Mohon tunggu...
Doppo Bungaku
Doppo Bungaku Mohon Tunggu... Pendongeng Pemula

Konon, ada seorang pengembara yang memikul ransel berisi serpihan cerita. Ia mendengar bisikan pohon tua, percakapan api unggun, dan nyanyian anak-anak yang terlupakan. Semua ia simpan, satu per satu, hingga terkumpul menjadi mozaik dongeng yang bisa membuat siapa pun kembali percaya pada keajaiban.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Lo cunto de li cunti atau Pentamerone: Hari Pertama

5 Oktober 2025   09:03 Diperbarui: 5 Oktober 2025   09:03 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu, perempuan-perempuan nista itu masuk dan mengintai, hendak melihat apakah ada penghuni baru, apakah ada pesona lain yang telah menipu mereka dari tangan mereka dan merebut hati sang pangeran. Mereka membuka kamar itu, tetapi tak menemukan siapa pun, dan ketika mereka melihat murad yang indah itu, masing-masing dari mereka mengambil sebatang ranting untuk dirinya sendiri; sedangkan yang termuda mengambil seluruh pucuk tanaman itu, tempat lonceng kecil tergantung.

 

Hampir tak tersentuh, lonceng itu berdenting, dan, mengira bahwa yang datang adalah sang pangeran, peri itu segera keluar. Tetapi begitu perempuan-perempuan jalang itu melihat sosok yang mempesona itu, mereka segera menerkamnya sambil berkata, "Jadi kaulah yang menarik air harapan kami ke kincirmu? Kaulah yang merampas dari tangan kami remah-remah kasih pangeran yang begitu manis? Kaulah 'Nyonya Keagungan' yang berani menguasai daging empuk yang dulunya milik kami? Selamat datanglah kau! Ayo, kini kau berada di papan cincangan! Ah, lebih baik andai ibumu tak pernah melahirkanmu; ayo, sudah waktunya bagimu! Kau sudah menabrak Vaiano! Kali ini benar-benar kau menabrak nasib! Kalau kau bisa lolos dari sini, maka aku tak lahir dalam sembilan bulan!"

 

Sambil berkata demikian, mereka melemparkan sebilah kayu ke kepalanya dan seketika memecahkannya menjadi seratus keping. Lalu masing-masing membawa pulang bagiannya; hanya si bungsu yang enggan turut dalam perkara keji itu, dan ketika saudari-saudarinya mengajaknya berbuat seperti mereka, ia tak menginginkan apa pun kecuali sehelai rambut emas dari peri itu. Setelah puas, mereka semua meninggalkan kamar itu melalui terowongan yang sama.

 

Sementara itu, pelayan datang untuk menyiapkan ranjang dan menyiram pot sebagaimana telah diperintahkan tuannya. Tetapi ketika ia menemukan malapetaka yang mengerikan itu, tubuhnya gemetar, hampir mati seketika. Sambil menggigit tangannya sendiri, ia memungut sisa-sisa daging dan tulang yang ada, dan setelah ia mengikis darah yang menodai lantai, ia mengumpulkan semuanya kembali ke dalam pot yang sama, lalu menyiraminya. Setelah itu, ia merapikan ranjang, menutup pintu, menguncinya, dan, meletakkan kuncinya di bawah pintu, ia pun menyingkir jauh dari kota itu dengan sandal tuanya.

 

Namun kemudian sang pangeran kembali dari perburuan dan menarik benang sutra serta membunyikan lonceng. Ayo, bunyikanlah; mungkin kau bisa menangkap beberapa burung puyuh! Bunyi lagi; mungkin sang uskup sedang lewat! Ia bisa saja membunyikan lonceng itu berulang-ulang; tetapi peri itu tak juga muncul.

 

Maka pergilah ia langsung ke kamar tidurnya, dan karena tak sabar untuk memanggil pelayannya dan meminta kunci, ia menendang pintu hingga terhempas terbuka, masuk, membuka jendela, dan, ketika melihat pot tanpa ranting itu, ia mulai menepuk dadanya dan meratap, berteriak, menjerit, meraung, "Oh celaka aku; oh sunyi aku; oh malang aku! Siapakah yang telah membuat janggut rami ini untukku? Siapakah yang memberiku kartu rendah dalam permainan trionfo? Oh pangeran yang hancur, binasa, tercerai-berai! Oh muradku yang tak berdaun; oh peri yang hilang dariku; oh hidupku yang nestapa! Oh nikmatku, kau telah lenyap seperti asap; oh kesenanganku, kau telah berubah pahit! Apa yang harus kau lakukan, Cola Marchione yang sial? Apa yang harus kau perbuat, orang malang? Lompatlah ke parit ini! Bebaskan dirimu dari derita ini! Segala yang baik telah berakhir bagimu, dan kau tak mengiris lehermu? Kau telah kehilangan setiap harta, dan kau tak mengalirkan darah dari nadimu? Kau telah diperlakukan seperti kotoran oleh kehidupan, dan kau tak segera pergi darinya?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun