Mohon tunggu...
Syaifull Hisyam
Syaifull Hisyam Mohon Tunggu... wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

23 Oktober 2017   01:51 Diperbarui: 23 Oktober 2017   03:18 3612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Membawa wakul dengan tidak ada keseimbangan.

Wakul tumpah nasinya berceceran di sepanjang jalan.4

Udara di dalam hutan begitu dingin. Qohar memandangi langit-langit hutan yang senantiasa menghadang percikan sinar mentari. Setidaknya Qohar bisa mengingat kembali sepenuhnya, kata-kata neneknya beberapa hari yang lalu, dan semuanya memang benar adanya. Tidak ada siang ataupun malam di dalam hutan jati melainkan hanya ada temaram.

Di dalam hutan suasana siang hari tak ubahnya seperti pada malam hari. Terasa mencekam apabila tanpa terdengar suara ayam-ayam hutan berkokok, serta burung-burung berkicau dan jerit lirih binatang-binatang kecil lainnya. Tetapi kesan teduh, angker dan sejenisnya tak terbayang sama sekali dibenak anak-anak kecil itu. Di dalam hutan itu berjajar pohon-pohon besar penuh daun-daun kering yang menebal dan terus bertambah, sampai tiba masanya musim penghujan. Lambat laun dedaunan kering itu menjadi humus, membaur kedalam tanah.

Meski panas terik matahari begitu panas, tidak seberkas sinar pun yang berhasil menerobos diantara lebatnya dedaunan. Dengan hembusan angin sepoi-sepoi, menjadikannya adem sehingga mereka betah berlama-lama bermain di dalamnya.

Lama-lama rasa bosan kian merasuk di antara teman-temannya, apalagi Amar yang berbadan gendut dan mempunyai kebiasaan ngorok semenjak kecil itu sudah mengajukan beberapa syarat. Pada syarat-syarat tertentu yang diajukan, secara khusus ia bahkan akan memboikot permainan petak umpet apabila batas waktu yang ditentukan tidak juga dipatuhi. Ada satu hal unik dari obesitas yang mendera Amar, ketika masih kecil ia sangat kurus. Suatu hari Amar yang kurus kering itu pulang dari mengaji Alquran di Musholla, karena didera rasa haus, dengan serampangan ia meminum sebungkus cairan berwarna kuning di atas meja yang disangkanya teh manis. Rupanya sebungkus cairan berwarna kuning itu adalah minyak goreng seperempat liter yang diminumnya sekaligus. Ibunya memang sudah biasa mendapatkan bungkusan teh manis dalam plastik sehabis dari pengajian, baik itu pengajian senenan, selasanan, maupun rebonan. Aneh memang, tetapi atas karunia Tuhan pelan-pelan Amar yang kurus kering itu bobotnya bertambah dari hari ke hari.

Selesai bermain petak umpet mereka akhirnya pulang. Dalam perjalanan pulang, Doni yang sebelah matanya berwarna putih dan tidak bisa melihat itu menangkap suatu keanehan. Tiba-tiba saja banyak anak-anak ayam hutan yang melintas di depannya, tetapi urung ditangkap, karena anak-anak ayam hutan itu lari kedalam semak-semak berduri. Anehnya, anak-anak ayam itu melintas melawan arah pada jalur setapak yang dilaluinya, tanpa diketahui teman-temannya. Sesuatu hal ganjil berbau aura mistis, tetapi Doni sengaja merahasiakannya karena dirinya khawatir. Ia ingin menceritakan kejadian aneh itu setelah sampai di rumah.

Kali ini mereka bertiga melewati perkebunan singkong yang luas, tidak seperti biasanya yang melalui jalur setapak. Qohar dan teman-teman memotong jalan pulang dengan jalan pintas menuju kampung. Ia sengaja pulang tanpa mampir ke sawah untuk menemui neneknya memohon diri.

Lama tidak kunjung kembali, Aminah mulai waswas. Pikiranya mulai dihinggapi perasaan khawatir. Ia menduga, telah terjadi apa-apa pada cucunya. Apalagi setahun yang lalu masih teringat segar dalam ingatannya, Wak Aryo tetangganya hilang tanpa diketahui sebabnya, sewaktu mencari kayu di hutan jati. Hanya sepikul kayu waktu itu yang didapatinya, beberapa hari kemudian baru ditemukan jasadnya tanpa kepala. Jasad Wak Aryo tanpa kepala itu ditemukan, tepat di atas tumpukan ranting-ranting kayu jati yang mirip sebuah sarang burung raksasa. Maka tak heran, meski tak ada yang menakut-nakuti, rasa khawatir dan takut kehilangan cucu terus menerus membayanginya.

"Rasanya aku belum siap melepas cucuku. Aku harus tahu keadaannya sebelum semuanya menjadi bubur." pikir Aminah dalam hati.

Dilaluinya setapak demi setapak menuju hutan jati dengan agak tergesa-gesa. Kekhawatirannya semakin bertambah ketika di dalam hutan itu tak dijumpai sama sekali seorangpun, meski telah menyisirnya hingga ke ujung hutan. Rasa-rasanya tak satupun jalan setapak yang luput dari penyisiran yang dilaluinya. Rasa lelah dan letih tiada lagi terasa, sementara kedua bola matanya tetap memperhatikan sekitar hutan jati tanpa jemu. Dari kedua bibirnya yang telah mengerut tidak henti-hentinya mengadu kepada Yang Kuasa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun