Tragedi yang menimpa Affan menunjukkan bahwa dalam demokrasi kita, rakyat kecil masih menjadi kelompok paling rentan. Mereka tidak memiliki akses untuk menyuarakan kepentingannya secara langsung di parlemen. Ketika mencoba menyampaikan aspirasi lewat aksi massa, mereka justru berhadapan dengan barikade aparat. Dan ketika konflik terjadi, merekalah yang paling mungkin menjadi korban. Inilah wajah demokrasi yang jauh dari nilai kemanusiaan.
Kematian Affan seharusnya menjadi cermin bagi bangsa ini untuk menilai ulang makna demokrasi. Demokrasi tidak boleh berhenti pada ritual lima tahunan pemilu atau pada perdebatan di ruang sidang DPR. Demokrasi sejati adalah ketika setiap warga negara, termasuk yang paling lemah sekalipun, mendapat perlindungan yang sama atas hidup dan martabatnya. Tanpa itu, demokrasi hanyalah prosedur kosong.
Dimensi sosial dari tragedi ini pun tidak kalah penting. Kehilangan Affan berarti kehilangan tulang punggung keluarga. Ia adalah penyumbang nafkah utama yang menopang kehidupan ibu dan adiknya. Kehilangan ini bukan hanya soal duka emosional, melainkan juga duka ekonomi yang akan berlangsung lama. Ketika negara gagal melindungi rakyatnya, maka keluarga-keluarga miskin seperti keluarga Affan harus menanggung beban ganda: kehilangan orang yang mereka cintai sekaligus kehilangan sumber penghidupan.
Kisah ini menggugah hati nurani publik karena menghadirkan paradoks paling nyata: di saat anggota DPR memperjuangkan tambahan tunjangan Rp 50 juta per bulan, seorang rakyat kecil kehilangan nyawa demi Rp 50 ribu yang bisa ia dapatkan dari mengantar satu penumpang. Perbandingan ini bukan hanya menyakitkan, tetapi juga menyingkap jurang sosial yang semakin menganga di negeri ini.
Dari sudut pandang kemanusiaan, demokrasi yang gagal melindungi nyawa manusia sejatinya sudah kehilangan legitimasi moral. Tidak ada klaim keberhasilan demokrasi yang bisa menutupi fakta bahwa seorang warga negara tewas saat negara seharusnya hadir melindunginya. Demokrasi yang membiarkan rakyatnya mati di jalan adalah demokrasi yang pincang.
Lebih jauh, tragedi ini mengingatkan kita bahwa pembangunan politik tanpa pembangunan empati hanya akan melahirkan alienasi. Elite politik boleh saja sibuk dengan kalkulasi anggaran dan perdebatan hukum, tetapi tanpa empati terhadap penderitaan rakyat, mereka tidak lebih dari aktor dalam panggung kosong. Affan adalah korban nyata dari hilangnya empati itu.
Dimensi kemanusiaan dari tragedi Affan juga menantang kita untuk menanyakan kembali nilai dasar bangsa ini. Kita sering menyebut diri sebagai bangsa yang menjunjung tinggi gotong royong, musyawarah, dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Namun, apakah nilai-nilai itu masih hidup ketika rakyat kecil dibiarkan mati tanpa perlindungan? Atau apakah nilai-nilai itu kini hanya tinggal jargon dalam teks konstitusi?
Tragedi Affan menegaskan satu hal: bahwa demokrasi bukan hanya tentang siapa yang memerintah, tetapi juga bagaimana mereka memerintah. Dan cara memerintah yang mengorbankan rakyat kecil tidak layak disebut demokrasi.
Harapan dan Tuntutan
Meski tragedi Affan menghadirkan luka mendalam, kita tidak boleh berhenti pada ratapan. Setiap tragedi harus menjadi momentum perubahan. Pertama-tama, DPR harus segera menghentikan seluruh wacana kenaikan gaji dan tunjangan. Wacana itu tidak hanya tidak pantas secara moral, tetapi juga berpotensi menambah krisis kepercayaan publik yang sudah merosot tajam. DPR harus kembali fokus pada mandat utamanya: menyusun kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat.
Kedua, Polri harus berani membuka diri terhadap evaluasi menyeluruh. Kasus Affan tidak boleh berhenti pada dalih "insiden lapangan". Perlu ada investigasi independen yang transparan agar publik tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jika ditemukan pelanggaran prosedur, aparat yang bertanggung jawab harus dihukum. Hanya dengan akuntabilitas, kepercayaan publik bisa dipulihkan.
Ketiga, pemerintah perlu menyediakan kanal partisipasi rakyat yang lebih inklusif. Demonstrasi di jalanan sering kali menjadi pilihan terakhir karena saluran formal dianggap mandek atau tidak efektif. Forum dengar pendapat publik, konsultasi kebijakan yang terbuka, hingga mekanisme digital untuk menyampaikan aspirasi harus diperkuat agar rakyat tidak merasa harus turun ke jalan setiap kali ingin didengar.