Mohon tunggu...
Syaifull Hisyam
Syaifull Hisyam Mohon Tunggu... wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

23 Oktober 2017   01:51 Diperbarui: 23 Oktober 2017   03:18 3612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Kini rasa sedih dan sesal bersandar padanya. Kegembiraan itu hanya merapat padanya dalam hitungan menit. Hasrat hati ingin sekali menyampaikan kabar gembira itu kepada neneknya, namun terpaksa harus ia urungkan.

Dikumpulkannya serpihan kaca handphone itu lalu dibungkus dalam sebuah plastik kecil. Disimpannya handphone mewah yang telah pecah disebagian layarnya itu kedalam lemari pakaiannya. Ia ingin merahasiakan semua kejadian yang baru saja terjadi. Ia merasa bersalah karena telah menaruhnya di atas meja bukan di lemari pakaiannya. Ia begitu menyayangkan, kenapa semua itu harus terjadi. Ia khawatir jika suatu saat diketahui oleh neneknya. Ia harus bisa merahasiakan ini semua, pikirnya dalam hati. Beruntung waktu itu tidak ada teman atau tetangga yang sedang bermain di rumahnya.

Besok hari senin legi, Aminah hampir lupa jika hari itu adalah hari kematian kang Karta. Biasanya di hari peringatannya dibacakan Tahlil, Lantunan Istighfar dan surat-surat pendek lalu menyuguhkan bubur merah putih dan dibacakan do'a-do'a. Bubur merah putih itu lalu dibagi-bagikan ke tetangga sekitar dengan harapan, orang yang telah meninggal mendapatkan ampunan dan tetap dalam lindungan Tuhan yang Kuasa. Aminah menuju dapur memeriksa bahan-bahan yang kurang. Sesekali tangan kirinya menggaruk-garuk kulit kepala hingga seperti menemukan sesuatu. Persediaan bumbu-bumbu dapur telah menipis, hanya tinggal beberapa cabe, bawang putih, dan kelapa. ia  hendak ke sawah mengambil daun pisang, kunyit dan sayur-sayuran beserta bumbu dapur lainnya. Sebelum berangkat, dilihatnya Qohar tengah bermain senapan angin di dalam kamar.

"Maknyak mau ke sawah, jaga rumah!" perintahnya sambil menyibak tirai pintu kamarnya.

"Aku ikut Mak!" balasnya.

"Kalau ikut jangan lupa tutup pintu!" katanya lagi sembari berpesan.

Dengan terburu disimpannya Senapan angin itu ke dalam laci di bawah lemari, lalu berlari mengejar neneknya.

Di tepi jalan raya mereka berhenti sejenak menunggu jalannya mobil tronton lalu menyeberanginya. Kali ini Aminah tidak menuju ke sawah, tetapi menuju ke sebuah pohon asam jawa ditepi jalan. Aminah mengais sisa-sisa asam tua yang berjatuhan, sementara Qohar lebih memilih memanjat pohonnya. Dahannya yang rimbun dan bercabang-cabang memudahkannya untuk segera memanjatnya.

Dipetiknya beberapa dompolan buah asam yang tengah masak, pikir Qohar dengan mengambil langsung di dahan dan ranting, neneknya tidak perlu susah-susah untuk memulung yang tercecer di tanah. Tanpa diduga sebelumnya, sedompol buah asam yang telah masak dan baru dipetiknya itu jatuh mengenai kepala Aminah, tetapi tidak menimbulkan rasa sakit.

"Aduh! " keluhnya setelah buah asam jatuh mengenai kepalanya.

" Tidak apa-apa kan Mak?"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun