Mohon tunggu...
Syaifull Hisyam
Syaifull Hisyam Mohon Tunggu... wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

23 Oktober 2017   01:51 Diperbarui: 23 Oktober 2017   03:18 3612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Pernah suatu hari, Aminah berhadapan dan perang mulut dengan Pak Taufik, seorang ladu. Masalahnya, jatah pengairan belum selesai dan hanya tinggal sekitar seperempatnya, namun Pak Taufik mengklaim telah selesai dan memutus mata rantai aliran air. Kontan saja Aminah tak terima, diacungkannya parang serta sebatang patahan pohon singkong. Dengan bersuara lantang ia meminta jatah airnya dikembalikan, tetapi Pak Taufik tetap bergeming tidak mempedulikan kemarahannya. Pak Taufik malah justru berbalik mengancam, akan membabat habis seluruh tanaman padi dan sayurannya.

Segagah apapun Aminah, ia juga  seorang manusia yang punya hati sanubari. Seorang perempuan yang telah renta. Apabila sampai terjatuh dari tebing yang tidak terlalu tinggi, maka akan mengakibatkannya menjadi fatal. Karena jaringan tulang yang tersusun dalam tubuhnya sudah terlalu tua. Ia tak mungkin berbuat senekat itu, Pak Taufik tahu betul siapa itu Aminah, watak dan tabiat yang sebenarnya. Pak Taufik tak takut sama sekali dengan bentuk perlawanan darinya. Lelaki yang selalu berpenampilan necis, berkalung dan perutnya membuncit itu, telah terbiasa menghadapi orang-orang yang dianggapnya membandel macam Aminah.

Mengetahui gertak sambalnya tak digubris, Aminah tak habis akal. Dilucutinya Pakaian yang menempel di badannya satu persatu, hingga kemudian terlihat bertelanjang hingga separuh badannya. Tanpa banyak kata Pak Taufik segera pergi meninggalkannya. Aksi gilanya itu sempat membuat pasang-pasang mata ibu-ibu buruh tandur disawah tetangga terbelalak, dengan mulut menganga. Tetapi mereka hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan semua itu.

Masya Allah......

Begitu suasana terasa aman, lalu dikenakan kembali Pakaiannya. Aminah tak peduli dengan para tetangga sawah yang melihatnya. Kemudian dengan cekatan ia berlalu pergi menuju sawah Pak Taufik, mengambil jatah pengairan lalu mengalirkan ke sawahnya. Peristiwa itu menjadi headline berita para ibu-ibu di pematang sawah beberapa hari lamanya.

Kebun yang digarap Shobari itu adalah milik Aminah. Puluhan tahun yang lalu, lahan perkebunannya di beberapa tempat tidak terawat dengan baik, karena terlalu banyak garapan. Sebagian lagi dibiarkannya tak tergarap, salah satunya adalah lahan yang dirawat Shobari. Lahan itu kini ditanami pohon pisang, nenas dan beberapa pohon jambu. Dahulu tanah itu diberikan pada Wak Rini,ibunya dengan perjanjian lisan. Sebuah perjanjian yang tidak tertulis. Sesuatu hal yang lumrah pada zamannya, mengingat pada masa itu tak semua orang bisa mengerti dan memahami baca dan tulis.


Wak Rini keadaannya memprihatinkan kala itu. Hidupnya serba kekurangan, hingga kemudian mengundang rasa simpati. Ia tidak tega melihat kenyataan pahit di depan mata, lalu disuruhlah Wak Rini menggarap salah satu lahannya, seumur hidup. Dengan catatan, apabila Tuhan lebih dulu mengambil nyawanya, maka tanah itu menjadi milik Wak Rini. Sebaliknya, apabila Wak Rini diambil nyawanya terlebih dahulu oleh yang kuasa, maka tanah itu kembali menjadi miliknya. Tetapi akhirnya Wak Rini telah lebih dulu dipanggil ke haribaan Ilahi. Itu artinya tanah pekarangan jatuh ke tangan Aminah dengan sendirinya. Atas pertimbangannya, maka hasil kebun boleh dipanen anak-anaknya, dengan cara dibagi sepertiga. Awalnya Aminah memberi pilihan satu per dua, namun anak-anaknya tidak menyetujuinya, lalu mengajukan usul agar dibagi satu pertiga. Dua bagian untuk anak-anak Wak Rini dan satu bagian untuknya. Atas usulan itu Aminah menyetujuinya, tetapi sifat serakah yang telah tertanam dalam setiap diri manusia tiba-tiba menyeruak ke permukaan, bermetamorfosa menjadi wajah yang penuh kedengkian dan beringas.

Tak ingin dirundung sedih yang berlarut-larut karena disapa Shobari dengan kata-kata yang tidak sepantasnya, Aminah lalu menuju ke kebun. Ia menilik pohon purba, pohon sawo. Diperhatikannya dua pohon sawo yang berjajar itu penuh dengan buah. Sebagian telah terlihat tua dan sebagian lagi masih terlihat muda. Aminah lalu memanggil Qohar dengan suara datar, ia menyuruh diambilkan horok.

"Haar ...Qohar!"

"Iya, Mak?"

"Maknyak ambilkan horok1 di samping rumah"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun