Mohon tunggu...
Syaifull Hisyam
Syaifull Hisyam Mohon Tunggu... wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

23 Oktober 2017   01:51 Diperbarui: 23 Oktober 2017   03:18 3612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sekumpulan awan hitam bergerombol memayungi pegunungan Muria selama beberapa hari. Itu artinya, akan terjadi sesuatu pada anak sungai yang dilintasinya, seperti halnya banjir atau tanah longsor. Dan benar saja, langit mendung disertai hujan yang tak kunjung berhenti itu telah menyebabkan banjir besar. Air bah yang sedemikian besar itu telah memenuhi sungai hingga meluap. Sepanjang aliran sungai yang dilalui air bah bercampur kayu gelondongan, rumpun pisang serta berbagai macam sampah, mengalami longsor di sebagian tempat yang dilaluinya. Berbagai macam tanaman seperti, pohon kapuk randu, pohon pisang dan rumpunan bambu tumbang lalu hanyut, mengikuti arah aliran sungai. Pun demikian halnya dengan tanaman-tanaman milik Aminah yang berjajar di pinggiran sungai, juga tak luput dari terjangan banjir. Tiga rumpun pohon pisangnya dari tujuh rumpun mengalami longsor dan ikut hanyut terbawa banjir. Hujan yang disertai angin kencang itu juga menumbangkan sebagian pohon di perkampungan. Sebuah rumah milik Pak Kasim rusak di bagian depan oleh sebab tumbangnya pohon sengon di samping rumahnya. Dari awal para tetangga sudah menduga akan terjadi sesuatu, karena pohon sengon itu memang terlihat agak condong kedalam rumahnya, tetapi Pak Kasim tak terlalu menghiraukannya. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu. Hasan, putra sulung Pak Kasim berlari keluar begitu mendengar suara patahan ranting yang mulai retak oleh terjangan angin. Sementara kedua orang tuanya beserta kedua adiknya, masih di sawah menunggui padi. Seandainya Qohar dan kedua temannya, Fariz dan Amar berlama-lama di dalamnya, mungkin akan terjadi sesuatu padanya. Beberapa menit yang lalu Qohar dan kedua temannya berkunjung ke rumah Hasan.

Beberapa hari belakangan Hasan sering melamun dan terkadang menjerit tanpa sebab. Ia tidak mau lagi bermain bersama dengan teman-teman seperti biasanya, tidak mau mengaji di Musholla dan menjadi pemarah setiap kali disuruh mengaji. Pada hal sebelumnya, ia rajin mengaji dan lebih pandai dari teman-temannya. Para tetangga menilai orang tuanya, Pak Kasim terlalu keras dalam mendidiknya. Setiap kali tiba waktunya mengaji, sedangkan Hasan masih bermain, maka pukulan rotan akan senantiasa mendarat padanya. Setiap tiba waktu shalat dan Hasan masih bermain atau tertidur, maka air satu ember penuh telah menunggunya. Ia akan segera diguyur air atau dipukul jika melakukan kesalahan. Mungkin karena sebab-sebab itulah Hasan mengalami gangguan mental, mentalnya terganggu oleh sebab kekerasan yang membelenggunya. Agama Islam, sebuah ajaran yang menjunjung tinggi toleransi, kebebasan beragama dan perdamaian itu telah menjadi momok yang sangat menakutkan baginya. Sebuah kehancuran pondasi Agama yang ditimbulkan oleh orang-orang Muslim yang masih dangkal pengetahuannya.

Qohar dan kedua temannya, Fariz dan Amar masih asik bermain kelereng. Paman Mansyur tiba-tiba datang mengacaukan suasana, ia menantang ketiganya bermain kelereng dengannya. Satu babak permainan hingga beberapa kali permainan, Qohar bersama Fariz dan Amar masih belum bisa mengalahkannya. Hanya kekecewaan demi kekecewaan yang diraihnya. Atas kekalahan itu Qohar berpikir keras untuk mengalahkannya, tetapi tetap saja selalu gagal, semua kelereng disikat habis tak tersisa. Teringat dalam benaknya, kebiasaan neneknya menakuti sekumpulan burung pipit dengan menggunakan kaleng bekas yang dilubangi tengahnya, kemudian diisi batu kerikil. Kaleng bekas berisi batu kerikil itu akan menimbulkan suara yang nyaring apabila digoyang-goyangkan dengan keras.

"Kelerengku mana?" rengek Amar pada paman Mansyur.

"Kalian kan kalah, kenapa meminta kembali," kilahnya, meski sebenarnya tengah bergurau tetapi tak nampak sama sekali jika paman Mansyur sedang bergurau.

"Ini kan hanya permainan sementara, bukan sungguhan,"bela  Fariz.

"Tapi yang jelas kalian kalah, itu artinya semua kelereng menjadi milikku." Paman Mansyur masih bersikukuh.

Qohar hanya bisa terdiam beberapa saat, lalu menantang pamannya mengeluarkan batu kerikil dari dalam botol plastik.

"Baiklah kalau begitu, paman harus bisa mengalahkan tantanganku. Kalau menang ambillah semuanya, tetapi kalau kalah semua kelereng harus dikembalikan." tawarnya setengah percaya diri.

"Baik, apa tantanganmu?"

"Cukup mudah kok paman, coba tebak?"pancingnya sambil menahan senyum.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun