Mohon tunggu...
Syaifull Hisyam
Syaifull Hisyam Mohon Tunggu... wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

23 Oktober 2017   01:51 Diperbarui: 23 Oktober 2017   03:18 3612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Qohar siang itu tengah asik bermain dengan kura-kuranya, ia tak terlalu merisaukan kepergiannya. Ia pikir, neneknya pergi ke sawah seperti biasanya. Sementara itu menjelang kepergiannya ke Kantor Balai Desa, di sudut pintu belakang rumah seekor laba-laba jantan sedang berkorban nyawa dan jasad, tubuhnya dijadikan santapan laba-laba betina. Sekujur tubuh laba-laba jantan dipenuhi lilitan jaring yang keluar dari air liur laba-laba betina, lalu seakan-akan seluruh energi dan asupan gizi yang terdapat pada jasad sang jantan disedot habis. Hukum alam mengajarkan sebuah pengorbanan yang maha agung demi kelestarian jenis. Sebagai bekal selama masa kebuntingannya. Tak lama setelah itu laba-laba betina akan mengeluarkan ratusan butir telur kemudian mengeraminya. Lazimnya binatang yang bertelur akan mengerami telur-telurnya persis di bawah tubuhnya supaya tetap hangat. Tetapi laba-laba betina punya cara lain untuk menetaskan telur-telurnya. Ditaruhnya telur-telur itu di atas punggungnya, ditata sedemikian rupa lalu digendongnya kemanapun laba-laba betina itu pergi, mirip perilaku kalajengking dalam upaya melestarikan jenisnya. Tak jauh dari jaring laba-laba, di bawah dipan belakang rumah, seekor kucing jantan tengah mengawasi gerak-gerik seekor kucing betina yang tengah menggigit anak kucing yang baru saja dilahirkannya. Sekilas perilakunya terlihat buas, tetapi itulah cara penyelamatan yang terbaik. Induk kucing itu memindahkan anak-anaknya ke tempat yang lebih aman, khawatir jika sewaktu-waktu tanpa sepengetahuannya, kucing jantan menerkam anakannya, terutama apabila terlahir seekor anak kucing berkelamin jantan. Induk kucing juga senantiasa mewaspadai gerak-gerik kucing jantan. Takdir yang telah ditorehkan yang kuasa telah menjadi semacam hukum alam, oleh sebagian orang awam menyebutnya sebagai sebuah misteri Ilahi.

Waktu terus berlalu, sementara manusia semakin sibuk dengan urusan dunianya. Siang berganti malam dan seterusnya. Tanpa disadari para penghuninya kian terlena meski bukti kekuasannya kian kentara terasa. Kini bukti-bukti nyata selalu hadir di tengah-tengah kebimbangan, tetapi semua itu tidak disadari dan ditafakuri. Bukti-bukti yang semakin terlihat jelas itu justru melengahkan manusia dari fungsi utamanya, merefleksikan bentuk terimakasih kepada yang kuasa dengan bersujud barang beberapa menit.

kantor Balai Desa telah tutup, hanya Pak Ali, seorang tukang kebun yang masih setia duduk selonjor di Aula depan. Pak Ali adalah seorang veteran perang, usianya telah mendekati kepala tujuh, tetapi ia tidak ingin hanya berdiam diri di dalam rumah. Saban hari, jika tidak mencabuti rumput halaman Kantor Kepala Desa, maka ia lebih memilih mendongeng di rumah bersama cucu-cucunya. Aminah lalu menyuruh Pak Ali untuk menempelkan sebuah kertas yang dibawanya, di sebuah papan pengumuman.

Menjelang keberangkatannya ke sawah pagi itu, Pak RT datang menemuinya. Tanpa berbasa-basi terlebih dahulu, Pak RT menyodorkan sepucuk surat berisi pemanggilan dirinya dari kelurahan, dengan diiringi pertanyaan sengit.

"Mbok ! Ini ada titipan surat dari kelurahan, besok pagi kamu disuruh ke Kantor Balai Desa"

"Ada apa?"

"Justru saya yang mau bertanya. Sampeyan kemarin ke kelurahan itu untuk apa? kok kabarnya buat cemar kelurahan. Sudah tua mbok ya ingat tuanya, diperbanyak ibadahnya, tidak ditambah ibadahnya kok malah maksiatnya yang semakin menjadi, memalukan sekali" kata-kata kasar itu mampu memancing kemarahan perempuan tua berambut perak itu, ia lalu membalasnya dengan kata-kata sengit pula.

"Apa aku kemarin tak berpakaian di tengah jalan?, kok memalukan, memalukan apanya?"

"Dipikir tho, lha wong kamu kan punya otak !" jawab Pak RT tak kalah kecut, jawaban itu menyentak di dadanya.

"Oo wong edan!" balasnya dengan kedongkolan. Pak RT diam tidak menanggapinya lalu ngeloyor pergi dengan tersenyum sinis dan meninggalkannya.

Selama ini Aminah merasa, apa yang telah dilakukannya adalah benar. Ia ingin mengingatkan para perangkat Desa, bahwa kedzaliman sebenarnya tidaklah pantas sebagai pakaian manusia. Ia sendiri tidak tahu secara pasti, untuk apa dirinya diundang ke Balai Desa. Pak RT hanya menyodorkan sepucuk surat undangan tanpa memberi tahu lebih jelas ihwal undangan itu berisi apa. Dari wajahnya hanya terlihat semburat wajah sinis dan kecut, berkelakar dan menyuruhnya ke Kelurahan besok pagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun