Hati seorang pemimpin yang benar-benar merasakan getar penderitaan rakyatnya tidak akan pernah bisa melontarkan kata-kata yang menyakitkan.Â
Kata-kata kasar itu hanya muncul dari mereka yang tidak pernah berjalan di sepatu rakyat jelata, tidak pernah merasakan perihnya lapar, atau tidak pernah merasakan sulitnya mencari sesuap nasi.
Seringkali saya termenung, mengapa hal ini terus berulang? Adakah mereka tak sadar bahwa setiap kata yang terucap adalah percikan api yang dapat menyulut bara kemarahan?Â
Amarah rakyat bukanlah api yang tiba-tiba membakar. Ia adalah bara yang tersulut perlahan, dipicu oleh kata-kata yang terasa menghina, meremehkan, dan mengabaikan penderitaan.Â
Ketika seorang pemimpin dengan santainya menganggap remeh kesulitan hidup, rakyat akan merasa tidak dihormati. Ketika seorang pejabat menimpakan kesalahan kepada rakyat, mereka merasa difitnah.
Menjadi Bangsa yang Lebih Baik
Lalu, apa yang harus kita lakukan? Pertama, bagi para pemimpin, asahlah terus kemampuan berbicara. Pahami bahwa setiap kata yang terucap adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan dan rakyat.Â
Kedua, bagi para pemimpin besar, tempatkanlah orang-orang yang memang cakap, bukan sekadar dekat. Dan ketiga, bagi kita sebagai rakyat, jadilah pendengar yang bijak. Berilah kritik yang membangun, bukan sekadar menghujat.
Satu hal yang saya yakini sepenuh hati, kita tidak bisa terus-menerus membiarkan hal ini terjadi. Sebagai rakyat, kita harus lebih kritis.Â
Kita tidak boleh lagi memilih pemimpin yang hanya pandai berjanji, tetapi tidak pandai berbicara dengan hati. Kita harus menuntut transparansi dan kejujuran dalam setiap kata yang diucapkan.
Sesungguhnya, bangsa yang besar adalah bangsa yang pemimpinnya cakap berbicara dengan hati, dan rakyatnya cakap mendengarkan dengan akal.Â