Mohon tunggu...
Syaifull Hisyam
Syaifull Hisyam Mohon Tunggu... wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

23 Oktober 2017   01:51 Diperbarui: 23 Oktober 2017   03:18 3612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Selang beberapa menit setelah terdengar iqamah shalat ashar dikumandangkan, Aminah dan cucunya dikeluarkan dari ruangan pengap yang lebih bersih dan terawat dari kandang sapi itu. Di luar ternyata telah lengang, sepi, tak seperti apa yang terbayang dibenaknya. Tinggal beberapa orang yang masih berada di Kantor Balai Desa. Dengan nada yang terdengar bijak salah seorang perangkat Desa mempersilahkan pulang dengan memberikan sebuah peringatan.

"Mbah ! berdasarkan kebijakan dari Pak Lurah dan semua perangkat desa, setelah dimusyawarahkan dengan matang-matang, ternyata sampeyan itu melakukan banyak kesalahan. Tetapi karena ada kemurahan dari Pak Lurah, sampeyan sekarang diperbolehkan pulang, dengan catatan jangan mengumbar permasalahan ini ke masyarakat, apalagi melaporkan peristiwa ini ke kepolisian. Kalau sampai masalah ini diketahui oleh polisi, maka bukan tidak mungkin, rumah tanah sampeyan akan habis untuk membiayai masalah ini. Perlu sampeyan tahu, kemarin di Desa tetangga, seorang Ibu muda kehilangan rumah dan tanahnya untuk membiayai pengadilan." sebuah peringatan bernada mengancam itu tidak membuat Aminah menjadi semakin takut, ia hanya diam menampakkan kekalahannya.

Di sepanjang perjalanan pulang tak henti-hentinya terucap rasa syukur ke hadirat Ilahi. Dipeluknya cucu satu-satunya itu dengan erat-erat lalu menciumi wajahnya yang sayu dengan berurai air mata. Ia pulang dengan membawa serpihan semangat dan secercah asa yang tersisa.

" Maknyak kan tidak salah, kenapa orang-orang di Balai Desa bilang Maknyak itu bersalah?" tanyanya penuh selidik sambil berjalan.

"Sudah, sudah, jangan diingat-ingat!" larangnya, berusaha untuk melupakan peristiwa yang baru saja terjadi.

"Kenapa harus dihukum di kamar terus digembok?" Qohar makin bertambah penasaran dan ingin tahu duduk perkaranya.

"Biarlah Gusti Allah nanti yang akan membalas" jawabnya singkat.

"Maknyak tidak salah kan?" rasa keingintahuannya tak bisa dibendung lagi.

"Qohar! kamu makan tidak cukup, hanya dengan nasi dan sambal, masih perlu lauk yang lain bukan?" ujarnya bermetafor. Qohar mengangguk sambil tersenyum.

"Hidup di dunia, jangan dipandang antara salah dan benar, hitam dan putih. Jadilah engkau cucu yang bisa kuandalkan kelak. Jangan terbiasa memandang hidup dengan kaku, jika kamu melihat seseorang yang berbuat kemungkaran, belum tentu orang itu salah. Kita harus memahami maksud dan tujuan seseorang melakukan semua itu. Jangan bertindak gegabah, lantas menghakimi, itu artinya mengabaikan Tuhan dengan berbuat sewenang-wenang. Bertindak sebagai Tuhan dan merebut hak-hak Tuhan adalah musyrik. Cintailah semua orang, semua ummat manusia seperti nabi Muhammad mencintai pamannya Abu thalib dan Orang-orang Yahudi, meskipun mereka telah dinash dalam kitab sebagai kaum yang ingkar." Aminah menerangkannya secara gamblang. Mengutip nasihat dan pesan-pesan  dari KH. Idris.

Di tengah perjalanan pulang tiba-tiba ada seseorang yang menghadang dengan mengendarai motor. Diperhatikannya dengan perasaan cemas, seseorang berbadan tambun dan berambut keriting itu. Raut wajahnya agak rikuh dan sedikit malu, sepertinya ingin mengutarakan sesuatu. Oh, rupanya Pak Susilo yang tengah menjabat sebagai kamituo Desa Rakusan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun