Mohon tunggu...
Syaifull Hisyam
Syaifull Hisyam Mohon Tunggu... wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

23 Oktober 2017   01:51 Diperbarui: 23 Oktober 2017   03:18 3612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Qohar! kamu sudah shalat."

"Sudah Mak!"

"Sekarang buka pintu dan jendela dapur lalu beri makan ayam-ayamnya, jangan lupa beri makan kura-kuramu, setelah itu Maknyak buatkan bubur!"

Tanpa menunggu perintah yang kedua, Qohar dengan cekatan membuka pintu dan jendela dapur, lalu memberi makan ayam dan kura-kuranya. Setelah itu ia mulai mengumpulkan bahan-bahan untuk membuat bubur.

"Maknyak! kelapanya habis" ucapnya sambil melongok ke biliknya.

"Masih satu butir di dalam ember." jawab Aminah dengan suara lirih.


Persediaan kayu di dapur tinggal sedikit, hanya tersisa beberapa ranting. Ia lalu kebelakang rumah mengambil kayu bakar. Di belakang rumah ia tertegun menerawang ke atas pucuk ranting pohon mangga yang menaungi rumahnya, ia mulai khawatir dengan kesehatan neneknya yang tak kunjung sembuh. Neneknya tidak sanggup lagi menelan nasi dalam bentuk utuh. Jalan satu-satunya adalah dengan mengolahnya menjadi bubur nasi, sehingga memudahkannya untuk ditelan, karena bentuknya yang lebih lembut. Setelah orang yang senantiasa mencurahkan kasih sayang secara tulus padanya kini keadaannya terpuruk tak berdaya. Ia menjadi lebih menyadari arti hadirnya seorang nenek baginya. Seandainya semenjak dilahirkan tidak ada orang yang sudi merawatnya, mungkinkah dirinya masih bisa hidup? Atas semua ketulusan yang telah diberikan padanya, ia berjanji kepada diri sendiri, akan merawat neneknya dengan segenap tenaga dan kemampuannya. Tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan lalu diambilnya kayu bakar satu persatu.

Kini bubur nasi aroma santan kelapa yang praktis itupun tersaji, di samping tempat tidur Neneknya. Kali ini Qohar mencoba bermetamorfosa menjadi oase di tengah keringnya gurun pasir. Ia berusaha menjadi penyejuk bagi jiwa yang masih diliputi rasa cemas. Dengan sabar, ia suapi Neneknya sesuap demi sesuap. Dengan memaksa diri, perempuan tua itu mencoba menelan nasi bubur meski lidahnya terasa pahit. Semua itu dilakukannya demi sambungan nafasnya yang kian terburai. Semangkuk bubur itupun akhirnya habis dilahapnya. Bubur yang terasa asin itu mampu merangsang kerongkongannya untuk segera diguyur air minum. Dipintanya segelas teh manis suam-suam kuku.

Alhamdulillaaah....

Terbersit rasa syukur di hatinya, lalu dari keningnya yang kusut seperti keluar titik-titik embun kecil yang bening dan menjalar di sekujur tubuhnya. Segelas teh hangat itupun seperti bocor melalui celah-celah yang sangat kecil dan samar. Hanya melalui mikroskop ukuran sepuluh kali sepuluh, Celah-celah  samar itu bisa terlihat menganga dengan jelas. Perlahan tubuhnya basah oleh keringat.

"Qohar! kakiku masih terasa ngilu. Nanti habis nyuci piring, Maknyak carikan jahe, temulawak sama rumput teki di kebun, lantas direbus seperti yang biasa ku lakukan" pinta Aminah pada Qohar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun