Lantas ketika akhirnya suara Jihan terdengar dari sebrang sana, Arkais pada akhirnya mampu mematut wajah lebih rileks, tak segundah dan sekaku asalnya. Ia melegakan tenggorokannya dan berdeham.
"Jihan, surat wasiat milik Gusti sudah ditemukan." ucap Arkais dengan nada agak khawatir.
Telepon tak lagi mengabarkan suara Jihan, melainkan sebuah suara aneh laiknya ada sepasukan semut yang tengah menginvasi telepon tersebut.
Di sebrang sana sepertinya Jihan tengah membenarkan posisinya. Ada sebuah jeda sebelum lontaran pertanyaan bernada getas disampaikan Jihan, "Bagaimana bisa?"
"Sudah kubilang, keputusan kita saat itu begitu gegabah Jihan. Salah satu dari mereka sepatutnya dibawa ke Leiden, seperti rencana awal."Â
Arkais menatap pada cakrawala yang begitu biru, desakan angin memburu tubuhnya yang dibanjiri keringat.
"Jadi sekarang kau menyalahi takdir dan melimpahkan kesalahan seluruhnya padaku? Sementara sejak mereka kita curi, kau dan kebangsatanmu begitu menikmati cuan-cuan yang kau dapat? Begitu caramu bekerjasama, Arkais?"
Suara Jihan terdengar samar-samar, dilatarbelakangi suara debuman pintu, Arkais menebak jika wanita itu kini sedang berbenah dan melesat ke kawasan Dago untuk mencabik-cabik dirinya dengan umpatan.
"Begitu lalainya engkau, Arkais. Jika mau aku balikkan, dulu kau yang sesumbar akan menghadang siapa saja agar kasus ini tak tercium siapa pun, lalu sekarang? Nyatanya suruhan Gusti masih berkeliaran dan mendapatkan bukti itu, sekarang siapa yang gegabah?" cerca Jihan, sekarang ia terdengar tengah menuruni tangga bersama dengan stilleto miliknya yang setia melingkupi kaki.
Hati Arkais berdentam menahan amarah yang nyaris meledak. Ia mengepalkan jemari, membuat amplop coklat yang berisi foto usang dua bayi laki-laki ikut teremat hingga kusut.
"Wanita munafik! Jelas-jelas ini kesalahan kita bersama! Sejak awal tidak ada yang menyalahkanmu, aku hanya berbicara soal seharusnya!"