Selain itu, tragedi ini juga menuntut perubahan paradigma dalam melihat rakyat kecil. Mereka bukan sekadar objek pembangunan, bukan pula sekadar "massa" yang bisa diatur atau dibubarkan. Mereka adalah manusia dengan hak yang sama untuk hidup, bekerja, dan menyuarakan pendapat. Negara harus menempatkan rakyat kecil sebagai pusat kebijakan, bukan sebagai korban sampingan.
Dalam konteks masyarakat sipil, tragedi Affan seharusnya membangkitkan solidaritas yang lebih luas. Organisasi masyarakat, akademisi, media, hingga lembaga keagamaan harus bersatu untuk menegaskan bahwa hak hidup tidak bisa ditawar. Tekanan moral dari masyarakat sipil adalah kunci agar negara tidak mengabaikan kasus ini.
Generasi muda juga punya peran penting. Mereka yang turun ke jalan bukan hanya menolak kebijakan, tetapi juga sedang berjuang untuk masa depan mereka sendiri. Tragedi Affan seharusnya menguatkan tekad generasi muda untuk tidak berhenti bersuara. Demokrasi hanya akan bertahan jika ada generasi yang berani menjaganya.
Di tingkat global, Indonesia kerap dielu-elukan sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Namun, pujian itu tidak ada artinya jika di dalam negeri rakyat kecil masih bisa tewas dalam demonstrasi. Demokrasi sejati tidak diukur dari jumlah pemilih, tetapi dari seberapa jauh negara melindungi rakyatnya yang paling lemah.
Tragedi Affan seharusnya menjadi titik balik. Negara tidak boleh lagi mengulangi kesalahan yang sama. Setiap kebijakan keamanan, setiap prosedur pengendalian massa, harus berpijak pada prinsip bahwa nyawa manusia adalah harga mati. Tidak ada kepentingan politik yang lebih tinggi dari itu.
Harapan terakhir adalah agar nama Affan tidak dilupakan. Ia harus terus dikenang sebagai pengingat bahwa demokrasi hanya akan berarti jika berpihak pada manusia, bukan pada kursi kekuasaan. Nama Affan adalah simbol perlawanan terhadap demokrasi yang kehilangan hati nuraninya.
Penutup
Kisah Affan Kurniawan memperlihatkan kontras yang paling telak antara gaji fantastis DPR dan harga nyawa rakyat. Ia adalah simbol dari rapuhnya demokrasi yang kita jalani, demokrasi yang lebih sibuk mengurus angka-angka rupiah daripada menjaga nyawa warganya sendiri. Tragedi ini menjadi peringatan keras bahwa legitimasi politik hanya bisa berdiri tegak di atas pondasi kemanusiaan.
Sebagai bangsa, kita tidak boleh membiarkan tragedi ini berlalu begitu saja. Affan tidak boleh menjadi sekadar nama yang hilang dalam arsip berita. Ia harus menjadi pengingat abadi bahwa demokrasi tanpa empati adalah demokrasi yang mati.
Pada akhirnya, pertanyaan besar yang harus kita jawab bersama adalah: apakah kita ingin melanjutkan demokrasi yang muram ini, atau berani membangunnya kembali dengan menempatkan manusia sebagai pusat? Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan masa depan bangsa ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI