Mohon tunggu...
Syaifull Hisyam
Syaifull Hisyam Mohon Tunggu... wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

23 Oktober 2017   01:51 Diperbarui: 23 Oktober 2017   03:18 3612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Iya Mak."

Di tepi kampung, Qohar dikesendiriannya sedang bersusah payah mencabut sebagian rumpunan temulawak. Temulawak yang tinggi tanamannya bisa mencapai dua meter dan tentunya lebih tinggi dari tubuhnya itu, baginya seperti upaya menahlukkan seekor ayam muda untuk ditangkap. Tidak mudah untuk dicabut, apalagi ia sendiri lupa tidak membawa peralatan cangkul atau peralatan lainnya. Dirinya masih terlampau lemah untuk mengalihkan cengkeraman akar temulawak yang panjang dan terpendam dalam tanah lempung itu. Ia terengah-engah namun batang temulawak itu masih tetap tegak ditempatnya. Ia nyaris putus asa seandainya tidak menemukan akal yang lebih cemerlang. Ia teringat sewaktu neneknya menaruh pisau usang yang sudah tumpul, disimpan di bawah gubuk kecil di bawah pohon nangka. Di bawah gubuk itu pula ia menemukan sebatang cungkil. Digalinya tanah lempung yang elastis itu disekeliling temulawak, dengan perlahan memakai cungkil dan pisau usang. Entah telah berapa minggu pisau usang itu tidak di asah. Dengan tekad terakhir ia mencoba mencabut batang temulawak itu kembali. Urat-urat kecil di tangan dan di punggung mulai menegang. Ditolaknya bumi dengan entakan kaki sekuat mungkin. Serabut-serabut akar halus mulai terputus, perlahan tanah merekah. Temulawak yang gagah itupun menyerah di titik nadir. Perakaran panjang yang mengarah ke segala penjuru terputus semua. Ketika temulawak itu berhasil tercabut ia jatuh terduduk. Hatinya mulai terbersit kegembiraan yang tak terukur, seperti menemukan satu kemenangan.

Satu pekerjaan telah selesai, ia lalu mencari rimpang jahe dan rumput teki. Tak seperti rimpang temulawak yang berbatang tinggi sehingga sulit dicabut. Rimpang jahe dan rumput teki berbatang pendek dan remah, mudah untuk dicabutnya. Dengan mudahnya kedua rimpang itu ia dapatkan. Bahan-bahan untuk ramuan itu dicuci bersih lalu ditumbuk di sebuah lumpang kemudian direbus dengan air tiga gayung seperti biasanya.

Malam itu kesehatan Aminah berangsur-angsur pulih setelah meminum ramuan buatannya. Kedua bola matanya yang semula sayu membiru pelan-pelan terlihat semakin hitam jernih. Kedua kakinya yang semula terasa berat menjadi terasa ringan.

Merasa dirinya sudah semakin membaik, ia ingin segera melaksanakan shalat. Disuruhnya Qohar mengambil jarek di teras belakang. Ia lalu menuju ke sumur mengambil air wudlu. Di basuhnya muka yang telah keriput itu dengan air yang mengalir bersih lalu kedua tangannya. Diusapnya separuh dari kepalanya lalu kedua daun telinga dengan air yang sama, kemudian membasuh kedua kakinya sampai ke lutut hingga benar-benar bersih.

Setelah selesai berwudlu ia mendapati Qohar tengah gemetar di ujung bale-bale biliknya.


"Kamu kenapa?" tak ada jawaban, Qohar  terdiam dan sekujur tubuhnya gemetar.

"Bocah bagus ada apa? kok seperti dikejar binatang." tanyanya kali kedua.

"Aku baru saja melihat setan Mak!"

"Setan-setanan? " Aminah balik bertanya.

"Bukan, bukan setan-setanan." jawab Qohar sambil geleng-geleng kepala." Yang ini beneran Mak!, tadi sewaktu mengambil jarek di teras belakang Aku melihat putih-putih seperti melayang di bawah pohon dadap. Aku takut sekali Mak!"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun