Mohon tunggu...
Syaifull Hisyam
Syaifull Hisyam Mohon Tunggu... wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

23 Oktober 2017   01:51 Diperbarui: 23 Oktober 2017   03:18 3612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Tidak ada jawaban dari kedua bibirnya yang kelu seperti kehabisan pasokan darah. Darah yang semula mengalir deras dengan detak jantung yang gelagapan seolah terhenti. Tangan dan kakinya berkeringat dingin. Hati, hanya didalam hatinya ia berdialog dengan Tuhan. Memohon ampun dan pertolongan darinya. Hingga beberapa saat lamanya Aminah tetap diam memaku. Dibiarkannya lalat-lalat kecil menghinggapi matanya yang sembab, lalu lalat-lalat itu kembali terbang menghinggapi anggota tubuhnya yang mulai tercium aroma pengap oleh keringat. Seolah lalat-lalat kecil itu tengah menertawakan nasib yang tengah menimpanya. Lalat yang tercipta tanpa etika itu tak jemu-jemu mengerubunginya. Binatang yang selalu membawa virus kemanapun dan dimanapun itu hinggap di tempat-tempat kumuh, sampah busuk dan segala bentuk kotoran, bahkan bangkai menjadi tempat peraduannya yang utama. Satu bentuk takwil dari Tuhan, perumpamaan orang yang tidak menyandang akhlak sebagai pakaiannya niscaya seperti seekor lalat. Sementara Qohar semakin merapatkan gayutan di ujung selendang neneknya, wujud dari sebuah kekhawatiran. Seperti dua sisi mata uang, keterikatan bathin diantara keduanya.

Melihat neneknya diperlakukan kasar oleh orang-orang yang tak begitu dikenalnya, tidak kuasa ia meyembunyikan kepedihannya. Ia seperti mengetahui, apa yang tersimpan dibenak neneknya. Tetapi ia hanyalah seorang bocah dengan dunianya yang teduh, jernih tanpa keserakahan nafsu dan amarah. Diam, hanya bisa diam dihantui rasa takut dan diliputi tanda tanya besar, atas ucapan dan gelagat kasar sebagian perangkat Desa kepada neneknya. Pelan dan pasti kedua pipinya yang putih bersih, basah oleh air mata. Suasana hening diliputi pasang-pasang mata yang kosong terisi nafsu dan keberingasan. Semakin terlihat jelas topeng-topeng di wajah sebagian perangkat desa. Dari yang awalnya memandang biasa mendadak tampak geram beringas dengan tatapan mata seolah berwarna merah darah. Darah seakan memenuhi bola matanya dan menjelma menjadi iblis.

Aminah masih terdiam di sebuah kursi yang terletak di aula depan. Menunggu dengan harap-harap cemas untuk menghadap Pak Lurah. Jarak dari aula depan ke ruangan kantor Pak Lurah begitu dekat, persis di depannya. Tetapi penantian waktu yang terlalu lama itu bagaikan perjalanan Sun Go Kong ke barat mencari kitab suci. Terasa jauh dan lama sekali.

Tibalah waktunya perempuan tua itu dipanggil Pak Lurah. Di sebuah ruangan yang seharusnya untuk dua hingga tiga orang itu telah dipenuhi tujuh orang. Meski hawanya sejuk oleh dua kipas angin, tetapi di dalam ruangan itu menyimpan beribu aura panas diliputi hawa nafsu yang menyelubung ke dalam jiwa-jiwa yang kosong. Di dalam ruangan itu telah berdiri empat orang, selain Pak Lurah dan dua orang yang sama-sama tidak berdaya. Sementara di luar ruangan pasang-pasang mata terus mengawasinya. Mengintip dari balik jendela meski pintu dan semua jendela telah ditutup rapat-rapat. Sungguh tidak menyangka, jika akhirnya ia di sidang lima orang penting di Balai Desa.

"Silahkan duduk di tengah Mbah?" perintah salah seorang perangkat Desa.

Aminah dan cucunya diapit empat orang, dua orang di bagian kanan dan dua orang lagi di sebelah kirinya. Perempuan tua itu beradu arah dan  berhadapan langsung dengan Pak Lurah. Disampingnya, Qohar mendekap erat-erat tubuh neneknya. Sidang belum juga dimulai, suasana hening sejenak. Pasang-pasang mata keempat perangkat desa disisi kanan dan kirinya terpaku tajam ke arah dua orang, yang hakikatnya tidak berdaya dari segi fisik itu. Mereka  menyiratkan sebuah rasa sinis berbalut benci, raut mukanya mendadak memerah menyeruak bintik-bintik benih kedengkian. Semakin terlihat kentara diantara mereka lingkaran nafsu yang merapat. Seolah-olah Aminah adalah objek, orang yang patut disalahkan atau bahkan kalau perlu didzalimi sekalian. Aminah mencoba tersenyum sebagai usaha terakhir menolak kenyataan, meski batinnya ingin berteriak dan memberontak. Senyum yang dipaksakan itu lalu berhenti pada gerak bibir seperti orang yang hendak menangis.

"Mbah! sampeyan ini sudah tua kok malah neko-neko nulis kayak gini." gertak Pak Lurah sambil menyodorkan tulisan tempo hari. "Siapa yang menyuruhmu? Akal-akalannya siapa ini ?" tanyanya kemudian.

"Tidak ada yang menyuruh. Aku hanya ingin sekedar  mengingatkan agar Pemerintah Desa selalu mempermudah urusan bukan malah mempersulit urusan." jawabnya dengan tegar dan tetap bersikukuh pada pendiriannya, bahwa ia hanya sekedar ingin mengingatkan sebagian para perangkat Desa yang berulang kali melakukan diskriminasi terhadap orang-orang yang lemah.

"Mbah! itu memang sudah aturan dari Pemerintah Pusat. Memangnya simbah itu siapa kok berani-beraninya protes ke Kantor Balai Desa. Sampeyan belum tahu saya ini siapa?" sebuah keakuan, ananiyah atau bisa jadi sebuah kepongahan dari seorang Lurah. Wujud nyata suatu pembangkangan yang bermetamorfosa pada keakuan diri, yang sejujurnya justru ia sendiri merasa terbebani atas pengakuan itu. Atas keakuan itu pada hakikatnya ia berlindung di dalamnya, berlindung dari kesalahan. Satu bentuk kesengajaan yang didasari perlindungan diri. Kesadaran diri sebagai pelayan masyarakat yang pantas mendapat protes dan peringatan dari masyarakat tiba-tiba sirna begitu saja tergantikan sifat lahiriyah manusia yang  serakah, pongah manakala kekuasaan berada dalam genggaman. Seringkali kata-kata keakuan itu digunakan orang-orang atasan ataupun para pejabat di berbagai bidang keilmuan dan pekerjaan untuk melindungi kesalahan itu sendiri.

"Mbah! tolong jawab yang jujur! Siapa dalang dibalik semua ini?" tanya Pak Lurah dengan mata melotot.

"Dibayar berapa Mbah?" tanya yang lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun