Mohon tunggu...
Syaifull Hisyam
Syaifull Hisyam Mohon Tunggu... wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

23 Oktober 2017   01:51 Diperbarui: 23 Oktober 2017   03:18 3612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Pagi itu masih terlihat gelap, suara kokok ayam mulai terdengar bersahut-sahutan, seakan-akan menyuruh si empunya untuk segera membukakan pintu dapur, tempat kandang ayam berada. Usai sholat shubuh Aminah memeriksa dan mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk memperingati hari kelahiran Qohar. Diambilnya beberapa bekas keringat di lehernya meski ia masih tertidur lelap. Sebagai sebuah pra syarat untuk memperingati hari lahirnya. Orang-orang terdahulu mengartikan ritual tersebut sebagai bentuk penyadaran, jika sesuap nasi itu harus didapat melalui jerih payah memeras keringat dan banting tulang demi kesejahteraan hidupnya.

Sejumput daki ditaburkannya ke dalam tungku bakal tempat pembuatan bubur. Tanpa terasa, dari kedua bola matanya yang cekung merembes bulir-bulir air mata. Terkenang saat-saat indah bersama kedua anaknya. Kini mereka tiada disisinya. Walau mereka tiada disisi, namun baginya, mereka ada untuk selama-lamanya. Ingin rasanya Aminah menyusul putrinya ke negeri sakura, tetapi ia tidak tahu dimana keberadaannya dan kepada siapa harus bertanya.

Persediaan kayu bakar di dapur telah menipis,tinggal beberapa ranting. Diambilnya kayu di belakang rumah, ternyata juga sudah menipis, hanya tersisa serpihan kayu-kayu kecil. Tanpa sengaja ia melihat sesuatu benda mirip gundukan batu diantara serpihan kayu, seperti membentuk sebuah formasi sarang. Tanpa pikir panjang ia mengambil ranting kayu kecil lalu mencoba membalikkan benda asing itu. Alangkah terkejutnya ia setelah melihat ada sesuatu benda dibawah gundukan serpihan-serpihan kayu-kayu kecil itu. Ternyata benda asing itu adalah kura-kura seukuran telapak tangan. Mendadak raut mukanya menjadi berbinar-binar, guratan-guratan senyum menghiasi wajahnya.

Seikat serpihan Kayu ditaruhnya di dapur, lalu menuju  ke tempat tidur cucunya. Tak lupa kura-kuranya di ikat dengan benang supaya tidak terlepas, ia hendak membuat kejutan pada cucunya. Benang tipis itupun diikatkan pada kain sprai persis di dekat cucunya. Ia lalu melanjutkan pembuatan buburnya kembali.

Di kegelapan fajar saat jendela masih tertutup rapat, Qohar terperanjat, ada sesuatu benda aneh yang bergerak-gerak di jari kakinya. Ia segera lari kedapur, namun tak ditemukan seseorang yang selama ini menjadi tempat berkeluh kesah. Ia lalu segera keluar dan mendapati neneknya sedang duduk di bangku teras depan. Sedang mengupas kacang sembari melantunkan tembang campursari.

Aku pancen wong seng tuno aksoro.


Ora biso nulis ora biso moco.

Nanging ati iki iseh nduwe roso.

Roso tresno koyo tumrape manungso.

Aku pancen wong cilik ra koyo rojo.

Iso mangan wae aku uwes trimo.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun