"Tapi meski dia begitu disayangi di dunia ini, barangkali jiwa sucinya begitu dicintai Tuhan sampai-sampai dijemput dalam waktu yang cepat. Kamala meninggal, Je. Kamala meninggal di sebuah kecelakaan tunggal. Kepulangan Kamala yang tiba-tiba itulah yang membuat Kisan kaget sampai keadaannya separah sekarang. Mama yang salah, Je. Dulu, dulu seharusnya Mama ngga minta keduanya pergi, kalau mereka nggak pergi, Mala nggak akan meninggal kan, Je? Mala pasti sekarang lagi tidur nyenyak di kamarnya dan Kisan. Baik Kiki maupun Mala pasti nggak akan merasa sedih karena dipisahkan. Mama percaya Je, anak kembar itu punya ikatan yang erat. Mereka adalah sebuah jiwa yang dibagi dalam dua raga yang berbeda. Akan tetapi Jeremiah, sekarang Mama ngerasa ikatan batin mereka yang begitu kuat malah bikin keduanya tersiksa-"
"Astaga, udah lewat tengah malam!" Syakira terperanjat. "Sayang, bangun dulu sebentar, ya ... Mama mau ke luar dulu." Syakira terpaksa melepaskan dekapannya dan menyandarkan tubuh Damara yang mulai lunglai ke sandaran sofa dengan perlahan dan hati-hati.
Pintu terkuak dari luar. Bi Amel membawa sebuah nampan yang di atasnya bertengger dua gelas teh manis dan beberapa kudapan. Tanpa kata ia meletakkan nampan itu di meja, beberapa sekon terlewat ia menatap wajah Damara dengan begitu terkesima. Syakira bangkit dari duduknya dan menepuk punggung Amel untut turut serta pergi meninggalkan ruangan.
Berada di ruangan yang sepi dan hanya terdengar suara gemuruh dari tabung oksigen dan sayup-sayup jeritan jangkrik dan tonggeret membuat Damara melamun sambil berjuang melawan kantuk.
Dalam sebuah hubungan yang dinamakan keluarga, Damara tak bisa merasakan esensi hubungan itu terikat bisa seerat apa. Makanya, saat mendengar cerita Syakira dan dua kembar tadi, Damara merasakan ada sedikit rasa kosong dan hampa yang tertinggal di dasar hatinya. Seperti pada sebermula takdirnya dilukiskan di langit, sudah sejak lahir Damara selalu lebih banyak bersinggungan dengan papa. Bercakap dengan Jihan hanya seadanya saja, wanita itu terlalu sibuk untuk merenung di halaman belakang sambil sesekali memotret merpati-merpati putih yang bertamu di danau kecil kediaman mereka menggunakan kamera analog yang usianya lebih tua dari Damara. Kinanti Jayarani, perempuan cantik itu bukan adik kandungnya. Keluarga Panji hidup dengan bongkahan permata dan rahasia yang terkubur dalam dasar samudra atau tertimbun dalam pleistosen bumi paling bawah. Damara tak mampu menjabarkan kisah hidup keluarganya yang begitu rumit bak benang kusut, tapi alangkah lebih baik jika kerumitan dan segala kesukaran yang selama ini tercecap ia telan bulat-bulat dalam kerongkongan. Kemurahan hati Panji dan Jihan begitu mengesani, Damara tak mau memelihara dengki dalam hati dan menodai nuraninya dengan serapah dan sumpah amarah. Meski tak terikat sekuat simpul mati, agaknya bisa tetap tinggal bersama meski saling diam dan terasing bisa jauh lebih baik. Setidaknya untuk sekarang.
Damara mengembuskan napas. Ia meneliti tiap inci ruangan yang lengang. Kamar ini luas dan mewah. Di tempat paling pojok ruangan ada kasur kecil yang belum terisi bantal atau selimut, oh, mungkin tempat orang yang berjaga di sini beristirahat. Ada kursi kecil di samping brankart, nakas, sofa, vas bunga, dirinya dan Kisan Aswangga di ruangan yang disesaki aroma khas rumah sakit ini.
Lamunan Damara lalu pecah seperti gelembung saat Syakira masuk ke ruangan dengan membawa sebuah bantal dan sepotong selimut bulu di tangannya. Damara buru-buru bangkit dan membantu Syakira membawakan kedua barang tersebut, diletakkanlah benda itu di sofa.
"Jeje sayang, terima kasih sudah mengantarkan Kisan. Oh iya, orangtua kamu di mana nak? Kamu ingat nomor teleponnya? Biar Mama hubungi dan meminta kamu menginap untuk sehari, sekarang sudah larut, besok Mama akan bertanggungjawab dan mengantar kamu pulang ke rumah."Â
Damara lalu menceritakan soal bundanya yang meminta untuk menunggu di pasar malam yang tempatnya tak jauh dari sini. Sebab Damara meminta untuk di antarkan ke pasar malam saja dan mengatakan bahwa ibundanya telah menunggu di sana maka Syakira pun mengabulkan keinginan Damara tersebut. Ia menyerahkan sepasang alas kaki yang baru saja dibelinya karena tadi ia melihat Damara datang bertelanjang kaki. Damara mengucap terima kasih, ia senang. Kini Damara dan Syakira terjebak di ruangan yang sama. Syakira di kursi kemudi dan Damara ada tepat di sampingnya, di kursi penumpang. Damara yang memandu jalan, meminta Syakira untuk berbelok atau tetap berjalan lurus saja. Bermenit-menit berlalu, Damara meminta menghentikan laju mobil. Mereka berada pada tempat bekas keramaian yang beberapa jam lalu begitu semarak akan suara namun kini begitu sepi, tak ada orang. Hanya ada gerai dan tenda-tenda yang tutup dan wahana yang telah dibongkar seluruhnya.Â
"Bunda kok ngga datang?" Damara bermonolog. Ia berjalan pelan menuju pohon kersen tua yang beberapa waktu lalu menjadi tempatnya untuk menunggu. Syakira berjalan di belakang, mengikutinya.Â
Damara nampak murung saat berjongkok. "Ma ... tadi Bunda minta Jeje nunggu di sini. Tapi Bunda ngga datang."