Namun sia-sialah jeritan dan keluh kesah perempuan malang itu; sekalipun ia berteriak dan membuka mulutnya selebar-lebarnya, si pemalas itu takkan bangkit dari tempat ia buang hajat hanya untuk menolong ibunya dalam urusan sekecil apa pun. Akhirnya, setelah ribuan makian yang menggelegar, seribu ocehan yang pedas, seribu kali 'sudah kubilang' dan 'kan kubilang lagi,' disertai teriakan hari ini dan bentakan esok, ia pun mengusir anaknya itu ke hutan untuk mencari kayu bakar. Katanya, 'Sudah saatnya kau tersedak sepotong makanan; pergilah ambil kayu, jangan sampai tersesat, dan cepat kembali, sebab kita perlu menumis sedikit batang brokoli dengan minyak agar hidup kita yang sengsara ini bisa ditarik sedikit lebih panjang.'
Â
Maka si pemalas Peruonto pun berangkat, layaknya seorang terhukum yang digiring berjalan di antara para Saudara Keadilan Putih; ia melangkah seolah-olah menapaki telur, dengan langkah seekor murai; ia menghitung setiap tapak, bergerak pelan sekali, maju sedikit demi sedikit, merayap perlahan, berjalan lamban di jalan menuju hutan, seperti gagak yang terbang dan tak pernah kembali."
Â
Dan ketika ia berada di tengah sebuah padang rumput, di mana mengalir sebuah sungai---bercakap-cakap dan bergemercik, mengeluh tentang kurang bijaknya batu-batu yang menghalangi jalannya---ia bertemu dengan tiga pemuda yang telah menjadikan rerumputan sebagai kasur kecil dan batu api sebagai bantal, lalu tidur seperti binatang yang disembelih di bawah terik panas matahari, yang menyiksa mereka dengan sinarnya yang tegak lurus.
Â
Tatkala Peruonto melihat pemuda-pemuda malang itu, yang tampak bagaikan pancuran air di dalam tungku api, timbullah belas kasihan dalam hatinya. Dengan kapak yang dibawanya, ia menebang beberapa cabang pohon ek dan membuat sebuah naungan indah di atas mereka.
Â
Sementara itu, ketiga pemuda itu yang sesungguhnya adalah putra-putra seorang peri terbangun, dan ketika mereka melihat betapa baik hati dan penuh kasihnya Peruonto, mereka menganugerahinya sebuah sihir: ia boleh memiliki apa pun yang ia inginkan.
Â
Setelah itu, Peruonto melanjutkan perjalanannya menuju hutan, tempat ia mengumpulkan seikat kayu bakar yang begitu besar hingga perlu sebuah kereta luncur untuk menariknya. Ketika ia sadar bahwa berusaha memikulnya di punggung hanyalah pekerjaan sia-sia, ia naik dan mengangkanginya, sambil berkata, 'Ya ampun, andai saja seikat kayu ini bisa membawaku, berlari seperti seekor kuda!'
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130