk dulu, Pak Lurah masih melayani banyak orang."

Seorang perangkat desa yang masih muda itu mengelu-elukan kesibukan Pak lurah, pada hal Aminah tahu sendiri dan telah menjadi rahasia umum, jika pelayanan di Kantor Balai Desa tak pernah genap setengah hari. Itu semua karena minimnya orang-orang yang berurusan dengan Balai Desa. Mereka enggan mengurus surat-surat ke Balai Desa, karena urusannya bisa tambah runyam dan berbelit-belit. Masyarakat lebih memilih jalur instan dari pada harus warawiri ke Balai Desa dan ke Kecamatan. Kalaupun diurus sendirian urusannya belum tentu kelar dalam sehari, bahkan bisa memakan waktu hingga berbulan-bulan. Dalam sehari-hari pihak Balai desa melayani puluhan orang itu berarti telah mencapai angka yang tertinggi. Hanya melalui calo jalan satu-satunya mengurus keperluan ke Balai Desa.

"Mbah! perlu saya beri tahu, bahwa setiap ada masalah maupun keperluan warga, pihak pemerintah Desa selalu mempermudah urusan, bahkan kalau perlu sampai tengah malam sekalipun, dua puluh empat  jam." ujar seorang perangkat desa berbadan kurus.

"Mbah! kalau tidak setuju dengan program-program Desa bilang saja langsung pada Pak Carik atau Pak Lurah jangan nulis seperti itu, jadinya kan malah tambah ruwet urusannya." seloroh yang lain.

Tidak ada jawaban dari kedua bibirnya yang kelu seperti kehabisan pasokan darah. Darah yang semula mengalir deras dengan detak jantung yang gelagapan seolah terhenti. Tangan dan kakinya berkeringat dingin. Hati, hanya didalam hatinya ia berdialog dengan Tuhan. Memohon ampun dan pertolongan darinya. Hingga beberapa saat lamanya Aminah tetap diam memaku. Dibiarkannya lalat-lalat kecil menghinggapi matanya yang sembab, lalu lalat-lalat itu kembali terbang menghinggapi anggota tubuhnya yang mulai tercium aroma pengap oleh keringat. Seolah lalat-lalat kecil itu tengah menertawakan nasib yang tengah menimpanya. Lalat yang tercipta tanpa etika itu tak jemu-jemu mengerubunginya. Binatang yang selalu membawa virus kemanapun dan dimanapun itu hinggap di tempat-tempat kumuh, sampah busuk dan segala bentuk kotoran, bahkan bangkai menjadi tempat peraduannya yang utama. Satu bentuk takwil dari Tuhan, perumpamaan orang yang tidak menyandang akhlak sebagai pakaiannya niscaya seperti seekor lalat. Sementara Qohar semakin merapatkan gayutan di ujung selendang neneknya, wujud dari sebuah kekhawatiran. Seperti dua sisi mata uang, keterikatan bathin diantara keduanya.

Melihat neneknya diperlakukan kasar oleh orang-orang yang tak begitu dikenalnya, tidak kuasa ia meyembunyikan kepedihannya. Ia seperti mengetahui, apa yang tersimpan dibenak neneknya. Tetapi ia hanyalah seorang bocah dengan dunianya yang teduh, jernih tanpa keserakahan nafsu dan amarah. Diam, hanya bisa diam dihantui rasa takut dan diliputi tanda tanya besar, atas ucapan dan gelagat kasar sebagian perangkat Desa kepada neneknya. Pelan dan pasti kedua pipinya yang putih bersih, basah oleh air mata. Suasana hening diliputi pasang-pasang mata yang kosong terisi nafsu dan keberingasan. Semakin terlihat jelas topeng-topeng di wajah sebagian perangkat desa. Dari yang awalnya memandang biasa mendadak tampak geram beringas dengan tatapan mata seolah berwarna merah darah. Darah seakan memenuhi bola matanya dan menjelma menjadi iblis.

Aminah masih terdiam di sebuah kursi yang terletak di aula depan. Menunggu dengan harap-harap cemas untuk menghadap Pak Lurah. Jarak dari aula depan ke ruangan kantor Pak Lurah begitu dekat, persis di depannya. Tetapi penantian waktu yang terlalu lama itu bagaikan perjalanan Sun Go Kong ke barat mencari kitab suci. Terasa jauh dan lama sekali.

Tibalah waktunya perempuan tua itu dipanggil Pak Lurah. Di sebuah ruangan yang seharusnya untuk dua hingga tiga orang itu telah dipenuhi tujuh orang. Meski hawanya sejuk oleh dua kipas angin, tetapi di dalam ruangan itu menyimpan beribu aura panas diliputi hawa nafsu yang menyelubung ke dalam jiwa-jiwa yang kosong. Di dalam ruangan itu telah berdiri empat orang, selain Pak Lurah dan dua orang yang sama-sama tidak berdaya. Sementara di luar ruangan pasang-pasang mata terus mengawasinya. Mengintip dari balik jendela meski pintu dan semua jendela telah ditutup rapat-rapat. Sungguh tidak menyangka, jika akhirnya ia di sidang lima orang penting di Balai Desa.

"Silahkan duduk di tengah Mbah?" perintah salah seorang perangkat Desa.

Aminah dan cucunya diapit empat orang, dua orang di bagian kanan dan dua orang lagi di sebelah kirinya. Perempuan tua itu beradu arah dan  berhadapan langsung dengan Pak Lurah. Disampingnya, Qohar mendekap erat-erat tubuh neneknya. Sidang belum juga dimulai, suasana hening sejenak. Pasang-pasang mata keempat perangkat desa disisi kanan dan kirinya terpaku tajam ke arah dua orang, yang hakikatnya tidak berdaya dari segi fisik itu. Mereka  menyiratkan sebuah rasa sinis berbalut benci, raut mukanya mendadak memerah menyeruak bintik-bintik benih kedengkian. Semakin terlihat kentara diantara mereka lingkaran nafsu yang merapat. Seolah-olah Aminah adalah objek, orang yang patut disalahkan atau bahkan kalau perlu didzalimi sekalian. Aminah mencoba tersenyum sebagai usaha terakhir menolak kenyataan, meski batinnya ingin berteriak dan memberontak. Senyum yang dipaksakan itu lalu berhenti pada gerak bibir seperti orang yang hendak menangis.

"Mbah! sampeyan ini sudah tua kok malah neko-neko nulis kayak gini." gertak Pak Lurah sambil menyodorkan tulisan tempo hari. "Siapa yang menyuruhmu? Akal-akalannya siapa ini ?" tanyanya kemudian.

"Tidak ada yang menyuruh. Aku hanya ingin sekedar  mengingatkan agar Pemerintah Desa selalu mempermudah urusan bukan malah mempersulit urusan." jawabnya dengan tegar dan tetap bersikukuh pada pendiriannya, bahwa ia hanya sekedar ingin mengingatkan sebagian para perangkat Desa yang berulang kali melakukan diskriminasi terhadap orang-orang yang lemah.

"Mbah! itu memang sudah aturan dari Pemerintah Pusat. Memangnya simbah itu siapa kok berani-beraninya protes ke Kantor Balai Desa. Sampeyan belum tahu saya ini siapa?" sebuah keakuan, ananiyah atau bisa jadi sebuah kepongahan dari seorang Lurah. Wujud nyata suatu pembangkangan yang bermetamorfosa pada keakuan diri, yang sejujurnya justru ia sendiri merasa terbebani atas pengakuan itu. Atas keakuan itu pada hakikatnya ia berlindung di dalamnya, berlindung dari kesalahan. Satu bentuk kesengajaan yang didasari perlindungan diri. Kesadaran diri sebagai pelayan masyarakat yang pantas mendapat protes dan peringatan dari masyarakat tiba-tiba sirna begitu saja tergantikan sifat lahiriyah manusia yang  serakah, pongah manakala kekuasaan berada dalam genggaman. Seringkali kata-kata keakuan itu digunakan orang-orang atasan ataupun para pejabat di berbagai bidang keilmuan dan pekerjaan untuk melindungi kesalahan itu sendiri.

"Mbah! tolong jawab yang jujur! Siapa dalang dibalik semua ini?" tanya Pak Lurah dengan mata melotot.

"Dibayar berapa Mbah?" tanya yang lain.

"Semenjak jadi makelar tanah untuk orang-orang Chunghoa kan?" sambung seorang pejabat yang lain menambahkan.

"Tidak ada hubungannya sama sekali, Aku bukanlah seorang yang gila harta." jawabnya lantang dengan keberanian yang masih tersisa.

"Aku tidak percaya!" timpal Pak Lurah sambil geleng-geleng kepala.

Sebagai seorang perempuan, walau sekuat apapun ia tidak akan bisa menandingi kekuatan-kekuatan lawan, dengan tenaga yang berlipat-lipat. Secara dzahir ia lemah dan tidak berdaya menghadapi sekumpulan manusia-manusia perkasa. Meski batinnya tegar setegar batu karang yang dihempas ombak, tetapi ia tetap kalah dan mengalah pada kepasrahannya. Mengalah untuk menang. Tanpa terasa air matanya meleleh setetes demi setetes dari kedua bola matanya yang cekung, mewakili perihnya bathin. Lebih sakit dari pada terputusnya urat-urat syaraf. Walau raganya masih tersisa serpihan-serpihan kekuatan untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan konyol. Tetapi tidak bisa dipungkiri dan disembunyikan lagi, jasadnya melemah seperti musnah daya dan upaya, ibarat kuli panggul yang tidak kuasa lagi menahan beban diluar kemampuannya. Menanggung beban yang sedemikian berat diperlukan seumpama, pancaran sinar kekuatan. Tetapi hari itu tak seberkas sinarpun yang datang berpihak padanya. Di atas bangku kursi panjang yang seharusnya hanya bisa memuat  tiga orang itu, Aminah duduk terdiam dengan kepala menunduk. Disampingnya, Qohar mulai merasakan getar-getar kekhawatiran berselimut takut. Wajahnya yang putih bersih sejernih embun di pagi hari itu, tak henti-hentinya memandangi wajah sendu neneknya. Raut mukanya mulai dibalut kesedihan, kedua tangannya yang masih remah  masih bergelayut  di ujung selendang neneknya yang mulai lusuh oleh keringat. Sesekali ia memegangi erat-erat kedua  tangan neneknya. Seandainya Qohar yang masih kecil itu diberi kekuatan berlebih dari yang kuasa, Maka ia akan pertaruhkan raganya untuk dijadikan perisai bagi neneknya, tapi ia hanyalah seorang anak kecil yang belum disunat, anak kecil yang belum memasuki masa akil baligh. Seorang anak yang apabila ditendang salah seorang perangkat desa Rakusan bisa terlempar beberapa meter jauhnya. Hanya bergelayut di ujung selendang neneknya yang bisa ia lakukan.

Kedua telapak tangan Aminah mendadak dingin seperti habis pasokan darah untuk mengaliri seluruh ujung jari-jarinya. Dadanya naik turun menahan nafas yang tiba-tiba mendadak terasa berat. Di dalam hatinya tiada henti melafadzkan istigfar, memohon ampun kepada Tuhan yang maha pemurah.

"Mbah! memangnya dengan air mata dan tangisanmu itu kami bisa kasihan begitu!" ejek Pak Lurah sambil tersenyum sinis. Begitu mudahnya kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulutnya. Satu bentuk pengakuan yang tiada disadari telah menguak kebobrokan dirinya sebagai manusia. Satu bentuk tanah yang kelak akan kembali kedalam tanah pula yang penuh dengan keteduhan. Tetapi Lurah Desa Rakusan itu telah mengingkari dirinya sendiri, menafikan diri sebagai insan yang sejatinya teduh dan bersahaja. Nafsu amarah telah berselubung dan menelikung dirinya hingga hilang rasa kemanusiaan dari dalam jiwanya.

"Jawab Mbah!" bentak seorang yang berdiri di samping kanan Pak Lurah sambil menggedor-gedor meja.

"Maknyak!!" teriak Qohar spontan dengan menangis histeris. Tangis itu membuncah seketika. Satu ungkapan kesedihan dan kekecewaan yang  mendalam atas sikap salah seorang perangkat Desa yang sangat arogan. Tangis itu lalu tertahan pada nafas yang terburai, terputus-putus lalu berhenti. Sebentar saja, tak pernah terlalu lama Qohar menangis. Tak ada lagi rasa belas kasihan  yang tercecer dari Pak Lurah.

Setelah tangis Qohar terhenti Pak Lurah mengambil  kertas yang berisi tulisan tempo hari lalu dikibaskan ke muka Qohar agak keras. Qohar hanya diam menahan rasa sakit dengan meringis, kedua pipinya menjadi merah lalu basah oleh air mata, namun tanpa sepatah katapun yang terucap dari bibirnya yang bergetar kelu. Tak puas dengan satu bentuk penghinaan, Pak lurah menambahkan kata-kata  sinis dan kecut, sangat menyakitkan seumpama kalbu yang teriris.

"Kok malah diam! Tidak menangis lagi ?"ujarnya dengan wajah sinis. kata-kata itu terasa pahit dan seolah mampu menyulap telinga menjadi merah, penuh oleh darah. Aminah tidak tinggal diam, telinganya menjadi terasa panas, dengan lantang ia melontarkan pertanyaan yang tidak kalah sengit.

"Cucuku tidak tau apa-apa, kenapa kamu tampar, apa kamu yang memberi makan?" bela Aminah, tak terima cucunya diperlakukan seperti itu di depan mata kepalanya sendiri. Sementara Pak Lurah diam tanpa sepatah katapun terucap, di wajahnya tersirat sikap tak acuh.

"Dasar orang tua tidak tahu diri, tidak punya sopan santun! Sinting!" ujaran kebencian itu meluncur dari mulut salah seorang perangkat Desa berbaju koko dan berpeci, Pak Jamil, kamituo Desa.

"Anda sudah jelas-jelas dinyatakan bersalah Mbah.!" ucap salah seorang perangkat Desa yang lain berkesimpulan. Seperti manusia yang tak pernah khilaf, orang-orang dilingkaran pemerintahan Desa langsung memvonis tanpa melihat duduk perkaranya secara obyektif terlebih dahulu.

"Kita bawa saja ke pihak yang berwenang." celetuk perangkat yang lain.

Aminah tetap pada pendiriannya, meski ia diteror tak sepatah katapun kata-katanya yang berubah. Menit demi menit Aminah yang telah renta itu di interogasi tetapi tidak juga menemukan hasil yang mereka harapkan. tak lama kemudian Aminah disuruh keluar dari ruangan.

"Ya sudah! kalau begitu Simbah ikut kami!" ajak seorang perangkat Desa disamping kirinya lalu dengan diapit dua orang dikanan dan kiri.

Aminah dan Qohar dibawa ke dalam sebuah ruangan tertutup. Di dalam kamar yang lebih mirip dengan kandang kambing itu dipenuhi debu, kertas-kertas lusuh, koran bekas dan kursi meja yang rapuh dengan kaki penyangga yang telah ganjil. Tumpukan kursi-kursi  yang telah usang itu memenuhi ruangan hingga langit-langit di pojok kamar. Belum sempat bernafas lega di ruangan pengap itu, Aminah kembali didatangi dua orang perangkat Desa yang masih belum puas dengan pertanyaan beberapa menit yang lalu. Dengan mimik beringas dan geram dua orang perangkat Desa itu menunggui dan menginterogasi kembali dengan beberapa pertanyaan yang dianggapnya belum tuntas..

"Mbah! semua ini pasti ada yang mendalangi. Siapa dalangnya? Simbah  tinggal jawab kalau ingin bebas.!" tawar salah seorang perangkat Desa berambut keriting dengan hidungnya yang mancung.

Aminah terdiam.

"Mbah sampeyan pengen di sini terus atau pengen pulang?" Aminah kembali dihadapkan pada dua pilihan.

"Aku pengen pulang." jawabnya terbata-bata.

"Kalau kamu pengen pulang, jawab dengan jujur jangan hanya diam seperti orang gila! atau jangan-jangan kamu memang sudah gila?"

Aminah kembali terdiam

"Kalau kamu memang tetap diam, jangan pernah berharap kamu akan bebas. Ayo sebutkan siapa dalangnya?"

Di depan cucunya ia diperlakukan secara tidak manusiawi, pertanyaan konyol yang disertai kata-kata kasar itu telah membunuh karakternya. Belum pernah sekalipun dalam kamus hidupnya ia diperlakukan sekasar itu. Dua orang perangkat Desa itu telah menjadi monster yang sangat menakutkan baginya.

Karena tidak tahan lagi menghadapi kedzaliman, Aminah mencoba ngawur dengan menjawab sekenanya, meski sebenarnya sama sekali tidak ada yang mendalangi. Aminah sempat tergagap sebelum terucap sebuah jawaban yang ngawur.

"Orang-orang Chunghoa."

"Oh...jadi orang Chunghoa yang mendalangi, kenapa kamu mau diperbudak ?" tanya yang lain sambil mengangguk-angguk.

" Karena ketidak adilan" jawab Aminah sekenanya.

"Ketidak adilan seperti apa?" timpalnya dengan wajah geram dan matanya melotot.

"Aku tidak tahu."

Lelaki tua berpostur tinggi seperti tiang listrik itu diam sejenak lalu bertanya lagi.

"Sampeyan menempelkan tulisan ini ke Balai desa sendirian, bukan? Ayo mungkir!" kemarahannya semakin memuncak sampai kedua alisnya saling bertemu. Ditunjukkannya pula selembar kertas yang ditempel di papan pengumuman. Kertas itu lalu disobek-sobek menjadi bagian-bagian yang teramat kecil dengan penuh amarah, di depan perempuan tua itu,

 Aminah diam tidak menjawab. Hatinya kembali teriris untuk yang kesekian kalinya, meninggalkan luka yang kian menganga. Nafasnya menjadi terasa sesak, kedua mulutnya terkunci dan sekujur tubuhnya mendadak dingin. Perempuan tua berambut perak itu seperti seorang prajurit yang terpojok lalu dikepung oleh segerombolan musuh-musuhnya. Ia ibarat ranting kecil yang kering di tengah-tengah gurun pasir, sekali diterpa angin akan terserak seketika. Ia hanya seorang perempuan yang dirangkai dari iga seorang Adam yang tipis dan bengkok. Sekali diluruskan ia akan patah, rapuh. Seorang perempuan tua seperti dirinya hanya bisa diluruskan dengan keris, keris estetika berlandaskan nilai-nilai rasa kemanusiaan, keris perasaan. Meski harus menghadapi jiwa-jiwa yang diliputi amarah, tetapi ia merasa kuat menghadapi sebuah kenyataan. Pertanyaan konyol yang tidak didasari oleh perasaan itu seperti tak kuasa untuk dijawabnya.

"Dibayar berapa sampeyan melakukan semua ini?" Kembali pertanyaan konyol mengarah padanya.

"Tidak ada yang membayar, Aku tidak mau dibayar aku bukan orang miskin!" jawabnya dengan dongkol.

" Yo wis kalau begitu sampeyan disini dulu menunggu kebijakan dari Pak Lurah." dua orang itupun pergi meninggalkan ruangan lalu menutup pintu dari luar dan menguncinya rapat-rapat.

Tiada kepastian sampai kapan kebijakan itu selesai dibuat. Berjam-jam menunggu sebuah jawaban tanpa kepastian, seumpama menunggu pencarian sebutir garam ditengah-tengah lautan. Menunggu dan menunggu dengan harap-harap cemas dalam kisaran waktu yang terus berlalu. Dari bibirnya yang kering tak henti-hentinya melafadzkan kalimat istigfar. Satu bentuk perwujudan existensi pengakuan diri, sebagai bagian dari 'mahallul khoto' wannisyan', seorang manusia yang tidak bisa lepas dari kesalahan dan kekhilafan..

Rasa khawatir dan takut telah membaur menjadi satu. Qohar merengek, meminta agar dirinya segera dipulangkan. Kedua bola matanya berkaca-kaca seiring tangis lirih yang tertahan, tetapi akhirnya ia bisa memahami keadaan setelah neneknya memberikan sebuah isyarat. Sesenggukan tangis kecil mengisi kesunyian. Sementara itu, tak jauh dari tempat duduknya, seekor laba-laba di ujung pojok kamar sedang membuat sarang. Dalam hitungan menit laba-laba  itu sanggup merampungkan rumahnya. Tetapi rumah yang dibangun dalam sekejap itu apabila dihempas angin akan hancur berkeping-keping, bahkan oleh tiupan angin seorang anak kecil. Begitu mudahnya sarang laba-laba itu terbangun dan begitu mudahnya pula hancur oleh sekedar tiupan angin. Di atas langit-langit tampak tiga ekor cicak berkejar-kejaran, lalu satu sama lain saling menunggangi. Sekali waktu tampak seekor cicak jantan tengah mengejar seekor cicak betina di atas langit-langit. Dengan gesit cicak jantan mampu mengejarnya, lalu cicak betina berhenti dan diam tanpa gerak, cicak jantan lalu menungganginya dengan susah payah. Pada saat menunggang itulah dua ekor cicak yang saling tumpang tindih itu terjatuh secara bersamaan.  Meskipun terjatuh dari langit-langit yang tinggi, kedua cicak yang tengah di mabuk asmara itu terasa melompat dari jarak yang terlalu dekat. Keduanya tidak apa-apa, lalu cicak jantan kembali mengejar cicak betina dengan membabi buta, sampai cicak betina itu menyerah kembali. Cicak adalah reptil kecil yang ulung, jika keadaan terancam, maka dengan sengaja cicak akan memutuskan ekornya untuk mengelabui musuh. Seakan-akan ekor yang baru saja dilepaskannya bernyawa karena terus bergerak-gerak, tetapi justru memang disitulah Tuhan menempatkan jurus andalannya. Jurus penyelamatan jiwa yang sempurna.

Karena terlalu lama menangis, akhirnya terhenti pula pada satu titik kelemahan. Kekuatan dalam diri seperti melemah dan menghilang, seiring perlahan terkurasnya airmata. Lambat laun air mata yang membasahi kedua pipinya yang putih bersih mengering. Tanpa disadari Qohar lalu tertidur dipelukan neneknya .

"Allahu akbar Allahu akbar...."

Terdengar alunan suara adzan Ashar. Adzan yang senantiasa mengawal perputaran matahari dan rembulan, serta jutaan planet-planet di angkasa raya hingga akhir zaman itu menyentakkan bathinnya. Waktu shalat dhuhur telah berganti waktu ashar. Waktu dimana matahari mulai condong kearah barat. Belum sempat menjalankan shalat dhuhur, kini telah berganti saatnya shalat ashar. Shalat, satu bentuk pengabdian dan rasa terima kasih kepada Sang Pencipta telah ia abaikan. Ia merasa telah berhutang kepada Tuhan karena hingga detik ini ia masih bisa mengecap kehidupan, masih bisa merasakan nikmatnya umur panjang dan bernafas sepuasnya, tanpa harus mengeluarkan gemerincing rupiah.  Ia diberi ujian olehnya, karena itu adalah suatu bukti dari kasih sayangnya. Tapi semua itu belum bisa ia balas, walau hanya berkorban waktu beberapa menit lamanya, untuk mendirikan tiang agama. Ia hanya bisa berdzikir, melafadzkan asma-asma nya yang mampu menyejukkan kalbu kala didera permasalahan. Kepada Tuhan ia mengadu.

Ya Allah, bukakanlah mata hati mereka, maafkanlah kesalahan-kesalahannya serta kesalahan-kesalahanku Ya Allah Yaa Robbi.

Qohar terbangun dari tidurnya, ia kebelet ingin kencing, lalu tanpa pikir panjang Aminah mengambil plastik bekas yang terserak di lantai untuk menampung air seninya lalu membungkusnya. Ditaruhnya air seni itu ke dalam laci, disebuah meja yang telah lusuh oleh debu yang menumpuk. Senyumpun mengembang menghiasi wajah dua insan yang terpaut puluhan tahun lamanya itu. Mereka terhibur sejenak oleh ulahnya sendiri.

Selang beberapa menit setelah terdengar iqamah shalat ashar dikumandangkan, Aminah dan cucunya dikeluarkan dari ruangan pengap yang lebih bersih dan terawat dari kandang sapi itu. Di luar ternyata telah lengang, sepi, tak seperti apa yang terbayang dibenaknya. Tinggal beberapa orang yang masih berada di Kantor Balai Desa. Dengan nada yang terdengar bijak salah seorang perangkat Desa mempersilahkan pulang dengan memberikan sebuah peringatan.

"Mbah ! berdasarkan kebijakan dari Pak Lurah dan semua perangkat desa, setelah dimusyawarahkan dengan matang-matang, ternyata sampeyan itu melakukan banyak kesalahan. Tetapi karena ada kemurahan dari Pak Lurah, sampeyan sekarang diperbolehkan pulang, dengan catatan jangan mengumbar permasalahan ini ke masyarakat, apalagi melaporkan peristiwa ini ke kepolisian. Kalau sampai masalah ini diketahui oleh polisi, maka bukan tidak mungkin, rumah tanah sampeyan akan habis untuk membiayai masalah ini. Perlu sampeyan tahu, kemarin di Desa tetangga, seorang Ibu muda kehilangan rumah dan tanahnya untuk membiayai pengadilan." sebuah peringatan bernada mengancam itu tidak membuat Aminah menjadi semakin takut, ia hanya diam menampakkan kekalahannya.

Di sepanjang perjalanan pulang tak henti-hentinya terucap rasa syukur ke hadirat Ilahi. Dipeluknya cucu satu-satunya itu dengan erat-erat lalu menciumi wajahnya yang sayu dengan berurai air mata. Ia pulang dengan membawa serpihan semangat dan secercah asa yang tersisa.

" Maknyak kan tidak salah, kenapa orang-orang di Balai Desa bilang Maknyak itu bersalah?" tanyanya penuh selidik sambil berjalan.

"Sudah, sudah, jangan diingat-ingat!" larangnya, berusaha untuk melupakan peristiwa yang baru saja terjadi.

"Kenapa harus dihukum di kamar terus digembok?" Qohar makin bertambah penasaran dan ingin tahu duduk perkaranya.

"Biarlah Gusti Allah nanti yang akan membalas" jawabnya singkat.

"Maknyak tidak salah kan?" rasa keingintahuannya tak bisa dibendung lagi.

"Qohar! kamu makan tidak cukup, hanya dengan nasi dan sambal, masih perlu lauk yang lain bukan?" ujarnya bermetafor. Qohar mengangguk sambil tersenyum.

"Hidup di dunia, jangan dipandang antara salah dan benar, hitam dan putih. Jadilah engkau cucu yang bisa kuandalkan kelak. Jangan terbiasa memandang hidup dengan kaku, jika kamu melihat seseorang yang berbuat kemungkaran, belum tentu orang itu salah. Kita harus memahami maksud dan tujuan seseorang melakukan semua itu. Jangan bertindak gegabah, lantas menghakimi, itu artinya mengabaikan Tuhan dengan berbuat sewenang-wenang. Bertindak sebagai Tuhan dan merebut hak-hak Tuhan adalah musyrik. Cintailah semua orang, semua ummat manusia seperti nabi Muhammad mencintai pamannya Abu thalib dan Orang-orang Yahudi, meskipun mereka telah dinash dalam kitab sebagai kaum yang ingkar." Aminah menerangkannya secara gamblang. Mengutip nasihat dan pesan-pesan  dari KH. Idris.

Di tengah perjalanan pulang tiba-tiba ada seseorang yang menghadang dengan mengendarai motor. Diperhatikannya dengan perasaan cemas, seseorang berbadan tambun dan berambut keriting itu. Raut wajahnya agak rikuh dan sedikit malu, sepertinya ingin mengutarakan sesuatu. Oh, rupanya Pak Susilo yang tengah menjabat sebagai kamituo Desa Rakusan.

"Mbah!" panggilnya dengan sorot matanya membulat.

"Ada apa?"

"Aku mohon maaf Mbah. Karena tidak bisa membantu apa-apa."

"Aku tidak butuh bantuanmu!"

"Simbah tidak menaruh dendam padaku, bukan?"

"Untuk apa aku dendam. Apa untungnya? semuanya sudah diatur sama Gusti Allah."

"Yo wis kalau begitu, mari Mbah?"

"Monggo..".

Dari hati yang paling dalam, sebenarnya Pak Susilo ingin membela Aminah dengan terang-terangan, tetapi ia menghawatirkan kedudukannya sebagai kamituo. Rasa takut menyelubungi jiwanya, khawatir apabila tiba-tiba ia dicopot dari jabatannya karena tidak sehaluan dengan pemerintah Desa Rakusan.

Setibanya di rumah, Aminah merebus air lalu menanak nasi. Sembari menunggu nasi matang Aminah ke sumur mengambil air wudlu dan mendirikan shalat ashar. Disuruhnya Qohar berbelanja keperluan dapur ke warung Bu Maryam. Aminah sedang memasak untuk makan malam. Ketika hendak mengambil nasi dari periuk tiba-tiba tubuhnya lemas, ia terduduk di atas kursi kecil di depan tungku. Kedua kakinya gemetar, terasa sulit untuk digerakkan disertai ngilu di kedua lututnya. Sekujur tubuhnya menggigil kedinginan, meski berada di dekat tungku perapian yang membara. Bara api yang masih merah menyala itu, sepertinya tidak mampu menghangatkan badannya yang tengah dilanda kedinginan. Kepalanya merasakan panas disertai demam. Ia mengira hanya masuk angin biasa, Aminah lalu beranjak ke tempat tidur kemudian istirahat, tetapi sekujur tubuhnya masih terasa panas, kedua tangan dan kakinya terasa dingin menusuk tulang. Ia hanya bisa tergolek lemas di pembaringan.

"Qohar!" panggilnya dengan suara lirih.

"Ya Mak."

"Nasinya kalo sudah matang pindahkan ke bakul"

"Iya!"

Qohar sore itu makan dengan lauk seadanya. Kesederhanan hidup yang ditanamkan Aminah kepadanya pelan-pelan telah merasuk pada dirinya. Tidak lupa setelah selesai makan, ia suapi neneknya namun hanya satu-dua suapan yang sanggup memasuki kerongkongannya. Nasi yang biasanya nikmat rasanya, apabila tercecap di lidah itu mendadak tiba-tiba terasa pahit, selebihnya digeleng-gelengkan kepalanya. Sebuah isyarat ketidak sanggupan menelan nasi walau hanya sesuap. Seolah jiwa dan raganya tidak mampu lagi menyokong kegetiran hidup. Begitu berat permasalahan yang ditanggungnya, hingga mampu mengikis gairah dan semangat hidupnya. Masih teringat segar dalam ingatannya, kiamat kecil di Kantor Balai Desa. Bagaimana dirinya dicerca pertanyaan oleh empat orang yang seolah-olah hendak menerkamnya. Dilecehkan seperti anak kecil dan ditempatkan dalam sebuah ruangan kosong yang lebih pengap dan kotor dari kandang sapi. Seumur hidup, baru kali ini ia mengalami nasib yang amat perih. Kini dirinya seperti mendiami jiwa yang kosong, menyelami ruang hampa dan melangkah tanpa arah. Hanya satu yang senantiasa merapat dikepalanya, yaitu kekhawatiran. Peristiwa di Kantor Balai Desa itu membuatnya sakit lahir bathin. Perempuan tua berambut perak itu tak mampu lagi menahan beban pikiran yang menderanya. Seandainya Qohar yang menjadi sumber semangat tiada disisinya, entah apa yang akan terjadi pada dirinya. Tetapi ia tetap meyakini, jika semua ini hanya sementara, yang datang lalu kemudian pergi.

Telah beberapa hari Qohar tidak ikut mengaji di Musholla oleh sebab kesibukannya. Suara iqamah telah berkumandang beberapa menit yang lalu, sebagai sebuah pertanda shalat berjamaah telah mulai didirikan. Dengan cekatan ia bergegas pergi ke Musholla dengan menyandang sebuah kitab suci, tetapi ia lupa memakai peci. Ia baru teringat ketika tengah berwudlu merasakan sesuatu yang janggal saat mengusap sebagian kepalanya. Ia mengira, tidak masalah jika lupa tak memakai peci seperti hari-hari biasanya. Tetapi kali ini pengajarnya adalah Pak Sholeh bukan Kang Fajri seperti biasanya.

Sehabis shalat berjamaah, dengan sigap anak-anak berlari-lari kecil mengambil kitab suci di almari kitab, lalu berebut mencari tempat yang terdepan. Tidak seperti acara tradisional lainnya, yang lebih memilih berebut tempat duduk di tempat yang paling belakang. Mulanya Pak Sholeh tidak memperhatikannya ketika masih di belakang, tetapi setelah ia mulai bergeser maju ke depan barulah mendapat teguran dan peringatan dari Pak Sholeh.

"Dimana pecimu?"

"Ketinggalan Pak." jawabnya sambil kepalanya menunduk.

"Niatmu kesini mengaji atau main-main?" tanyanya lagi dengan nada tinggi.

Qohar terdiam, ia tak berani menjawabnya.

"Ngaji kok tidak membawa peci. Sudah pulang sana! Tidak usah mengaji lagi."

Qohar malam itu terpaksa pulang diliputi rasa khawatir jika dirinya dimarahi lagi untuk yang kedua kalinya. Di rumah, Aminah duduk bersila di atas amben. Di tangan kanannya, untaian tasbih terus bergeser berputar perlahan.

"Kok sudah pulang,"

"Aku tak jadi mengaji."

"Kenapa?" tanyanya dengan mengerutkan dahi.

"Disuruh pulang Pak Sholeh, karena saya lupa bawa peci."

"Ya sudah, kalau begitu jangan pernah mengaji di Musholla lagi. Memakai peci itu bukanlah kwajiban, sekarang ngajinya di rumah saja." timpalnya dengan nada kesal. Permasalahan cucunya itu menambah beban pikirannya.

Malam itu Qohar tidur disampingnya, menemani tidur sambil memijiti kaki dan tangannya. Kedua bola matanya yang sayu membiru sulit terpejam meski telah berusaha ia pejamkan. Ia hanya pura-pura tertidur sewaktu Qohar memijitinya. Lama-lama Qohar tertidur pulas disampingnya. Sampai tengah malam, kedua bola matanya masih liar dan sulit untuk ditakhlukkan. Mata sebagai cerminan jiwa, penyibak sebuah rahasia, pembuka tabir yang terangkum dalam kalbu seakan ikut merasakan beban pikiran yang terlampau jauh bersarang di kepalanya. Seberat apapun permasalahan hidup yang melilitnya seringkali dengan mudahnya terlupakan. Paling lama permasalahan itu hilang setelah bangun tidur, tetapi kali ini tidak. Belenggu itu masih terus menghantui pikirannya. Hingga fajar menyingsing kedua bola matanya masih liar. Diambilnya air wudlu lalu mendirikan shalat shubuh dan berdzikir. Ia berusaha mengingat Asmaul Husna, disebutnya asma-asma Allah.

"Qohar! bangun cucuku" Aminah membangunkan sambil membelai lembut  keningnya. Qohar terbangun dari tidurnya. Dirabanya jari jemari di kedua tangan neneknya, terasa panas.

" Tanganmu terasa panas. Maknyak tidak apa-apa kan?".

"Aku tidak apa-apa, jangan khawatir, cepat ambil air wudlu dan laksanakan shalat!"

Setelah selesai mendirikan shalat, tidak lupa Qohar memanjatkan doa bagi neneknya, meminta dan mengharapkan kesembuhan dari yang Kuasa.

"Qohar! kamu sudah shalat."

"Sudah Mak!"

"Sekarang buka pintu dan jendela dapur lalu beri makan ayam-ayamnya, jangan lupa beri makan kura-kuramu, setelah itu Maknyak buatkan bubur!"

Tanpa menunggu perintah yang kedua, Qohar dengan cekatan membuka pintu dan jendela dapur, lalu memberi makan ayam dan kura-kuranya. Setelah itu ia mulai mengumpulkan bahan-bahan untuk membuat bubur.

"Maknyak! kelapanya habis" ucapnya sambil melongok ke biliknya.

"Masih satu butir di dalam ember." jawab Aminah dengan suara lirih.

Persediaan kayu di dapur tinggal sedikit, hanya tersisa beberapa ranting. Ia lalu kebelakang rumah mengambil kayu bakar. Di belakang rumah ia tertegun menerawang ke atas pucuk ranting pohon mangga yang menaungi rumahnya, ia mulai khawatir dengan kesehatan neneknya yang tak kunjung sembuh. Neneknya tidak sanggup lagi menelan nasi dalam bentuk utuh. Jalan satu-satunya adalah dengan mengolahnya menjadi bubur nasi, sehingga memudahkannya untuk ditelan, karena bentuknya yang lebih lembut. Setelah orang yang senantiasa mencurahkan kasih sayang secara tulus padanya kini keadaannya terpuruk tak berdaya. Ia menjadi lebih menyadari arti hadirnya seorang nenek baginya. Seandainya semenjak dilahirkan tidak ada orang yang sudi merawatnya, mungkinkah dirinya masih bisa hidup? Atas semua ketulusan yang telah diberikan padanya, ia berjanji kepada diri sendiri, akan merawat neneknya dengan segenap tenaga dan kemampuannya. Tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan lalu diambilnya kayu bakar satu persatu.

Kini bubur nasi aroma santan kelapa yang praktis itupun tersaji, di samping tempat tidur Neneknya. Kali ini Qohar mencoba bermetamorfosa menjadi oase di tengah keringnya gurun pasir. Ia berusaha menjadi penyejuk bagi jiwa yang masih diliputi rasa cemas. Dengan sabar, ia suapi Neneknya sesuap demi sesuap. Dengan memaksa diri, perempuan tua itu mencoba menelan nasi bubur meski lidahnya terasa pahit. Semua itu dilakukannya demi sambungan nafasnya yang kian terburai. Semangkuk bubur itupun akhirnya habis dilahapnya. Bubur yang terasa asin itu mampu merangsang kerongkongannya untuk segera diguyur air minum. Dipintanya segelas teh manis suam-suam kuku.

Alhamdulillaaah....

Terbersit rasa syukur di hatinya, lalu dari keningnya yang kusut seperti keluar titik-titik embun kecil yang bening dan menjalar di sekujur tubuhnya. Segelas teh hangat itupun seperti bocor melalui celah-celah yang sangat kecil dan samar. Hanya melalui mikroskop ukuran sepuluh kali sepuluh, Celah-celah  samar itu bisa terlihat menganga dengan jelas. Perlahan tubuhnya basah oleh keringat.

"Qohar! kakiku masih terasa ngilu. Nanti habis nyuci piring, Maknyak carikan jahe, temulawak sama rumput teki di kebun, lantas direbus seperti yang biasa ku lakukan" pinta Aminah pada Qohar.

"Iya Mak."

Di tepi kampung, Qohar dikesendiriannya sedang bersusah payah mencabut sebagian rumpunan temulawak. Temulawak yang tinggi tanamannya bisa mencapai dua meter dan tentunya lebih tinggi dari tubuhnya itu, baginya seperti upaya menahlukkan seekor ayam muda untuk ditangkap. Tidak mudah untuk dicabut, apalagi ia sendiri lupa tidak membawa peralatan cangkul atau peralatan lainnya. Dirinya masih terlampau lemah untuk mengalihkan cengkeraman akar temulawak yang panjang dan terpendam dalam tanah lempung itu. Ia terengah-engah namun batang temulawak itu masih tetap tegak ditempatnya. Ia nyaris putus asa seandainya tidak menemukan akal yang lebih cemerlang. Ia teringat sewaktu neneknya menaruh pisau usang yang sudah tumpul, disimpan di bawah gubuk kecil di bawah pohon nangka. Di bawah gubuk itu pula ia menemukan sebatang cungkil. Digalinya tanah lempung yang elastis itu disekeliling temulawak, dengan perlahan memakai cungkil dan pisau usang. Entah telah berapa minggu pisau usang itu tidak di asah. Dengan tekad terakhir ia mencoba mencabut batang temulawak itu kembali. Urat-urat kecil di tangan dan di punggung mulai menegang. Ditolaknya bumi dengan entakan kaki sekuat mungkin. Serabut-serabut akar halus mulai terputus, perlahan tanah merekah. Temulawak yang gagah itupun menyerah di titik nadir. Perakaran panjang yang mengarah ke segala penjuru terputus semua. Ketika temulawak itu berhasil tercabut ia jatuh terduduk. Hatinya mulai terbersit kegembiraan yang tak terukur, seperti menemukan satu kemenangan.

Satu pekerjaan telah selesai, ia lalu mencari rimpang jahe dan rumput teki. Tak seperti rimpang temulawak yang berbatang tinggi sehingga sulit dicabut. Rimpang jahe dan rumput teki berbatang pendek dan remah, mudah untuk dicabutnya. Dengan mudahnya kedua rimpang itu ia dapatkan. Bahan-bahan untuk ramuan itu dicuci bersih lalu ditumbuk di sebuah lumpang kemudian direbus dengan air tiga gayung seperti biasanya.

Malam itu kesehatan Aminah berangsur-angsur pulih setelah meminum ramuan buatannya. Kedua bola matanya yang semula sayu membiru pelan-pelan terlihat semakin hitam jernih. Kedua kakinya yang semula terasa berat menjadi terasa ringan.

Merasa dirinya sudah semakin membaik, ia ingin segera melaksanakan shalat. Disuruhnya Qohar mengambil jarek di teras belakang. Ia lalu menuju ke sumur mengambil air wudlu. Di basuhnya muka yang telah keriput itu dengan air yang mengalir bersih lalu kedua tangannya. Diusapnya separuh dari kepalanya lalu kedua daun telinga dengan air yang sama, kemudian membasuh kedua kakinya sampai ke lutut hingga benar-benar bersih.

Setelah selesai berwudlu ia mendapati Qohar tengah gemetar di ujung bale-bale biliknya.

"Kamu kenapa?" tak ada jawaban, Qohar  terdiam dan sekujur tubuhnya gemetar.

"Bocah bagus ada apa? kok seperti dikejar binatang." tanyanya kali kedua.

"Aku baru saja melihat setan Mak!"

"Setan-setanan? " Aminah balik bertanya.

"Bukan, bukan setan-setanan." jawab Qohar sambil geleng-geleng kepala." Yang ini beneran Mak!, tadi sewaktu mengambil jarek di teras belakang Aku melihat putih-putih seperti melayang di bawah pohon dadap. Aku takut sekali Mak!"

"Dikibuli setan kok takut, Itu karena sewaktu kamu mengambil jarek tidak membaca basmalah terlebih dahulu, iya kan?"

"Iya, saya lupa." jawab Qohar tersungging senyum.

" Lupa kok dipelihara, setiap mengawali segala pekerjaan bacalah basmalah supaya selamat. Mungkin yang kamu lihat tadi hanyalah plastik putih kecil yang  tertiup angin. Karena kamu tidak membaca Basmalah, Maka kamu dengan mudahnya diperdaya oleh setan. Putihnya kertas di malam hari dalam kamarpun akan tampak seperti pocong kalau kamu sendiri lupa membaca Basmalah."

" Mak! kata faldi sekarang sudah tidak ada setan. Apa itu benar Mak?"

"Iya, memang ada benarnya. Tapi perlu kamu tahu, bahwa setan sekarang sudah menyatu dalam diri manusia atau mungkin saja sudah berubah, bukan tidak ada. Kalau ada orang yang marah lalu mengamuk seperti kesetanan, maka disitulah setan bersemayam. Karena akal, hati dan pikirannya telah dikuasai oleh nafsu dan amarah yang dihembuskan oleh setan. Dulu kata Mbah Rasup buyutmu, sewaktu Maknyak masih kecil, setan itu bisa kelihatan. Terkadang menampakkan diri dalam bentuk binatang, genderuwo, kuntilanak dan lainnya. Tetapi sekarang apakah kamu pernah lihat genderuwo?"

"Tidak perna,"

"Maknyak sendiri sudah pernah lihat?"

"Tidak pernah, tapi kalau melihat orang yang sudah mati lalu hidup lagi Maknyak pernah,"

"Bagaimana Mak ceritanya?"

Aminah bertutur.

Suatu hari aku pergi menyusul bapak ke pematang, jalannya melewati tengah kuburan. Biasanya di tengah kuburan itu memang tidak ada apa-apa, tapi hari itu terasa ganjil, Aku berpapasan dengan kakek tua berbaju serba putih, ditangannya menggelantung seutas kain putih yang telah lusuh. Kakek tua itu melintas persis didepanku, jalannya tertatih-tatih, pakaiannya compang-camping dan kotor penuh dengan bekas tanah basah seperti habis dari sawah mengolah lahan. Dari kedua sorot matanya mengisyaratkan sebuah kekecewaan yang mendalam, tampak pucat dan sayu membiru seperti seseorang yang tengah menderita katarak. Rambut kakek tua itu meski pendek tapi terlihat acak-acakan seperti tak pernah disisir berbulan-bulan. Sebelumnya ku perhatikan kakek tua itu datang dari perkampungan, Aku sendiri merasa tidak pernah melihat dan mengenalinya. Karena saking penasaran Aku mencoba memberanikan diri untuk bertanya.

"Dari mana Mbah?"

"Dari rumah anakku." jawabnya dengan suara lirih agak terbata-bata.

"Rumahnya dimana Mbah?"

"Di kampung seberang."

"Maaf Mbah, namanya siapa?"

"Namaku Munarman."

"Kok membawa kain putih cuma segitu? Untuk apa?" tanyaku penasaran.

"Untuk peringatan. Sudah beberapa hari kuperingatkan anak-anakku. Sebenarnya tali pocongku belum dibuka, yang telah dibuka hanyalah kain di lapis pertama" jawab Kakek tua itu dengan nafas tersengal-sengal.

"Masya Allah!!" Aku kaget, bulu kudukku berdiri dan seluruh kepalaku tiba-tiba seakan seperti diperban kuat-kuat,ditekan-tekan tanpa terlihat pelakunya.

Seketika itu aku menjerit, berteriak sekeras-kerasnya sambil berlari, namun ndilalah kersaning Gusti, tak seorangpun yang mendengar teriakanku. Aku berlari sekencang-kencangnya meninggalkan kakek tua itu. Setelah sampai dikejauhan, aku teringat beberapa hari yang lalu ada berita kematian dari kampung seberang. Nama orang yang telah meninggal itu tidak lain adalah, Munarman. Sesaat setelah kematiannya, orang-orang kampung terutama para Ibu-Ibu membicarakan beberapa persoalan yang masih membelitnya. Diantaranya persoalan hutang dan harta warisan. Meski di usianya yang telah udzur dan telah memiliki banyak cucu dan beberapa cicit, akan tetapi harta pusaka dan peninggalannya belum juga dibagi dan diserahkan kepada anak-anaknya.

Belum selesai kisah mistis itu diceritakan, Qohar secepat kilat mendekap ke tubuh neneknya lebih erat.

"Memangnya tali pocong itu harus dibuka ya Mak?" tanya Qohar berselidik.

"Ya iya to"

"Kok tidak dibuka sendiri tali pocongnya?" rasa keingintahuannya tiba-tiba membuncah.

"Kamu kira mayat bisa membuka sendiri tali pocongnya?" seloroh Aminah balik bertanya."Mayat itu bangkai manusia, sudah tidak bisa apa-apa lagi, karena ruhnya telah pergi, nyawanya dicabut oleh yang kuasa. Ruh itu barang gaib, bisa dirasakan tetapi tak bisa dilihat. Ada suara tapi tanpa rupa seperti kamu!" paparnya dengan sungguh-sungguh, sembari bercanda..

"Ah Maknyak menakut-nakuti saja. Oh ya Mak barang gaib itu seperti apa?" tanya Qohar bertambah penasaran

"Ya tidak seperti apa-apa!" Aminah diam dan berpikir sejenak. "Kamu pernah melihat angin?"

"Pernah"

"Dimana?"

"Hmm, sepertinya aku tidak pernah melihatnya,"

"Ya kira-kira seperti angin itu, bisa diraba dan dirasakan, tetapi tidak bisa dilihat."

"Ohh begitu."  ujarnya mengangguk-angguk puas.

"Yo wis, kalau begitu kamu baca basmalah dan berdoa seperti biasanya, lalu tidur."

"Iya Mak."

Di pagi buta Aminah telah selesai melaksanakan shalat shubuh. Ia hendak menanak nasi, diambilnya air dari sumur untuk mencuci beras. Karena airnya masih terasa kurang, iapun mengambilnya lagi ke sumur. Begitu air didapatnya, ia malah terpeleset dan terjatuh di dekat sumur hingga pingsan, kepalanya terbentur sebuah tiang bambu di samping sumur. Tak ada seorangpun yang mengetahui hal itu.

Beberapa saat kemudian Qohar terbangun dan tidak mendapati neneknya, iapun bergegas mencarinya. Begitu ditemukan Qohar kaget bukan kepalang..

"Maknyak! bangun Mak!" teriaknya, ia menangis tersedu-sedu. Ia tidak tahu harus bagaimana selain tetap berusaha membangunkannya. Setelah tersadar Qohar membantu memapahnya ke dalam bilik.

"Maknyak kan belum sembuh benar, kenapa tidak istirahat saja?" dari kedua bola matanya meleleh bulir-bulir air mata.

"Tidak apa-apa, nanti nasinya kalau sudah matang dibuat bubur saja." ucapnya dengan suara lirih.

"Sudah! jangan dipikirkan, yang penting Maknyak sehat dulu."

Setiap kali Aminah mengangkat periuk dari tungku, Qohar seringkali melihatnya tanpa melapisi tatakan lain dikedua tangannya, ia pun mencobanya, setelah dicoba, ternyata tak semudah dengan yang ia bayangkan. Antara berat dengan dimensi panas menyatu. Tak kuasa ia bertahan terlalu lama barang beberapa detik. Ketika periuk akan dipindah, ujung jari tangan kirinya tiba-tiba terkena bara api kecil yang menempel di dinding periuk, sehingga melepuh dan meninggalkan bekas luka.

Bubur nasi putih itu telah matang dan tersaji di meja. Di ambilnya semangkuk buat dirinya dan semangkuk lagi buat neneknya. Bekas luka yang masih terlihat melepuh berusaha ia tutup-tutupi namun karena suatu ketidak sengajaan, lukanya terbentur mangkuk bubur disampingnya. Meski benturannya tidak terlalu keras tetapi ia telanjur mengaduh pelan secara spontan tanpa sengaja.

"Aduh!" keluhnya sambil meringis.

"Kenapa dengan tanganmu?"

"Kena percikan api Mak!"

"Kenapa tidak hati-hati, siapa nanti yang merawatku jika kamu juga ikut sakit?" keluhnya menghawatirkan keadaannya.

"Tidak apa-apa Mak, nanti juga sembuh.?"

Diluar sana, pembicaraan miring mengenai persekongkolan Aminah dengan orang-orang Chunghoa cepat tersebar. Orang-orang kampung yang masih lugu dan menganggap tabu kehadiran orang-orang asing itu, dengan mudahnya terpancing oleh hasutan pihak-pihak yang tidak menyetujuinya. Satu bentuk kesalahpahaman yang kian menyebar dan mengakar di masyarakat. Bumbu-bumbu dusta merasuk ke dalam sendi-sendi percakapan para Ibu-Ibu. Dari pembicaraan yang beredar, Aminah menjadi berani kepada pemerintah Desa Rakusan, semenjak bersekongkol dengan orang-orang Chunghoa.

Belum genap tiga hari peristiwa balai Desa itu, kini kabar mengenai dirinya telah tersebar luas. Dari mulut ke mulut pembicaraan itu kian merambat. Aminah menjadi berani karena ada yang mendalangi. Aminah membantu pengusaha Chunghoa di dalam upaya menguras sumberdaya alam, dengan menguasai tanah ulayat warga. Jika semua itu terjadi maka akan mengganggu kearifan lokal yang telah lama mengakar dalam kehidupan sehari-hari. Apabila kearifan lokal kian tercerabut dari akarnya, maka bukan tidak mungkin akan hilang mata pencaharian masyarakat.

Satu gambaran kekhawatiran warga yang semakin menjadi-jadi. Kabar tentangnya menjadi bahan pembicaraan para Ibu-Ibu di kebun dan juga di sawah, yang tengah memulai musim tanam. Kabar yang tak jelas itupun sampai ke telinga Kyai Haji Idris, pemimpin pondok pesantren Attaubah sekaligus pembina dan pengasuh sebuah Majlis Ta'lim. Seorang Kiai yang dikenal ahli dalam ilmu Fiqih dan Hadits.

Di Majlis Ta'lim Attaubah asuhan Kyai Haji Idris itu, Aminah mengaji dan menuntut ilmu selama ini. Begitu kuat pengaruh Kyai Haji Idris di masyarakat, melebihi peran pemerintah. Setiap kali ada permasalahan yang mencuat, hanya kepadanya masyarakat mengadukannya. Menurut Kyai Haji Idris, Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar adalah suatu keniscayaan, harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Setelah mengetahui adanya desas-desus penguasaan lahan oleh orang asing, dari pembicaraan warga yang didasari oleh kesalah pahaman. Maka tanpa menunggu waktu lama, Kyai Haji Idris lalu mengerahkan sebagian santrinya ke Kantor Balai Desa Rakusan. Mereka dikerahkan untuk menuntut lahan yang telah dibeli oleh pengusaha chunghoa, supaya secepatnya dibatalkan dan diblokir, sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Sementara diwaktu yang sama, Kyai Haji Idris juga mengutus dua orang santrinya untuk menemui Aminah. Dalam pertemuan itu, mereka menyampaikan pesan dari Kyai Haji Idris yang berisi himbauan keras. Aminah tidak diperkenankan lagi mengikuti pengajian di Majlis Taklim yang diasuhnya. Aminah telah dianggap mencemarkan nama baik majlis taklim. Di Majlis taklim yang diasuhnya sebulan sekali itu, tidak menerima jama'ah yang mempunyai cacat moral macam Aminah.

Tanah kapling yang telah dibeli beberapa hari yang lalu itu didatangi ratusan santri. Mereka membawa batu, kayu, minyak tanah dan peralatan lain untuk memblokir tanah kapling yang dianggapnya terlaknat itu. Dengan dibantu para pemuda kampung setempat, mereka semakin leluasa mengobrak-abrik tanah kapling beserta gubuk-gubuknya. Gubuk kecil yang menjadi tempat persinggahan barang sebentar oleh Pak Yusuf dan Pak Amin juga tidak luput dari amukan para santri dan pemuda-pemuda kampung. Gubuk kecil berukuran dua kali dua meter itu ikut terbakar hangus hingga rata dengan tanah. Dengan dibakar semangat jihad, mereka teriakkan takbir sekeras-kerasnya, sekencang-kencangnya. Saling menyambung dan mengisi satu sama lain.

Allahu Akbar Allahu Akbar ! Allahu Akbar Allahu Akbar !

Kalimat takbir yang suci itu dengan sengaja dinodainya, lalu mempermainkannya sedemikian rupa, ditempat yang tidak semestinya. Atas nama Tuhan mereka memblokade tanah yang bukan haknya. Tanah kapling itu akhirnya terbengkalai dan entah sampai kapan pembangunan itu dilanjutkan. Tanpa disadari mereka telah menjajah saudaranya sendiri. Hanya karena dzahir yang asing itu mereka bertikai, memamerkan sayap kekuasa'an satu sama lain. Apakah dengan berbuat demikian Tuhan akan bangga?Atau bahkan menjadi menang? Tanpa semua itupun Tuhan telah menang, telah berkuasa, mutlak diatas segala-galanya. Mereka tidak mengetahui jika Tuhan tidak memerlukan semua itu.

Tidakkah cukup bagi mereka kenikmatan yang senantiasa Tuhan limpahkan? hingga mereka tega merampas hak orang lain. Jika memang mereka berdalih akan sebuah jihad dan pembelaan Agama, Agama yang manakah yang mereka bela?. Dengan samar mereka telah menuhankan diri, semua itu adalah bagian dari taktik iblis yang amat sangat halus, sehingga tiada terasa. Ketika semua itu berhasil, maka para Iblis dan hulu balangnya akan berpesta pora merayakan kemenangannya. Sang iblis telah mendapatkan umpan yang kelak bisa diandalkan, untuk dijadikan kerak di dalam neraka

Belum sepenuhnya sembuh dari sakit, ujian hidup kembali datang bertubi-tubi. Kini seorang Kyai yang selama ini menjadi tempat berkeluh kesah telah berbalik menyerangnya dari belakang. Puluhan santrinya dikerahkan untuk menolak apa yang telah menjadi angan-angannya selama ini. Sebagian tetangga mulai menjuluki dirinya sebagai orang tua yang tidak waras, gila. Hanya beberapa tetangga yang terhitung jari memberikan dukungan atas jalan hidup yang ditempuhnya. Terasa berat beban pikiran yang ditanggung, di wajahnya menyimpan kesedihan yang dalam, membendung penderitaan tetapi tidak menampilkan dendam. Walau sakit dihatinya tidak mudah untuk dihapus, tetapi ia tetap  berusaha untuk menghapusnya. Ia berusaha menghapus memori, peristiwa di Kantor Balai Desa yang membuatnya sakit lahir bathin. Sakit hati yang tidak ada obatnya itu hanya bisa diobati oleh virus, virus cinta dan tawakkal kepada Ilahi.

Rasa sakit yang tak biasa itu memperlambat proses kesembuhannya. Ia mulai takut jikalau berpisah dengan  ruhnya. Di dalam bathinnya bertanya-tanya, mungkinkah diriku memang sudah waktunya? Sementara ia masih mempunyai tanggungan seorang cucu. Bagaimana dengan cucunya apabila ia keburu dipanggil menghadap yang kuasa? Berapapun waktu yang telah dijatah oleh yang kuasa harus diterima, biarpun waktu yang ditorehkan hanya tinggal beberapa hari. Tetapi bukan Aminah namanya jikalau harus berhenti dari ikhtiar. Itu sama artinya menyerah sebelum babak pertandingan usai.

"Baskom cuci tangannya mana?" pintanya sehabis menghabiskan setengah mangkuk bubur nasi.

"Ya Mak, sebentar!"

"Kenapa tidak dihabiskan ?"tanya Qohar setelah mengantarkan baskom kecil untuk mencuci tangan.

"Mulutku terasa pahit." ujar Aminah mengeluh.

"Kamu sudah Makan?" tanyanya kemudian.

"Belum lapar Mak!" jawab Qohar Dengan wajah lesu.

"Kalau begitu Maknyak ambilkan uang dilemari, lalu belikan bubur kacang hijau dua bungkus. Sekalian belikan jamu pegal linu, kakiku rasanya ngilu."

"Tadi saya mau mencuci, tapi sabun cucinya habis!"

"Ya sudah! kamu belikan sabun cuci sekalian." perintahnya kemudian.

Dua bungkus kacang hijau telah ia dapatkan di warung Bu Bariyah, ia lalu mampir ke toko Bu Maryam untuk membeli jamu dan sabun cuci. Sementara diwaktu yang sama seorang Ibu muda yang tengah berbelanja di toko Bu Maryam menanyakan keadaan neneknya.

"Kata Bu Mirna, kemarin nenekmu sakit, bagaimana keadaannya sekarang? sudah sembuh?" tanyanya, di tangannya menggantung plastik warna hitam berisi kangkung.

"Belum."

"Sudah lama sakitnya?"

"Baru dua hari."

"Ooh sudah dua hari."

Begitu barang yang dipesan telah didapat, Qohar lalu membayar barang belanjaan, tetapi oleh Bu Maryam sebagian uangnya sengaja dikembalikan itung-itung sebagai amal sirran1.

"jamunya tidak usah bayar"

"Nanti saya dimarahi Maknyak."

"Wis ra opo-opo, lha wong nenekmu sakit kok masih banyak bertingkah!

"Terima kasih Mbah."

Malam mulai menampakkan wajahnya, rembulan yang bersembunyi dibalik awan di siang hari itu, kini mulai menampakkan diri. Sekumpulan kelelawar keluar dari lubang pada ruas-ruas bambu di setiap teras rumah. Pertanda waktu maghrib telah tiba. Kearifan alam hadirkan pengetahuan yang bermetamorfosa menjadi sebuah tradisi. Anak-anak dengan busananya yang rapi mulai menyandang kitab suci. Dengan indahnya anak-anak kecil itu melafadzkan kalam ilahi. Kalimah-kalimah yang selalu selaras dengan berbagai zaman itu tidak pernah bisa dinodai hingga dunia digulung. Setiap hari muncul tunas-tunas baru al khamil2 di seluruh penjuru dunia. Mereka adalah penjaga sejati kesucian dan kemurnian Al Qur'an. Sementara itu sekumpulan ayam, itik dan ternak-ternak lain telah masuk ke kandangnya masing-masing. Burung hantu, mahluk Tuhan yang bisa memutar lehernya hingga seratus delapan puluh derajat itu mulai mengasah ketajaman indera penglihatannya. Dengan sorot matanya yang kaku, seolah-olah tidak bisa bergerak. Seandainya seseorang memperhatikan sorot matanya terlalu lama, maka akan tersipu malu dan meringis dibuatnya. Sorot matanya yang tajam itu terus memaku seperti sedang bersandiwara. Burung itu menanti dan terus menanti datangnya mangsa, begitu mangsa datang secepat kilat burung itu menyambarnya.

Selepas waktu Isya' para tetangga dengan beberapa anaknya datang menjenguk Aminah. Malam itu Qohar sedikit sumringah, para tetangga secara sukarela membagi tugas masing-masing. Ada yang membantu merapikan tempat tidur, melipat baju, memijiti, dan  memasak air. Adapula beberapa Ibu yang sengaja datang untuk menghibur dengan banyolan-banyolannya yang khas.

"Lho setelah dipijiti kok malah sekujur tubuhnya makin terasa dingin bagaimana ini? Wah jangan-jangan..." kata seorang perempuan kepada rekannya.

"Ah kamu menakut-nakuti saja." sahut yang lain.

"Lha wong tubuhnya makin terlihat segar gitu kok, ya Mbok ya?" tanya seorang perempuan yang berpakaian abu-abu. Aminah cuek saja sambil menahan senyum. Lalu kemudian senyumnya mengembang.

"Lha mukamu kenapa? kok coreng moreng, habis masak ya?" tanya yang lain sambil terus memijiti kaki Aminah, mengada-ada.

"Masa iya, lha wong saya tadi kesini ya bedakan dulu." keluhnya sambil mengelus-elus pipinya. "Yang mana sih?". tanyanya kemudian.

"Itu lhoo itu." tipu yang lain ikut nimbrung sambil  jari telunjuknya mengarah lurus ke arahnya.

" Yang mana?" tanyanya lagi." Ngaco kamu!"

"Lha wong kamu dikibuli kok mau." ujar yang lain membuka tabir.

"Sudah tua kok gampang ditipu. "

"Mbok! sampeyan ini sudah tua perbanyak istirahat saja." nasehat seorang yang memakai pakaian merah marun, lalu kemudian memohon diri pamit pulang.

" Wes poko'e tenangkan pikiran, perbanyak dzikir biar cepat sembuh." ujar yang lain.

"Wes poko'e sing sabar Mbok!"

"Jangan lupa makan makanan yang bergizi."

"Jangan lupa minum air putih yang banyak."

"Kok makannya cuma bubur, mbok ya dibelikan sate atau ayam goreng gitu lho, uang banyak kok pengiritan." gerutu yang lain dengan wajah cemberut sambil memberikan bungkusan plastik berwarna merah.

Malam semakin larut, para Ibu beserta anaknya satu persatu pamit pulang. Dari para tetangganya, Aminah mendapatkan banyak buah tangan berupa roti, mie instan, sate ayam, lontong pecel, keripik singkong hingga kacang rebus. Setelah semuanya pulang, Qohar membuka dan mencicipinya. Melihat semangat cucu satu-satunya dalam membuka makanan, guratan-guratan kecil di wajahnya semakin bertambah kerut. Menyiratkan sebuah kebahagiaan. Aminah Semakin senang ketika melihat Qohar makan roti coklat belepotan. Ingatannya melayang jauh ketika Qohar masih lucu-lucunya. Qohar gagal menangkap anak ayam, sungguh tidak masuk akal, seekor anak ayam yang baru menetas mampu berlari kencang dan mengecohnya. Qohar hanya bisa menangis dan menangis sejadi-jadinya. Ia juga pernah mati-matian berebut lauk pindang goreng dengan induk kucing, sewaktu ditinggalnya mengambil air minum ke dapur. Ketika sedang belajar makan sendiri, nasinya tumpah berceceran, lalu dengan terburu-buru ditutupinya dengan debu. Pada hal waktu itu neneknya melihat semuanya dari balik pintu. Teringat pula disaat ia membuatkan titilo jago tiloo membuat Qohar gembira bukan main, saking gembiranya kakinya kesandung dan terjatuh lalu menangis. Begitu mudahnya tawa itu menjadi tangis.

"Maknyak kok malah bengong! Maknyak tidak makan?" tanya Qohar memecah kebekuan.

"Tidak, tapi sedikit lapar" candanya dengan sedikit tertawa." Coba kamu lihat yang diplastik merah itu isinya apa.?" pintanya kemudian.

"Maknyak kepengen? Saya suapin ya Mak?" tawar Qohar.

"Isinya apa?" Aminah tetap kekeh dan kembali mengulang pertanyaannya.

"Ayam goreng."

"Jangan kau makan! buang saja atau berikan pada kucing!" larang Aminah sambil geleng-geleng kepala.

"Kenapa Mak?"

"Barang itu tadi diberikan dengan setengah hati, itu artinya pemberiannya tidak ikhlas. Kamu tahu kan maksudnya?" Qohar terdiam.

"Jika kamu pengen nanti kita beli sendiri!" hibur Aminah kemudian.

Prasangka

Dari prasangka

Penyesalan datang

Karena prasangka

Jernih kalbu memekat

Oleh prasangka

Beribu dusta menghadang

Dalam sudut-sudut ruang

Di setiap sisi kehidupan

Telah beberapa hari Aminah belum mengunjungi sawahnya, keadaannya belum pulih benar. Tidak ingin sawahnya telantar dan mengering begitu saja, Aminah lalu menyuruh Qohar supaya pergi ke sawah, mengambil jatah pengairan.

"Qohar, kamu nanti ke sawah mengambil jatah pengairan, kalau ada yang melarang, bilang saja sudah berhari-hari belum dapat jatah. Pastikan kau mendapatkannya, karena mungkin sekarang sudah mengering." perintahnya dengan memberikan sebuah jurus jitu.

Di pematang, Qohar bertemu dengan para ibu yang tengah menyiangi rumput di sawah tetangga. Mereka berbagi cerita dan saling mengungguli satu sama lain. Suasana riuh mengisi hari-hari di persawahan. Di tempat lain, sekumpulan para ibu buruh matun tengah bergurau dengan sesekali diselingi canda tawa, telah menjadi semacam sumber semangat bagi mereka. Tanpa terasa pekerjaannya selesai lalu pulang. Begitulah orang-orang kampung dalam mewarnai hidupnya.

Tidak terlalu sulit mendapatkan jatah pengairan, karena sawah-sawah di sekitarnya telah teraliri. Air yang melimpah itu ia arahkan begitu saja kesawahnya.

"Yang mengairi kok kamu, Le, Mbahmu ke mana?" sapa seorang ibu yang akrab dipanggil Mak Zulaiha.

"Di rumah, sedang tidak enak badan,"

"Mbahmu katanya sakit ya?" tanya perempuan yang lain.

"Iya, sakit,"

"Kebanyakan uang kali?" sahut seorang perempuan yang memakai caping gunung bercat hijau sambil mencabuti rumput sembari bercanda.

"Sakit apa?" tanya seorang perempuan yang berselempang selendang.

"Hanya ngilu di kakinya,"

"Ooh kena reumatik mungkin,"

"Biasanya kalau kebanyakan uang yang sakit itu kepalanya, karena pusing mau dikemanakan uangnya," sahut yang lain sambil cengar-cengir.

"Tapi kalau kakinya yang sakit apa dibuat mikir?" seloroh perempuan paruh baya yang tengah mengumpulkan rumput hendak dibuang.

"Kamu ini ada-ada saja." ujar yang lain menengahi.

Para ibu buruh matun terbiasa bercanda sembari menyiangi rumput. Dari waktu ke waktu selalu ada hal yang dibicarakannya. Tidak ingin ikut hanyut dalam pembicaraannya, Qohar lalu pergi menjauh, memperbaiki saluran air sambil menyiangi rumput liar di sela-sela tanaman padi. Dari jauh, samar-samar masih terdengar pembicaraan para ibu buruh matun. Semenjak kedatangannya ke sawah, pelan-Pelan mereka menggiring dan mengalihkan pembicaraan ke masalah neneknya. Di bawah terik panasnya mentari yang kian menyengat, tak menyurutkan mereka untuk terus bergunjing, rasa puas dan bangga melingkupinya apabila mengetahui berita itu secara menyeluruh. Menjadi sebuah hiburan, sebagai upaya keluar dari keadaan yang menelikungnya. Terkungkung oleh rasa jemu, keram dan pegal-pegal disekujur badan. Di waktu dluhur mereka mulai beristirahat.

Dengan bergunjing, mereka seperti terobati akan sebuah candu yang telah lama mengakar dan bersarang di kepalanya. Sementara itu, Qohar semakin asyik pula dengan dunianya, mengairi sawah sambil menyiangi rumput, lalu sesekali pergi ke sungai dan nyebur dengan gaya saltonya.

"Kayaknya memang sudah cukup lama ya, Mbok Nah tidak ke sawah." ujar perempuan yang dari tadi pagi pekerjaannya hanya membuang rumput ke selokan

"Mungkin sakitnya sudah ada seminggu, kalau tidak salah semenjak dari Kantor Balai Desa." ujar yang lain.

"Mbakyu tak bilangin, jangan bilang ke orang-orang ya? Kabarnya Mbok Nah itu sudah tidak diperbolehkan ngaji di Majlis Taklim asuhan Pak Yai Idris, karena bisa mendatangkan aib bagi Majlis Ta'lim itu sendiri. Kalau sampai Mbok Nah tetep nekat ikut pengajian, itu sama artinya dia mencemarkan nama baik Pak Yai, sampai-sampai kata Mbok Karti, yang ikut pengajian kemarin, Pak Yai berpesan kepada seluruh para jamaah, supaya berhati-hati di dalam bekerja, bertindak maupun bersikap. Jangan sampai menjadi Mbok Nah yang kedua kali, yang lurus-lurus saja gitu lho," bisik Nyai Sarkem kepada katimeh.

"Katanya Mbok Nah cuma jadi makelar tanah?" timpal Katimeh pelan.

"Makelar sih makelar tapi buktinya kan kayak gitu, sekongkol dengan orang-orang kafir," ujar nyai Sarkem yang biasa menyamakan orang-orang asing itu dengan orang kafir.

"Sakitnya mungkin adzab dari gusti Allah," seorang perempuan yang lain berkesimpulan.

"Adzab kepalamu! Lha wong Mbok Nah itu katanya bela-belain ke Kantor Balai Desa demi keadilan kok!" bela Kasanah, tetangga jauh Aminah yang sejak tadi diam saja. "Dia itu protes dengan aturan yang dibuat pak Carik yang katanya berubah-ubah itu!"

"Aku dengar-dengar sih katanya, Mbok Nah itu menempelkan kertas di papan pengumuman Kantor Balai Desa, sehingga memancing amarah para perangkat  Desa, entah isinya apa giti lho," ujar yang lain.

"Tapi yang jelas, menurutku Mbok Nah itu cuma negur atau hanya sekedar mengingatkan, Pemerintah Desa kan juga manusia yang bisa salah, siapa lagi yang mau mengingatkan pemerintah kalau bukan masyarakatnya, benar apa tidak?" kata yang lain kepada rekan-rekannya.

"Iya, mungkin ada benarnya juga," jawab yang lain.

"Setahun yang lalu, aku membukukan surat tanah yang di belakang rumahku, eh nyatanya baru jadi kemarin, itupun karena sering-sering tak beri uang tambahan biar cepat kelar, sampai habis, dua gelangku!" sambung perempuan yang berkerudung merah.

"Apa semua itu harus dibiarkan terus menerus?" sahut perempuan yang lain.

"Ya mau bagaimana lagi, ya dimaklumi saja, lha wong nyalon kades saja modalnya sampai ratusan juta, dari mana modal bisa kembali kalau bukan dari masyarakat!" pungkas Kasanah nerocos begitu saja, lalu berlari-lari kecil menuju sungai, hendak buang hajat.

Beberapa hari ini Aminah menjadi bahan pembicaraan di rumah, di sawah, bahkan di Majlis Ta'lim dan tempat pengajian para ibu. Kini Qohar telah terbiasa mendengar neneknya dijadikan bahan pembicaraan, ia tidak lagi heran mendengar pembicaraan-pembicaraan konyol tentang neneknya. Selesai mengairi sawah, ia pulang tanpa peduli lagi dengan gunjingan orang-orang di sekitarnya. Tidak lupa di setiap jejak langkahnya ia sempatkan diri memunguti ranting-ranting kayu kering. Tanpa terasa semakin banyak ranting kayu kering yang didapatnya. Dengan agak repot ia membawanya sambil sesekali istirahat di bawah rimbunnya pohon asam.

Di waktu yang sama, tak jauh dari tempatnya beristirahat, terparkir sebuah mobil dengan warna hitam metalik. Salah seorang penumpang datang menghampirinya. Sejenak ia teringat beberapa hari yang lalu dengan salah seorang yang akan mendekatinya, tetapi ia lupa siapa namanya.

"Itu orang nya," ujar pak Puji, sopir pribadi pak Amin  yang tengah menunggu di pintu mobil setengah berteriak.

"Hai bocah bagus kamu cucunya Mbah Aminah, bukan?" tanya pak Amin setelah menghampirinya.

"Iya pak, saya cucunya."

"Dimana dia sekarang?"

"Di rumah, kemarin sewaktu Maknyak pulang dari Balai Desa badannya langsung panas demam, Maknyak di hukum di Balai Desa," ujarnya polos.

"Ooh..Ya sudah, jangan bersedih," hiburnya kemudian. "Ayo ikut sekalian, taruh kayunya di atas bagasi, kita ke rumahmu," ajak pak Amin dengan mengangguk-angguk.

Di teras rumah, Aminah duduk selonjor di atas dipan sambil mengupasi kacang tanah. Tanpa sungkan Pak Amin dan pak Puji menanyakan tanah kapling yang telah di blokir itu. Qohar masuk ke rumah hendak makan siang.

"Simbah masih sehat?"

"Alhamdulillah sehat, silahkan masuk pak,"  ajaknya kemudian.

"Tidak usah, disini saja." Pak Amin menolaknya.

"Ya sudah, tunggu sebentar, biar saya buatkan minum,"

"Tidak usah repot-repot, saya kesini hanya perlu sebentar," balasnya dengan berbasa-basi.

"Ada perlu apa?"

"Hanya ingin menanyakan seputar tanah kapling, Simbah sudah tahu mengenai tanah kapling kami yang sudah di blokir?" tanya pak Amin sambil duduk di sebelahnya.

"Iya tahu, Saya mohon maaf, Pak, tidak bisa berbuat apa-apa, kata Kasanah, kemarin tanah kaplingnya sudah dipalangi kayu. Sungguh saya tidak mengira kalau akhirnya bakal ditutup, saya sungguh tidak mengerti dengan semua ini,"

"Oke, kalau Simbah tidak mengerti, tapi setidaknya Simbah tahu, jika tanah itu bermasalah bukan? Lalu kenapa Simbah tidak berterus terang saja dari awal, anda tidak sekongkol bukan, dengan para pendemo?" tanya pak Amin dengan nada serius. Aminah diam, tidak sepatah katapun yang terlontar dari mulutnya.

"Tolong jawab dengan jujur Mbah?" sela pak Puji menambahkan. Aminah masih tertunduk lesu, dari kedua bola matanya mulai meleleh.

"Saya benar-benar tidak tahu dengan semua ini," jawabnya dengan suara lirih.

"Saya juga tidak tahu dan tidak habis pikir, kenapa Simbah bisa dihukum di Kantor Balai Desa, bagaimana semua itu bisa terjadi? Anda bisa berbagi kepada kami perihal peristiwa itu?"

"Tidak, saya tidak dihukum, saya hanya ditahan dan dikurung di sebuah gudang." belanya dengan membenarkan informasi penahanannya.

Aminah lalu bertutur tentang peristiwa itu hingga tuntas. Pak Amin lalu meminta ijin agar Aminah bersama Qohar bersedia dipotret.

"Kok diphoto segala, untuk apa? Wong saya sudah tua kok," tukas Aminah, sedikit rikuh.

"Mbah, Pak Amin ini, selain bekerja sebagai konsultan juga bekerja sebagai wartawan dan photografer," ujar pak puji menerangkan.

" Nenek tahu itu?" tanyanya kemudian.

"Yaah aku hanya orang kampung, tidak tahu apa-apa," jawabnya dengan bersahaja.

Hanya berselang lima hari kemudian, kisah pilu Aminah di Kantor Balai Desa Rakusan beserta dua fotonya bersama Qohar terpampang di salah satu harian terbitan Ibu kota. Belum ada yang tahu perihal kemunculannya di harian Ibu Kota itu, dua hari kemudian masyarakat baru mengetahuinya.

Setelah mengetahui hal itu, Pihak Pemerintah Desa Rakusan menjadi semakin geram. Dengan cepatnya bola liar berita itu menggelinding ke segenap sudut-sudut perkampungan. Pak Lurah sendiri, begitu mengetahui berita tentangnya beserta jajarannya ditulis di sebuah media massa, darah Pak Lurah menjadi mendidih kembali. Kewibawaannya kali ini benar-benar tercoreng, ditampar sekeras-kerasnya oleh perempuan Renta yang tidak mempunyai daya dan upaya. Aminah, semenjak berita mengenai profil dirinya diturunkan, malah tidak tahu dan meragukannya. Tetapi ia harus mengalah kepada nasib, pemerintah Desa Rakusan menduga semua ini adalah sebuah rekayasa terencana, suatu kesalahan yang tidak bisa dimaafkan. Sebuah berita fiktif yang dinilai telah mencemarkan nama baik Desa Rakusan. Atas pemberitaan yang dinilai penuh kebohongan itulah, Aminah kembali digelandang ke Kantor Balai Desa Rakusan.

Belum sepenuhnya pulih dari rasa was-was yang menderanya, Aminah  harus menghadapi kembali kenyataan pahit, berhadapan dengan manusia-manusia yang bertindak dan bersikap seperti anjing yang kelaparan. Ia kembali dihujani pertanyaan-pertanyaan konyol yang tidak pantas untuk dipertanyakan. Kali kedua Aminah ditahan, justru malah semakin menyakitkan. Perempuan tua itu seperti bola yang harus ditendang kesana kemari. Dihina dan dicacimaki tanpa memandang strata sosial. Penghinaan yang tidak pantas dialamatkan padanya itu, telah ditelannya bulat-bulat meskipun terasa berat. Ia terima kesumat-kesumat itu walaupun terasa sakit menusuk kalbu. Harga dirinya sebagai orang tua yang seharusnya dihormati dan dimuliakan malah justru direndahkan, diinjak-injak di depan semua orang. Aminah kali ini bagai budak yang harus diperlakukan sesuka hati. Dipaksa menjawab pertanyaan-pertanyaan konyol seperti kerbau yang dicongok hidungnya. Qohar sempat merengek ingin menemaninya di Kantor Balai Desa, tetapi Aminah tidak mengijinkannya. Ia tidak ingin melihat cucunya dilecehkan sedemikian rupa, hingga membekas dalam pikirannya dan meninggalkan trauma yang berkepanjangan. Dengan berat hati Qohar menurutinya, menjaga rumah dan menjenguk neneknya setiap sore.

 Kali ini Aminah lebih siap menghadapi semuanya, sehingga tidak terlalu mengguncang jiwanya. Penahanannya kali ini tanpa ada kepastian, kapan akan dibebaskan. Pihak pemerintah Desa Rakusan menyatakan, masalahnya kali ini masih dalam tahap pengkajian. Untuk mengkaji ulang terlebih dahulu, pihak Pemerintah Desa Rakusan sengaja mengulur-ulur waktu sebagai bentuk pembalasan. Sementara Qohar, diusianya yang belum genap tujuh tahun, harus mulai membiasakan diri pulang-pergi dari rumahnya ke Kantor Balai Desa Rakusan. Mengantarkan makanan, pakaian dan keperluan lainnya. Sebuah perjalanan yang melelahkan untuk ukuran anak kecil seusianya..

Sekumpulan awan hitam bergerombol memayungi pegunungan Muria selama beberapa hari. Itu artinya, akan terjadi sesuatu pada anak sungai yang dilintasinya, seperti halnya banjir atau tanah longsor. Dan benar saja, langit mendung disertai hujan yang tak kunjung berhenti itu telah menyebabkan banjir besar. Air bah yang sedemikian besar itu telah memenuhi sungai hingga meluap. Sepanjang aliran sungai yang dilalui air bah bercampur kayu gelondongan, rumpun pisang serta berbagai macam sampah, mengalami longsor di sebagian tempat yang dilaluinya. Berbagai macam tanaman seperti, pohon kapuk randu, pohon pisang dan rumpunan bambu tumbang lalu hanyut, mengikuti arah aliran sungai. Pun demikian halnya dengan tanaman-tanaman milik Aminah yang berjajar di pinggiran sungai, juga tak luput dari terjangan banjir. Tiga rumpun pohon pisangnya dari tujuh rumpun mengalami longsor dan ikut hanyut terbawa banjir. Hujan yang disertai angin kencang itu juga menumbangkan sebagian pohon di perkampungan. Sebuah rumah milik Pak Kasim rusak di bagian depan oleh sebab tumbangnya pohon sengon di samping rumahnya. Dari awal para tetangga sudah menduga akan terjadi sesuatu, karena pohon sengon itu memang terlihat agak condong kedalam rumahnya, tetapi Pak Kasim tak terlalu menghiraukannya. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu. Hasan, putra sulung Pak Kasim berlari keluar begitu mendengar suara patahan ranting yang mulai retak oleh terjangan angin. Sementara kedua orang tuanya beserta kedua adiknya, masih di sawah menunggui padi. Seandainya Qohar dan kedua temannya, Fariz dan Amar berlama-lama di dalamnya, mungkin akan terjadi sesuatu padanya. Beberapa menit yang lalu Qohar dan kedua temannya berkunjung ke rumah Hasan.

Beberapa hari belakangan Hasan sering melamun dan terkadang menjerit tanpa sebab. Ia tidak mau lagi bermain bersama dengan teman-teman seperti biasanya, tidak mau mengaji di Musholla dan menjadi pemarah setiap kali disuruh mengaji. Pada hal sebelumnya, ia rajin mengaji dan lebih pandai dari teman-temannya. Para tetangga menilai orang tuanya, Pak Kasim terlalu keras dalam mendidiknya. Setiap kali tiba waktunya mengaji, sedangkan Hasan masih bermain, maka pukulan rotan akan senantiasa mendarat padanya. Setiap tiba waktu shalat dan Hasan masih bermain atau tertidur, maka air satu ember penuh telah menunggunya. Ia akan segera diguyur air atau dipukul jika melakukan kesalahan. Mungkin karena sebab-sebab itulah Hasan mengalami gangguan mental, mentalnya terganggu oleh sebab kekerasan yang membelenggunya. Agama Islam, sebuah ajaran yang menjunjung tinggi toleransi, kebebasan beragama dan perdamaian itu telah menjadi momok yang sangat menakutkan baginya. Sebuah kehancuran pondasi Agama yang ditimbulkan oleh orang-orang Muslim yang masih dangkal pengetahuannya.

Qohar dan kedua temannya, Fariz dan Amar masih asik bermain kelereng. Paman Mansyur tiba-tiba datang mengacaukan suasana, ia menantang ketiganya bermain kelereng dengannya. Satu babak permainan hingga beberapa kali permainan, Qohar bersama Fariz dan Amar masih belum bisa mengalahkannya. Hanya kekecewaan demi kekecewaan yang diraihnya. Atas kekalahan itu Qohar berpikir keras untuk mengalahkannya, tetapi tetap saja selalu gagal, semua kelereng disikat habis tak tersisa. Teringat dalam benaknya, kebiasaan neneknya menakuti sekumpulan burung pipit dengan menggunakan kaleng bekas yang dilubangi tengahnya, kemudian diisi batu kerikil. Kaleng bekas berisi batu kerikil itu akan menimbulkan suara yang nyaring apabila digoyang-goyangkan dengan keras.

"Kelerengku mana?" rengek Amar pada paman Mansyur.

"Kalian kan kalah, kenapa meminta kembali," kilahnya, meski sebenarnya tengah bergurau tetapi tak nampak sama sekali jika paman Mansyur sedang bergurau.

"Ini kan hanya permainan sementara, bukan sungguhan,"bela  Fariz.

"Tapi yang jelas kalian kalah, itu artinya semua kelereng menjadi milikku." Paman Mansyur masih bersikukuh.

Qohar hanya bisa terdiam beberapa saat, lalu menantang pamannya mengeluarkan batu kerikil dari dalam botol plastik.

"Baiklah kalau begitu, paman harus bisa mengalahkan tantanganku. Kalau menang ambillah semuanya, tetapi kalau kalah semua kelereng harus dikembalikan." tawarnya setengah percaya diri.

"Baik, apa tantanganmu?"

"Cukup mudah kok paman, coba tebak?"pancingnya sambil menahan senyum.

"Mana aku tahu, itu kan urusanmu, paling-paling juga sudah basi tantanganmu. Kau tidak akan bisa mengalahkanku!" ujarnya menyombongkan diri.

"Biarlah, siapa nanti yang akan menang." balasnya tak begitu meyakinkan.

Qohar lalu mengajak Amar mendiskusikan sesuatu hal kedalam rumah. Qohar menginginkan wadah kelereng berupa botol kemasan air mineral bekas miliknya.

"Mar! botolmu saya lubangi sedikit di bagian tengahnya, boleh ya?" bisiknya.

"Aku harus bagaimana kalau botol ini rusak, aku tidak mau," Amar mengkhawatirkan botolnya.

"Kau menginginkan kelerengmu kembali tidak?" tawarnya lagi.

"Iya, tapi bagaimana dengan botolku?"

"Tenang, botolmu masih bisa dipakai, percayalah padaku" balasnya meyakinkan.

"Baiklah pakai saja botolku," Amar mencoba untuk merelakannya.

"Kau memang temanku yang paling baik. Sekarang kau ambil batu kerikil di depan rumah!" rayunya seketika. "Ingat! yang berukuran sedang, pastikan batu kerikilnya tidak bisa keluar dari mulut botol," bisiknya untuk kedua kalinya.

Sementara ia mencari silet untuk menyilet botolnya. Botol itu lalu disilet di bagian tengah berbentuk hampir menyerupai persegi empat. Segenggam batu kerikil yang dibawakan Amar lalu disortir dengan cara memasukkannya kedalam botol satu persatu. Hanya tiga buah batu kerikil paling besar yang digunakannya.

"Terlalu lama, aku pulang saja!"terdengar teriakan paman dari luar.

"Kalau pulang berarti paman kalah," balasnya dari dalam rumah lalu keluar.

"Kenapa bisa begitu, enak saja, apa tantanganmu? Coba tunjukkan," tantangnya penuh percaya diri.

"Ini paman," tunjuknya agak malu-malu.

"Untuk apa itu? ada-ada saja, mau dibuat tongtek?" ejeknya kemudian.

"Bukan, di dalam botol itu ada batunya, kira-kira apa yang harus paman lakukan?" Kilahnya lalu mencoba memberi tebakan pamannya, ingin menjajal seberapa jauh perkiraannya.

"Itu terserah kamu, mintanya diapakan, di isi air, di bakar atau dibuang sejauh mungkin," balasnya dengan sedikit emosi.

"Terserah paman, botol itu mau diapakan, yang penting tiga buah batu kerikil di dalamnya bisa keluar, tanpa merusak botol sama sekali," Qohar menanggapinya dengan sedikit santai.

"Oh begitu maumu, baiklah, kalau itu sih gampang,''

Menyaksikan paman Mansyur mengeluarkan batu kerikil dari dalam botol, Qohar dan kedua temannya menjadi terhibur, mereka tertawa terpingkal-pingkal beberapa saat lamanya. Dengan susah payah batu kerikil itu dikeluarkan dari dalam botol melalui tutupnya, tetapi selalu gagal dan gagal lagi. Kali ini Qohar dan kedua temannya bagaikan sekumpulan siput yang mampu memenangkan pertandingan lari maraton, sungguh diluar dugaan. Sekumpulan siput dengan kecerdikannya, mampu mengalahkan seekor kancil yang telah masyhur sebagai binatang paling cerdik. Begitu juga singa yang begitu masyhur sebagai raja hutan yang harus takhluk kala berhadapan dengan sekumpulan belatung.

Paman Mansyur tak mampu menguasai keadaan, dari raut mukanya tampak merah padam, tak kuasa disembunyikan lagi. Akhirnya ia menyerah atas kekalahannya.

"Aku tidak bisa mengeluarkannya, Aku menyerah."

"Kalau begitu, serahkan semua kelerengnya," Qohar mulai percaya diri tanpa sedikitpun rasa sungkan.

"Ambil saja sendiri" Paman masih mempertahankan egonya.

kelereng-kelereng itu lalu dibagi bertiga, tetapi amar menuntut lebih, karena berkat botolnya kelereng-kelereng itu dikembalikan semuanya. Karuan saja faiz menolaknya, ia berdalih telah dibagi rata. Amar lalu memintanya walau hanya satu saja, tetapi faiz tetap menolaknya. Pecahlah keributan diantara keduanya. Kantong baju yang dikenakan faiz penuh kelereng menjadi tumpah berceceran. Faiz menjadi marah karenanya.

"Gara-gara kamu semuanya menjadi kacau, seandainya kamu tidak serakah, tidak akan terjadi seperti ini,"

"Maafkan aku, aku tidak bermaksud mengacaukanmu. Aku hanya ingin sebuah kelereng, itu saja."

"Seharusnya kau juga meminta pada Qohar, bukan hanya padaku saja"Faiz menukas dengan nada kecewa.

"Dia, kan sudah mengembalikan semua kelerengnya, sedangkan kamu,"Amar membela.

"Sudah-sudah jangan bertengkar," Paman mansyur berusaha melerai.

"Ambillah kelerengku ini," Qohar menawarkan tiga buah kelerengnya pada Amar. Dengan senang hati tiga buah kelereng itu diterimanya.

Botol berisi batu kerikil itu masih berada di meja kecil, di samping paman mansyur. Sebelum diminta Amar kembali, Qohar menawarkan triknya pada paman mansyur.

"Paman mau tahu bagaimana caranya?" tawarnya kemudian, sambil memperlihatkan botol berisi batu kerikil di depannya.

"Untuk apa? bukankah kelerengnya sudah kuberikan." jawabnya seakan tak peduli.

"Ya sudah, kalau tidak mau, biar paman penasaran terus," ancamnya dengan sedikit mengejek.

"Baiklah, paman kasih tahu caranya,"balasnya sedikit legawa.

"Sekarang?" tanyanya sedikit tersenyum

"Bukan, besok sore saja,"

"Kenapa besok sore, bukan sekarang," Qohar berusaha mengulur waktu untuk memancing kemarahannya.

"Sungguh menyebalkan, ya sudah sekarang dibuka, tunggu apa lagi!" balasnya ketus.

"Baiklah akan kubuka,"

Di depan pamannya, botol itu lalu dibuka tidak melalui mulutnya, tetapi cukup ditekan di bagian tengahnya. Dengan mudahnya batu kerikil itu keluar diiringi sorak tawa yang kian membahana, paman Mansyur menjadi tersipu malu dibuatnya.

Rupanya, dari jauh Mbok Karmini memperhatikan permainan batu kerikil dalam botol, tetapi tidak mengetahui asal mula batu kerikil itu diperdebatkan. Meski demikian, ia ikut hanyut dalam tawa yang membahana oleh bocah-bocah iseng itu, ia lalu mendekat.

"Syur, kamu itu sedang apa? Lha wong sudah besar kok kurang kerjaan ikutan main kelereng," Mbok Karmini memberi peringatan pada mansyur.

"Aku tidak bermain kelereng, hanya bercanda," kilahnya sambil melirik ke kanan kiri.

"Terus apa bedanya?" balasnya ketus sementara Mansyur terdiam.

"Qohar," Panggil Mbok Karmini sembari membetulkan kembennya kembali.

"Iya Mbah,"

"Kamu tadi sudah makan?" tanya Mbok Karmini sambil manggut-manggut.

"Sudah,"

"Lauknya?" tanyanya kali kedua.

"Lauknya masih ada, pemberian paman kemarin,"

"Nanti sore kalau mengunjungi Simbahmu di Balai Desa, jangan lupa mampir ke rumah, aku tadi memasak lauk lodeh lumayan banyak, kamu masih punya nasi, bukan?"

"Iya, masih banyak, tadi pagi aku ngeliwet,"

"O iya, pamanmu hari ini masih liburan, belum kembali ke pondok, nanti kalau ke Balai Desa bareng pamanmu saja, biar pamanmu nanti yang membawakan rantang,"perintahnya sambil membetulkan kembali kembennya.

"Baik Mbah,"angguknya pelan.

"Aku dengar dari Kasanah, rumahnya Hasan temanmu, roboh tertimpa pohon, apa kalian sudah tahu?"

"Belum, tapi tadi siang saya kerumahnya, tidak ada apa-apa,"jawab Qohar.

"Kejadiannya barusan, Coba kau tengok kerumahnya, apa yang terjadi sebenarnya? Saya mau mandi dulu,"pungkasnya.

"Ayo kita kesana,"ajak paman Mansyur pada Qohar dan teman-temannya.

''Sekarang,'' Amar

''Besok,'' Paman

''Kalau bukan sekarang, kapan lagi,'' Qohar.

 

Keadaan Hasan baik-baik saja, beruntung ia bisa keluar dari musibah, setelah mendengar suara ranting patah yang begitu keras. Rumahnya hanya mengalami kerusakan di bagian depan, tidak terlalu parah. Pada saat ditemui, Hasan hanya memperlihatkan sifat tak acuh. Tidak ada tegur sapa, apalagi sebuah senyum yang tersungging darinya. Di depan halaman rumahnya terdapat seonggok pakaian dan sarung, serta peci yang telah terbakar separuhnya. Mungkin kedua orang tua serta adiknya belum mengetahui tentang hal ini.

Iqamah shalat ashar telah selesai dikumandangkan, Qohar segera mandi lalu mendirikan tiang agama, kemudian berkemas-kemas. Tidak lupa ia makan terlebih dahulu, lalu mengisi rantangnya. Sore itu ia hanya membawa jarek dalam bungkusan plastik dan nasi putih dalam rantang tanpa disertai apapun.

Diluar, paman Mansyur telah menunggunya.

"Qohar, ayo berangkat"

"Iya, sebentar," ia lalu memberi makan ayam beserta kura-kuranya kemudian mengunci rumah. Sejenak ia berdiri mematung di depan pintu, mencoba mengingat sesuatu. Pikirnya, semuanya telah beres setelah rantang dan bungkusan dalam plastik berisi jarek telah dibawanya, ternyata semuanya telah tertata rapi.

"Kamu bawa apa itu?"

"Yang di plastik ini, jarek dan yang ini, nasi, hanya nasi putih saja, lauknya nanti minta Mbah Mini."

"Tidak usah minta, ini sudah kubawakan lauknya, lengkap dengan nasinya,"

"Lha nasiku,"

"Sebaiknya tidak usah dibawa, dari pada tidak dimakan" anjurnya sembari meletakkan rantangnya di meja teras.

"Baiklah,"ia menaruh rantang nasinya kembali.

Mereka berangkat ke kantor Balai Desa melalui jalan pintas, melewati perkebunan tebu yang begitu luas. Tanpa sengaja paman Mansyur melihat ular sanca kembang memangsa seekor musang berukuran lebih besar dari bobot ular itu sendiri, di selokan tebu. Seumur hidup, mereka belum pernah menyaksikan kejadian langka semacam itu. Separuh badan dari musang itu telah ditelan, sedangkan separuhnya lagi masih dililitnya erat-erat hingga remuk redam seluruh tulang-tulangnya. Pelan dan pasti seekor musang yang telah mati lemas itu memasuki kerongkongannya. Otot-ototnya yang melar mulai menegang, seperti tak mampu lagi menampungnya, tetapi tetap dipaksa masuk, sehingga terlihat pecah-pecah di setiap kulit yang dilaluinya. Setelah musang ditelan seluruhnya, ular sanca itu menjadi terlihat aneh dengan porsi badannya yang tidak seimbang. Diam, hanya bisa diam ular itu setelah memangsa musang. Satu ekor musang yang besarnya dua kali lipat dari ukuran ularnya itu telah ditelannya bulat-bulat, tanpa mengunyahnya terlebih dahulu.

Qohar menjadi merinding di sekujur tubuhnya menyaksikan semua itu. Hanya bisa berpegang erat-erat pada pamannya yang bisa ia lakukan. Ia lalu digendong pamannya sampai di luar perkebunan tebu.

"Paman, berhenti sebentar!" pintanya penuh harap.

"Ada apa?"

"Sejak dari tadi aku ingin kencing," balasnya sambil meringis menahan sesuatu.

"Kenapa tidak bilang dari tadi," Selorohnya.

"Aku takut," jawabnya berterus terang. Qohar lalu menjauh darinya.

Ular sanca yang memangsa seekor musang itu masih membayangi pikiran paman Mansyur. Masih teringat jelas dibenaknya, bagaimana seekor musang itu ditelannya bulat-bulat. Jenis ular yang telah terbiasa berpuasa selama berbulan-bulan itu sekali makan, ternyata mengejutkan. Menurut para sesepuh desa, pada waktu-waktu tertentu, ular sanca akan keluar mencari mangsa dan dipercaya sebagai penunggu di setiap tempat yang ditempati. Tetapi dari pawang ular diketahui, jika perilaku ular sanca dalam mencari mangsa sekurang-kurangnya dalam rentang waktu sepekan sekali, tergantung jenis dan ukurannya. Semakin besar ukuran ular, semakin lama rentang waktu yang dibutuhkan dan semakin besar pula ukuran mangsanya. Pak Paidi, suami Nyai Sarkem,  pawang ular pernah memelihara ular sanca kembang sepanjang tiga meter. Setiap bulan Pak Paidi memasukkan seekor ayam jago ke dalam kandang ular, tetapi tidak pernah disentuhnya. Setelah cukup lama ayam jago diberi makan didalam kandang ular, lalu dilepas liarkan kembali karena tak juga dijadikan mangsa. Setelah berjalan tujuh bulan lamanya, ular sanca kembang itu berpuasa tanpa makan dan minum, pada waktunya ular itupun secepat kilat menyambar kepala ayam jago. Pelan-pelan ular sanca kembang itu melilitkan tubuhnya pada mangsanya hingga ayam jago itu tidak bergerak sama sekali, remuk sudah semua tulang-tulangnya. Sebanyak empat ekor ayam jago ditelannya bulat-bulat pada hari itu juga.

"Paman!"

"Iya, '' ia tersentak kaget.

"Paman kenapa?"

"Aku masih kepikiran ular tadi, bagaimana mungkin musang itu bisa ditelan? Tapi kenyataannya musang itu telah mendiami perut ular sanca. Sungguh mengerikan!"ujarnya bergidik.

Mereka lalu melanjutkan perjalanan. Hanya beberapa langkah berjalan, Qohar teringat sesuatu. Ada yang terasa ganjil pada dirinya, oh iya, rantangnya ketinggalan.

"Paman, Sekarang mau kemana?" tiba-tiba Qohar melontarkan pertanyaan, tetapi itu hanya awal dari sebuah babak sandiwara.

"Kamu ini kenapa kok malah bertanya, aneh, tiba-tiba kau menanyakan sesuatu yang telah kamu ketahui maksudnya. Oh iya rantangnya!" Senyum dari Qohar yang terakhir mengingatkan sesuatu, iapun teringat rantang yang dibawanya.

"Perasaan sejak dari tadi memang ada yang kurang, makanya saya coba ingatkan paman. Tunggu sebentar paman, biar saya yang ambil,"

"Iya, buruan,"

Mereka telah sampai di Kantor Balai Desa. Sore itu hanya ada dua orang perangkat Desa yang berjaga-jaga. Qohar bersama pamannya meminta ijin menjenguk neneknya. Kebetulan pada hari itu Pak Susilo yang mendapat piket menjaganya. Dengan ramah, Pak Susilo membukakan pintunya.

"Maknyak," panggilnya dengan wajah sumringah.

"Cucuku, kamu tadi diantar sama pamanmu?" tanyanya sembari bangkit dari tempat duduknya lalu memeluknya erat-erat.

"Iya maknyak, ini nasinya,"diletakkannya pakaian berupa jarek dalam plastik beserta rantangnya di atas meja. Satu dari empat kaki meja itu telah hilang sehingga sedikit bergoyang.

"Bagaimana ini Syur, kok malah seperti ini jadinya?" keluhnya pada Mansyur.

"Jangan khawatir Mak, nanti juga ada jalan keluarnya, aku sendiri juga tidak tahu harus bagaimana?"

"Aku tidak tahu apa-apa tentang masalah ini, tetapi kenapa diriku harus diperlakukan seperti ini? Aku tak habis pikir, kenapa nasibku seperti ini. Astaghfirullaahal adziim," kembali ia mengeluhkan keadaannya serta beristighfar sebagai upaya untuk menenangkan bathinnya..

"Sudah, jangan terlalu dipikirkan Mak, nasinya dimakan dulu mumpung masih hangat" Mansyur mencoba menghiburnya.

"Aku tak selera makan, biar nanti saja."jawabnya tak bersemangat.

"Mak, tadi saya bersama paman melihat ular sanca yang tengah memangsa seekor musang,"ujarnya dengan membelai tangannya, memecah kebekuan.

"Di mana?"

"Di perkebunan tebu,"

"Kamu sendiri tidak apa-apa, bukan?" timpalnya agak khawatir.

"Iya, aku tidak apa-apa,"balasnya dengan menggeleng.

"Wong ularnya kekenyangan kok, tidak bisa berjalan, tidak bisa apa-apa lagi. Mungkin untuk beberapa saat lamanya, ular itu masih berada di tempat." sahut paman Mansyur

"Biarlah ular itu mencari makan, asalkan kalian tidak mengganggunya,"

"Kalau diganggu Mak?" tiba-tiba rasa penasarannya memuncak.

"ularnya tentu akan marah, lalu memuntahkan seluruh isi perutnya dan melarikan diri, atau ular itu akan menyerang dengan cara membelitnya sampai remuk seluruh tulang-tulangnya, baru kemudian ditelannya bulat-bulat" jelasnya dengan runut.

"Sungguh menyeramkan!"sahutnya dengan tangan kanannya berpegangan erat pada lutut neneknya.

"Makanya jangan sekali-kali mengganggunya" kembali nasehat itu dilontarkannya, supaya kehidupan manusia menjadi selaras dengan alam

Tiga hari berlalu, Qohar tetap setia menjenguk neneknya di Kantor Balai Desa. Hingga pada suatu hari setelah pulang dari berburu jambu alas bersama Amar dan Siti adiknya Amar, Qohar didatangi dua orang tamu yang mengaku sebagai wartawan tempo hari. Mereka terdiri dari pak Amin dan pak Puji.

"Nenekmu ada di rumah?" kata  pak Puji kepadanya.

"Tidak ada, lagi di Balai Desa,"

"Karena kami terburu-buru ada urusan, ini ada sedikit uang sebagai ungkapan rasa terima kasih, karena kemarin nenekmu mau meluangkan waktunya untuk sekedar berbagi cerita dan peristiwa pada kami" Kata pak Amin sambil menyodorkan secarik amplop berisi uang.

Oleh Qohar, amplop itu diterima dengan wajah memerah, matanya berkaca-kaca lalu dibukanya dengan seksama. Setelah mengetahui isi amplop itu berisi uang, kemudian tanpa pikir panjang, uang itupun dibuang dan tercecer di tanah.

"Gara-gara uang itu, Maknyak dihukum!"

"Dasar anak kecil, sombongnya selangit. Apa maksudmu uang itu kau buang!" kata pak Amin dengan geram lalu membuang ludah.

"Orang miskin tidak tahu diri," timpal pak Puji menambahkan..

Tidak ada kebencian atas hujaman kata-kata kasar yang dilontarkan kepadanya, yang tergurat di wajahnya hanyalah wajah kepolosan seorang anak kecil yang tengah dirundung duka. Air matanya terus meleleh meski telah berulang kali ia menyekanya.

"Maafkan saya bocah bagus, bukan maksudku untuk menghinamu, tapi kenapa uang pemberianku harus kau buang ?" rasa bersalah itu tiba-tiba merapat dibenak pak Amin, setelah melihat beningnya air mata bocah kecil itu yang terus meleleh.

"Karena photo yang beredar di koran itu, Maknyak kembali dimarahi dan sekarang dihukum di Balai Desa."

"Ya Tuhan kenapa bisa jadi runyam urusannya, ya sudah, kalau begitu kamu sekarang ku antar ke Balai Desa, tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk nenekmu, kita tidak boleh gegabah, hanya pihak yang berwenang yang berhak menyelidiki masalah ini. Kamu jangan khawatir, biar nanti saya hubungi pihak yang berwenang supaya segera membebaskannya." kata pak Amin meyakinkan Qohar. Beberapa menit kemudian, diambilnya ponsel dari dalam kantong celananya dan menelepon pihak Kepolisian. Sementara itu, dengan terbur-buru,, Qohar mempersiapkan sebungkus nasi dan selembar jarek dalam sebuah plastik.

Siang itu, Qohar diantar ke Kantor Balai Desa, hanya sampai di seberang jalan. Sebelum berpisah, Pak Amin melalui sopirnya, memberikan sebuah bungkusan berisi biskuit sembari berpesan kembali kepada Qohar, supaya tidak usah mengkhawatirkan keadaan neneknyai, karena tak lama lagi, polisi akan segera datang dan membebaskannya.

"Jangan khawatir! Nenekmu pasti akan baik-baik saja, polisi akan segera datang menyelamatkan Nenekmu. Karena hari ini kita ada meeting di kantor. Insya Allah saya akan datang kerumahmu untuk menindak lanjuti masalah ini," Pak Amin berusaha menenangkannya lalu merekapun pergi.

Memasuki balai Desa Rakusan, seperti memasuki sarang binatang buas. Kalau bukan karena terpaksa, mungkin Qohar tidak akan sudi menyambanginya, tetapi ia harus menemui neneknya. Baginya para perangkat Desa Rakusan tak ubahnya seperti monster yang menakutkan. Seorang perangkat Desa berbadan tambun, berperawakan pendek serta berkumis tebal dengan mata melotot terlihat mondar-mandir tepat di depan kamar yang ditempati neneknya. Sementara di pojok ruangan, empat orang yang masih berbaju dinas tengah bermain kartu domino. Dengan tegar Qohar memberanikan diri menemui Neneknya. Membawakan selembar jarek dan sebungkus nasi, serta biskuit pemberian dari Pak Amin.

Tak sampai satu jam kemudian, apa yang dikatakan Pak Amin terbukti. Sejumlah enam orang polisi tiba-tiba mendatangi kantor kepala Desa Rakusan, dua diantaranya memakai baju sipil.

"Selamat siang, pak,"

"Ya siang. Ada apa pak?"

"Kami dari kepolisian mendapat surat perintah penyelidikan mengenai adanya dugaan penyekapan terhadap seorang Nenek, ini suratnya,"

Belum tuntas surat itu dibaca, seorang perangkat Desa berbadan kurus dan berpakaian batik menanyakan perihal siapa yang mengadukan masalah ini ke kepolisian. Di dalam surat itu tanpa dicantumkan nama terang sebagai pihak pelapor, tetapi data-data dan alamat pelapor telah dikantongi di kepolisian. Tulisan yang tertera di amplop itu hanya tertulis  PT Wahana Nusantara, di bagian kiri atas amplop.

"Bagaimana bisa masalah ini ditindak lanjuti tanpa adanya pihak pelapor? Ini fitnah! Siapa yang berani mencari gara-gara seperti ini?" ujar seorang perangkat Desa yang mengenakan batik lurik.

"Yang jelas ada yang melapor, mustahil kami ditugaskan tanpa adanya laporan,"

"Bapak lihat sendiri, disini tidak ada apa-apa seperti yang dituduhkan. Silahkan dicek kebenarannya kalau tidak percaya!" ucap perangkat yang lain membela diri.

Seolah para perangkat Desa Rakusan telah mengetahui apa yang seharusnya dikerjakan. Tanpa harus membagi tugas masing-masing, salah seorang petugas memperlakukan Aminah dan Qohar dengan layak di depan para polisi. Para Polisi memang mendapati seorang nenek beserta seorang cucunya di dalam sebuah ruangan, tetapi tidak ditemui adanya tanda-tanda tindak kekerasan atau penyekapan. Fakta itu tidak berbanding lurus dengan apa yang dituduhkan pihak pelapor. Aminah dan Qohar tengah makan sebungkus nasi, di sampingnya terdapat buah jeruk dalam sebuah piring, di sebuah kamar yang lebih mirip gudang.

"Perempuan tua itu beserta cucunya kami temukan tengah luntang-lantung di depan Kantor Balai Desa, itulah yang membuat kami iba dan kami beri makan seadanya, lagian dia itu telah berulang kali memalukan pihak Balai Desa, dengan caranya yang mondar-mandir di depan Balai Desa tanpa ada perlunya, pantas saja kami tempatkan di gudang," bela seorang perangkat yang lain.

Dari cara dan sikap para perangkat Desa, sejumlah Polisi pun  memahami, jika para perangkat Desa Rakusan tengah membela diri. Terutama cara-cara musangnya itu terbaca dari keterangan yang terakhir. Tercium gelagat aneh nan ganjil yang seharusnya tidak diambangkan ke permukaan.

"Ya sudah, kalau begitu sediakan kami makan siang kalau tak ingin diperiksa lebih lanjut." kata seorang polisi kepada seorang perangkat yang berbadan tinggi dan berkumis, Pak Karso

Dengan cekatan, Pak Karso lalu bergegas menuju warung makan yang terletak disamping Kantor Balai Desa. Tanpa menunggu waktu lama hidangan makan siang telah tersaji di meja tamu. Selesai menyantap makan siang, salah seorang polisi mengecek kembali keadaan Aminah beserta cucunya.

Di dalam ruangan yang dipenuhi kursi-kursi yang telah pincang itu, Aminah dan Qohar terdiam. Di depannya tersaji buah jeruk tiga buah dan satu sisir pisang. Satu upaya pengelabuhan untuk bersembunyi dibalik topeng kemunafikan. Dengan nada halus, seorang polisi yang berambut keriting dan berbadan tinggi itu lantas menanyainya.

"Simbah kenal dengan PT Wahana Nusantara?" tanya polisi itu dengan membungkukkan badannya.

"Saya tidak kenal, Pak, tidak  tahu apa-apa." jawabnya menggeleng.

"Punya saudara di PT Wahana Nusantara? "

"Tidak punya,"

"Maaf, seberapa luas sawah Simbah?" tanya polisi itu dengan suara yang di rendahkan.

"Untuk apa? Saya hanya punya sawah dan kebun sedikit."

"Bukan begitu Mbah! Seandainya kalau masalah ini masuk ke ranah hukum dan berlanjut ke pengadilan, maka bukan tidak mungkin, sawah dan kebun Sampeyan akan habis untuk membiayai pengadilan seperti yang sudah banyak terjadi." polisi berambut keriting itu tidak ingin melakukan menyelidikan lebih lanjut, ia tidak suka memperpanjang suatu masalah.

"Siapa yang sudi membawa masalah ini ke pengadilan? ke kantor polisi saja aku tidak pernah! Aku tidak mau masalah ini menjadi runyam. Aku sudah tua, ingin hidup tenang bersama cucuku."

"Ya sudah, kalau begitu Simbah boleh pulang sekarang."

Merekapun diijinkan pulang, rasa khawatir dan cemas beberapa jam yang lall kini berganti dengan kebahagiaan. Tetapi ia belum mengerti kenapa dirinya dikeluarkan begitu saja, tanpa adanya dendam yang ditampilkan.

               Terlahir Di Tengah Hutan

Keesokan harinya, Pak Amin datang memenuhi janjinya. Ia datang bersama Pak Puji, sopirnya. Dari dalam mobil, Pak Puji mengeluarkan beberapa bungkusan plastik warna hitam, serta dua kaleng biskuit berukuran sedang. Di teras rumah, Qohar masih asyik menikmati pekerjaaannya, mengupasi pisang masak untuk bahan dasar pembuatan nogosari. Aminah akan menggelar syukuran kecil-kecilan.

Pagi itu Aminah tidak ada di rumah, ia pergi ke kebun mengambil daun pisang dan keperluan dapur lainnya untuk acara hajatan.

"Assalamualaikum"

"Waalaikumsalam"

"Bagaimana kabar nenekmu bocah bagus?"  tanya Pak Amin sambil tersenyum lebar, Pak Puji mengikutinya dari belakang.

"Baik, " jawabnya, tangannya masih mengupasi pisang masak.

"Ada di rumah, bukan?"

"Tidak ada, sedang di kebun,"

"Bisa kau panggilkan sekarang?"

"Iya, tunggu sebentar, " jawabnya, lalu membersihkan sisa kulit-kulit pisang yang tercecer untuk dikumpulkan kemudian dibuang ke belakang rumah.

Belum sempat ditunaikannya perintah dari pak Amin, tiba-tiba Aminah sudah kembali pulang dengan membawa barang bawaan.

"Itu Maknyak," kata Qohar kepada pak Amin sembari menunjuk lurus kearahnya, lalu menemuinya.

"Ada tamu Mak,"

"Kenapa tidak kau suruh masuk?"

"Saya lupa,"

"Masih kecil kok sudah pikun, ini daun pisangnya jerang di depan tungku, lalu jahe sama kunyitnya taruh di ember," perintahnya, lalu menemui para tamu.

"Silahkan masuk Pak, tadi malam cucuku sudah cerita semuanya. Saya tidak tahu harus bicara apa. Saya sangat bersyukur kepada Tuhan dan tidak lupa saya haturkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas kebaikan dan ketulusan bapak. Kini

 Alhamdulillah Saya bisa kembali kerumah." sambutnya sambil merapikan tempat duduk.

"Sudah, lupakan saja Mbah, biarlah itu semua menjadi pelajaran hidup. Lalu bagaimana nasib orang-orang Balai Desa, apakah mereka sudah ditangkap?" tanyanya penasaran.

"Aku tidak tahu apa-apa, aku hanya ditanyai polisi sebelum mendapat ijin pulang. Sementara para perangkat Desa membiarkanku pulang bersama cucuku, itu saja yang ku lihat, tetapi sebelumnya cucuku melihat, mereka makan bersama di aula depan. Di waktu yang sama, saya juga diberi makan serta diberi satu sisir pisang dan jeruk beberapa buah. Tapi pak, biarlah masalah ini cukup sampai disini. Jangan dibesar-besarkan apalagi diperkarakan. Aku khawatir melihat masalah kriwikan menjadi grojogann ," balasnya dengan panjang lebar.

"Saya melihat, ini semua penuh dengan persekongkolan dari segelintiran orang yang sengaja menghalang-halangi, sehingga lahan bakal proyek menjadi terbengkalai karena keputusan sepihak, ini sama sekali tidak adil. Jika masalah ini dilanjutkan, apa yang mesti ditakutkan? Kita tidak perlu takut, tidak ada yang perlu ditakutkan dalam masalah ini, termasuk para perangkat Desa Rakusan itu. Kita tidak boleh takut kecuali hanya kepada Allah!" ujar Pak Amin berkesimpulan dengan pelan dan meyakinkan.

"Begitu fasih kau mengucapkan kalimat Allah, bukankah kau dari etnis Chunghoa?"

"Bukan, saya bukan etnis chunghoa, saya orang Betawi berdarah jawa-sunda, hanya saja, mungkin karena sejak kecil saya dirawat dan dibesarkan oleh orang chunghoa, sehingga saya lebih mirip seperti orang chunghoa, dari sifat maupun sikapnya" paparnya, menjelaskan sedikit gambaran tentangnya. Pak Amin diam sejenak, lalu bertutur tentang bagaimana dirinya terlahir ke dunia.

Semasa terlahir ke dunia, ia sempat tertahan di rumah sakit. Ayahnya, Syarkawi tidak mampu membiayai biaya persalinan istrinya.  Sementara istrinya, meninggal dua hari kemudian di rumah sakit setelah melahirkan. Syarkawi tak kuasa lagi menahan beban penderitaan ketika itu, setelah tahu belahan jiwanya sudah tiada. Belum lagi beban hutang pembiayaan rumah sakit yang ditanggungnya. Syarkawi terpaksa menahannya di rumah sakit, karena tidak mempunyai biaya untuk menebusnya. Kepada setiap orang tanpa rasa malu, Syarkawi menggalang bantuan. Tak seorangpun yang bersedia membantu membiayai biaya persalinan yang begitu besar waktu itu. Mendengar kabar ketidakmampuan Syarkawi dalam membiayai biaya persalinan, Lie Kang Tjoan, tetangganya yang kebetulan dari etnis chunghoa membantu membiayai biaya persalinan. Sebagai bentuk penghormatan dan rasa terimakasih, maka kemudian Syarkawi memberikan hak asuh kepada keluarga Lie Kang Tjoan. Tidak cuma itu saja, Syarkawi juga memintanya untuk memberikan sebuah nama. Lie kang Tjoan lalu memberikan nama, Amin Ong Gwee. Syarkawi bersyukur atas semua itu, dan tidak mempersoalkannya, dirinya justru merasa berhutang budi padanya, karena itulah, keadilan dari Yang Kuasa. Aminah termangu mendengarkan sebagian kisah hidup Pak Amin. Pelan-pelan pikirannya mulai digiring menuju cerita masa silam tentang dirinya.

"Apakah Simbah tidak melihat jika semua ini penuh dengan ketidak adilan? Ini adalah bentuk kedzaliman! Simbah tidak usah khawatir, biar saya yang akan mengatur semuanya."dengan lugas pak Amin mengutarakan keinginannya.

Aminah terdiam, raut wajahnya muram dan tertunduk lesu. Hatinya seperti tersayat jika teringat kisah pilu, bagaimana ia dilahirkan dulu. Ibunya, Emak Rasup pernah bercerita tentang bagaimana dirinya terlahir, di tengah-tengah kesusahan, di tengah hutan, pada malam. Waktu itu Emak Rasup sedang mengandung sembilan bulan, disaat suasana sedang genting. Pemerintah kolonial Belanda mengepung rumah-rumah pemukiman warga sipil dari berbagai arah. Mereka kembali melancarkan serangannya secara besar-besaran. Serangan yang membabi buta itu tidak hanya terfokus dari daratan, tetapi juga dari udara. Benar-benar keadaan sedang genting-gentingnya. Para tentara Nasional dan warga sipil banyak yang gugur di medan pertempuran, kalaupun selamat tidak sedikit dari mereka yang terperangkap di medan pertempuran, lalu terkena peluru panas, menderita luka parah hingga kemudian menjadi cacat seumur hidup. Sebagian ibu dan anak-anak yang berhasil lolos dari kepungan tentara lari tungang langgang ke atas gunung dengan sisa-sisa tenaga yang masih tersisa.

Emak rasup sendiri menyelamatkan diri bersama suaminya, Ki Marjan. Dengan sekuat tenaga Emak Rasup dan suaminya lari dengan tertatih-tatih, menjauh sejauh mungkin dari perkampungan. Emak Rasup yang tengah hamil sembilan bulan itu tak menyurutkan langkahnya untuk terus melangkah, meniti jalanan berliku. Pada hari itu adalah serangan kali kedua dilancarkan, sasaran utamanya para pemuda desa yang masih tersisa. Mereka diduga masih bersembunyi di rumah-rumah warga. Di balik hutan larangan dan di lereng-lereng pegunungan Muria.

Beberapa hari sebelumnya, para pemuda desa termasuk Ki Marjan suaminya, menyerang sebuah markas tentara Belanda yang disinyalir tersimpan bahan makanan dan obat-obatan. Di dalam markas tentara Belanda itu hanya tinggal lima orang tentara yang berjaga-jaga, tiga orang di dalam dan dua orang lagi berjaga-jaga di luar. Suatu kesempatan emas bagi para pemuda untuk segera menyerbu dan menjarah peralatan perang dan obat-obatan. Para pemuda Desa mulai menghimpun kekuatan dan pecahlah pertempuran sengit itu. Dalam hitungan menit, lima orang tentara tewas seketika, tertombak oleh tajamnya bambu runcing yang sebelumnya, telah didoakan dan dijampi-jampi terlebih dahulu oleh para sesepuh Desa. Tanpa menunggu waktu lama, puluhan pucuk senjata dan bahan makanan serta obat-obatan dijarah seluruhnya. Dalam peristiwa itu satu orang pribumi, sukarto gugur oleh tembusan peluru panas Tentara Belanda.

 Tepat dua hari setelah peristiwa itu, pada saat matahari di ufuk barat belum menenggelamkan diri, terdengar suara peluru berdesingan. Seluruh perkampungan diobrak-abrik lalu dibakar. Rumah-rumah warga banyak yang hancur rata dengan tanah. Bangunan rumah yang sebagian besar terbuat dari kayu dan bambu serta beratapkan daun tebu itu, dengan mudahnya terbakar kala tersulut api. Sebelum nyawa Emak Rasup ikut hangus terpanggang dalam bara api yang membara itu, Emak Rasup telah menyelamatkan diri bersama Suaminya. Sore itu menjelang maghrib para orang tua jompo dan anak-anak terperangkap. Mereka diarak sedemikian rupa seperti kambing-kambing yang tidak berdaya ke distrik militer. Mereka disekap beberapa hari, lalu dipaksa membuka rahasia, kemudian dibebaskan. Sebagian yang lain dijerang di bawah panas terik matahari dengan tangan terikat, jika mereka berani melawan dan tidak mau membuka rahasia.

Dengan tertatih-tatih Emak Rasup dan Ki Marjan terus menapaki jalanan curam dan terjal mencari tempat persembunyian. Belum sempat menemukan tempat persembunyian, takdir berkehendak lain. Ki Marjan  yang mulanya menyuruh Emak Rasup supaya berjalan di depan dan mendahuluinya itu, akhirnya pergi untuk selama-lamanya, tepat di belakangnya. Ki Marjan yang selama ini menjadi tempat berlindung baginya telah tertembak peluru panas. Emak Rasup melihat sendiri bagaimana ki Marjan menggelinjang, mengeluh kesakitan oleh tajamnya peluru yang tembus dibagian tengkuk dan satu lagi di pelipisnya. Darah seketika itu mengucur membasahi kerah baju dan lehernya. Di wajahnya, darah memenuhi mata serta pipinya.  Sebelum ajal mendekat, nyawa menjauh menyingkir dari jasad Ki Marjan. Dilihatnya wajah suaminya, Guratan senyum yang merekah menjelang kepergiannya tidak seperti biasa. Tak banyak kata-kata terakhir yang terucap dari kedua bibirnya yang telah kelu membiru. Ki Marjan hanya berpesan dengan suara yang mulai terputus-putus.

"Selamatkan anakmu Imran! Dia ku letakkan di bawah tanah di kamar kita, tepat dibawah tempayan."

Tak lama setelah itu, Emak Rasup menjumpai raga suaminya telah lemas, tidak lagi mengisyaratkan satu nafaspun. Dipeluknya jasad yang tidak bernyawa itu erat-erat. Ki Marjan telah mati. Ya ia telah mati, jasadnya telah berubah menjadi mayat. Orang yang selama ini melindunginya telah terkapar di depan mata. Kedua bola matanya pelan-pelan terpejam, dari kedua bibirnya masih terlihat senyum yang tersungging. Sementara Emak Rasup berusaha tegar menghadapi sebuah kenyataan. Dari kedua bola matanya tanpa disadari merembes bulir-bulir air mata membasahi wajahnya yang coreng-moreng oleh abu, untuk mengelabui musuh. Ingin rasanya ia menjerit sejadi-jadinya, tetapi demi keselamatan dirinya ia tahan kesumat-kesumat itu meskipun terasa berat. Emak Rasup semakin lemah tiada berdaya, tetapi tidak kekurangan akal, ia pura-pura pingsan beberapa menit lamanya, saat berada tepat di atas mayat suaminya. Air matanya tak henti-hentinya jatuh berderai membasahi jasadnya. Ia peluk erat-erat jasadnya yang sudah tidak bernyawa itu meski telah berubah menjadi mayat. Semua itu dilakukannya untuk sekedar mengelabui musuh, lalu demi jabang bayi yang masih dikandungnya selama sembilan bulan itu, perlahan dengan langkah gontai Emak Rasup meninggalkan jasad suaminya yang telah membujur kaku. Dibiarkannya jasad Ki Marjan tergeletak begitu saja tanpa seorangpun yang mengurusnya. Tanpa disadari, air matanya mulai mengering. Dalam batinnya ia berjanji, suatu saat apabila nyawa masih dikandung badan, akan kudatangi, akan ku cari dimana mayat suamiku tergeletak, dimanapun keberadaannya. walau hanya tinggal bangkai akan kukemas bangkainya sedemikian rupa lalu kupersembahkan kepada anak cucuku kelak. Bahwa kematian adalah gerbang kehidupan dan kehidupan berada pada kematiannya. Kepada anak cucunya kelak ia berjanji akan terus menyerukan perlawanan kepada para penjajah. Sampai kapanpun perjuangan tidak akan pernah berakhir, sebelum para penjajah terusir dari tanah leluhur..

Di depan matanya, ia saksikan orang-orang yang berkalang nasib, tertoreh takdir menjadi korban keganasan perang. Mereka telah tertulis masanya akan kembali kepada Yang Kuasa di Lauhil mahfud. Diantara mereka yang selamat, berlari terbirit-birit dengan sesekali diwarnai jeritan histeris ke atas gunung. Sebagian lagi terkena incaran peluru panas, mati. Tergeletak berserakan di jalan-jalan tikus di bawah tebing. Emak Rasup sendiri lari sebisanya ke dalam hutan, gegap gempita peluru tetap terdengar berdesingan seakan-akan masih terdengar tepat di atas kepala. Dengan refleks Emak Rasup tiarap di tanah. Dalam tiarap itu Emak Rasup seperti tak sadarkan diri. Dalam ketidaksadarannya ia merasa ruh telah meninggalkan jasadnya. Ia berusaha mengikhlaskan raganya yang tidak lagi bernyawa itu meski terasa berat, tetapi semua itu hanyalah perasaan takutnya yang berlebihan. Tanpa disadari karena terlalu lama tiarap di tanah, Emak Rasup  telah mendiami dunia antah berantah, dunia bawah alam sadar. Cukup lama Emak Rasup tertidur di tengah hutan seorang diri. Begitu terbangun hari telah tersulap menjadi pekat berselimutkan dinginnya malam.

Di tengah malam, ia mulai merasakan sakit di perutnya. Ingin rasanya ia berteriak meminta tolong, tapi kepada siapa, Ia telah berada di tengah hutan. Jika ia keliru sedikit saja, maka harimau, anjing atau binatang buas lainnya akan menyerangnya. Di carinya tempat yang kering di bawah pohon kemuning, di antara rindangnya pohonan jati. Otot-otot di daerah rahim mulai berkontraksi untuk membuka jalan lahir bagi bayi. Otot-otot yang mulai menegang itu menimbulkan rasa sakit yang menjalar dari kaki hingga bawah punggungnya. Sambil menahan rasa sakit, dikumpulkannya helai demi helai dedaunan kering. Di tata sedemikian rupa untuk sekedar tempat berbaring. Sendirian Emak Rasup bergulat antara hidup dan mati. Berteman pohon-pohon besar yang setia meneduhinya. Hanya sepercik sinar rembulan yang sudi menerobos masuk meneranginya, menemani dalam kesusahan.  Di keheningan malam itu suasana pecah oleh tangis pertama kelahiran bayi perempuan, tangis bahagia menyertainya malam itu. Beralas dedaunan kering telah dilahirkannya seorang bayi perempuan, tanpa sentuhan pertolongan dukun beranak, tepat di tengah malam.

Tidak ada tikar untuk menempati tempat yang lebih layak selain serasah daun-daun kering. Selapis jarek kemben yang dikenakannya meski sangat terbatas, disobeknya separuh untuk menghangatkan putrinya. Dinginnya malam itu tak lagi dihiraukannya demi jabang bayi. Bayi mungil perempuan itu begitu mudah disusui tanpa kesulitan yang berarti, seandainya tangis bayi itu tidak berhenti dalam jangka waktu yang lama, maka Emak Rasup tidak tahu lagi harus bagaimana. Sementara itu dari jauh, terdengar suara harimau mengaum meraung-raung begitu mendengar jerit lirih tangisan bayi yang baru saja terlahir. Untunglah bayi mungil perempuan itu terdiam begitu merasakan sentuhan lembutnya. Berkat tusuk konde, Emak Rasup bisa memotong tali pusarnya yang masih saling terkait. Dengan hati-hati dikuburkannya ari-ari beserta darah dan air ketuban yang menempel di dedaunan yang terserak dengan alat yang sama. Meski tak terlalu dalam, tetapi cukup membantu mengurangi aroma darah dan bau anyir air ketuban, sehingga tidak tercium ke tempat yang lebih jauh. Buah kemuning yang berjatuhan oleh sebab sekumpulan tupai, cukup membantu untuk mengganjal perutnya meski tinggal sisa separuh

Bagaimana susahnya Emak Rasup dalam melahirkan dan bertahan hidup tidak bisa dilukiskan hanya dengan kata-kata. Aminah masih terdiam tidak menanggapi ujaran Pak Amin.

Pak Amin masih menunggu jawaban darinya lalu kembali bertanya dengan nada yang lebih keras.

"Apakah Simbah sendiri tidak tahu, jika semua ini adalah bentuk kedzaliman, penjajahan?"

Aminah tersentak oleh pertanyaan pak Amin yang kedua. Ia terputus dari lamunan panjangnya.

"Saya tahu! Ini adalah bentuk penjajahan, tetapi diriku hanyalah perempuan tua, tidak bisa berbuat apa-apa. Kemarin saja sewaktu mencoba protes barang secuil, bapak tau sendiri apa yang ku alami kemudian,"

"Ya sudah, mulai sekarang Simbah tidak perlu takut, tidak perlu khawatir, biarlah kami yang akan mengurus semuanya." pintanya meyakinkan.

Siang itu, seluruh warga Desa Rakusan geger, kantor kepala Desa Rakusan digrebek pihak kepolisian. kepala Desa Rakusan beserta para perangkatnya ditangkap lalu ditahan. Lagi-lagi masyarakat Desa Rakusan tidak banyak yang tahu mengenai akar permasalahannya. Warga Desa Rakusan hanya bisa menerka-nerka dengan kejadian di hari sebelumnya, yaitu peristiwa penahanan Aminah di Kantor Balai Desa. Kesimpangsiuran kabar mengenai penggerebekan menjadi suatu keniscayaan. Kecurigaan kemudian mengarah kepada Aminah yang sebelumnya ditahan di Kantor Balai Desa. Tak satupun warga Desa Rakusan yang tahu, jika yang memperkarakan masalah itu adalah pak Amin. Meski pada akhirnya masyarakat mengetahuinya.

Dalam sebuah perbincangan di ponsel tempo hari, pak Amin mengancam pihak kepolisian. Ancaman itu tidak main-main, apabila permintaan penahanan kepala Desa beserta para perangkatnya tidak diindahkan, maka Pak Amin tidak segan untuk memberitakan ke publik, perihal pembiaran dan kongkalikong, antara kepolisian dengan pemerintah Desa Rakusan ke berbagai media.

Sejak peristiwa penggerebekan Kantor Balai Desa Rakusan, pelan-pelan Aminah menjadi terkucil dari pergaulan. Ia menjadi sesosok mahluk yang terasing di tengah-tengah keramaian. Orang-orang disekitarnya tiba-tiba menjauh dan menjaga jarak. Mereka enggan untuk sekedar bertemu dengannya, tiada lagi tegur sapa yang merapat padanya. Yang masih tetap bersahabat dengannya hanyalah alam, burung-burung dan ikan-ikan serta bebatuan sungai.

 Sekelompok burung pipit pemakan padi mulai berkurang seiring terik panas mentari yang kian menyengat. Siang itu sehabis menunggui padi, Aminah hendak shalat dluhur, diambilnya mukena di langit-langit gubuk, ternyata ada beberapa kotoran cicak yang menempel. Rupanya kemarin ia lupa membungkusnya dengan plastik. Mukena yang warnanya telah memudar itu lalu dicuci di kali, sembari mandi di siang hari. Dengan mukena yang masih basah itu, ia mendirikan shalat di atas bebatuan yang telah diberi alas jerami kering. Usai shalat ia berdzikir dalam rentang waktu yang cukup lama. Tanpa terasa mukena yang dikenakannya mengering, lama-lama ia mengantuk dan tertidur. Begitu terbangun, ia teringat sesuatu yang terselip di bawah pohon nangka. Seutas plastik yang telah dicuci untuk membungkus mukenanya. Sekali waktu, diperhatikannya pohon nangka dari bawah hingga ujung penuh dengan babal bakal buah. Ia pun berencana membuat gulai nangka muda untuk lauk musim panen yang akan datang.

Hamparan padi dari bawah hingga keatas lereng persawahan mulai menguning serempak. Tak lama lagi memasuki musim panen. Sebuah masa yang dinanti-nanti sekian bulan lamanya, kini mulai nampak didepan mata.

Para tetangga sawah yang menunggui padi telah pulang. Iapun demikian, akan segera pulang, tetapi ketika mengambil bakulnya di gubuk, ia teringat sesuatu, rupanya ia mendapat pesanan dari Bu Maryam, daun singkong dan daun lembayung masing-masing dua puluh ikat. Niatan pulang diurungkan, diambilnya pisau yang terselip di gubuk lalu memanen sayuran.

Undangan Ke Berlin

Peristiwa Balai Desa telah berlalu. Memori itu kian terlupakan dari ingatannya. Sementara diluar sana dirinya mulai diperbincangkan banyak orang. Menjadi bahan pemberitaan di media massa dan beberapa televisi Nasional. Kegigihannya dalam mengkritisi Pemerintah Desa Rakusan kini telah menjadi magnet tersendiri. Sejumlah media massa dan televisi berebut informasi mengenai siapa jati dirinya dan seputar kehidupannya.

Sore itu, mendadak halaman rumahnya penuh dengan mobil wartawan dan reporter. Kali ini Aminah benar-benar menjadi terpukul dan menjadi semakin was-was, ia khawatir jika peristiwa minggu lalu terulang kembali.

Tak ingin menanggung resiko untuk yang kesekian kali, iapun menutup rapat-rapat pintu rumahnya. Detik demi detik, menit demi menit Aminah dan Qohar tidak kunjung keluar dari rumah. Telah berkali-kali Bu Lela dan Mbok Karmini memanggilnya dari balik pintu depan maupun pintu belakang, tetapi Aminah sama sekali tidak menggubrisnya. Sebagian para wartawan dan reporter lebih memilih kembali dengan tangan hampa, tanpa mendapat informasi satupun darinya. Sebagian lagi lebih memilih tetap bertahan menunggu dan tetap menunggu. Salah satu wartawan yang masih tetap bertahan itu adalah Pak Nugroho, pemilik salah satu media massa Nasional yang berkantor di Jakarta. Satu hari, dua hari sampai tiga hari lamanya Aminah dan Qohar bertahan di dalam rumah. Sore itu di hari ke empat, Pak Amin Ong bersama Pak Puji datang menemuinya, pak Amin meminta kesediaanya untuk datang dalam sebuah acara di Ibukota. Pak Amin Ong pun menuai kekecewaan karena tidak ada jawaban darinya.

Sekitar pukul dua siang, Qohar menyusup keluar dari jendela dapur pada saat Aminah tengah tertidur. Sebagai anak kecil dengan dunianya yang masih liar, ia mencoba melawan dengan mencuri-curi kesempatan. Tetapi aksi nekatnya itu ternyata diketahui banyak orang, pasang-pasang kamera bersiaga memantau keadaan di sekitar rumahnya. Mengetahui ada beberapa orang yang melihatnya, iapun bergegas ke belakang rumah menuju kesebuah kebun, namun lagi-lagi salah seorang wartawan mengejarnya sampai dapat.

"Kenapa kamu lari? Ada apa sebenarnya?" tanya seorang wartawan berseragam hitam dan berkacamata sambil menarik lengan bajunya.

"Tidak ada apa-apa, saya hanya ingin jajan ke warung." jawabnya menutupi alasan yang sebenarnya, karena bosan di dalam rumah.

"Adik belum makan?" tanya wartawan perempuan yang memakai batik dan kalung etnik.

"Belum," jawab Qohar sekenanya.

"Ya sudah, ayo ikut kami, kita makan bersama." ajaknya pada Qohar.

Salah satu kru reporter lalu mengajaknya masuk kedalam sebuah mobil lalu menawarkan beberapa cemilan makanan ringan. Sejurus kemudian para wartawan dan reporter mengerubunginya, termasuk pak Amin Ong.

"Qohar kau baik-baik saja?" tanyanya lalu mendekat dan mengelus kepalanya.

"Iya pak,"

"Kau masih ingat saya?"

"Iya, Pak Amin,"

"Nenekmu ada di dalam rumah, bukan?"

"Iya, di dalam rumah"

"Tolong nanti sampaikan padanya, ada Pak Amin datang, sudah menunggu cukup lama," pintanya menaruh harap.

"Itu rotinya dihabiskan dulu!" sambungnya kemudian.

"Iya." Qohar mengangguk.

Qohar lalu kembali menyelinap masuk melalui celah-celah jendela yang sama. Aminah masih tertidur di bale-bale biliknya.

"Mak..bangun!" Qohar membangunkannya.

"Ada apa?" jawabnya pelan.

"Di luar ada pak Amin, katanya sudah menunggu lama ingin ketemu Maknyak."

"Kamu tadi keluar rumah?" gertaknya dengan nada yang semakin tinggi.

"Iya."jawabnya sambil menunduk.

"Kamu baik-baik saja?"

"Iya, lha wong tak ada apa-apa," sahutnya ketus.

"Tak ada apa-apa bagaimana, di luar banyak orang, bukan?" kilahnya, ia mengkhawatirkan keadaan diluar.

"Tapi yang ini lain Mak, mereka hanya ingin ketemu Maknyak." balasnya meyakinkan.

"Yo wis, kalau begitu biar Maknyak nanti yang temui sehabis shalat ashar."

Nasi yang telah dimasak tadi pagi masih tersisa separuh, Aminah hanya tinggal membuat lauknya. Lauk kali ini tetap seperti yang kemarin, yaitu ikan asin yang digoreng garing ditemani sambal terong, kebetulan sayur terongnya masih tersisa. Semua pekerjaan telah selesai dikerjakannya. Sementara Qohar masih menjaga api dapur untuk merebus ubi jalar.

Begitu pintu dibuka, semua wartawan dan reporter menyalaminya satu persatu. Aminah hanya tertegun bercampur haru menyaksikan semua ini. Tanpa ada sebab yang jelas, tiba-tiba mereka begitu menghormatinya.

"Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumsalam"

"Simbah masih ingat saya?" tanya Pak Amin, diletakkannya telapak tangan kanannya di atas dadanya, lalu menjabat tangannya diikuti teman-temannya.

"Pak Amin bukan?" tanyanya setengah penasaran.

"Iya Mbah, saya Amin Ong."

"Lha mereka semua?" tanyanya lagi sembari menunjuk satu persatu.

"Mereka rekan kerja saya."

"Woalah banyak sekali rekannya, kok bawa kamera besar-besar untuk apa?" keingintahuannya tiba-tiba membuncah.

"Jangan khawatir Mbah, mereka hanya meliput kok, tidak lebih." Pak amin diam sejenak lalu melanjutkan percakapannya.

"Sebetulnya saya dan rekan-rekan ingin menanyakan sesuatu pada simbah. Boleh kan Mbah?" pintanya dengan merendahkan suaranya.

"Siapa yang melarang, tanyakan saja apa-apa yang bisa ku jawab. Oh ya, aku mau menyirih dulu, silahkan duduk!" diambilnya seperangkat alat sirih dari kamarnya. Ia merasa tidak sopan apabila menemui tamu tanpa menyirih terlebih dahulu. Untuk melaksanakan ritual menyirih hanya membutuhkan waktu beberapa menit lamanya. Para wartawan dan reporter tertegun menyaksikannya. Sesuatu hal yang menjadi kebiasaannya itu mendadak terlihat aneh di mata mereka.

"Enak Mbah sirihnya?" tanya seorang wartawati yang berbadan tambun, Elia sambil nyengir.

"Ya enak, ya tidak" jawabnya santai.

"Yang benar saja Mbah" sahut wartawati yang di sebelahnya.

"Untuk apa saya berbohong, lha wong sirihnya tidak ku makan kok, hanya sebagai penyumpal gigi," Ujarnya dengan menunjukkan giginya.

"Sepertinya enak Mbah," Elia tiba-tiba penasaran ingin mencicipinya.

"Kamu mau?" tawarnya kemudian

"Mau Mbah,"

Seorang wartawati tambun dengan kartu nama Elia Sophiana yang menggantung di lehernya itu lalu dibuatkan dengan bahan sirih, gambir dan sedikit tembakau lalu mencicipinya. Elia menjadi nyengir dibuatnya. Kembali wawancara dilanjutkan

" Bisa dimulai lagi wawancaranya Mbah?" tanya Pak Amin santai.

"Monggo," jawabnya.

"Apa benar Simbah berani melawan pemerintah desa Rakusan?"

"Melawan apa?"

"Maksudnya berani bersikap kritis pada pemerintah desa rakusan, apa simbah tidak merasa takut kala berhadapan dengannya?" jelasnya dengan diliputi rasa penasaran.

"Apa yang ditakutkan? Wong mereka juga manusia,"

"Kabarnya Simbah sempat ditahan di sebuah kamar kosong, apa itu benar?"

"Iya,"

"Berapa hari?"

"Tiga hari,"

"Kini kabarnya para perangkat desa rakusan juga telah ditahan, Simbah lega?"

"Tidak," jawabnya dengan menggelengkan kepalanya.

"Kenapa?" tanyanya lagi, bertambah penasaran.

"Kalau mereka sudah mengakui kesalahannya dan mempertanggung jawabkan kepada masyarakat, itu berarti saya baru lega," jawabnya dengan bersahaja.

"Apa sih yang diperjuangkan oleh Simbah?

"Saya hanya ingin memperjuangkan kemanusiaan."

"Untuk siapa?"

"Untuk semua orang."

"Simbah kan sudah udzur, untuk apa harus capek-capek memperjuangkan semua itu?"

"Justru karena sudah udzur, saya ingin menabung pahala buat bekal kematian. Tak peduli usia, tua muda semuanya akan mati. Semua yang ada di dunia akan musnah. Lalu jika sudah mati, apa yang bisa dibanggakan, harta dan kedudukan? hanya amal perbuatan selama didunia yang bisa dijadikan bekal."

"Apakah Simbah yakin jika yang anda perjuangkan itu benar?"

"Saya meyakini kebenarannya."

"Satu contoh yang membuat Simbah tergerak untuk mengkritisi Pemerintah misalnya?"

"Mereka menggarap surat-surat hingga bertahun-tahun, apa itu wajar? Lha wong tinggal menunggu pembuatan cap jempol saja sampai berbulan-bulan,"gerutunya dengan kesal.

"Mungkin tintanya habis dan harus beli di luar negeri, bisa saja bukan?"timpalnya dengan nada bergurau.

"Apa susahnya buat tinta dari gedebog pisang!"sahutnya dengan ketus.

"Dari kabar yang beredar,Simbah bersekongkol dengan orang-orang Chunghoa, apa itu memang benar?"

"Memang ada benarnya, tetapi untuk kemaslahatan, bukan hanya demi uang semata."

"Seandainya Simbah disuruh memilih, dibayar lebih untuk kepentingan orang-orang Chunghoa atau tidak dibayar sama sekali untuk kepentingan masyarakatnya sendiri?"

"Saya tidak memilih."

"Kok bisa begitu, kenapa?" balasnya dengan mengerutkan dahi, semakin menambah penasaran saja.

"Dua-duanya tidak berdiri di atas dasar kemanusiaan." jawabnya bijak.

"Kemanusiaan seperti apa yang Simbah maksud?" tanyanya dengan dihujam rasa penasaran untuk yang kesekian kali.

"Kemanusiaan itu tidak hanya berpihak pada orang-orang Chunghoa maupun masyarakat pribumi, melainkan keberpihakan kepada semuanya." jawabnya menerangkan dengan gamblang.

"Apakah Simbah tahu, jika sikap kritis Anda itu akan berbuntut panjang?"

"Tidak, saya sama sekali tidak tahu jika akhirnya seperti ini."

"Simbah menyesal dengan semua ini?"

"Tidak, untuk apa disesali, saya malah bersyukur kepada yang kuasa, karena diberi kekuatan dan ketabahan dalam menghadapinya. Saya rasa justru malah semakin kuat."

"Oh ya, barangkali rekan-rekan ada yang mau bertanya, silahkan!" ujarnya memberi kesempatan bertanya, sembari mengacungkan tangan kanannya ke atas, lalu memberikan kesempatan bertanya kepada salah seorang wartawan.

"Saya ingin menanyakan dua persoalan." sahut salah seorang wartawati melontarkan pertanyaan, setelah mengacungkan jarinya.

"Pertama, adakah dalang dibalik peristiwa Balai Desa waktu itu? kedua, jika ada siapa dalangnya?"

"Peristiwa itu tidak ada yang mendalangi, itu semua karena keinginan saya pribadi"jawabnya dengan menggelengkan kepalanya.

"Kapan persisnya peristiwa itu terjadi?"

"Sudah lama, yang kedua sekitar seminggu yang lalu."

"Jadi peristiwa itu terjadi hingga dua kali?"selorohnya dengan nada heran.

"Iya, dua kali." Aminah mengangguk perlahan.

Wawancara sore itu disiarkan secara live di beberapa stasiun TV nasional. Berita mengenai siapa jati dirinya kini pelan-pelan mulai tersebar ke seantero jagat. Semakin banyak wartawan dari luar kota yang ingin mengetahuinya lebih mendalam. Para wartawan dan reporter tempo hari yang kecewa, Kabarnya juga mulai merencanakan peliputan kembali besok pagi.

"Tunggu sebentar ya, pak?" Aminah mohon ijin ke dapur mengambil ubi jalar rebus. Sebaskom penuh ubi jalar rebus yang masih hangat itu, lalu disajikan bersama teh manis hangat. Qohar sempat tak sengaja menjatuhkan satu gelas hingga pecah, karena saking gugupnya. Aminah berusaha memahaminya.

"Mbah, kami mohon kehadiran anda dalam sebuah acara kami di jakarta besok, bisa kan?" pinta Pak Amin sambil mendekat ke arah telinganya.

"Besok kapan? Saya tidak bisa," jawabnya sambil menggelengkan kepalanya.

"Lha bisanya kira-kira kapan Mbah?"

"Entahlah, Saya juga belum tahu."

"Masih ada sesuatu yang mengganjal, atau ada yang tidak bisa ditinggal?"

"Ya pasti ada,"

"Apa itu Mbah?"

"Sawah."

"Sawah, maksudnya?"

"Padi disawah belum dipanen, padahal sudah terlalu tua. Biasanya kalau sudah terlalu tua akan roboh dengan sendirinya."

"Lalu kira-kira kapan padinya dipanen, Mbah?"

"Sekarang cari tukang panen susah, karena sedang musim panen."

"Kalau boleh tahu, berapa upah tukang panen disini?"

"Kalau borongan biasanya 100, kalau harian cuma 70,"

"Ooh begitu, bagaimana kalau upah borongan ditambah 50 dan kami yang membayarnya?"

"Terserah sampeyan, yang penting padinya bisa segera dipanen."

Sore menjelang para wartawan dan reporter bergerilya menawarkan pekerjaan memanen padi, dari rumah kerumah, serta dari orang ke orang. Dari setiap rumah yang didatangi, hanya enam orang yang bersedia bergabung, selebihnya mereka telah ada perjanjian panen ditempat lain. Sementara itu, Qohar bersama beberapa wartawan yang lain ke sawah, mengambil bumbu dapur lalu memanen nangka muda sebanyak lima buah. Aminah ditemani para wartawan tengah sibuk membuat suguhan dan minuman untuk para tamunya.

Malam itu rumahnya sesak penuh wartawan dan reporter, puluhan kendaraan terparkir di depan rumahnya sampai ke kebun pisang di sisi timur. Beberapa wartawan yang lain memilih mendirikan tenda di bawah rumpun bambu di sisi barat. Mereka yang mendirikan tenda terdiri dari kaum Adam. Suara jangrik, belalang dan burung hantu sesekali terdengar, mengisi sunyi malam itu.

Kali ini, Aminah menjadi seperti Oei Tiong Ham, Saudagar terkaya di Semarang yang melegenda di berbagai belahan dunia, dengan puluhan pembantu di rumahnya. Tetapi mereka hanya menjadi pembantu dalam hitungan hari, hanya sementara. Selanjutnya mereka akan pulang dan tidak menuntut upah, mereka membantu secara sukarela. Seorang reporter wanita sempat jatuh hati pada kura-kura begitu melihatnya, namun ketika kura-kura itu ditawar dengan harga yang lumayan tinggi, Qohar belum bersedia melepasnya.

Para wartawan dan reporter adalah tamu, meski tamu-tamu itu datang tanpa diundang. Mereka datang untuk mengurai benang basah yang membelitnya. Mereka membagi tugas, membersihkan rumah, menyapu, memasak,mencuci piring sampai melipat pakaian.

Adzan shubuh belum berkumandang, Aminah telah terbangun lebih awal. Disiapkannya kayu bakar untuk merebus air sebanyak dua dandang. Nasi beserta lauknya telah matang sejak semalam. Pagi ini ia hanya mempersiapkan pembuatan jenang sebagai cemilan panen nanti. Satu persatu para wartawan dan reporter terbangun, sebagian yang lain lebih memilih tiduran di kamar dan sebagian lagi memilih mensucikan diri lalu mendirikan tiang Agama di Musholla.

Pagi itu terasa berbeda dari hari-hari biasa. Jika biasanya Aminah memasak hanya seorang diri, maka kini ia memasak dengan dibantu banyak orang. Jika biasanya Aminah menyapu halaman hanya di sekitar rumahnya, maka kini mereka menyapu halaman dari kebun pisang dan sawo di sisi timur sampai di kebun bambu di sebelah barat. Pagi itu semua wartawan dan reporter Sarapan di rumah, mereka tidak perlu repot membawa sarapan kesawah dalam porsi yang terlalu banyak. Aminah hanya membawa sarapan sebakul dan penganan kecil sebagai camilan untuk para pemanen padi.

Sebagai seorang wartawan yang akrab dengan dunia tulis menulis, sebagian dari mereka merasa asing dengan dunia pertanian, apalagi dengan hitam pekatnya lumpur persawahan. Di sawah, mereka tidak mengerti harus bagaimana dan apa yang mesti dikerjakan. Setelah melalui pengarahan dari beberapa wartawan senior, mereka pun memahami apa yang seharusnya dikerjakan. Setelah berembug beberapa saat, salah seorang kru lalu kembali kerumah, mengambil sesuatu yang bisa dipakai. Kebetulan ada persediaan cutter dan gunting di brankas mobil. Sebagian wartawan yang tidak bisa membabat padi dengan parang lalu memilih memakai gunting atau cutter. Lumayan untuk membabat padi sambil berjongkok santai. Sebagian yang lain memilih menjadi penonton.

Panen raya itu disiarkan secara langsung di beberapa televisi. Satu hal yang menarik perhatian publik yaitu babat padi yang hanya memakai cutter dan gunting, karena keterbatasan alat yang tidak memadai. Mereka yang berjumlah puluhan orang itu tergerak dan mengulurkan tangannya, tergugah oleh rasa kemanusiaan.

Sekitar pukul sembilan pagi, para wartawan dan reporter kembali berdatangan. Rupanya mereka telah diberitahu oleh awak media yang lain mengenai tempat panen raya. Mereka lalu meluncur dan membantu bersama.

Acara panen padi telah selesai hanya dalam satu hari, biasanya acara panen padi sekitar setengah hektar itu memerlukan waktu hingga dua hari lamanya. Mungkin karena tangan-tangan malaikat turut serta membantu, menghembuskan angin semangat, mengalirkan mata air kekuatan hingga usai padi-padi itu dipanen.

Malam itu, digelar sesi wawancara untuk yang kedua kalinya. Dengan bebas para wartawan mengajukan pertanyaan seputar peristiwa di Kantor Kepala Desa Rakusan, hingga kemudian bermuara pada sejarah perjalanan hidupnya. Menjelang tengah malam para wartawan mulai berpamitan.

Sebagian besar wartawan dan reporter telah pulang, hanya Pak Amin dan Pak Puji serta Pak Nugroho dan dua rekannya yang belum pulang. Mereka merencanakan kepulangannya pada esok lusa.

Pagi itu Aminah memenuhi permintaan Pak Amin Ong. Rumah tempat tinggalnya yang didiami selama puluhan tahun itu mendadak ditinggalkannya untuk sementara waktu. Tak lupa ia titipkan rumahnya kepada Mbok Karmini. Ia berangkat ke jakarta bersama cucunya.

Setibanya di Jakarta Aminah menginap di sebuah perumahan elit, rumah kediaman Pak Amin Ong beserta seluruh keluarganya. Di hari pertama, Aminah dan Qohar di ajak jalan-jalan keliling seputar Jakarta bersama Anton, putra sulungnya. Di hari kedua, sekitar pukul delapan pagi, Pak Amin Ong dan Aminah pergi memenuhi undangan pada peringatan hari kartini. Sementara Qohar di rumah bersama putra-putri pak Amin Ong.

 Aminah secara khusus diminta berpidato pada peringatan hari Kartini di sebuah hotel berbintang. Sebagian besar pesertanya dari kalangan para akademisi dan praktisi hukum. Meski mulanya agak canggung, tetapi atas dorongan dan bimbingan dari Pak Amin Ong, akhirnya pidato kali pertamanya berakhir dengan baik walau masih kentara jelas perasaan gugupnya.

Akhirnya, nasehat-nasehatnya tentang kemanusiaan diapresiasi oleh banyak kalangan, sebagai representasi pemberontakan perempuan desa terhadap tirani kekuasaan yang sewenang-wenang. Di antara cuplikan pidatonya berisi nasehat yang heroik.

Dibuat miring.......

Jadi perempuan itu harus berani menghancurkan pagar keterkungkungan, demi kebebasan dan kebahagiaannya. Jangan hanya bertahan tanpa sebuah kepastian dan berpangku tangan menunggu keberuntungan, tetapi kejarlah keberuntungan itu sampai dapat.  Tidak ada pencapaian kebahagiaan tanpa adanya sebuah perjuangan. Masih teringat jelas dalam ingatanku, bagaimana kemerdekaan itu harus ditukar oleh ribuan nyawa yang melayang. Sebagai bentuk pengorbanan kepada kemerdekaan suatu bangsa, bangsa Indonesia. Kini setelah memasuki masa kemerdekaan, kenapa harus berganti dijajah oleh sebangsanya sendiri? Semuanya diatur dalam peraturan yang sengaja dibuat susah dan rumit. Sampai kapankah semua ini akan berakhir? Jangan biarkan penjajahan berlarut-larut tiada akhir.

Perjuangan dan kegigihan Aminah di dalam mengkritisi pemerintah desa Rakusan telah tertulis di berbagai media. Tulisan-tulisan itu bagaikan riak-riak kecil yang menjelma menjadi ombak yang sedemikian besar, lalu gelombangnya merambat ke segala penjuru dan mendarat ke berbagai belahan dunia.

Tak hanya di Ibu kota, nama Aminah kian mashur, tetapi telah menjalar di beberapa negara di Asia dan Eropa. Melalui dunia maya, peristiwa demi peristiwa mengenai dirinya terekam dan disaksikan pasang-pasang mata dari berbagai negara. Didengar keluh kesahnya oleh para pemangku kepentingan di berbagai bidang keilmuan.

Sebuah organisasi Hak Asasi Manusia tingkat dunia yang bermarkas di Jenewa Swiss, mengundangnya dalam sebuah peringatan hari HAM internasional yang diselenggarakan di Berlin. Selama dua hari, Aminah dan Qohar tinggal di sebuah hotel di tepi sungai Spree, bersama pak Amin Ong dan seorang staffnya. Setiap pagi dan sore sepanjang pinggir sungai Spree dipenuhi para wisatawan. Airnya yang jernih bagai kolam renang raksasa yang memanjang, sepanjang air sungai mengalir. Di bibir-bibir sungai dihiasi taman dan kursi panjang. Turut dibangun pula tangga turunan, semacam punden berundak yang memanjang sebagai tempat duduk dan bersantai. Berlin adalah sebuah kota yang modern, dinamis dan tertata rapi. Meski demikian ada aturan-aturan yang wajib dipatuhi apabila ingin bertempat tinggal di kota Berlin. Salah satu aturan yang wajib dipatuhi adalah larangan bagi warganya yang meninggal dan dikuburkan di Berlin, karena semua area pemakaman telah penuh, kecuali lahan kosong yang telah dipesan jauh-jauh hari oleh para ahli waris.

Selang satu hari kemudian, Aminah secara khusus diminta berpidato bersama pak Alex, seorang penerjemah dari kedubes Republik Indonesia di Berlin. Mereka berdampingan sejajar di sebuah mimbar yang diperdengarkan para tamu dari berbagai negara.

Berikut isi pidatonya.

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakaatuh

Saya merasa terhormat atas undangan ini. Puji syukur kehadirat yang kuasa atas limpahan rahmatnya di siang dan malam hari tanpa tiada terhitung.

Yang saya hormati para hadirin semuanya..

Dalam rangka memperingati Hak Asasi Manusia Se Dunia, marilah kita mengingat kembali serta menyadari arti pentingnya sebuah kemerdekaan. Kemerdekaan atas hak-hak dasar setiap manusia. Kemerdekaan atau dengan kata lain kebebasan, adalah hak setiap manusia. Kebebasan itu harus diraih dan diperjuangkan, kala kungkungan terus merongrong. Perjuangan memperoleh kebebasan tidak boleh berakhir sampai titik darah penghabisan. Karena kebebasan adalah hak yang berdiri diatas segala-galanya. Demikian halnya dengan kebebasanku, yang harus ku raih dengan serangkaian peristiwa yang membuatku menderita lahir dan bathin. Peristiwa itu menyisakan luka untuk selamanya. Luka yang tidak akan pernah bisa disembuhkan. Tetapi oleh sebab luka itulah, kiranya saya bisa berdiri di sini, hadir di tengah-tengah forum yang dihadiri peserta dari berbagai negara. Kini saya sangat bersyukur kepada Yang Kuasa atas peristiwa itu, sehingga saya bisa melihat dan tinggal di kota Berlin, sebuah kota yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Seandainya saya disuruh memilih untuk tinggal dimana, maka saya lebih memilih untuk tinggal di Berlin. Tetapi aturan di sini tak memungkinkan untuk menghabiskan sisa umurku. Cukup sudah kebahagiaan yang kurasakan. Satu hal yang membuatku menemukan arti hidup dan ketenangan, yaitu kenikmatan iman.

Demikian yang dapat saya sampaikan, kurang lebihnya saya mohon maaf.

Wassalamualaikum warahmatullah wabarakaatuh.

Salah seorang wanita paruh baya berkebangsaan Norwegia begitu kagum dengan kepribadian seorang Aminah yang dinilainya begitu tegar setegar batu karang. Berulang kali wanita itu memeluknya sebagai bentuk kekagumannya. Selang beberapa menit kemudian, datang dua orang perempuan bermata biru peserta konferensi HAM. Mereka ingin meminta photo bersama. Dua orang berkewarganegaraan Rusia itu ternyata juga mengaguminya. Dari pembicaraan yang terakhir bersama pak Alex, dua orang Rusia yang diketahui bernama Slavina dan Leah itu ternyata juga penasaran ingin melihat keindahan dan keberagaman di Indonesia. Selama beberapa tahun rasa penasaran itu terpendam dalam jiwanya. Kini rasa penasaran itu sedikit terjawab dari para pejabat dari Kedutaan besar Republik Indonesia di Berlin, Jerman.

Beberapa saat setelah pulang dari kedutaan, Pak Amin Ong mendapat kabar dari salah seorang asistennya di Indonesia, melalui ponselnya. Dari informasi yang dihimpun, Kepala Desa Rakusan beserta jajarannya kini telah dijebloskan ke dalam penjara atas berbagai kasus yang membelitnya. Satu persatu keborokannya telah dibuka dan diusut di persidangan. Masyarakat Desa Rakusan pun mulai mengetahui, sebab musabab kepala Desa Rakusan beserta jajarannya dimasukkan kedalam penjara. Beberapa perkara yang memberatkan diantaranya kasus korupsi uang gedung pembangunan sekolah Dasar, penyalahgunaan wewenang kekuasaan dan yang terakhir, penggelapan uang pembangunan Masjid. Dari pengembangan kasus itu pula diketahui, KH. Idris dan puluhan santrinya juga ikut terseret ke meja hijau, oleh sebab perintah dan hasutannya yang mengakibatkan terjadinya kerusakan dan kebakaran.

Di kampung halaman, masyarakat Desa Rakusan, terutama warga kampung Bendo mulai mempersiapkan penyambutan atas kedatangannya. Tetapi sayangnya, Aminah tak kunjung kembali ke kampung halaman dalam jangka waktu yang tak bisa ditentukan.

Tiga purnama telah berlalu, selama itu rumah tempat tinggal Aminah hanya tinggal jasad tanpa ruh. Untuk mengisi kekosongan rumahnya supaya tetap berpenghuni, Mbok Karmini telah berulang kali membujuk sanak saudaranya, termasuk salah satu anak perempuan Mbah Imran, yaitu Mariyah. Meskipun Mariyah dan suaminya belum mempunyai rumah, tetapi ia tidak bersedia menempatinya. Tidak ada kedekatan emosional antara putra-putri Mbah Imran dengan Aminah. Hubungan yang merenggang selama bertahun-tahun itu mengasingkan diantara keduanya. Mbok Rumi yang tinggal di rumah gubuk tidak layak huni itu juga telah dibujuknya. Mbok Rumi yang pikun itu hanya mengiyakannya, tetapi belum pernah sekalipun angkat kaki dari gubuknya.

Dua buah pohon sawo masih tetap mempersembahkan buah-buahnya. Di satu dahan memamerkan bunga-bunganya, dan di dahan yang lain memperlihatkan dompolan buah yang hampir masak. Sementara itu pentil-pentil bakal buah, mulai nampak bergelantungan menghiasi pucuk-pucuk dahannya. Kini kedua pohon sawo itu telah besar dan tinggi menjulang, senantiasa bersahabat dengan angin dan badai yang sewaktu-waktu datang menghempasnya. Sesekali Mbok Karmini memanennya dan sesekali pula para tetangga yang memanen. Bagi siapa saja yang menginginkan, diperbolehkan mengambilnya asal secukupnya, tidak untuk dijual. Setiap pagi dan sore hari Mbok Karmini memberi makan ayam serta seekor kura-kuranya. Selama itu pula Mbok Karmini lama-lama memendam rasa bosan. Tetapi harus bagaimana lagi, haruskah ia tutup mata, ketika melihat rumah Aminah beserta binatang peliharaannya terlantar dan tidak ada yang merawatnya?

Sementara itu, sawah ladangnya untuk sementara waktu digarap Mbok Karmini. Sawah pinggir kali yang ditanami pohon bambu manis, pohon nangka, pohon kelapa dan pohon pisang sebagai pagar itu kini terus tumbuh dengan suburnya. Lembayung dan kangkung telah merambat memenuhi guludan sepanjang pinggiran sawah. Sebuah gubuk kecil di bawah pohon nangka nampak miring dengan kaki penyangga yang telah ganjil. Burung-burung, biawak dan ikan kini mulai berkurang dan menghilang ditelan zaman, entah kemana.

Kaleng-kaleng bekas racun ikan di beberapa sudut sungai menjadi bukti, betapa hancurnya ekosistem sungai. Mencari ikan yang serampangan dengan menebar racun, kini telah menjadi kebiasaan dan membudaya di masyarakat. Untuk menghilangkan kebiasaan dan budaya yang telah mengakar kuat di masyarakat, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Telah satu purnama lebih, Pak Kasim mencari bulus untuk pengobatan anaknya. Hingga kini tidak pernah sekalipun ia melihat penampakannya. Berulang kali mata pancing dilepas, dilempar ke tengah sungai, tetapi lagi-lagi tidak pernah mendapatkannya. Mungkin bulus-bulus yang suka bertelur di tepi sungai yang berlumpur itu telah punah, telah lenyap kehidupannya dari muka bumi. Entah harus kemana lagi Pak Kasim mencari seekor bulus untuk pengobatan putra sulungnya, Hasan yang tengah menderita epilepsi.

Selepas kepulangannya ke Indonesia, Aminah mendadak disibukkan dengan undangan menjadi dosen tamu dan pembicara, di berbagai seminar kebangsaan. Ia telah menjelma menjadi motivator spirit kebangsaan, bagi para akademisi di berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan kota-kota lainnya. Untuk sementara waktu, Aminah dan Qohar tinggal di kediaman Pak Amin Ong.

Di Desa Rakusan kini telah dibangun pabrik kopra berskala besar. Pak Yusuf Chen Lau sengaja merekrut sebagian besar tenaga kerja dari kalangan warga Desa Rakusan. Langkah itu ditempuhnya, supaya masyarakat Desa Rakusan ikut memiliki dan menjaga perusahaan, sehingga tercipta harmoni kehidupan yang selaras.

 

Nama. Muhammad Syaiful Hisyam

Alamat. Desa Gemiring Lor RT 02 RW 07 Kec. Nalumsari  Jepara

Aktivitas. berkebun bertani dan beternak.

Blogger dan Kompasioner

Wartawan lepas Majalah Al Fikri

Email.javakarimun86@yahoo.com

Whatsapps.082325720918

No.Rek.589601028813530

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun