Mohon tunggu...
Syaifull Hisyam
Syaifull Hisyam Mohon Tunggu... wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

23 Oktober 2017   01:51 Diperbarui: 23 Oktober 2017   03:18 3612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Kalimat takbir yang suci itu dengan sengaja dinodainya, lalu mempermainkannya sedemikian rupa, ditempat yang tidak semestinya. Atas nama Tuhan mereka memblokade tanah yang bukan haknya. Tanah kapling itu akhirnya terbengkalai dan entah sampai kapan pembangunan itu dilanjutkan. Tanpa disadari mereka telah menjajah saudaranya sendiri. Hanya karena dzahir yang asing itu mereka bertikai, memamerkan sayap kekuasa'an satu sama lain. Apakah dengan berbuat demikian Tuhan akan bangga?Atau bahkan menjadi menang? Tanpa semua itupun Tuhan telah menang, telah berkuasa, mutlak diatas segala-galanya. Mereka tidak mengetahui jika Tuhan tidak memerlukan semua itu.

Tidakkah cukup bagi mereka kenikmatan yang senantiasa Tuhan limpahkan? hingga mereka tega merampas hak orang lain. Jika memang mereka berdalih akan sebuah jihad dan pembelaan Agama, Agama yang manakah yang mereka bela?. Dengan samar mereka telah menuhankan diri, semua itu adalah bagian dari taktik iblis yang amat sangat halus, sehingga tiada terasa. Ketika semua itu berhasil, maka para Iblis dan hulu balangnya akan berpesta pora merayakan kemenangannya. Sang iblis telah mendapatkan umpan yang kelak bisa diandalkan, untuk dijadikan kerak di dalam neraka

Belum sepenuhnya sembuh dari sakit, ujian hidup kembali datang bertubi-tubi. Kini seorang Kyai yang selama ini menjadi tempat berkeluh kesah telah berbalik menyerangnya dari belakang. Puluhan santrinya dikerahkan untuk menolak apa yang telah menjadi angan-angannya selama ini. Sebagian tetangga mulai menjuluki dirinya sebagai orang tua yang tidak waras, gila. Hanya beberapa tetangga yang terhitung jari memberikan dukungan atas jalan hidup yang ditempuhnya. Terasa berat beban pikiran yang ditanggung, di wajahnya menyimpan kesedihan yang dalam, membendung penderitaan tetapi tidak menampilkan dendam. Walau sakit dihatinya tidak mudah untuk dihapus, tetapi ia tetap  berusaha untuk menghapusnya. Ia berusaha menghapus memori, peristiwa di Kantor Balai Desa yang membuatnya sakit lahir bathin. Sakit hati yang tidak ada obatnya itu hanya bisa diobati oleh virus, virus cinta dan tawakkal kepada Ilahi.

Rasa sakit yang tak biasa itu memperlambat proses kesembuhannya. Ia mulai takut jikalau berpisah dengan  ruhnya. Di dalam bathinnya bertanya-tanya, mungkinkah diriku memang sudah waktunya? Sementara ia masih mempunyai tanggungan seorang cucu. Bagaimana dengan cucunya apabila ia keburu dipanggil menghadap yang kuasa? Berapapun waktu yang telah dijatah oleh yang kuasa harus diterima, biarpun waktu yang ditorehkan hanya tinggal beberapa hari. Tetapi bukan Aminah namanya jikalau harus berhenti dari ikhtiar. Itu sama artinya menyerah sebelum babak pertandingan usai.

"Baskom cuci tangannya mana?" pintanya sehabis menghabiskan setengah mangkuk bubur nasi.

"Ya Mak, sebentar!"


"Kenapa tidak dihabiskan ?"tanya Qohar setelah mengantarkan baskom kecil untuk mencuci tangan.

"Mulutku terasa pahit." ujar Aminah mengeluh.

"Kamu sudah Makan?" tanyanya kemudian.

"Belum lapar Mak!" jawab Qohar Dengan wajah lesu.

"Kalau begitu Maknyak ambilkan uang dilemari, lalu belikan bubur kacang hijau dua bungkus. Sekalian belikan jamu pegal linu, kakiku rasanya ngilu."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun