Mohon tunggu...
Angga Munandar
Angga Munandar Mohon Tunggu... Advokat

Profession as an Advocate, has a passion for political developments, Education, health and most importantly cryptocurrencies which are currently and continue to develop

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengapa Pemimpin Kita Tersandung Lidahnya?

11 September 2025   13:42 Diperbarui: 11 September 2025   18:42 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Pejabat. (Sumber: KOMPAS/CHY)

Di bawah langit Nusantara yang beribu warna, di antara hiruk-pikuk kota dan heningnya desa, kita sering menyaksikan sebuah pemandangan yang tak jarang membuat dada kita terasa sesak: pemimpin kita, orang-orang yang kita amanahkan, seringkali tergelincir lidahnya saat berbicara di depan khalayak ramai. Mengapa demikian?

Bukanlah soal kecerdasan yang kurang, sebab mereka yang duduk di kursi kepemimpinan pastilah orang-orang pilihan. 

Bukan pula soal ketulusan hati, karena kita percaya, niat baik seringkali ada di dalam sanubari mereka. Namun, ada satu hal yang kerap terlupa, yang tak terasah, yakni seni berbicara.

Di zaman kini, kepemimpinan tak hanya diukur dari seberapa banyak kebijakan yang dibuat, melainkan juga dari seberapa arif kata-kata yang diucapkan. 

Seorang pemimpin yang tidak cakap dalam berbicara, layaknya seorang nahkoda yang tak tahu arah angin. Ia mungkin membawa kapal yang kokoh, tetapi ia tak mampu mengantarkannya ke dermaga dengan selamat.

Bahasa Lidah Pejabat dan Api Kemarahan Rakyat

Pernahkah terbesit di hati kita, betapa ringannya lidah seorang pejabat saat ia berkata, "Harga bahan pokok naik? Ya sudah, rakyat makan singkong saja." Atau "Masalahnya bukan di pemerintah, tapi di rakyat yang malas!" 

Kata-kata ini seolah-olah tumpah dari mulut tanpa saringan. Inilah contoh nyata kegagalan dalam public speaking pejabat. Bahasa yang seharusnya menjadi jembatan antara pemimpin dan rakyat, justru menjadi jurang pemisah.

Menurut hemat saya, masalahnya jauh lebih dalam, wahai saudaraku. Keterampilan berbicara yang buruk hanyalah gejala dari penyakit yang lebih parah: minimnya empati. 

Cover desain & edit oleh penulis menggunakan bantuan AI 
Cover desain & edit oleh penulis menggunakan bantuan AI 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun