Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kemacetan dan Polusi Jakarta Mengancam Kesehatan Warga

27 Agustus 2025   17:02 Diperbarui: 27 Agustus 2025   15:54 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kendaraan terjebak kemacetan di Jalan TB Simatupang, Jakarta, saat jam berangkat kerja, Rabu (27/8/2025). (KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN)

Jakarta seakan tidak pernah tidur, tetapi denyut aktivitas yang tak henti itu kini semakin tercekik oleh kemacetan. Setiap pagi dan sore, jalan-jalan utama berubah menjadi lautan kendaraan yang merayap pelan. Suara klakson bersahutan, udara dipenuhi asap knalpot, sementara warga hanya bisa pasrah menghabiskan waktu berjam-jam di perjalanan. Kemacetan kini bukan lagi sekadar cerita keseharian, melainkan masalah serius yang memengaruhi kualitas hidup jutaan orang di ibu kota.

Data dari Polda Metro Jaya pada akhir 2024 mencatat, jumlah kendaraan di Jakarta bertambah sekitar 850 ribu unit dalam setahun atau setara 2.500--3.000 kendaraan baru setiap hari. Angka ini terus menekan kapasitas jalan yang pertumbuhannya hanya 0,01 persen per tahun. Kontras ini menunjukkan betapa timpangnya laju pembangunan infrastruktur dengan laju pertumbuhan kendaraan bermotor (Kompas, 27/8/2025). Akibatnya, jalan raya yang seharusnya menjadi ruang mobilitas justru berubah menjadi ruang tunggu.

Fenomena ini tidak berdiri sendiri. Macet yang berkepanjangan ternyata melahirkan persoalan turunan yang jauh lebih kompleks, terutama polusi udara. Kendaraan bermotor menjadi penyumbang terbesar emisi di Jakarta, dan dengan kondisi macet yang membuat mesin menyala lebih lama di jalan, emisi itu justru semakin terkonsentrasi. Jakarta bahkan beberapa kali menempati posisi kota dengan kualitas udara terburuk di dunia, menurut data IQAir yang dirilis pada pertengahan 2023.

Kondisi tersebut tentu berimbas langsung pada kesehatan warga. Laporan Dinas Kesehatan DKI Jakarta menunjukkan, kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) meningkat tajam setiap kali kualitas udara memburuk. Anak-anak dan lansia menjadi kelompok paling rentan. Selain itu, dampak polusi juga tak kasatmata---mulai dari meningkatnya risiko penyakit jantung, kanker paru, hingga gangguan kesehatan mental akibat stres berkepanjangan di jalan.

Ironisnya, kerugian akibat macet dan polusi ini tidak hanya menghantam aspek kesehatan, tetapi juga ekonomi. Studi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bersama Jabodetabek Urban Transportation Policy Integration (JUTPI) II pada 2019 mencatat, kerugian akibat kemacetan di Jabodetabek mencapai Rp 100 triliun per tahun. Angka ini setara dengan 4 persen Produk Domestik Bruto (PDB) wilayah tersebut atau enam kali lipat biaya pembangunan MRT fase pertama. Dengan kata lain, setiap jam yang hilang di jalan, setiap tarikan napas udara kotor, memiliki harga mahal yang sedang dibayar oleh masyarakat Jakarta.

Kemacetan Jakarta: Masalah yang Tak Kunjung Usai

Kemacetan di Jakarta bukanlah fenomena baru. Sejak dekade 1980-an, berbagai penelitian transportasi sudah menyebutkan bahwa kapasitas jalan ibu kota tidak mampu mengimbangi pertumbuhan kendaraan. Namun, hingga kini, situasi tidak banyak berubah. Jalan-jalan besar yang dibangun untuk memperlancar mobilitas justru menjadi magnet baru bagi arus kendaraan, dan pada akhirnya tetap kembali macet. Fenomena ini disebut sebagai induced demand, di mana penambahan jalan justru memicu lebih banyak orang menggunakan kendaraan pribadi.

Kesenjangan antara jumlah kendaraan dan ruas jalan di Jakarta semakin terlihat dari data resmi. Pertumbuhan kendaraan bermotor mencapai rata-rata 2,7 persen setiap tahun, sedangkan penambahan ruas jalan hanya 0,01 persen per tahun (Kompas, 27/8/2025). Bayangkan, penambahan ribuan kendaraan baru setiap hari hanya ditampung oleh jalan yang hampir tidak bertambah. Akibatnya, bukan hanya jalan protokol seperti Sudirman-Thamrin yang padat, tetapi juga jalan-jalan penyangga seperti TB Simatupang, Daan Mogot, hingga tol dalam kota.

Wilayah TB Simatupang di Jakarta Selatan kini menjadi simbol baru dari kemacetan parah. Jalan yang dulunya dikenal sebagai kawasan bisnis berkembang pesat ini kini setiap pagi dan sore berubah menjadi parkiran raksasa. Proyek pembangunan infrastruktur, mulai dari instalasi pengolahan air limbah hingga pelebaran jalan, semakin menambah sempit ruang lalu lintas. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bahkan sempat mengalihkan fungsi trotoar menjadi jalur kendaraan demi mengurai kepadatan, meskipun kebijakan ini menuai kritik karena mengorbankan hak pejalan kaki.

Kemacetan juga semakin diperparah oleh kendaraan dari wilayah penyangga. Setiap harinya, ratusan ribu kendaraan masuk dari Bekasi, Depok, Bogor, dan Tangerang menuju Jakarta. Kontribusi arus komuter ini sangat besar, karena transportasi publik lintas wilayah belum sepenuhnya terintegrasi. Kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek memang mengangkut jutaan penumpang, tetapi kapasitasnya kerap melebihi batas kenyamanan. Sementara itu, moda transportasi baru seperti LRT dan MRT masih terbatas jangkauannya.

Kebiasaan masyarakat yang lebih memilih kendaraan pribadi daripada transportasi umum juga memperburuk keadaan. Data menunjukkan bahwa dari 20,2 juta perjalanan per hari di Jakarta, hanya 22,19 persen yang menggunakan angkutan umum, sementara sisanya masih bergantung pada kendaraan pribadi (Kompas, 27/8/2025). Angka ini jauh dari target ideal kota besar dunia, di mana penggunaan transportasi publik seharusnya mencapai lebih dari 50 persen. Dengan kondisi seperti ini, sulit membayangkan macet akan berkurang dalam waktu dekat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun