Ada momen dalam sejarah ketika suara tak lagi datang dari pidato, tapi dari keheningan.
Sri Mulyani tidak menangis, tidak marah, tidak membantah. Ia pamit dengan tenang.
Dan, dalam senyap itu, publik mulai bertanya: apa yang sebenarnya sedang bergeser?
Ketika Sri Mulyani pamit dari kursi Menteri Keuangan, publik tahu ini bukan sekadar pergantian teknokrat. Ini adalah pergeseran haluan.
Bu Ani tidak pergi karena gagal, melainkan karena terlalu teguh menjaga disiplin fiskal ala IMF dan World Bank.
Dan, di saat Presiden Prabowo Subianto pulang dari Beijing dan Moskow dengan dada tegap, arah baru pun mulai terbaca: Indonesia tak lagi menjaga gerbang IMF, tapi mulai menata pintu sendiri.
Soemitronomics merupakan istilah yang dihidupkan kembali oleh Purbaya Yudhi Sadewa, bukan sekadar nostalgia atas pemikiran Prof. Soemitro Djojohadikusumo. Ia adalah manifesto fiskal baru: belanja berani untuk rakyat, kemandirian ekonomi, dan keberpihakan pada pembangunan strategis.
Di tengah krisis pangan, ancaman ekologis, dan ketegangan geopolitik, Indonesia memilih jalan yang lebih berani, lebih Timur, dan lebih berpihak.
Apakah ini awal dari kemandirian fiskal sejati? Ataukah hanya babak baru dari drama lama? Yang jelas, arah telah berganti. Dan publik, seperti biasa, akan menjadi hakim dari keberanian itu.
🧭 Babak Baru: Dari Penjaga Gerbang ke Arsitek Mandiri
Purbaya Yudhi Sadewa kini duduk di kursi Menteri Keuangan. Ia bukan sekadar pengganti. Ia adalah sinyal. Dalam pidato awalnya, ia menyebut bahwa Indonesia akan fokus pada domestic demand, belanja strategis, dan kedaulatan fiskal.
Purbaya bahkan menyebut “jurus kearifan lokal” ala Soemitro Djojohadikusumo sebagai inspirasi: Soemitronomics.
Soemitronomics: Ketika Indonesia Tak Lagi Menjaga Gerbang IMF, Tapi Menata Pintu Sendiri