Mohon tunggu...
Syaifull Hisyam
Syaifull Hisyam Mohon Tunggu... wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

23 Oktober 2017   01:51 Diperbarui: 23 Oktober 2017   03:18 3612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Langit di bagian barat telah terbentang warna merah keemasan. Matahari seakan-akan tergesa-gesa membenamkan diri. perlahan rembulan memancarkan auranya. Bintang-bintang bermunculan diikuti serbuan kelelawar yang hilir mudik mencari mangsa. Hanya sekumpulan ayam yang petang itu mulai bersantai lalu mencari tempat beristirahat di kandang dan sebagian lagi memilih nangkring di atas ranting pohon mangga di dekat sumur..

Selesai shalat maghrib dan berdzikir Aminah teringat dua hari yang lalu, Wak Sarmah mengajaknya menjenguk Bambang. Bocah kecil seumuran Qohar yang menderita gizi buruk disertai pembengkakan di selangkangan. Ia masih tergolek lemas di atas bale kayu selama beberapa minggu lamanya. Tetangga kampung sebelah.

Selesai shalat Isya'Aminah ke rumah Wak Sarmah, mengajaknya menjenguk Bambang.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam."

"Bagaimana? jadi menjenguk Bambang?"

"Iya. Jadi Mbok." jawab Wak Sarmah sambil ngeloyor ke dalam rumah. " Aku ganti pakaian dulu".

Merekapun berangkat. Aminah malam itu membawa setandan pisang dan sekilo gula merah. Tak ingin ketinggalan, Qohar segera membuntutinya setelah sebelumnya mengunci rumah rapat-rapat.

Aminah tertegun melihat kenyataan. Keadaan rumahnya memprihatinkan, dari setiap dinding bambu yang dipasang terlihat jelas celah-celah yang menganga. Jika celah-celah itu tanpa dilapisi plastik, maka angin malam senantiasa bebas keluar masuk kedalam rumahnya. Aminah dan Wak Sarmah berusaha membesarkan hati dan menghiburnya, sementara Qohar berdiam diri di teras rumah menunggu neneknya pulang. Miris menggambarkan cobaan yang dilakoni Bambang.

Di usianya yang ke tujuh berat badannya terus merosot. Tak jauh beda dengan anak seusia tiga tahun. Perutnya membusung, paru-parunya terlihat melebar dengan lekuk-lekuk tulang yang sangat kentara. Wajahnya pucat, kedua bola matanya cekung dengan keningnya yang semakin kentara jelas akan guratan-guratan daging tipis yang membalut tempurung kepalanya. Jari-jari kaki dan tangannya terlihat seperti kerangka yang bergerak-gerak dengan balutan kulit yang amat tipis setebal kain. 

Hanya daging tipis yang menghiasi tubuhnya, selebihnya seperti tengkorak yang bergerak-gerak. Di setiap ujung jari-jari kaki kirinya membusuk, membiru dan bernanah. Bambang, demikian orang-orang memanggil bocah malang itu terus-terusan menitikkan air mata apabila keinginannya belum juga terpenuhi. Semisal merasakan sakit disekujur badannya yang ingin dipijat atau di obati. Dari kedua bibirnya yang terlihat kering tanpa sepatah katapun terucap. Seperti ada sesuatu yang ingin dikatakannya namun terasa sulit untuk mengucapkannya. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun