Membangkitkan spesies yang sudah punah memicu perdebatan besar. Rekayasa genetika memang terasa seperti lompatan revolusioner, seolah kita bisa menambal kerusakan ekosistem yang pernah kita buat.
Tapi banyak ilmuwan menilai taruhannya tinggi. Bagi mereka, ini mudah melenceng dari tujuan. Teknologi itu menunjukkan kemampuan manusia, ya, namun juga berpotensi membuka masalah baru.
Sebagian pihak mendukung de-extinction dan menyebutnya kewajiban moral. Logikanya sederhana: kalau kepunahan terjadi karena ulah manusia, kita harus berusaha memperbaikinya.
Ada ilmuwan yang beranggapan teknologi modern bisa menebus dosa ekologis, seperti yang dibahas di Wyss Institute di Harvard.
Hanya saja, gagasan itu kerap mengabaikan kenyataan di lapangan. Ekosistem tempat spesies tersebut dulu hidup kini sudah berubah jauh.
Mengembalikan spesies ke habitat yang tidak lagi sama itu berisiko. Bisa jadi mereka tidak punya relung yang cocok. Mangsa atau predatornya sudah lenyap.
Dan spesies yang "dikembalikan" justru berubah menjadi invasif. Keseimbangan alam yang rapuh bisa terganggu.
Ada persoalan etika yang tidak bisa disapu ke bawah karpet. De-extinction biasanya melibatkan kloning, dan kloning berpotensi menimbulkan penderitaan hewan.
Komplikasi kehamilan kerap muncul. Kasus kloning Pyrenean ibex berakhir tragis, anak yang lahir hanya hidup sebentar karena kelainan paru-paru, seperti dilaporkan World Economic Forum.
Dari sini timbul pertanyaan yang tidak nyaman: apakah kita sedang menciptakan makhluk hidup baru hanya untuk menanggung rasa sakit sepanjang hidupnya, sering kali di kandang, demi keperluan eksperimen? Itu jelas bukan kesejahteraan hewan.
Soal prioritas juga tidak kalah penting. Proyek de-extinction menelan biaya besar, contohnya Colossal Biosciences. Uang sebesar itu sebenarnya bisa dialihkan untuk memperkuat program konservasi yang sudah berjalan.