Indonesia kerap membanggakan diri sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Namun, di balik kebanggaan itu, muncul ironi yang sulit diabaikan. Di tengah kondisi rakyat yang kian terhimpit oleh kenaikan harga kebutuhan pokok dan sulitnya mencari pekerjaan layak, para wakil rakyat di Senayan justru sibuk memperbincangkan kenaikan gaji dan tunjangan. Sebuah paradoks yang mencederai rasa keadilan publik.
Data yang dipublikasikan Detikcom (2024) menyebutkan bahwa seorang anggota DPR menerima gaji pokok sebesar Rp 4,2 juta per bulan, tetapi dengan tunjangan melekat dan berbagai fasilitas lain, total yang mereka terima bisa mencapai sekitar Rp 54 juta per bulan.Â
CNBC Indonesia (2025) bahkan menyoroti adanya tunjangan rumah jabatan senilai Rp 50 juta per bulan, yang membuat total penghasilan anggota DPR bisa lebih dari Rp 100 juta. Angka-angka ini jelas fantastis bila dibandingkan dengan rata-rata pendapatan rakyat Indonesia yang menurut BPS (2025) hanya sekitar Rp 3,2 juta per bulan.
Kontras inilah yang kemudian melahirkan gelombang protes di jalanan. Bukan sekadar soal angka, melainkan soal sensitivitas moral. Rakyat merasa ditinggalkan oleh para wakilnya yang hidup nyaman di balik gedung megah Senayan. Ironi ini semakin kelam ketika seorang anak bangsa, Affan Kurniawan, kehilangan nyawa dalam kericuhan demonstrasi menolak kenaikan gaji DPR.
Demonstrasi dan Tragedi
Demonstrasi besar yang digelar pada 25 dan 28 Agustus 2025 di depan Gedung DPR mulanya hanya dimaksudkan untuk menyuarakan kekecewaan rakyat terhadap wacana kenaikan gaji dan tunjangan DPR. Gelombang massa datang dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, buruh, hingga pekerja informal. Tuntutannya sederhana: hentikan pembahasan kenaikan gaji anggota DPR di tengah situasi rakyat yang makin terhimpit oleh krisis ekonomi.
Bagi banyak orang, tuntutan itu wajar. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada kuartal kedua 2025 daya beli masyarakat mengalami penurunan sebesar 3,4 persen dibanding tahun sebelumnya. Bahkan, pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan pangan melonjak hingga mencapai 65 persen dari total belanja bulanan. Angka ini menunjukkan betapa beratnya kehidupan rakyat sehari-hari. Dalam kondisi demikian, wacana kenaikan pendapatan DPR dianggap sebagai bentuk ketidakpekaan yang menyakitkan.
Namun, suara rakyat di jalan tidak disambut dengan telinga terbuka. Aparat keamanan diturunkan dengan kekuatan penuh. Pada 25 Agustus, bentrokan pertama sudah mulai pecah, tetapi puncaknya terjadi pada 28 Agustus 2025.Â
Saat massa mencoba merangsek ke pagar gedung, aparat melakukan pembubaran paksa dengan gas air mata, water cannon, hingga pengerahan kendaraan taktis. Dalam situasi kacau itulah, Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek daring berusia 21 tahun yang sedang melintas mencari penumpang, terjebak di tengah-tengah kericuhan.
Kesaksian sejumlah saksi mata yang dikutip Kompas.com (29/8/2025) menyebut Affan tewas setelah terlindas kendaraan taktis Brimob yang sedang bergerak membubarkan massa. Ia bukan demonstran garis depan, bukan pula provokator, melainkan rakyat kecil yang apes berada di waktu dan tempat yang salah. Kematian Affan sontak memicu kemarahan publik.
Tragedi ini mengubah wajah demonstrasi. Dari sekadar menolak kenaikan gaji DPR, aksi massa berkembang menjadi tuntutan moral kepada negara. Publik menuntut akuntabilitas Polri atas tindakan represif yang berujung pada hilangnya nyawa rakyat. Amnesty International Indonesia menyatakan bahwa tindakan aparat dalam membubarkan massa telah melanggar prinsip hak asasi manusia yang mengutamakan proporsionalitas dan perlindungan terhadap nyawa manusia.