Mohon tunggu...
Syaifull Hisyam
Syaifull Hisyam Mohon Tunggu... wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

23 Oktober 2017   01:51 Diperbarui: 23 Oktober 2017   03:18 3612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Bagaimana? jadi menjenguk Bambang?"

"Iya. Jadi Mbok." jawab Wak Sarmah sambil ngeloyor ke dalam rumah. " Aku ganti pakaian dulu".

Merekapun berangkat. Aminah malam itu membawa setandan pisang dan sekilo gula merah. Tak ingin ketinggalan, Qohar segera membuntutinya setelah sebelumnya mengunci rumah rapat-rapat.

Aminah tertegun melihat kenyataan. Keadaan rumahnya memprihatinkan, dari setiap dinding bambu yang dipasang terlihat jelas celah-celah yang menganga. Jika celah-celah itu tanpa dilapisi plastik, maka angin malam senantiasa bebas keluar masuk kedalam rumahnya. Aminah dan Wak Sarmah berusaha membesarkan hati dan menghiburnya, sementara Qohar berdiam diri di teras rumah menunggu neneknya pulang. Miris menggambarkan cobaan yang dilakoni Bambang.

Di usianya yang ke tujuh berat badannya terus merosot. Tak jauh beda dengan anak seusia tiga tahun. Perutnya membusung, paru-parunya terlihat melebar dengan lekuk-lekuk tulang yang sangat kentara. Wajahnya pucat, kedua bola matanya cekung dengan keningnya yang semakin kentara jelas akan guratan-guratan daging tipis yang membalut tempurung kepalanya. Jari-jari kaki dan tangannya terlihat seperti kerangka yang bergerak-gerak dengan balutan kulit yang amat tipis setebal kain. Hanya daging tipis yang menghiasi tubuhnya, selebihnya seperti tengkorak yang bergerak-gerak. Di setiap ujung jari-jari kaki kirinya membusuk, membiru dan bernanah. Bambang, demikian orang-orang memanggil bocah malang itu terus-terusan menitikkan air mata apabila keinginannya belum juga terpenuhi. Semisal merasakan sakit disekujur badannya yang ingin dipijat atau di obati. Dari kedua bibirnya yang terlihat kering tanpa sepatah katapun terucap. Seperti ada sesuatu yang ingin dikatakannya namun terasa sulit untuk mengucapkannya. Semenjak seminggu yang lalu mendadak ia tak bisa bicara. Hanya bisa dengan bahasa isyarat, paling jauh hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Dalam dua hari belakangan kesehatannya telah berangsur-angsur membaik setelah ia rutin meminum ramuan mengkudu matang sehabis sarapan. Anjuran itu berasal dari Pak Raju, seorang dukun kampung di desa tetangga. Di rumahnya yang hanya berdinding bambu beratapkan ilalang itu, hanya dihuni berdua Bambang dan kakak perempuannya Handayani yang setia menungguinya. Ayah ibunya telah lama pergi meninggalkannya. Mengadu nasib di Ibu Kota.

Menyaksikan itu semua, Aminah menjerit dalam bathinnya. Kenapa semua ini harus ditimpakan padanya? Tidak adakah orang lain yang lebih mampu dalam menghadapi ujianmu Yaa Tuhan?


Mungkin orang-orang yang berkalang duka dan penderitaan itu akan menemukan kebahagiaannya di Akhirat kelak. Bersanding menjadi manusia pilihan atau mungkin menjadi kekasihnya. Hari telah malam, merekapun pamit pulang dengan membawa sejuta hikmah teriring rasa syukur kepada Tuhan, atas karunia yang telah diberikan selama ini, berupa kesehatan jasmani maupun rohani.

Pagi-pagi sekali Aminah telah selesai menanak bubur merah putih, untuk memperingati hari kematian Kang Karta. Sementara Qohar mempersiapkan daun pisang untuk bahan bungkusan bubur merah putih. Tak lupa jajanan tradisional ikut disertakan dalam bungkusan daun pisang. Selesai mempersiapkan semuanya, Qohar lalu menyambangi rumah teman-temannya kemudian acarapun dimulai. Kali ini acaranya diimami oleh Aminah sendiri. Diawali dengan bacaan Basmalah, Hamdalah lalu Istighfar kemudian Tahlil dan diakhiri doa.

Acara prosesi peringatan kematian kang karta yang digelar sederhana itu telah selesai. Bubur merah putih itupun dibagikan dengan disertai oleh-oleh berupa jajanan tradisional berupa pisang, pepaya dan jeruk sebagai buah tangan. Aminah lalu kembali mengisi rutinitasnya, pergi kesawah bersama Qohar dengan membawa pupuk kompos setengah karung.

Di jalan, dekat pinggir jalan raya anak-anak muda Desa berkerumun menyaksikan arak-arakan rombongan Pak Menteri yang tengah melintas entah kemana. Suara  klakson mobil mulai bersaut-sautan persis suara ambulans. Ditambah suara sirine meraung-raung memekakkan telinga karena saking asingnya. Iring-iringan mobil pengawal Pak Menteri melaju dengan kecepatan tinggi. Sebuah perkampungan yang mulanya sunyi senyap, mendadak penuh dengan gegap gempita euphoria kehidupan. Sekumpulan kambing dan kerbau berlarian seperti ada rasa kaget yang tiba-tiba mendera. Tanpa diduga sebelumnya banyak binatang ternak berhamburan kejalan Raya. Ternak-ternak yang biasa diikat disepanjang pinggiran jalan Raya itu tiba-tiba lepas karena saking takutnya dengan keadaan yang drastis. Orang-orang kampung hanya bisa menyaksikan dengan penuh kedongkolan. Binatang ternak banyak yang luka-luka dan hilang, lari sekencang-kencangnya tak tentu arah. Adapula beberapa anakan ternak yang mati tertabrak mobil pengawal Pak Menteri.

Menyaksikan sandiwara nyata didepan mata hanyalah menyisakan trenyuh. Aminah dan cucunya lalu kembali melanjutkan perjalanan menuju sawah. Memupuk tanaman-tanamannya dengan pupuk kompos setengah karung.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun