"Ekonomi kita dicekik." Â
Kalimat itu bukan sekadar metafora. Ia adalah peringatan. Dan kini, ia mulai dijawab.
Setelah dua artikel sebelumnya membedah keberanian fiskal Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan paradoks sistem yang terlalu lama nyaman dalam diam, hari ini kita menyaksikan babak baru yang nyata: Rp200 triliun dana pemerintah yang selama ini mengendap di Bank Indonesia telah resmi disalurkan ke enam bank milik negara.
Bank Mandiri, BRI, BTN, BNI, BSI, dan satu bank syariah lainnya menerima suntikan likuiditas yang tidak kecil. Dana ini diambil dari Rp425 triliun kas negara yang selama ini "parkir" di rekening BI. Dan Purbaya tidak sekadar mentransfer. Ia menegaskan:
"Tujuannya supaya bank punya duit banyak, cash, dan tiba-tiba sehingga tidak bisa menaruh di tempat lain, selain dikreditkan."
Landasan Hukum: KMK 276/2025 dan Larangan SBN
Kebijakan ini bukan sekadar instruksi verbal. Ia telah dituangkan dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 276 Tahun 2025 tentang Penempatan Uang Negara dalam Rangka Pengelolaan Kelebihan dan Kekurangan Kas untuk Mendukung Pelaksanaan Program Pemerintah dan Mendorong Pertumbuhan Ekonomi.
Dalam diktum kedua KMK tersebut, penempatan dana dilakukan secara bertahap dengan limit sebagai berikut: BRI=Rp55 triliun, BNI=Rp55 triliun, Mandiri=Rp55 triliun, BTN=Rp25 triliun, BSI=Rp10 triliun.
Hal yang paling penting adalah bank-bank penerima dana dilarang menggunakan uang tersebut untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN). Ini adalah koreksi langsung terhadap praktik sebelumnya yang membuat dana pemerintah berputar di pasar keuangan, bukan di sektor riil.
Dari Kritik ke Aksi: Koreksi Arah yang Ditunggu
Dalam artikel sebelumnya, saya menulis bahwa keberanian fiskal bukan hanya soal anggaran, tapi soal keberpihakan. Ketika Purbaya melarang pembelian SBN dari dana APBN, ia sedang membongkar sistem yang selama ini membuat sektor riil megap-megap.
Kini, dengan suntikan Rp200 triliun dan landasan hukum yang jelas, kita melihat keberanian itu mulai menyentuh mekanisme pasar. Tapi pertanyaannya tetap:
- Apakah bank akan benar-benar menyalurkan kredit ke sektor produktif
- Apakah dana ini akan masuk ke sawah, bengkel, warung, dan UMKM? Â
- Atau hanya berputar di ruang rapat dan laporan keuangan?