Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Antara Gaji Fantastis DPR dan Harga Nyawa Rakyat

29 Agustus 2025   15:28 Diperbarui: 29 Agustus 2025   15:28 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Affan Kurniawan, ojol tewas dilindas mobil polisi. (Foto: Istimewa via tribunnews.com)

Indonesia kerap membanggakan diri sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Namun, di balik kebanggaan itu, muncul ironi yang sulit diabaikan. Di tengah kondisi rakyat yang kian terhimpit oleh kenaikan harga kebutuhan pokok dan sulitnya mencari pekerjaan layak, para wakil rakyat di Senayan justru sibuk memperbincangkan kenaikan gaji dan tunjangan. Sebuah paradoks yang mencederai rasa keadilan publik.

Data yang dipublikasikan Detikcom (2024) menyebutkan bahwa seorang anggota DPR menerima gaji pokok sebesar Rp 4,2 juta per bulan, tetapi dengan tunjangan melekat dan berbagai fasilitas lain, total yang mereka terima bisa mencapai sekitar Rp 54 juta per bulan. 

CNBC Indonesia (2025) bahkan menyoroti adanya tunjangan rumah jabatan senilai Rp 50 juta per bulan, yang membuat total penghasilan anggota DPR bisa lebih dari Rp 100 juta. Angka-angka ini jelas fantastis bila dibandingkan dengan rata-rata pendapatan rakyat Indonesia yang menurut BPS (2025) hanya sekitar Rp 3,2 juta per bulan.

Kontras inilah yang kemudian melahirkan gelombang protes di jalanan. Bukan sekadar soal angka, melainkan soal sensitivitas moral. Rakyat merasa ditinggalkan oleh para wakilnya yang hidup nyaman di balik gedung megah Senayan. Ironi ini semakin kelam ketika seorang anak bangsa, Affan Kurniawan, kehilangan nyawa dalam kericuhan demonstrasi menolak kenaikan gaji DPR.

Demonstrasi dan Tragedi

Demonstrasi besar yang digelar pada 25 dan 28 Agustus 2025 di depan Gedung DPR mulanya hanya dimaksudkan untuk menyuarakan kekecewaan rakyat terhadap wacana kenaikan gaji dan tunjangan DPR. Gelombang massa datang dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, buruh, hingga pekerja informal. Tuntutannya sederhana: hentikan pembahasan kenaikan gaji anggota DPR di tengah situasi rakyat yang makin terhimpit oleh krisis ekonomi.

Bagi banyak orang, tuntutan itu wajar. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada kuartal kedua 2025 daya beli masyarakat mengalami penurunan sebesar 3,4 persen dibanding tahun sebelumnya. Bahkan, pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan pangan melonjak hingga mencapai 65 persen dari total belanja bulanan. Angka ini menunjukkan betapa beratnya kehidupan rakyat sehari-hari. Dalam kondisi demikian, wacana kenaikan pendapatan DPR dianggap sebagai bentuk ketidakpekaan yang menyakitkan.

Namun, suara rakyat di jalan tidak disambut dengan telinga terbuka. Aparat keamanan diturunkan dengan kekuatan penuh. Pada 25 Agustus, bentrokan pertama sudah mulai pecah, tetapi puncaknya terjadi pada 28 Agustus 2025. 

Saat massa mencoba merangsek ke pagar gedung, aparat melakukan pembubaran paksa dengan gas air mata, water cannon, hingga pengerahan kendaraan taktis. Dalam situasi kacau itulah, Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek daring berusia 21 tahun yang sedang melintas mencari penumpang, terjebak di tengah-tengah kericuhan.

Kesaksian sejumlah saksi mata yang dikutip Kompas.com (29/8/2025) menyebut Affan tewas setelah terlindas kendaraan taktis Brimob yang sedang bergerak membubarkan massa. Ia bukan demonstran garis depan, bukan pula provokator, melainkan rakyat kecil yang apes berada di waktu dan tempat yang salah. Kematian Affan sontak memicu kemarahan publik.

Tragedi ini mengubah wajah demonstrasi. Dari sekadar menolak kenaikan gaji DPR, aksi massa berkembang menjadi tuntutan moral kepada negara. Publik menuntut akuntabilitas Polri atas tindakan represif yang berujung pada hilangnya nyawa rakyat. Amnesty International Indonesia menyatakan bahwa tindakan aparat dalam membubarkan massa telah melanggar prinsip hak asasi manusia yang mengutamakan proporsionalitas dan perlindungan terhadap nyawa manusia.

Reaksi keras pun datang dari berbagai pihak. Lembaga bantuan hukum menyiapkan gugatan, organisasi mahasiswa berjanji akan melanjutkan aksi, dan media sosial penuh dengan seruan agar kasus Affan tidak dibiarkan berlalu begitu saja. Nama Affan Kurniawan menjadi simbol baru perlawanan rakyat terhadap wajah keras demokrasi di negeri ini.

Tragedi itu juga menambah panjang daftar korban dalam demonstrasi di Indonesia. Kita masih mengingat pada September 2019 ketika dua mahasiswa di Kendari, Randi dan Yusuf Kardawi, tewas dalam aksi menolak revisi UU KPK. Kini, enam tahun kemudian, sejarah kelam itu berulang. Ironinya, pelajaran dari tragedi masa lalu tampaknya tak pernah benar-benar dijalankan.

Kematian Affan mempertegas satu hal: di negeri ini, menyampaikan aspirasi rakyat sering kali masih berisiko kehilangan nyawa. Sebuah fakta yang seharusnya membuat kita semua merenung, apakah demokrasi kita benar-benar berjalan di atas rel yang semestinya.

Uang vs Nyawa

Ketika kita berbicara tentang gaji fantastis DPR, maka kita sedang berbicara tentang uang rakyat yang dikumpulkan dari pajak, keringat, dan jerih payah masyarakat. Setiap rupiah yang mengalir ke rekening anggota DPR berasal dari kontribusi warga negara yang bekerja keras setiap hari. Karena itu, wacana menaikkan gaji DPR tidak pernah bisa dilepaskan dari persoalan etika dan legitimasi moral.

Dalam konteks ini, tragedi Affan menghadirkan kontras yang begitu telak. Satu sisi, para anggota dewan bisa berdebat berjam-jam soal kenaikan pendapatan mereka yang sudah puluhan juta. Sementara di sisi lain, seorang pemuda rakyat kecil kehilangan nyawa hanya karena terjebak di tengah konflik antara rakyat dan negara. Apakah ada nilai yang lebih tinggi dari nyawa manusia? Pertanyaan ini seharusnya menggema di ruang-ruang sidang DPR, bukan tuntutan kenaikan gaji.

Legitimasi DPR kini kian merosot. Survei Indikator Politik Indonesia (2025) mencatat hanya 23 persen publik yang masih percaya DPR benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat. Angka ini adalah yang terendah dalam sepuluh tahun terakhir. Krisis kepercayaan ini bukan muncul tanpa alasan, melainkan buah dari keputusan-keputusan politik yang dianggap jauh dari kebutuhan rakyat.

Ketika rakyat dipaksa membayar mahal untuk listrik, BBM, dan harga pangan, para wakilnya justru meminta tambahan tunjangan rumah jabatan Rp 50 juta per bulan. Perbandingan ini bukan hanya soal angka, tetapi soal rasa keadilan yang terinjak-injak. Bagaimana mungkin seorang buruh dengan gaji Rp 3 juta per bulan harus menyaksikan wakilnya hidup dalam kemewahan, sementara mereka sendiri berjuang agar bisa makan tiga kali sehari?

Kematian Affan menambah luka itu. Ia, seorang pengemudi ojol, adalah gambaran nyata rakyat kecil yang setiap hari bertaruh nyawa di jalan raya untuk sekadar mencari nafkah. Ironisnya, ia justru benar-benar kehilangan nyawanya akibat konflik politik yang sejatinya tak pernah ia pilih. Rakyat kecil seperti Affan selalu berada di lapis terendah: tidak punya suara di parlemen, tidak punya kekuasaan di pemerintahan, dan akhirnya tidak punya perlindungan di jalan.

Kontras uang versus nyawa ini menyingkap wajah muram demokrasi kita. Demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi martabat manusia, kini tampak lebih berpihak pada kenyamanan elite. Nilai nyawa manusia tereduksi, sementara angka rupiah dihitung dengan seksama. Di sinilah demokrasi kehilangan jiwanya.

Sejatinya, nyawa rakyat adalah harga yang tak ternilai. Tidak ada angka gaji atau tunjangan yang bisa menebus satu kehidupan yang hilang. Namun, politik di negeri ini seakan memperlihatkan hal sebaliknya: bahwa nyawa rakyat kecil kerap dianggap murah, lebih murah daripada kursi empuk di Senayan.

Dimensi Sosial dan Kemanusiaan

Setiap tragedi selalu memiliki wajah manusia yang tak boleh kita lupakan. Affan Kurniawan bukan sekadar "korban demonstrasi" dalam catatan berita, ia adalah anak berusia 21 tahun yang masih memiliki mimpi, seorang tulang punggung keluarga, dan seorang pekerja informal yang setiap hari menggantungkan hidup dari ojek daring. Kehidupannya mencerminkan jutaan rakyat kecil di negeri ini yang bekerja keras di tengah kerasnya jalanan kota, tanpa jaminan keselamatan dan tanpa kepastian masa depan.

Tragedi yang menimpa Affan menunjukkan bahwa dalam demokrasi kita, rakyat kecil masih menjadi kelompok paling rentan. Mereka tidak memiliki akses untuk menyuarakan kepentingannya secara langsung di parlemen. Ketika mencoba menyampaikan aspirasi lewat aksi massa, mereka justru berhadapan dengan barikade aparat. Dan ketika konflik terjadi, merekalah yang paling mungkin menjadi korban. Inilah wajah demokrasi yang jauh dari nilai kemanusiaan.

Kematian Affan seharusnya menjadi cermin bagi bangsa ini untuk menilai ulang makna demokrasi. Demokrasi tidak boleh berhenti pada ritual lima tahunan pemilu atau pada perdebatan di ruang sidang DPR. Demokrasi sejati adalah ketika setiap warga negara, termasuk yang paling lemah sekalipun, mendapat perlindungan yang sama atas hidup dan martabatnya. Tanpa itu, demokrasi hanyalah prosedur kosong.

Dimensi sosial dari tragedi ini pun tidak kalah penting. Kehilangan Affan berarti kehilangan tulang punggung keluarga. Ia adalah penyumbang nafkah utama yang menopang kehidupan ibu dan adiknya. Kehilangan ini bukan hanya soal duka emosional, melainkan juga duka ekonomi yang akan berlangsung lama. Ketika negara gagal melindungi rakyatnya, maka keluarga-keluarga miskin seperti keluarga Affan harus menanggung beban ganda: kehilangan orang yang mereka cintai sekaligus kehilangan sumber penghidupan.

Kisah ini menggugah hati nurani publik karena menghadirkan paradoks paling nyata: di saat anggota DPR memperjuangkan tambahan tunjangan Rp 50 juta per bulan, seorang rakyat kecil kehilangan nyawa demi Rp 50 ribu yang bisa ia dapatkan dari mengantar satu penumpang. Perbandingan ini bukan hanya menyakitkan, tetapi juga menyingkap jurang sosial yang semakin menganga di negeri ini.

Dari sudut pandang kemanusiaan, demokrasi yang gagal melindungi nyawa manusia sejatinya sudah kehilangan legitimasi moral. Tidak ada klaim keberhasilan demokrasi yang bisa menutupi fakta bahwa seorang warga negara tewas saat negara seharusnya hadir melindunginya. Demokrasi yang membiarkan rakyatnya mati di jalan adalah demokrasi yang pincang.

Lebih jauh, tragedi ini mengingatkan kita bahwa pembangunan politik tanpa pembangunan empati hanya akan melahirkan alienasi. Elite politik boleh saja sibuk dengan kalkulasi anggaran dan perdebatan hukum, tetapi tanpa empati terhadap penderitaan rakyat, mereka tidak lebih dari aktor dalam panggung kosong. Affan adalah korban nyata dari hilangnya empati itu.

Dimensi kemanusiaan dari tragedi Affan juga menantang kita untuk menanyakan kembali nilai dasar bangsa ini. Kita sering menyebut diri sebagai bangsa yang menjunjung tinggi gotong royong, musyawarah, dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Namun, apakah nilai-nilai itu masih hidup ketika rakyat kecil dibiarkan mati tanpa perlindungan? Atau apakah nilai-nilai itu kini hanya tinggal jargon dalam teks konstitusi?

Tragedi Affan menegaskan satu hal: bahwa demokrasi bukan hanya tentang siapa yang memerintah, tetapi juga bagaimana mereka memerintah. Dan cara memerintah yang mengorbankan rakyat kecil tidak layak disebut demokrasi.

Harapan dan Tuntutan

Meski tragedi Affan menghadirkan luka mendalam, kita tidak boleh berhenti pada ratapan. Setiap tragedi harus menjadi momentum perubahan. Pertama-tama, DPR harus segera menghentikan seluruh wacana kenaikan gaji dan tunjangan. Wacana itu tidak hanya tidak pantas secara moral, tetapi juga berpotensi menambah krisis kepercayaan publik yang sudah merosot tajam. DPR harus kembali fokus pada mandat utamanya: menyusun kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat.

Kedua, Polri harus berani membuka diri terhadap evaluasi menyeluruh. Kasus Affan tidak boleh berhenti pada dalih "insiden lapangan". Perlu ada investigasi independen yang transparan agar publik tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jika ditemukan pelanggaran prosedur, aparat yang bertanggung jawab harus dihukum. Hanya dengan akuntabilitas, kepercayaan publik bisa dipulihkan.

Ketiga, pemerintah perlu menyediakan kanal partisipasi rakyat yang lebih inklusif. Demonstrasi di jalanan sering kali menjadi pilihan terakhir karena saluran formal dianggap mandek atau tidak efektif. Forum dengar pendapat publik, konsultasi kebijakan yang terbuka, hingga mekanisme digital untuk menyampaikan aspirasi harus diperkuat agar rakyat tidak merasa harus turun ke jalan setiap kali ingin didengar.

Selain itu, tragedi ini juga menuntut perubahan paradigma dalam melihat rakyat kecil. Mereka bukan sekadar objek pembangunan, bukan pula sekadar "massa" yang bisa diatur atau dibubarkan. Mereka adalah manusia dengan hak yang sama untuk hidup, bekerja, dan menyuarakan pendapat. Negara harus menempatkan rakyat kecil sebagai pusat kebijakan, bukan sebagai korban sampingan.

Dalam konteks masyarakat sipil, tragedi Affan seharusnya membangkitkan solidaritas yang lebih luas. Organisasi masyarakat, akademisi, media, hingga lembaga keagamaan harus bersatu untuk menegaskan bahwa hak hidup tidak bisa ditawar. Tekanan moral dari masyarakat sipil adalah kunci agar negara tidak mengabaikan kasus ini.

Generasi muda juga punya peran penting. Mereka yang turun ke jalan bukan hanya menolak kebijakan, tetapi juga sedang berjuang untuk masa depan mereka sendiri. Tragedi Affan seharusnya menguatkan tekad generasi muda untuk tidak berhenti bersuara. Demokrasi hanya akan bertahan jika ada generasi yang berani menjaganya.

Di tingkat global, Indonesia kerap dielu-elukan sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Namun, pujian itu tidak ada artinya jika di dalam negeri rakyat kecil masih bisa tewas dalam demonstrasi. Demokrasi sejati tidak diukur dari jumlah pemilih, tetapi dari seberapa jauh negara melindungi rakyatnya yang paling lemah.

Tragedi Affan seharusnya menjadi titik balik. Negara tidak boleh lagi mengulangi kesalahan yang sama. Setiap kebijakan keamanan, setiap prosedur pengendalian massa, harus berpijak pada prinsip bahwa nyawa manusia adalah harga mati. Tidak ada kepentingan politik yang lebih tinggi dari itu.

Harapan terakhir adalah agar nama Affan tidak dilupakan. Ia harus terus dikenang sebagai pengingat bahwa demokrasi hanya akan berarti jika berpihak pada manusia, bukan pada kursi kekuasaan. Nama Affan adalah simbol perlawanan terhadap demokrasi yang kehilangan hati nuraninya.

Penutup

Kisah Affan Kurniawan memperlihatkan kontras yang paling telak antara gaji fantastis DPR dan harga nyawa rakyat. Ia adalah simbol dari rapuhnya demokrasi yang kita jalani, demokrasi yang lebih sibuk mengurus angka-angka rupiah daripada menjaga nyawa warganya sendiri. Tragedi ini menjadi peringatan keras bahwa legitimasi politik hanya bisa berdiri tegak di atas pondasi kemanusiaan.

Sebagai bangsa, kita tidak boleh membiarkan tragedi ini berlalu begitu saja. Affan tidak boleh menjadi sekadar nama yang hilang dalam arsip berita. Ia harus menjadi pengingat abadi bahwa demokrasi tanpa empati adalah demokrasi yang mati.

Pada akhirnya, pertanyaan besar yang harus kita jawab bersama adalah: apakah kita ingin melanjutkan demokrasi yang muram ini, atau berani membangunnya kembali dengan menempatkan manusia sebagai pusat? Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan masa depan bangsa ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun