Mohon tunggu...
Syaifull Hisyam
Syaifull Hisyam Mohon Tunggu... wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

23 Oktober 2017   01:51 Diperbarui: 23 Oktober 2017   03:18 3612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Rumahnya tak seberapa besar, tetapi halamannya cukup luas, dengan sumur dan sebuah bangunan kecil sebagai tempat mandi dan mencuci di belakang rumah. Tak jauh dari sumur sekitar dua puluh lima meter, terdapat sebuah sungai yang biasa digunakan oleh sebagian warga kampung Bendo. Tetapi kini jarang yang mencuci pakaian di sungai karena telah mempunyai sumur masing-masing. Di samping rumahnya di sebelah barat, terdapat rumpun bambu yang berjajar. 

Disitulah kerap kali para ibu berkumpul dengan sesekali menyisir rambutnya secara bergantian. Mencari kutu rambut beserta telur-telurnya dengan begitu rumitnya, lalu lama-lama salah seorang dari mereka mengantuk dan tertidur di atas tikar daun pandan yang telah disediakan. Begitu terbangun katanya,

"Asem kecut! orang-orang sudah pada pulang, Aku ditinggal sendirian".

Di samping rumahnya di bagian timur, terdapat kebun pisang miliknya yang tidak seberapa luas. Sebuah pohon jati besar yang menjulang tinggi serta tiga buah pohon kelapa. Suatu saat kelak, pohon jati itu akan dijadikan tabungan bersama empat pohon jati lainnya yang terletak beberapa meter di belakang rumahnya. Jauh-jauh hari perempuan tua itu telah mempersiapkan tabungan pohon buat cucu satu-satunya. Tak jauh dari kebun pisang terdapat dua pohon sawo yang berjajar. 

Pohon yang selalu berbuah dan tidak kenal musim itu telah menjadi salah satu sumber penghidupan baginya, sekaligus sebagai tempat penghidupan bagi sekelompok kalong, tupai dan sejenisya. Tepat di bawah salah satu pohon sawo terdapat sebuah gubuk kecil tak beratap. Luasnya kurang lebih untuk tiduran sebanyak lima orang. Di situlah kerap kali perempuan tua itu beristirahat sepulangnya dari sawah. Tempatnya tak kalah sejuk dari rumpun bambu di sebelah barat rumahnya. Di tempat itu pula sering dijumpai anak-anak tengah bermain siguk, bandul, kelereng dan sejenisnya.

Di saat bayang-bayang matahari mulai sedikit bergeser ke arah timur, di atas jerami kering diantara bebatuan, perempuan tua itu duduk bersila dipinggir sungai. Di bawah pohon nangka yang rimbun. Dengan ditemani semilirnya angin, perempuan tua itu bermunajat kepada yang kuasa sembari berdzikir dan bertafakur. Dengan bermunajat dan bertafakkur itulah yang membuatnya betah berlama-lama, untuk sekedar duduk bersila sembari membuang lelah setelah seharian bekerja.

Dari atas tebing sewaktu menyiangi rumput, Aminah melihat seekor induk bulus tengah menggembalakan lima ekor anaknya di dasar sungai. Air sungai yang jernih bagaikan aquarium raksasa itu tidak mengaburkan pandangannya. Tak jemu-jemu diperhatikannya kawanan bulus yang terdiri dari seekor induk dan anak-anaknya itu. Bulus-bulus itu berlalu lalang dengan santai sambil sesekali menangkap sesuatu. Terkadang nampak diam lalu maju perlahan, kemudian mundur dan maju lagi. 

Entah apa yang sedang dilakukannya. Aminah hanya bisa tertawa sendiri menyaksikannya. Ketika ia mencoba iseng dengan melemparkan sebuah batu kerikil yang dilempar ke dasar sungai, seketika itu juga induk bulus seperti menghilang entah kemana, begitu juga dengan kelima tukiknya. 

Tetapi Aminah tahu persis kemana tukik-tukik itu menghilang. Rupanya kelima tukik itu nampaknya belum menguasai ilmu menghilangnya itu. Ketika induk bulus merasa terancam karena sesuatu, maka ia akan bersembunyi di balik lumpur atau di bawah serasah dedaunan di dasar sungai. Dengan menyepakkan kaki dayungnya sekuat mungkin, sehingga menimbulkan air yang semula bening menjadi keruh bercampur lumpur pekat. Itulah cara penyelamatan terbaiknya yang telah Aminah saksikan. 

Tetapi lain halnya dengan perilaku kelima tukik yang ia saksikan. Tukik-tukik itu memang bersembunyi di balik serasah daun, di dasar sungai dan sebagian yang lain di dalam lumpur. Tetapi perilaku kagetnya itu tidak menimbulkan hentakan yang mengakibatkan air menjadi keruh. Perilaku tukik-tukik itu seperti lelucon baginya, tak ubahnya seperti bersembunyi di balik kaca yang transparan. Sejenak ia terhibur oleh perilaku tukik-tukik itu. Seandainya jika semua itu diketahui oleh para pemburu, maka habis sudah riwayat bulus beserta kelima tukiknya.

Kini keberadaan bulus semakin terancam dan kian punah. Tanda-tanda kepunahannya itu terlihat dari langkanya bekas tempat bertelurnya bulus.  Jika pada zaman dahulu seringkali ditemukan telur-telur bulus di dalam lumpur, di beberapa tempat, maka sekarang hanya tinggal satu dua tempat, itupun seringkali kecolongan oleh para pemburu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun