Â
Setelah Antuono dari Marigliano diusir oleh ibunya karena menjadi biang segala kebodohan, ia lalu mengabdi pada seorang ogre, yang selalu memberinya hadiah setiap kali ia ingin pulang menengok rumahnya. Namun, tiap kali ia tertipu oleh seorang penjaga penginapan, hingga akhirnya sang ogre memberinya sebuah gada yang menghukumnya karena kebodohannya, membuat si penjaga penginapan menebus tipu muslihatnya, dan membawa kekayaan bagi keluarga Antuono.
Â
"Siapa pun yang berkata bahwa Dewi Fortuna itu buta, tahu lebih banyak daripada tuan Lanza, sumpah demi Tuhan! Sebab ia memang benar-benar menghantam membabi buta, mengangkat orang-orang yang tak pantas sekalipun disuruh mengusir burung dari ladang kacang hingga ke puncak kejayaan, dan menjatuhkan hingga ke tanah orang-orang yang sesungguhnya bunga terbaik umat manusia, sebagaimana kini akan kalian dengar."
Â
"Konon, di kota Marigliano, hiduplah seorang perempuan terhormat bernama Masella. Selain anak-anak perempuannya yang belum menikah, enam gadis kecil kurus kering seperti tongkat, ia memiliki seorang putra yang begitu tolol dan dungu hingga tak sanggup melempar bola salju pun. Maka duduklah ia sepanjang hari seperti seekor induk babi dengan pelana di mulutnya, dan tiada sehari pun berlalu tanpa ia berkata kepadanya: 'Apa gunanya kau tinggal di rumah ini? Terkutuklah roti yang kau makan! Angkat kakimu, dasar tak berguna; enyahlah, biang onar; pergilah jatuh ke lubang, dasar pembuat susah; enyahlah dari pandanganku, tukang melahap kastanye! Pasti kau tertukar di buaian; alih-alih seorang bayi mungil nan menawan, aku mendapat seekor babi rakus pemakan lasagna.' Namun meski ibunya bicara begitu, Antuono hanya bersiul saja."
Â
"Melihat tak ada harapan putranya itu akan berubah menjadi orang baik, pada suatu hari yang sama buruknya dengan hari-hari lain, Masella menghajarnya dengan keras, mengambil sebuah penggilas adonan, lalu ia dipukuli seakan-akan sedang dijahitkan sebuah jaket dari pukulan. Antuono pun merasa seakan-akan ia terkepung, dipagari, dan dipancang ketika ia sama sekali tak menduganya, dan begitu ia bisa lolos dari tangan ibunya, ia pun mengangkat tumitnya tinggi-tinggi dan berlari pergi, hingga menjelang senja, saat lampu-lampu mulai dinyalakan di toko milik Dewi Cynthia, ia sampai di kaki sebuah gunung yang demikian tinggi, seakan-akan tanduknya menanduk awan.
Â
Di sanalah, di atas akar besar sebatang pohon poplar, di depan sebuah gua yang dihiasi batu apung, duduklah seorang ogre. Dan, oh Ibu tersayang, betapa mengerikan rupanya!
Â
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130