Mohon tunggu...
Syaifull Hisyam
Syaifull Hisyam Mohon Tunggu... wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

23 Oktober 2017   01:51 Diperbarui: 23 Oktober 2017   03:18 3612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Kedengkian menghujam

Panjangkan urusan

Ia akan remuk redam

Dalam api yang terus menyala

Pagi itu Aminah seperti biasa, meninggalkan rumahnya setelah sarapan. Tetapi ia tidak pergi ke ladang seperti yang biasa dilakukannya. Namun justru ia menuju ke kebun pisang sambil membawa parang dan cangkul. Pinggangnya terasa nyeri, tidak enak badan. Ia pikir dengan pergi ke kebun pisang, rasa nyeri yang dideritanya berangsur-angsur sembuh, dengan tempatnya yang teduh dan tidak terlalu panas. Apalagi matahari, sang bola api raksasa telah merangkak mendaki hingga sepenggalah ketinggiannya.

Di kebun telah ada shobari sedang memanen pisang. Tak seperti biasanya, pagi itu shobari tak bertegur sapa dengannya. Dari raut muka dan sorot matanya terlihat seperti ada sesuatu yang ingin diutarakannya. Namun Ia hanya menggerutu menahan amarah. Sebagai Orang tua, Aminah berusaha mengalah dengan mengawali sebuah pembicaraan.


"Pisangnya sudah tua Shob?" tanpa basa-basi Aminah menyapanya.

"Mau tua mau muda bukan urusanmu Mbok! memang apa hak Simbok melarang-larang!" balasnya seperti sengatan kalajengking. Dengan air muka memerah seperti hendak mengajak perang. Lelaki yang berjerawat hampir di seluruh punggungnya itu ingin menguasai tanah yang belum selesai dibukukan.

"Aku tidak melarang, kalau perlu ambil semua pisangnya!" ucapnya dengan hati dongkol. Hatinya serasa teriris kala terdengar perkataan Shobari yang kasar, kata-kata itu telah menghujam tepat di hatinya sehingga berdarah dan meninggalkan luka, luka yang tidak mudah untuk disembuhkan. Sambil menahan amarah Aminah pergi meninggalkannya.

Tak biasanya ia mengalah begitu saja tanpa suatu alasan yang jelas. Tapi siang itu Aminah yang setegar karang itu hanya bisa mengalah dan menjerit sakit dalam bathin, lalu ditumpahkannya kesedihan itu di rumah. Qohar yang tak tahu masalahnya ikut sedih kala melihatnya.

Aminah adalah perempuan biasa yang gemar bersilaturahmi, namun bukan berarti ia hidup tanpa suatu rintangan. Ada saja rasa dengki dari sebagian tetangga tanpa diketahui sebabnya. Tetapi ia berusaha mengalah dan menempatkan dirinya sebagai orang tua yang lemah. Ia lebih memilih menangis ketimbang beradu otot atau perang mulut apabila terjadi kisruh dengan tetangga. Tetapi tidak demikian halnya, apabila menghadapi masalah dengan orang yang tidak begitu dikenalnya dengan akrab.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun