Mohon tunggu...
Riski Situmorang
Riski Situmorang Mohon Tunggu... Mahasiswa | Ilmu Komunikasi | Universitas Sumatera Utara

Mahasiwa S-1 Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara dengan Keterampilan Desain Grafis dan Copywriting. Memiliki Hoby membaca, Membuat desain, Traveling. dan Sebagainya.

Selanjutnya

Tutup

Metaverse Pilihan

Dari Metaverse ke Kas Negara: Bagaimana VR/AR Shopping Akan Menjadi Mesin Pajak

25 Agustus 2025   17:09 Diperbarui: 25 Agustus 2025   17:09 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang pemuda sedang mencoba perangkat Virtual Reality (VR) di dalam sebuah toko teknologi futuristik . ( Sumber: DreaminaAi/Riski )


Di tengah hiruk-pikuk transformasi digital yang mengguncang tatanan ekonomi global, Indonesia mulai menyadari bahwa masa depan penerimaan negara tidak lagi hanya bergantung pada sektor migas, ekspor komoditas, atau bahkan konsumsi tradisional di mal-mal fisik. Yang kini muncul sebagai horizon baru adalah dunia yang dulu hanya ada dalam fiksi ilmiah: metaverse, realitas tertambah (augmented reality), dan realitas virtual (virtual reality). Di balik sensasi teknologi tinggi dan pengalaman berbelanja yang imersif, tersembunyi potensi besar---triliunan rupiah penerimaan negara yang hingga kini masih terabaikan. AR/VR shopping, atau belanja berbasis realitas tertambah dan virtual, bukan lagi sekadar tren teknologi, melainkan sebuah revolusi ekonomi yang menuntut perhatian serius dari regulator, pembuat kebijakan, dan otoritas fiskal.

Belum lama berselang, gagasan berbelanja dengan memakai kacamata AR atau masuk ke toko virtual lewat avatar di dunia digital terasa seperti mimpi. Namun, hari ini, platform seperti Decentraland, Roblox, atau bahkan inisiatif lokal seperti Tokopedia Metaverse dan kolaborasi e-commerce dengan teknologi AR mulai menunjukkan tanda-tanda nyata bahwa transaksi digital akan melampaui batas layar ponsel. Konsumen bisa mencoba pakaian, furnitur, atau bahkan mobil secara virtual sebelum membeli. Merek-merek besar seperti Nike, Gucci, dan Samsung telah membuka toko digital mereka sendiri di metaverse. Di Indonesia, anak-anak muda kini mulai membeli digital fashion untuk avatar mereka, membeli tanah virtual, atau menghadiri konser dalam dunia virtual. Transaksi-transaksi ini, meski belum sepenuhnya terkonversi ke barang fisik, tetap melibatkan uang riil---uang yang mengalir dari dompet digital ke platform, dari platform ke pedagang, dan seharusnya---ke kas negara.

Namun, di sinilah letak persoalannya. Sistem perpajakan kita masih didesain untuk ekonomi fisik dan transaksi digital konvensional seperti e-commerce. Belum ada kerangka hukum yang cukup kuat untuk mengatur perpajakan atas transaksi di dunia virtual. Apakah pembelian skin karakter di game kena PPN? Apakah tanah virtual yang diperjualbelikan di metaverse termasuk objek pajak? Bagaimana dengan pendapatan kreator konten digital yang menjual aset NFT di platform global? Pertanyaan-pertanyaan ini masih menggantung, sementara uang mengalir deras di luar jangkauan otoritas fiskal.

Padahal, potensinya sungguh masif. Menurut laporan Statista, pasar metaverse diperkirakan bernilai lebih dari 800 miliar dolar AS pada tahun 2028. Di Asia Tenggara, Indonesia menjadi salah satu pasar dengan pertumbuhan tertinggi dalam adopsi teknologi digital dan konten virtual. Jika 10 persen dari transaksi tersebut terjadi di ekosistem yang melibatkan warga negara Indonesia atau entitas bisnis lokal, maka potensi penerimaan pajak bisa mencapai puluhan hingga ratusan triliun rupiah dalam dekade mendatang. Ini bukan angka kecil. Ini adalah peluang emas untuk memperkuat basis penerimaan negara tanpa menambah beban pajak pada sektor riil yang masih pulih dari pandemi.

Tantangan utamanya bukan hanya teknis, tapi juga konseptual. Dunia virtual tidak mengenal batas negara. Transaksi bisa terjadi antara pengguna di Jakarta dengan penjual di Singapura melalui server di Amerika Serikat, menggunakan mata uang kripto. Di mana pajak harus dikenakan? Di negara asal pembeli, penjual, atau platform? Ini adalah pertanyaan yang bahkan negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa masih berdebat. Namun, bukan berarti Indonesia harus menunggu. Justru, inilah saatnya untuk menjadi pelopor di kawasan dengan merancang kerangka pajak digital yang adaptif, berkeadilan, dan berbasis pada prinsip value creation.

Salah satu pendekatan yang bisa diadopsi adalah destination-based taxation , di mana pajak dikenakan di negara tempat konsumsi terjadi---dalam hal ini, Indonesia. Jika seorang warga negara Indonesia membeli aset digital dari platform asing, maka transaksi tersebut harus dikenakan PPN atau Pajak Pertambahan Nilai Digital (PPND), sebagaimana yang mulai diterapkan oleh beberapa negara Eropa terhadap layanan digital asing. Selain itu, Direktorat Jenderal Pajak perlu membangun sistem pelacakan transaksi digital yang canggih, bekerja sama dengan penyedia layanan pembayaran digital, platform e-commerce, dan bahkan penyedia teknologi blockchain untuk melacak aliran dana dan aset digital.

Namun, digitalisasi perpajakan bukan hanya soal mengejar uang. Ini juga soal kepercayaan publik. Jika pemerintah ingin menarik pajak dari dunia virtual, maka harus ada transparansi dan jaminan bahwa uang itu akan digunakan untuk membangun infrastruktur digital yang lebih baik, meningkatkan literasi teknologi, dan memperluas akses masyarakat terhadap ekonomi digital. Tanpa itu, kebijakan pajak bisa dipersepsikan sebagai upaya represif, bukan sebagai bagian dari pembangunan ekosistem digital yang berkelanjutan.

Selain itu, pemerintah juga perlu membuka dialog dengan pelaku industri kreatif, pengembang teknologi, dan komunitas digital. Banyak kreator muda yang saat ini menghasilkan uang dari penjualan aset digital, NFT, atau konten imersif. Mereka adalah wajah baru ekonomi digital Indonesia. Jika dikenai pajak secara kaku tanpa pendampingan, bisa jadi mereka akan pindah ke platform global yang lebih ramah atau bahkan menghindari pelaporan. Sebaliknya, jika diberi insentif, edukasi, dan sistem pelaporan yang mudah, mereka bisa menjadi duta sukarela dalam memperluas basis perpajakan digital.

Yang juga penting adalah mempercepat integrasi sistem perpajakan dengan sistem keuangan digital. Saat ini, banyak transaksi AR/VR shopping menggunakan dompet digital, stablecoin, atau bahkan kripto. Jika tidak diatur, celah ini akan menjadi ruang gelap bagi pelarian pajak. Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan perlu duduk bersama untuk menyusun regulasi yang menyeimbangkan inovasi dan kepatuhan fiskal.

Masa depan penerimaan negara tidak lagi hanya soal menaikkan tarif atau memperluas objek pajak konvensional. Ia adalah soal membaca arah peradaban. Dunia virtual bukan sekadar hiburan. Ia adalah ekonomi nyata yang menghasilkan nilai nyata. Setiap kali seseorang membeli jaket digital untuk avatar-nya, itu adalah konsumsi. Setiap kali tanah virtual dijual dengan harga jutaan rupiah, itu adalah transaksi aset. Dan setiap transaksi, sekecil apa pun, harus memiliki jejak fiskal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Metaverse Selengkapnya
Lihat Metaverse Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun