"Rumah Chaanakya th masih jauh teman-teman. Lebih baik kita istirahat dulu, kaki aku pegel banget jalan dari tadi. Mana ini tasnya berat pisan." Saking capeknya, atau mungkin tingkah Jengga yang terlalu hiperbola, ia sampai berjalan terseok-seok sambil menundukkan badan dengan tangan yang menggantung nyaris mengenai tanah.
Baskara kemudian berceletuk yang bikin wajah Jengga kesal. "Ih, urang ada ide! Kertas gunting batu, yang kalah manggul tas punya semua, cemerlang kan?"
Jenggala menghentikan langkah, ia mengutarakan ketidak setujuan dengan sungguh-sungguh. "Ih, nggak mau. Berat banget. Ini juga satu udah bikin punggung ringkih."Â
"Kumaha kalau yang dapet aku, kan kamu enak jadi ngga cape lagi. Iya kan, Kak Nara?" Baskara itu orangnya tak kenal apa itu menyerah. Dengan wajah yang dibuat semeyakinkan mungkin ia menatap Lunara, meminta agar usulannya diterima.
Lunara hanya menatap keduanya bingung, sudah pusing mau menanggapi apa lagi.
"Tuh, Nara aja ngga setuju. Berarti idenya ngga menguntungkan." Jenggala balik berjalan seperti sedia kala.Â
"Menguntungkan lah, gimana mau bilang rugi kalau belum dicoba?" Baskara sebenarnya sangat ingin membanting tas gitar yang membuat bahunya kebas, tapi ia tahan-tahan. Sebab jika dia melakukan hal tersebut, formasi besok pagi bisa kacau jika tidak ada yang mengiringi.
Jenggala itu di antara semua anggota Serikat Hujan adalah orang yang paling mudah dibodohi.Â
Baskara sudah terkekeh-kekeh. Ia tersenyum cerdik.
"Udah, Jengga. Pasti capek kan gendong tas berat banget? Makanya usul ini bakal sangat berguna dan menguntungkan kalau kamu menang."Â
Lunara menutup kedua matanya menggunakan telapak tangan, ia mengusap wajahnya kasar.