"Namun ketika putra raja kebetulan lewat di depan rumah itu dalam perjalanannya menuju perburuan, ia jatuh cinta tanpa ukuran pada ranting murad yang indah itu, dan ia mengirim kabar kepada pemiliknya bahwa jika ia bersedia menjualnya, ia akan membayarnya setara dengan sebuah mata. Setelah seribu kali penolakan dan perdebatan, sang wanita akhirnya tergoda oleh tawaran-tawaran, terpikat oleh janji-janji, diguncang oleh ancaman-ancaman, dan luluh oleh permohonan-permohonan, hingga ia memberikan pot itu, sambil memohon agar sang pangeran menjaganya dengan segenap hatinya, sebab ia mencintainya lebih daripada seorang putri, dan menghargainya seolah-olah ia lahir dari rahimnya sendiri.
Â
Dengan sukacita terbesar di dunia, sang pangeran membawa pot itu ke kamar pribadinya dan menaruhnya di loggia; ia sendiri mencangkul dan menyiraminya dengan tangannya. Terjadilah pada suatu malam, ketika sang pangeran telah berbaring di tempat tidur dan memadamkan lilin, sementara dunia mulai diam dan semua orang memasuki lelap pertama, ia mendengar suara langkah-langkah di dalam rumah, lalu sesuatu yang meraba-raba menuju ke ranjangnya. Ia mengira itu mungkin seorang pelayan muda yang ingin mencuri dompetnya, atau mungkin pula seekor iblis kecil yang hendak menarik selimutnya. Tetapi karena ia seorang pemberani, yang bahkan api neraka takkan mampu menakutinya, ia berpura-pura seperti kucing mati dan menunggu bagaimana semua itu akan berakhir.
Â
Dan ketika ia merasakan sosok itu kian mendekat dan menyentuhnya, ia sadar betapa lembutnya hal itu; dan di tempat ia menyangka akan menggenggam duri landak, ia malah menemukan sesuatu yang lebih halus dan lunak daripada wol Tunisia, lebih lentur dan patuh daripada ekor musang, lebih lembut dan rapuh daripada bulu burung kenari emas. Maka ia pun membalikkan tubuhnya dari sisi ranjang yang satu ke sisi yang lain, dan mengira bahwa itu pasti seorang peri (sebagaimana kenyataannya), lalu ia melingkarkan dirinya padanya bagaikan seekor gurita; dan ketika mereka bermain-main dalam keheningan burung gereja, mereka pun mencoba permainan "Batu di Pangkuan."
Â
Namun sebelum Sang Surya muncul laksana tabib agung yang datang memeriksa bunga-bunga yang layu dan sakit, sang tamu itu bangkit dari ranjang dan menyelinap pergi, meninggalkan pangeran sarat dengan manisnya kenangan, mengandung rasa ingin tahu, dan dipenuhi dengan keajaiban.
Â
Ketika permainan rahasia itu berlangsung selama tujuh hari, sang pangeran pun terbakar rindu dan meleleh dalam hasrat untuk mengetahui keberuntungan macam apakah yang turun dari bintang-bintang baginya dengan cara demikian, dan kapal apakah yang sarat dengan manisnya Cinta telah berlabuh di ranjangnya. Maka pada suatu malam, ketika gadis jelita itu tertidur, ia mengikat salah satu kepangan rambutnya pada lengannya agar ia tak bisa menyelinap pergi, lalu ia memanggil seorang pelayan; dan ketika lilin-lilin dinyalakan, ia pun melihat bunga dari segala keindahan, keajaiban dari segala wanita, cermin dan telur hias milik Venus, sebuah permata mungil Cinta. Ia melihat boneka kecil, merpati yang berkilauan, Fata Morgana, panji, bulir gandum emas; ia melihat pencuri hati, mata elang, bulan purnama, wajah merpati kecil, santapan yang layak bagi seorang raja, sebuah permata; singkatnya, ia menyaksikan sebuah tontonan yang membuat mata terbelalak.
Â
Memandang semua itu, ia berseru, "Sekarang pergilah lompat ke dalam tungku, Dewi Cypria! Lilitkan tali di lehermu, O Helena! Kembalilah ke tempat asalmu, O Creusa dan Fiorella, sebab kecantikan kalian hanyalah kain perca dibandingkan dengan keindahan berlapis ganda ini, kecantikan utuh, sempurna, matang, agung, dan tegap! Inilah pesona yang pantas bersiul, pesona yang menyaingi Seville, pesona sekeras gemuruh halilintar, kelas utama, mulia, tanpa cela, dan di mana tak ada huruf 'z' yang tercemar! O tidur, O manisnya tidur, tumpahkan bunga poppymu ke mata permata jelita ini; jangan ganggu kenikmatan hatiku dalam menatap dengan sepenuh jiwa kemenangan dari kecantikan ini! O kepang indah yang mengikatku; O mata jelita yang menghangatkanku; O bibir indah yang menyegarkanku; O dada elok yang menghiburku; O tangan halus yang menusukku, dari bengkel keajaiban Alam yang mana patung hidup ini tercipta? Dari India manakah emas itu datang untuk menempa rambut ini? Dari Etiopia manakah gading itu didapat untuk membentuk dahi ini? Dari Maremma manakah batu merah berapi ditambang untuk ditanamkan pada mata ini? Dari Tirus manakah merah kirmizi diambil untuk mewarnai wajah ini? Dari Timur manakah mutiara dirangkai menjadi gigi-gigi ini? Dan dari gunung manakah salju diambil untuk ditaburkan di dada ini, salju yang mengkhianati kodratnya, sebab ia justru menumbuhkan bunga-bunga dan menghangatkan hati?"
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130