Reaksi keras pun datang dari berbagai pihak. Lembaga bantuan hukum menyiapkan gugatan, organisasi mahasiswa berjanji akan melanjutkan aksi, dan media sosial penuh dengan seruan agar kasus Affan tidak dibiarkan berlalu begitu saja. Nama Affan Kurniawan menjadi simbol baru perlawanan rakyat terhadap wajah keras demokrasi di negeri ini.
Tragedi itu juga menambah panjang daftar korban dalam demonstrasi di Indonesia. Kita masih mengingat pada September 2019 ketika dua mahasiswa di Kendari, Randi dan Yusuf Kardawi, tewas dalam aksi menolak revisi UU KPK. Kini, enam tahun kemudian, sejarah kelam itu berulang. Ironinya, pelajaran dari tragedi masa lalu tampaknya tak pernah benar-benar dijalankan.
Kematian Affan mempertegas satu hal: di negeri ini, menyampaikan aspirasi rakyat sering kali masih berisiko kehilangan nyawa. Sebuah fakta yang seharusnya membuat kita semua merenung, apakah demokrasi kita benar-benar berjalan di atas rel yang semestinya.
Uang vs Nyawa
Ketika kita berbicara tentang gaji fantastis DPR, maka kita sedang berbicara tentang uang rakyat yang dikumpulkan dari pajak, keringat, dan jerih payah masyarakat. Setiap rupiah yang mengalir ke rekening anggota DPR berasal dari kontribusi warga negara yang bekerja keras setiap hari. Karena itu, wacana menaikkan gaji DPR tidak pernah bisa dilepaskan dari persoalan etika dan legitimasi moral.
Dalam konteks ini, tragedi Affan menghadirkan kontras yang begitu telak. Satu sisi, para anggota dewan bisa berdebat berjam-jam soal kenaikan pendapatan mereka yang sudah puluhan juta. Sementara di sisi lain, seorang pemuda rakyat kecil kehilangan nyawa hanya karena terjebak di tengah konflik antara rakyat dan negara. Apakah ada nilai yang lebih tinggi dari nyawa manusia? Pertanyaan ini seharusnya menggema di ruang-ruang sidang DPR, bukan tuntutan kenaikan gaji.
Legitimasi DPR kini kian merosot. Survei Indikator Politik Indonesia (2025) mencatat hanya 23 persen publik yang masih percaya DPR benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat. Angka ini adalah yang terendah dalam sepuluh tahun terakhir. Krisis kepercayaan ini bukan muncul tanpa alasan, melainkan buah dari keputusan-keputusan politik yang dianggap jauh dari kebutuhan rakyat.
Ketika rakyat dipaksa membayar mahal untuk listrik, BBM, dan harga pangan, para wakilnya justru meminta tambahan tunjangan rumah jabatan Rp 50 juta per bulan. Perbandingan ini bukan hanya soal angka, tetapi soal rasa keadilan yang terinjak-injak. Bagaimana mungkin seorang buruh dengan gaji Rp 3 juta per bulan harus menyaksikan wakilnya hidup dalam kemewahan, sementara mereka sendiri berjuang agar bisa makan tiga kali sehari?
Kematian Affan menambah luka itu. Ia, seorang pengemudi ojol, adalah gambaran nyata rakyat kecil yang setiap hari bertaruh nyawa di jalan raya untuk sekadar mencari nafkah. Ironisnya, ia justru benar-benar kehilangan nyawanya akibat konflik politik yang sejatinya tak pernah ia pilih. Rakyat kecil seperti Affan selalu berada di lapis terendah: tidak punya suara di parlemen, tidak punya kekuasaan di pemerintahan, dan akhirnya tidak punya perlindungan di jalan.
Kontras uang versus nyawa ini menyingkap wajah muram demokrasi kita. Demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi martabat manusia, kini tampak lebih berpihak pada kenyamanan elite. Nilai nyawa manusia tereduksi, sementara angka rupiah dihitung dengan seksama. Di sinilah demokrasi kehilangan jiwanya.
Sejatinya, nyawa rakyat adalah harga yang tak ternilai. Tidak ada angka gaji atau tunjangan yang bisa menebus satu kehidupan yang hilang. Namun, politik di negeri ini seakan memperlihatkan hal sebaliknya: bahwa nyawa rakyat kecil kerap dianggap murah, lebih murah daripada kursi empuk di Senayan.
Dimensi Sosial dan Kemanusiaan
Setiap tragedi selalu memiliki wajah manusia yang tak boleh kita lupakan. Affan Kurniawan bukan sekadar "korban demonstrasi" dalam catatan berita, ia adalah anak berusia 21 tahun yang masih memiliki mimpi, seorang tulang punggung keluarga, dan seorang pekerja informal yang setiap hari menggantungkan hidup dari ojek daring. Kehidupannya mencerminkan jutaan rakyat kecil di negeri ini yang bekerja keras di tengah kerasnya jalanan kota, tanpa jaminan keselamatan dan tanpa kepastian masa depan.