Mohon tunggu...
Syaifull Hisyam
Syaifull Hisyam Mohon Tunggu... wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

23 Oktober 2017   01:51 Diperbarui: 23 Oktober 2017   03:18 3612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Ya Mak."

"Nasinya kalo sudah matang pindahkan ke bakul"

"Iya!"

Qohar sore itu makan dengan lauk seadanya. Kesederhanan hidup yang ditanamkan Aminah kepadanya pelan-pelan telah merasuk pada dirinya. Tidak lupa setelah selesai makan, ia suapi neneknya namun hanya satu-dua suapan yang sanggup memasuki kerongkongannya. Nasi yang biasanya nikmat rasanya, apabila tercecap di lidah itu mendadak tiba-tiba terasa pahit, selebihnya digeleng-gelengkan kepalanya. Sebuah isyarat ketidak sanggupan menelan nasi walau hanya sesuap. Seolah jiwa dan raganya tidak mampu lagi menyokong kegetiran hidup. Begitu berat permasalahan yang ditanggungnya, hingga mampu mengikis gairah dan semangat hidupnya. Masih teringat segar dalam ingatannya, kiamat kecil di Kantor Balai Desa. Bagaimana dirinya dicerca pertanyaan oleh empat orang yang seolah-olah hendak menerkamnya. Dilecehkan seperti anak kecil dan ditempatkan dalam sebuah ruangan kosong yang lebih pengap dan kotor dari kandang sapi. Seumur hidup, baru kali ini ia mengalami nasib yang amat perih. Kini dirinya seperti mendiami jiwa yang kosong, menyelami ruang hampa dan melangkah tanpa arah. Hanya satu yang senantiasa merapat dikepalanya, yaitu kekhawatiran. Peristiwa di Kantor Balai Desa itu membuatnya sakit lahir bathin. Perempuan tua berambut perak itu tak mampu lagi menahan beban pikiran yang menderanya. Seandainya Qohar yang menjadi sumber semangat tiada disisinya, entah apa yang akan terjadi pada dirinya. Tetapi ia tetap meyakini, jika semua ini hanya sementara, yang datang lalu kemudian pergi.

Telah beberapa hari Qohar tidak ikut mengaji di Musholla oleh sebab kesibukannya. Suara iqamah telah berkumandang beberapa menit yang lalu, sebagai sebuah pertanda shalat berjamaah telah mulai didirikan. Dengan cekatan ia bergegas pergi ke Musholla dengan menyandang sebuah kitab suci, tetapi ia lupa memakai peci. Ia baru teringat ketika tengah berwudlu merasakan sesuatu yang janggal saat mengusap sebagian kepalanya. Ia mengira, tidak masalah jika lupa tak memakai peci seperti hari-hari biasanya. Tetapi kali ini pengajarnya adalah Pak Sholeh bukan Kang Fajri seperti biasanya.

Sehabis shalat berjamaah, dengan sigap anak-anak berlari-lari kecil mengambil kitab suci di almari kitab, lalu berebut mencari tempat yang terdepan. Tidak seperti acara tradisional lainnya, yang lebih memilih berebut tempat duduk di tempat yang paling belakang. Mulanya Pak Sholeh tidak memperhatikannya ketika masih di belakang, tetapi setelah ia mulai bergeser maju ke depan barulah mendapat teguran dan peringatan dari Pak Sholeh.


"Dimana pecimu?"

"Ketinggalan Pak." jawabnya sambil kepalanya menunduk.

"Niatmu kesini mengaji atau main-main?" tanyanya lagi dengan nada tinggi.

Qohar terdiam, ia tak berani menjawabnya.

"Ngaji kok tidak membawa peci. Sudah pulang sana! Tidak usah mengaji lagi."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun