Mohon tunggu...
Syaifull Hisyam
Syaifull Hisyam Mohon Tunggu... wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

23 Oktober 2017   01:51 Diperbarui: 23 Oktober 2017   03:18 3612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Rumah gubug itupun roboh hanya kurang dari hitungan menit, ambruk berantakan. Untung Mbok Rumi waktu itu pergi ke Sungai untuk keperluan buang hajat, sehingga selamat dari musibah. Mengetahui rumah tempat tinggalnya telah porak poranda, Mbok Rumi hanya sedikit heran. Tak tampak sama sekali kesedihan di wajahnya. Nampaknya penderitaan hidup yang dialami selama ini  telah membiasakannya untuk tetap tegar.

"Lha rumahku kok jadi begini." ujarnya dengan suara yang di seret-seret.

Tidak ada barang-barang berharga yang tersisa, diantara puing-puing kehancuran rumahnya. Kecuali sebuah wajan besar, seperangkat alat dapur, selusin baju gamis dan sebuah mukena renda serta sajadah pemberian dari Haji Qomar beberapa bulan yang lalu.

Kepada Mbok Rumi, Pak Haji Malik hanya berujar. "Wong rumahnya memang sudah reyot kok. Sudah waktunya ambruk". Begitu mudahnya kata-kata itu terlontar dari mulutnya, tanpa mempedulikan perasaannya. Karuan saja Mbok Rumi hanya mengiyakannya, karena ia telah kehilangan hawa nafsu. Baginya, hanya kematian yang senantiasa mendekat padanya. 

Pak Haji Malik yang kikir itu ingin berlari dari kenyataan dan sengaja melupakan, apa yang telah menjadi pertanggung jawabannya. Seorang tokoh yang dituakan itu tidak ingin merugi meski barang secuil. Pantas saja semakin lama hidupnya semakin pas-pasan. Rupanya ia tidak mau berderma. Sedangkan derma adalah suatu tangga menuju hidup berkecukupan.

Beberapa hari belakangan Mbok Rumi terasa sedikit nyeleneh, perubahan itu menjadi sebuah pertanda, semakin berkurang daya ingatnya. Tidak biasanya ia sarapan sebanyak dua piring. Sewaktu Mbok Karmini melewati rumahnya dan menyempatkan mampir barang sebentar, ia bertanya.

"Mbok ! Sampeyan sudah sarapan?" tanyanya berbasa-basi.

"Belum" jawabnya.

Terasa janggal dengan jawaban yang dilontarkan Mbok Rumi. Pada hal di mulutnya masih belepotan bekas makan bubur nasi, entah dari siapa. Sebuah piring dengan buburnya yang tinggal sedikit tergeletak di depannya. Tetapi kenapa ia bilang belum? belum yang kedua kalinya?  

Mbok Rumi sudah pikun, demikian orang-orang mulai menerka-nerka tentang keadaannya. Telah berulang kali para tetangga memperingatkannya, supaya tidak usah lagi mengikuti acara pengajian, baik itu rutinan maupun mingguan. Tetapi peringatan itu hanya menjadi angin lalu baginya. Percuma saja nasehat dan peringatan itu didengungkan kalau pendengarannya telah mulai berkurang. Para tetangga lama-lama menjadi bosan dan membiarkannya. Terkadang salah seorang tetangganya iseng ingin bertanya padanya.

"Mbah ! Sampeyan habis pengajian" tak ada jawaban

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun