Mohon tunggu...
Syaifull Hisyam
Syaifull Hisyam Mohon Tunggu... wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

23 Oktober 2017   01:51 Diperbarui: 23 Oktober 2017   03:18 3612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sesampainya di rumah, seorang perempuan paruh baya menghampirinya, lalu menanyakan perihal barang bawaannya. Perempuan paruh baya itu biasa dipanggil dengan panggilan Rukini. Sudah berjam-jam ia menggendong seorang balita yang sedang tidak enak badan. Sesekali bocah lelaki itu merengek ingin menetek ibunya. Matanya yang bulat terus memandangi perempuan tua itu, seolah terasa asing atau mungkin bocah kecil itu ingin mendekat. Di tangan kanannya menggenggam manisan gulali yang terus meleleh jika tak segera dihisapnya. Tangan kirinya masih berpegangan pada seutas selendang yang dikenakan Rukini. 

Di wajahnya coreng moreng belepotan penuh manisan gulali. Hanya di bagian kedua belah matanya, sesekali diusapnya dengan ujung selendang. Rambutnya kaku menantang langit seperti tidak pernah terjamah air, berwarna merah kecoklatan seperti terjerang panas matahari selama beberapa hari. Sekitar tiga hari yang lalu bocah itu terjatuh setelah bersusah payah mengejar cempe yang baru saja terlahir beberapa hari. Lutut di bagian kanannya mengalami memar sedikit, tetapi ia menjadi lebih manja karenanya. Cempe itu milik Kasanah, kakak perempuan Rukini yang rumahnya berdekatan tepat di sampingnya. Kini Rukini tengah mengandung kembali.

"Bawa sayur lembayung Mbok1. Minta ya Mbok?" pintanya dengan penuh keakraban.

"Bawa tapi sedikit, ini ada daun singkong banyak kalau mau!"

"Daun singkong juga tak apa, kebetulan sudah lama tidak mecel daun singkong."

Tidak ada rasa malu ataupun canggung pada diri Rukini, karena memang telah menjadi suatu kebiasaan dan lambat laun menjadi suatu keakraban. Apabila ada pesanan sayuran dalam jumlah yang lumayan banyak biasanya pemesan akan mengganti ongkos, ongkos tenaga ala kadarnya.

Perempuan Tua itu mengeluarkan daun singkong dari balik selendangnya, lalu memberikan seikat daun singkong yang lumayan besar, untuk ukuran seikat daun singkong pada umumya. Perempuan Tua yang kesehariannya hidup bersahaja itu biasa dipanggil dengan panggilan Mbok Nah. Ada pula yang menyebutnya dengan sebutan Aminah, sesuai namanya, Dwi Aminah. Dinamakan demikian karena dirinya terlahir sebagai anak kedua. Dwi yang berarti dua, sebuah nama titisan yang telah turun temurun dari ajaran Agama nenek moyangnya. sebuah ajaran yang jejak-jejaknya masih bisa dilihat dan disaksikan hingga kini.

Kendati ia tidak bisa melupakan ajaran-ajaran luhur Agama terdahulu, yang disadari telah mengakar ke dalam sendi-sendi kehidupan orang-orang jawa pada umumnya, akan tetapi semua itu adalah suatu penjabaran dari sebuah toleransi semata dan bukan berarti harus selalu menaati ajaran-ajaran Agama terdahulu. Ajaran-ajaran orang-orang terdahulu adalah peletak dasar kebudayaan Jawa yang santun, ramah dan bersahaja. Karena itulah ia tidak akan membuang dan melupakan begitu saja. Ajaran-ajaran yang telah mengakar ke dalam sendi-sendi kehidupan orang-orang Jawa semenjak ratusan tahun silam. 

Perempuan Tua bermata cekung itu tinggal di Kampung Bendo, sebuah kampung yang secara administratif ikut dalam kawasan Desa Rakusan. Meski letaknya terpencil, ada satu kebanggaan yang melingkupi warganya. Kampung Bendo berada dekat dengan jalan raya lintas Provinsi. Jalan raya lintas provinsi itu berada tepat di ujung kampung. Jalan itu baru diresmikan beberapa tahun yang lalu. Mulanya puluhan tahun yang lalu jalan itu adalah rel kereta api, peninggalan pemerintah Hindia Belanda yang tidak lagi terurus. 

Pemerintah kala itu terpuruk, tidak punya anggaran hanya untuk sekedar perawatan rel kereta api, sehingga rel sepanjang ratusan kilometer yang membentang di atas lahan dua Provinsi itupun tidak lagi layak pakai, usang dan berjelaga disana-sini, baru kemudian beberapa tahun yang lalu lintasan rel kereta api itu disulap dan dialih fungsi menjadi jalan raya.

Di atas amben, Aminah mengakrabi sayurannya, mencuci bersih lalu menyimpannya di atas genuk yang berisi air, supaya tetap terjaga kesegaranya. Ia kemudian beranjak ke sumur membasuh kedua kaki dan tangannya, hendak tidur siang. Tak lupa Sebelum merebahkan badannya, dilihatnya sebuah kamar yang ditempati cucunya. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun