Â
17 Agustus 2025. Bendera itu kembali berkibar. Merah dan putih. Riuh suara anak-anak sekolah mengumandangkan lagu-lagu perjuangan. Jalanan penuh umbul-umbul, lomba makan kerupuk, panjat pinang, parade budaya. Semuanya meriah, semuanya menggembirakan.
Tapi di tengah gegap gempita itu, sebuah bisikan kecil tiba-tiba menyusup ke telinga saya: "Benarkah kita sudah merdeka? Atau jangan-jangan... sampai kapanpun kita tak akan pernah benar-benar merdeka?"
Sejak 1945, kita mengumandangkan satu kata sakral: merdeka. Tetapi semakin kita rayakan, semakin saya merasa kata itu lebih mirip horizon ketimbang tanah yang benar-benar bisa dipijak.
Seperti cakrawala di ufuk timur---kita berjalan menuju ke sana, tapi ia selalu bergeser, menjauh, menghindar. Begitu pula dengan kemerdekaan: kita mendekat, tapi tak pernah sampai.
Kita memang lepas dari penjajahan Belanda. Tapi apakah kita lepas dari penjajahan lain?
Ada hutang luar negeri yang mencekik. Ada algoritma media sosial asing yang mengendalikan cara kita berpikir. Ada kapitalisme global yang membuat buruh kita jadi roda kecil dalam mesin raksasa yang tak pernah peduli pada nasib individu.
Apakah ini merdeka? Atau sekadar ganti tuan?
Dulu penjajahan punya wajah jelas: serdadu berseragam, kapal-kapal besar, bedil dan meriam. Sekarang penjajahan datang dengan wajah halus, bahkan sering kita sambut dengan sukacita.
Kita bangga membeli gawai terbaru, padahal di balik layar, data pribadi kita dijual. Kita tersenyum di depan layar, padahal sebenarnya sedang jadi budak algoritma yang memutuskan apa yang kita lihat, apa yang kita pikirkan, bahkan apa yang kita impikan. Kita bicara lantang soal nasionalisme, tapi dalam praktiknya ekonomi kita masih bergantung pada investor asing.
Bukankah ini ironi? Merdeka tapi tetap tergantung. Merdeka tapi masih tunduk. Merdeka tapi dalam bentuk yang semu.