Mohon tunggu...
Syaifull Hisyam
Syaifull Hisyam Mohon Tunggu... wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

23 Oktober 2017   01:51 Diperbarui: 23 Oktober 2017   03:18 3612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Semasa terlahir ke dunia, ia sempat tertahan di rumah sakit. Ayahnya, Syarkawi tidak mampu membiayai biaya persalinan istrinya.  Sementara istrinya, meninggal dua hari kemudian di rumah sakit setelah melahirkan. Syarkawi tak kuasa lagi menahan beban penderitaan ketika itu, setelah tahu belahan jiwanya sudah tiada. Belum lagi beban hutang pembiayaan rumah sakit yang ditanggungnya. Syarkawi terpaksa menahannya di rumah sakit, karena tidak mempunyai biaya untuk menebusnya. Kepada setiap orang tanpa rasa malu, Syarkawi menggalang bantuan. Tak seorangpun yang bersedia membantu membiayai biaya persalinan yang begitu besar waktu itu. Mendengar kabar ketidakmampuan Syarkawi dalam membiayai biaya persalinan, Lie Kang Tjoan, tetangganya yang kebetulan dari etnis chunghoa membantu membiayai biaya persalinan. Sebagai bentuk penghormatan dan rasa terimakasih, maka kemudian Syarkawi memberikan hak asuh kepada keluarga Lie Kang Tjoan. Tidak cuma itu saja, Syarkawi juga memintanya untuk memberikan sebuah nama. Lie kang Tjoan lalu memberikan nama, Amin Ong Gwee. Syarkawi bersyukur atas semua itu, dan tidak mempersoalkannya, dirinya justru merasa berhutang budi padanya, karena itulah, keadilan dari Yang Kuasa. Aminah termangu mendengarkan sebagian kisah hidup Pak Amin. Pelan-pelan pikirannya mulai digiring menuju cerita masa silam tentang dirinya.

"Apakah Simbah tidak melihat jika semua ini penuh dengan ketidak adilan? Ini adalah bentuk kedzaliman! Simbah tidak usah khawatir, biar saya yang akan mengatur semuanya."dengan lugas pak Amin mengutarakan keinginannya.

Aminah terdiam, raut wajahnya muram dan tertunduk lesu. Hatinya seperti tersayat jika teringat kisah pilu, bagaimana ia dilahirkan dulu. Ibunya, Emak Rasup pernah bercerita tentang bagaimana dirinya terlahir, di tengah-tengah kesusahan, di tengah hutan, pada malam. Waktu itu Emak Rasup sedang mengandung sembilan bulan, disaat suasana sedang genting. Pemerintah kolonial Belanda mengepung rumah-rumah pemukiman warga sipil dari berbagai arah. Mereka kembali melancarkan serangannya secara besar-besaran. Serangan yang membabi buta itu tidak hanya terfokus dari daratan, tetapi juga dari udara. Benar-benar keadaan sedang genting-gentingnya. Para tentara Nasional dan warga sipil banyak yang gugur di medan pertempuran, kalaupun selamat tidak sedikit dari mereka yang terperangkap di medan pertempuran, lalu terkena peluru panas, menderita luka parah hingga kemudian menjadi cacat seumur hidup. Sebagian ibu dan anak-anak yang berhasil lolos dari kepungan tentara lari tungang langgang ke atas gunung dengan sisa-sisa tenaga yang masih tersisa.

Emak rasup sendiri menyelamatkan diri bersama suaminya, Ki Marjan. Dengan sekuat tenaga Emak Rasup dan suaminya lari dengan tertatih-tatih, menjauh sejauh mungkin dari perkampungan. Emak Rasup yang tengah hamil sembilan bulan itu tak menyurutkan langkahnya untuk terus melangkah, meniti jalanan berliku. Pada hari itu adalah serangan kali kedua dilancarkan, sasaran utamanya para pemuda desa yang masih tersisa. Mereka diduga masih bersembunyi di rumah-rumah warga. Di balik hutan larangan dan di lereng-lereng pegunungan Muria.

Beberapa hari sebelumnya, para pemuda desa termasuk Ki Marjan suaminya, menyerang sebuah markas tentara Belanda yang disinyalir tersimpan bahan makanan dan obat-obatan. Di dalam markas tentara Belanda itu hanya tinggal lima orang tentara yang berjaga-jaga, tiga orang di dalam dan dua orang lagi berjaga-jaga di luar. Suatu kesempatan emas bagi para pemuda untuk segera menyerbu dan menjarah peralatan perang dan obat-obatan. Para pemuda Desa mulai menghimpun kekuatan dan pecahlah pertempuran sengit itu. Dalam hitungan menit, lima orang tentara tewas seketika, tertombak oleh tajamnya bambu runcing yang sebelumnya, telah didoakan dan dijampi-jampi terlebih dahulu oleh para sesepuh Desa. Tanpa menunggu waktu lama, puluhan pucuk senjata dan bahan makanan serta obat-obatan dijarah seluruhnya. Dalam peristiwa itu satu orang pribumi, sukarto gugur oleh tembusan peluru panas Tentara Belanda.

 Tepat dua hari setelah peristiwa itu, pada saat matahari di ufuk barat belum menenggelamkan diri, terdengar suara peluru berdesingan. Seluruh perkampungan diobrak-abrik lalu dibakar. Rumah-rumah warga banyak yang hancur rata dengan tanah. Bangunan rumah yang sebagian besar terbuat dari kayu dan bambu serta beratapkan daun tebu itu, dengan mudahnya terbakar kala tersulut api. Sebelum nyawa Emak Rasup ikut hangus terpanggang dalam bara api yang membara itu, Emak Rasup telah menyelamatkan diri bersama Suaminya. Sore itu menjelang maghrib para orang tua jompo dan anak-anak terperangkap. Mereka diarak sedemikian rupa seperti kambing-kambing yang tidak berdaya ke distrik militer. Mereka disekap beberapa hari, lalu dipaksa membuka rahasia, kemudian dibebaskan. Sebagian yang lain dijerang di bawah panas terik matahari dengan tangan terikat, jika mereka berani melawan dan tidak mau membuka rahasia.


Dengan tertatih-tatih Emak Rasup dan Ki Marjan terus menapaki jalanan curam dan terjal mencari tempat persembunyian. Belum sempat menemukan tempat persembunyian, takdir berkehendak lain. Ki Marjan  yang mulanya menyuruh Emak Rasup supaya berjalan di depan dan mendahuluinya itu, akhirnya pergi untuk selama-lamanya, tepat di belakangnya. Ki Marjan yang selama ini menjadi tempat berlindung baginya telah tertembak peluru panas. Emak Rasup melihat sendiri bagaimana ki Marjan menggelinjang, mengeluh kesakitan oleh tajamnya peluru yang tembus dibagian tengkuk dan satu lagi di pelipisnya. Darah seketika itu mengucur membasahi kerah baju dan lehernya. Di wajahnya, darah memenuhi mata serta pipinya.  Sebelum ajal mendekat, nyawa menjauh menyingkir dari jasad Ki Marjan. Dilihatnya wajah suaminya, Guratan senyum yang merekah menjelang kepergiannya tidak seperti biasa. Tak banyak kata-kata terakhir yang terucap dari kedua bibirnya yang telah kelu membiru. Ki Marjan hanya berpesan dengan suara yang mulai terputus-putus.

"Selamatkan anakmu Imran! Dia ku letakkan di bawah tanah di kamar kita, tepat dibawah tempayan."

Tak lama setelah itu, Emak Rasup menjumpai raga suaminya telah lemas, tidak lagi mengisyaratkan satu nafaspun. Dipeluknya jasad yang tidak bernyawa itu erat-erat. Ki Marjan telah mati. Ya ia telah mati, jasadnya telah berubah menjadi mayat. Orang yang selama ini melindunginya telah terkapar di depan mata. Kedua bola matanya pelan-pelan terpejam, dari kedua bibirnya masih terlihat senyum yang tersungging. Sementara Emak Rasup berusaha tegar menghadapi sebuah kenyataan. Dari kedua bola matanya tanpa disadari merembes bulir-bulir air mata membasahi wajahnya yang coreng-moreng oleh abu, untuk mengelabui musuh. Ingin rasanya ia menjerit sejadi-jadinya, tetapi demi keselamatan dirinya ia tahan kesumat-kesumat itu meskipun terasa berat. Emak Rasup semakin lemah tiada berdaya, tetapi tidak kekurangan akal, ia pura-pura pingsan beberapa menit lamanya, saat berada tepat di atas mayat suaminya. Air matanya tak henti-hentinya jatuh berderai membasahi jasadnya. Ia peluk erat-erat jasadnya yang sudah tidak bernyawa itu meski telah berubah menjadi mayat. Semua itu dilakukannya untuk sekedar mengelabui musuh, lalu demi jabang bayi yang masih dikandungnya selama sembilan bulan itu, perlahan dengan langkah gontai Emak Rasup meninggalkan jasad suaminya yang telah membujur kaku. Dibiarkannya jasad Ki Marjan tergeletak begitu saja tanpa seorangpun yang mengurusnya. Tanpa disadari, air matanya mulai mengering. Dalam batinnya ia berjanji, suatu saat apabila nyawa masih dikandung badan, akan kudatangi, akan ku cari dimana mayat suamiku tergeletak, dimanapun keberadaannya. walau hanya tinggal bangkai akan kukemas bangkainya sedemikian rupa lalu kupersembahkan kepada anak cucuku kelak. Bahwa kematian adalah gerbang kehidupan dan kehidupan berada pada kematiannya. Kepada anak cucunya kelak ia berjanji akan terus menyerukan perlawanan kepada para penjajah. Sampai kapanpun perjuangan tidak akan pernah berakhir, sebelum para penjajah terusir dari tanah leluhur..

Di depan matanya, ia saksikan orang-orang yang berkalang nasib, tertoreh takdir menjadi korban keganasan perang. Mereka telah tertulis masanya akan kembali kepada Yang Kuasa di Lauhil mahfud. Diantara mereka yang selamat, berlari terbirit-birit dengan sesekali diwarnai jeritan histeris ke atas gunung. Sebagian lagi terkena incaran peluru panas, mati. Tergeletak berserakan di jalan-jalan tikus di bawah tebing. Emak Rasup sendiri lari sebisanya ke dalam hutan, gegap gempita peluru tetap terdengar berdesingan seakan-akan masih terdengar tepat di atas kepala. Dengan refleks Emak Rasup tiarap di tanah. Dalam tiarap itu Emak Rasup seperti tak sadarkan diri. Dalam ketidaksadarannya ia merasa ruh telah meninggalkan jasadnya. Ia berusaha mengikhlaskan raganya yang tidak lagi bernyawa itu meski terasa berat, tetapi semua itu hanyalah perasaan takutnya yang berlebihan. Tanpa disadari karena terlalu lama tiarap di tanah, Emak Rasup  telah mendiami dunia antah berantah, dunia bawah alam sadar. Cukup lama Emak Rasup tertidur di tengah hutan seorang diri. Begitu terbangun hari telah tersulap menjadi pekat berselimutkan dinginnya malam.

Di tengah malam, ia mulai merasakan sakit di perutnya. Ingin rasanya ia berteriak meminta tolong, tapi kepada siapa, Ia telah berada di tengah hutan. Jika ia keliru sedikit saja, maka harimau, anjing atau binatang buas lainnya akan menyerangnya. Di carinya tempat yang kering di bawah pohon kemuning, di antara rindangnya pohonan jati. Otot-otot di daerah rahim mulai berkontraksi untuk membuka jalan lahir bagi bayi. Otot-otot yang mulai menegang itu menimbulkan rasa sakit yang menjalar dari kaki hingga bawah punggungnya. Sambil menahan rasa sakit, dikumpulkannya helai demi helai dedaunan kering. Di tata sedemikian rupa untuk sekedar tempat berbaring. Sendirian Emak Rasup bergulat antara hidup dan mati. Berteman pohon-pohon besar yang setia meneduhinya. Hanya sepercik sinar rembulan yang sudi menerobos masuk meneranginya, menemani dalam kesusahan.  Di keheningan malam itu suasana pecah oleh tangis pertama kelahiran bayi perempuan, tangis bahagia menyertainya malam itu. Beralas dedaunan kering telah dilahirkannya seorang bayi perempuan, tanpa sentuhan pertolongan dukun beranak, tepat di tengah malam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun