Rabu, 28 Agustus 2025, ribuan buruh menyerukan slogan HOSTUM: Hapus Outsourcing, Tolak Upah Murah. Mereka berdemonstrasi bukan hanya karena ingin upah lebih, tapi karena janji kesejahteraan yang terus diutarakan negara tampak seperti bayangan: ada wujudnya, tapi tak pernah nyata.
Tahun 2025, UMP (Upah Minimum Provinsi) DKI Jakarta resmi ditetapkan sebesar Rp 5.396.761, naik sekitar 6,5 persen dari tahun sebelumnya melalui Permenaker No. 16 Tahun 2024 (sumber: Jobstreet). Meski demikian, angka itu masih jauh dari mencerminkan kehidupan layak.
Menurut BPS, Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di Jakarta mencapai sekitar Rp 2,49 juta per bulan. Di atasnya, survei independen sempat mencatat KHL di kisaran Rp 2,538 juta. Jika dibandingkan angka UMP, tampak bahwa upah minimum nominal lebih tinggi, tetapi jika disusutkan terhadap inflasi dan laju kenaikan harga, jarak itu terasa rapuh.
Justru karena gap ini yang terus diperdebatkan, kita perlu melihat: apakah kesejahteraan pekerja memang hanya mitos politik belaka? Analisis ini berangkat dari kesenjangan antara janji regulasi dan realitas di lapangan.
Artikel ini akan membedah tiga lapis: klaim negara, realita prekaritas buruh, dan dampak sistemik yang terpendam di balik mitos itu.
Kesenjangan Janji Negara vs Realitas
Pemerintah telah mencantumkan buruh sejahtera sebagai salah satu narasi utama dalam berbagai regulasi. UU No. 13 Tahun 2003 menyebut bahwa upah minimum ditetapkan berdasarkan komponen kebutuhan layak --- namanya KHL. Namun dalam praktiknya, penentuan UMP seringkali hanya mentok di atas kertas.
UMP Jakarta 2025 sebesar Rp 5,396 juta memang melebihi KHL, namun perhitungannya acap kali tidak memperhitungkan tekanan inflasi yang terus merangkak dan fenomena kenaikan harga kebutuhan pokok setiap tahun (sumber: indonesiana.id). Oleh karena itu, meski angka naik, daya beli buruh tetap tergerus.
Lebih jauh, UU Cipta Kerja (Omnibus Law) juga mengubah banyak ketentuan protektif buruh---pesangon dipangkas, aturan cuti fleksibel, dan outsourcing semakin dilegitimasi. Meskipun Mahkamah Konstitusi telah meminta pemisahan UU Ketenagakerjaan sebagai regulasi baru yang lebih berpihak buruh, progresnya kini sangat lamban.
Anggota DPR dan pemerintah tampak berkutat dalam pembahasan undang-undang baru, sementara realitas ruang produksi menunjukkan perlindungan buruh justru semakin menyusut.
Regulasi yang seolah berpijak pada kesejahteraan buruh, bila diterjemahkan ke ruang pabrik dan jalanan, seringnya tiba dalam bentuk angka simbolis---angka yang tampak besar namun tak cukup menutupi kebutuhan rumah tangga pekerja.