Mohon tunggu...
Shabilla Putri Bintang Pratama
Shabilla Putri Bintang Pratama Mohon Tunggu... XII MIPA 5

Salam sejahtera untuk semua rekan-rekan pembaca dan penulis. Mari saling berinteraksi guna meningkatkan literasi di negeri tercinta kita ini!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kereta Terakhir

20 Februari 2022   10:46 Diperbarui: 21 Februari 2022   20:20 1437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Stasiun Kepulangan

Gerbong-gerbong kereta meliuk-liuk seirama angin yang terhunus menuju langit.  Pada peron-peron yang dingin, sefigur makhluk immortal membawa sebuah kabar yang akan tertelusur nantinya ke seluruh daratan bumi, dinginnya samudra, maupun tangguhnya langit yang sering terimbas petir. Seseorang telah tiada. Tanah merah gembur itulah buktinya. Tangis kering itulah saksinya. Ribuan doa dan kata tabah sering kali membuat penuh telinga. Sedihnya hari membuat kegamangan dan muram begitu meraja.  Lewat gelas-gelas kopi yang telah raib. Tandas. Seseorang berduka lebih dari apa yang orang lain kira.

Bendera kuning dikibarkan di depan rumah. Ada yang tiada, tapi tak mengapa. Kini dirinya telah ikhlas dan tabah.

Tiga, dua, satu, selamat berbincang dengan isi hati Kisan Aswangga!

Kisan pikir: duka nestapa pasti pernah menghampiri manusia, entah entitasnya yang datang secara langsung maupun yang datang dengan cara yang paling tak disadari. Hadirnya selalu beriring dengan suka cita, entah mereka datang silih berganti dalam kurun waktu yang sangat dekat, pun bisa jadi mereka datang sebagai dua hal terpisah dengan jeda masa yang lumayan lama, berjarak hingga mencipta banyak ruang yang dengan mudahnya dirasuki kenangan. Mereka datang sebagai pembuka dan penutup.

Ada dua hal yang bisa saja terjadi. Pertama, lara datang sebagai pembuka dan suka datang sebagai penutup. Mereka yang mendapat nasib seperti ini, biasanya akan lebih mengerti arti kata 'juang' dalam hidup. Tapi karena filosofi hidup ini mirip dengan roda yang berputar, tentu manusia juga akan mengalami hal lain yang tak dapat dihindari. Ada hal lain yang pada realitanya sama-sama pahit macam hal pertama. Bagian keduanya adalah, di mana suka datang sebagai pembuka dan lara ditempatkan sebagai penutup rasa, mencipta rasa pedih tak terbatas karena jutaan kenangan terlalu banyak  terukir diantara dinding rasa. Terkoyak lalu kemudian membuat sang empu hati terpuruk.

Intinya adalah, duka dan suka merupakan satu hal yang di mana hadirnya mereka harus tetap seimbang. Jatuh-bangun-bangkit-jatuh-bangun-bangkit. Hadirnya ada untuk mengajarkan manusia tentang bagaimana rasanya sakit, juga, mengajari manusia tentang bagaimana rasanya bahagia.

Apa-apa yang terjadi di dunia ini, di semesta ini diluar kehendak manusia, semua ini tercipta dan ada karena sang Mahakuasa.
Demikian dengan rasa yang menginginkannya tetap ada, tetap bertahan, enggan melepas, enggan memisah, semua itu sudah menjadi seleksi, sudah menjadi satu kehadiran mutlak saat seorang insan begitu menyayangi.

Segala yang berlebihan memang tidak baik. Demikian dengan rasa sayang yang begitu membludaknya, bak air tanpa bendungan, akan mencipta getir yang menyiksa saat orang  yang disayang berlalu pergi. Meninggalkan. Rasa yang pernah tercipta, sudi tidak sudi, mau tidak mau, akan mencipta palung-palung lain di dalam hati.

Segalanya akan menciptakan sebuah kegetiran tak manusiawi.

Mencipta duka, mencipta perih tak terbatas.

Aswangga itu kini mengerang, menatap pada sebuah nisan kayu yang baru diukirnya tadi.

Dua Kembar yang Tabu

Hari Minggu bisa jadi merupakan hari yang sangat sakral sekaligus spesial bagi pasangan Saki dan Arka. Kelahiran buah hati yang begitu mencipta kelegaan sekaligus haru, karena pada akhirnya mereka bisa melihat dua buah hati yang begitu menggemaskan dengan pipi gembul kemerahan setelah penantian yang begitu panjang.

Dua anak kembar yang begitu lugu, akhirnya datang disambut semesta. 

Dua anak lelaki yang nantinya bisa melindungi keluarga, saling menyayangi dan menjaga.

Mereka adalah, Kisan dan Kamala. Dua pribadi yang sama, tetapi dengan sikap yang sangat berbeda. 

Kisan Aswangga, sang Kakak yang pertama kali melihat jagat, sudah sedari kecil memiliki pribadi yang dingin dan sangat pelit bicara. Dirinya dan Kamala memang dekat, ia lebih banyak bicara pada kembarannya ketimbang berbicara pada orang-orang termasuk Saki dan Arka. Ayah bundanya sendiri!

Berbanding terbalik dengan sang Adik, Kamala Gersa. Berisik dan tidak bisa diam. Kurang lebih seperti itu kelakuannya selama ini, ceria, sering tersenyum, terbuka dan yang paling membuat Kisan geli dengan kelakuannya ini adalah, Kamala sering bertingkah konyol. Ya, memang, sih tingkahnya itu membuat gelak tawa orang di sekitarnya, tetapi hal itu justru membuat kembarannya terlihat bodoh sewaktu-waktu. 

Seperti pada saat mereka berusia tujuh tahun misalnya, dahulu, Kamala sering meminta pada Bunda untuk dibelikan permen berbentuk hati yang dilumuri gula-gula pasir. Saat senja datang, dengan cara paling tidak manusiawi Kamala selalu menyeret Kisan ke taman bermain. Untuk hanya sekadar melihat sang mentari tenggelam, atau hanya bermain di perosotan.

Seperti hari-hari kemarin ia selalu menyisipkan bungkusan permen miliknya di saku celana. Saat Kisan bertanya, mengapa Kamala selalu membawa permen itu? Maka Kamala selalu menjawab, "Biar Kiki gak jajan lagi."

Hari itu, tidak seperti biasanya, taman komplek yang biasanya sepi mendadak ramai oleh anak-anak dan beberapa ibu rumah tangga yang duduk di bangku kayu sembari memegang mangkuk kecil berisi nasi yang dilengkapi sup beragam isi.

Kamala tentu saja girang, tapi tidak dengan Kisan. Ia malah duduk di bawah pohon mangga tak mempedulikan Kamala yang mencipta kegaduhan di perosotan hingga membuat beberapa pasang mata menoleh kearahnya. 

"Kiki! Ih,sini! Katanya mau main?!" Teriak Kamala. Ia berdiri di anak tangga paling atas sembari berkacak pinggang, tak mempedulikan antrean dibelakang yang memintanya agar cepat-cepat turun.

Kisan melengos, ia bangkit dan berjalan ke arahnya datang barusan, bermaksud kembali ke rumah karena ia sangat benci dengan suara bising yang begitu menusuk rungu.

"Kamu main aja sendiri, aku mau pulang." Begitu ucapnya. Lidahnya masih basah, bibirnya juga masih hangat setelah barusan mengucap kata pulang. Tapi niatnya itu ia urungkan saat telinganya mendengar suara jatuh yang begitu keras.

Kamala jatuh dari perosotan, terpeleset karena salah satu anak dibelakangnya terus saja mendorong badan Kamala yang masih mungil dan kurus, hingga pada akhirnya kaki kecil yang baru saja melangkah hendak meluncur malah terhuyung ke sisi perosotan, ia jatuh dengan posisi telungkup dan dagu yang terlebih dulu menghantam kerasnya tanah. Bibirnya berdarah, barangkali tergigit giginya sendiri, seolah tak terjadi apa-apa ia malah buru-buru bangkit berdiri, menepuk lututnya yang kotor dan kemudian tersenyum dengan darah yang menggenang diantara gigi-gigi nya,

"Mala lagi akting jadi stuntman tante. Mala gak papa." Ujarannya memang santai, disaat genting seperti ini Kamala masih sempat menampakkan pose berguling di tanah lalu kemudian mengambil ranting kayu, menggunakannya sebagai alat peraga pengganti pistol. Tapi Kisan yakin jika ia hanya berdua dengan Kamala, adiknya itu pasti sudah menangis terjerit-jerit sembari bergulingan di tanah dengan dramatis.

Ibu yang letak duduknya paling dekat dengan Kamala cepat-cepat menghampiri dengan selembar tissue di tangannya, demikian dengan Kisan, meski adiknya itu terkadang menjengkelkan dan selalu berisik, gelenyar pedih dan rasa tak terima tiba-tiba menggerogoti hatinya. Ia datang dengan langkah terhentak-hentak dan pipi yang tergembung penuh.

"Tante jangan pegang adik aku!" Tangan kecilnya meraih tangan Kamala,

"Kamu juga, kan kata aku jangan main kesini, jadinya jatuh, kan?! Ngeyel!" Meski menurutnya tampangnya kali ini terlihat sangat garang dan galak terbukti dari sikap Kamala yang beringsut berdiri di belakang Kisan dengan lengan yang sibuk meremat kaus bajunya. Tapi tidak dengan ibu-ibu yang melihat kejadian itu, hati mereka menghangat, persaudaraan yang solid dan peduli. Bagaimana cara Kisan mengelap darah yang menggenang di bibir Kamala dengan menggunakan kaus bajunya nampak menggemaskan, dengan pakaian dengan model yang sama tapi dengan warna yang tak senada kian menambah aura kembar mereka menguar dengan kentara. Juga cara Kisan mengomeli Kamala dengan berapi-api, melarangnya dengan gaya bicaranya yang masih cadel mengucapkan kata tertentu membuat ibu-ibu yang ada di taman itu tersenyum.

"Jangan jadi kayak anak ayam gitu! Jangan nangis! Cengeng!" Kisan sibuk menepuk bagian baju Kamala yang kotor. Lalu kemudian geram kembali datang menggerayangi. Kisan menghadiahi anak laki-laki dengan gaya rambut mirip jamur itu dengan pelototan paling horror yang paling ia miliki. Seperti predator yang merasa teritorinya terganggu Kisan semakin membelalakkan matanya hingga membuat yang ditatap menciut takut.

Ibu berkaus hitam yang merasa anaknya menjadi penyebab jatuhnya Kamala kemudian melambaikan tangannya ke arah anak laki-laki tadi. Menyuruhnya berjalan mendekat lalu berkata dengan nada lembut, tak ada niat untuk memarahi dan menyudutkan,

"Sagara mau nggak nolong Mama?" Ia berlutut, membuat rok lipit yang dipakainya menyentuh tanah merah yang lembab. Anak yang ternyata bernama Sagara itu kemudian mengangguk, masih tertunduk--jangan lupakan Kisan yang masih menatapnya dengan tatapan horror.

Ibu itu tersenyum lalu kembali melambaikan tangannya pada Kamala, membuat Kamala berjalan ke arahnya tanpa ada gurat dendam atau marah sedikitpun. Ia dengan tatapan polosnya mendekat, dan kemudian tersenyum. Giginya masih nampak kemerahan, sisa jejak darah yang sudah mulai berhenti masih nampak jelas.

"Nak, jabat tangan kakaknya. Kakaknya baik lho, nanti Sagara bisa berteman sama Kakak ini, Sagara bisa nambah teman." Ibu itu kembali tersenyum, Sagara nampak ragu namun tangannya terulur juga pada akhirnya. Hal ini disambut hangat oleh Kamala, masih dengan senyuman lugunya ia menjabat tangan Sagara dengan hangat,

Sagara tentu mengerti akan hal ini, ia kemudian berujar, "Kak Mala, Gala minta maaf, ya? Gala salah." Dengan wajah tertunduk ia mengucapkannya dengan pelan namun masih bisa jelas didengar.

Kamala masih sempat tertawa mendengar ucapan Sagara yang nampak sulit mengucap namanya sendiri. Ia cadel, sama seperti Kisan. "Ah, gak pa-pa. Mala maafin, tapi kalau mau dorong-dorongan jangan di atas, dong, aku kan belum ahli jadi aktor lompat-lompat jungkar-jungkir, kalau sekarang kan aku masih selembek tahu, jatuh dikit aku jadi kaya tahu penyet, kan? Gausah sedih dong, aku gak akan gigit kamu." Kamala dengan ucapannya yang berapi-api terpaksa menghentikan sesi maaf-maaf-an nya itu karena Kisan sudah menarik ujung bajunya meminta untuk menghentikan serentetan kalimat yang akan diucapkan lebih panjang lagi.

"Udah hayu, pulang!" 

"Atuh, sebentar..."

"Mama nanti nyariin, Mala." Kisan menarik tangan Kamala, membuat jabatan tangan Kamala dengan Sagara terputus begitu saja.

Lain halnya dengan Kisan yang nampak tak peduli dengan sekitar, dan berjalan begitu saja tanpa menoleh kebelakang, Kamala malah berbalik dan melambaikan tangannya tinggi-tinggi kemudian berteriak keras, membuat Kisan terpaku di tempatnya untuk sesaat, ia menggeram tapi tak memarahi Kamala yang berisik itu, justru malah kian menarik tangan kembarannya untuk lebih cepat mengais langkah,

"DADAH SEMUA! MALA SAMA KIKI PULANG DULU, YA! TANTE MAKASIH, SAGARA BESOK KITA MAIN LAGI, OKE!"

Kehebohannya tak bertahan lama, karena pada saat ditikungan jalan dan jarak mereka ke taman sudah lumayan jauh, Kamala--yang sudah bisa ditebak oleh Kisan--mengucapkan kata aduh dan meringis berkali-kali.

"Aduh... Aduh... Aduh...." 

"Ck. Dasar ngeyel." Kisan menghentikan langkahnya lantas kemudian kembali mengelap darah yang kembali mengalir dari ujung bibir Kamala itu dengan kaus bajunya yang bersih. 

"Jangan banyak ngomong dulu. Luka kamu tuh gede, Kamala. Makin gede lagi nantinya kalau kamu banyak omong, nurut sama aku!" Sementara Kisan yang masih nampak galak, sedih, sakit, sekaligus tak terima kembaramnya terluka itu dibalas dengan senyuman Kamala yang khas, ia hanya menunjukkan senyum itu sebagai isyarat, seperti, Aku nggak pa-pa. Memcoba untuk menenangkan orang di sekitarnya.

Bagaimana matanya yang ikut melengkung saat tersenyum, juga gigi-gigi kemerahan itu menjadi satu dari sekian memori yang akan sangat Kisan jaga baik-baik di dunia ini.

Senyum yang akan Kisan rindukan sekarang, besok, nanti, dan selamanya.

Kisan masih ingat kenangan itu, mengingat Kamala yang ngambek karena Kisan memberi tahu mama bahwa Kamala jatuh dari perosotan, mengingat kejadian itu selalu membuatnya tertawa getir.

Kisan bahkan masih ingat bahkan sangat ingat saat malamnya Kamala menolak tidur satu kamar lagi dengannya, Kamala tidur bersama Mama dan Papa di kamar utama, Kisan tak mencegahnya karena tahu, entah itu saat tengah malam atau menjelang pagi Kamala pasti kembali ke kamar dengan memeluk guling, kemudian kembali ke kasurnya sendiri seolah tak terjadi apa-apa.

Dan benar saja, saat malam tepatnya pada pukul sebelas-lewat-lima Kamala datang, membuka pintu, tapi ia tak langsung masuk, hanya menyalakan saklar lampu di sampingnya, berdiri di ambang pintu sembari menatap bimbang pada Kisan kecil yang tengah duduk di kursi goyang sembari mengusap bulu Titi--kucing kesayangannya yang tengah tertidur di pangkuan.

"Lho, kok balik? Katanya gak mau tidur sama aku?" Kisan berujar sarkastik.

"Aku nggak bisa tidur." Ia lalu berjalan ke kasurnya sendiri, tepatnya disamping kasur Kisan. Menyerukkan kepalanya ke bantal tanpa mau menatap kembarannya itu, merasa bimbang, mungkin?

"Aku udah ngira, sih. Dari zaman zigot kan kita udah bobo bareng, makanya aku yakin kamu gak akan betah tidur sendiri." 

Kamala tak menjawab ucapan kembarannya itu, ia malah bangkit dan berjalan ke arah jendela, membukanya tanpa menaikkan tirai, membuat semilir angin masuk ke kamar dan menggoyang-goyangkan tirainya dengan khidmat.

Kamala berdiri dengan gamang di samping jendela, memainkan gelang yang dipakainya, gugup melanda, Kamala kemudian berujar pelan. "Maaf, Kiki. Mala nggak seharusnya ngambek sama kamu." 

"Gak usah minta maaf, ngambeknya terusin aja padahal." Kisan masih sarkas, entahlah di malam itu sikapnya pada Kamala jadi lebih dingin dari biasanya.

Tak mempedulikan Kamala, Kisan bangkit dan meletakkan Titi di keranjang samping nakas, menyelimutinya dengan selimut kecil kemudian beranjak ke kasurnya sendiri.

"Sana tidur. Udah malem." Ucap Kisan. Ia menatap saudaranya dengan sinis.

Bugh! Baru saja Kisan meletakkan kepalanya di bantal yang empuk, kasurnya sudah ditapaki mahkluk asing yang tiba-tiba melompat, imigran gelap membuat kasurnya bergoyang hebat.

Kamala melompat ke kasur Kisan. Membuat suara decit yang begitu nyaring, juga suara ringisan Kisan yang tertimpa tubuh Kamala akan membuat siapa saja iba karena kecil begitu, bobot Kamala juga lumayan berat. Dengan cara yang paling tidak manusiawi Kamala menggoncang tubuh kembarannya keras-keras hingga membuat Kisan mendelik, 

"Kamu tuh berat, Kamala!" Kisan Aswangga berteriak keras, raut wajahnya tampak kesal luar biasa.

"Makanya jangan tidur dulu!" Kamala balik berteriak, ia mengeluarkan permen pink berbentuk hati dari saku piyamanya, membuka bungkusan kemudian menjejalkan isinya ke mulut Kisan.

"Jangan marah, ya? Kan aku udah kasih permen." Ia kembali menggoncang tubuh Kisan tetapi kini tak sekeras tadi.

"Iya." Ingin cepat-cepat tidur, jadi Kisan mengiyakan  saja ucapan adiknya tersebut.

Wajah Kamala yang tampak aneh sekarang, ia seoalh-olah meneliti kebohongan dari ucapan saudaranya, "Janji?"

"Nggak janji," kata Kisan.

"Janji dulu!"

"Iya, janji." Kisan sebenarnya tidak ingin berjanji. Tapi jika ucapan Kamala tidak dituruti buntutnya akan panjang. Demikian juga jika ia tak menanggapi ucapan adiknya, niscaya ia tidak akan bisa tidur sampai fajar datang.

"Malam ini aku mau tidur disini. Kasur aku dingin. Takut juga soalnya dari tadi tirai nya goyang-goyang terus, boleh, ya?" Tanpa menunggu persetujuan Kisan, Kamala sudah lebih dulu berbaring terlentang dan memejamkan matanya.

Hal itu membuat Kisan menghela nafas, kembaran, teman, adik, sekaligus sobat karibnya itu memang ceroboh, bajunya tersingkap dan udara sedingin ini ia masih bisa se santai itu!? Benar-benar.

"Bobo tuh yang bener, Mala. Pamali kamu, teh!" Menggerutu pelan, Kisan membenarkan posisi baju Kamala seperti semula lalu kemudian menarik selimut bergambar Ultraman hingga ke leher Kamala. 

Setelah menutup jendela yang tadi dibuka Kamala. Kisan ikut berbaring di samping tubuh adiknya, wajahnya masih sekaku jemuran yang sudah seminggu tak diangkat, tapi nada suaranya menyiratkan kepedulian yang kentara,

"Tidur nyenyak, Mala." Kesadaran yang asalnya dipeluk raga perlahan memudar disambut alam mimpi yang begitu membuat terlena. Temaramnya cahaya yang masuk dari ventilasi udara dan aroma pengharum ruangan beraroma minyak sereh bak buai nada yang begitu menjerumus jiwa.

Dewi Malam mengayun rasa, memori menangkap apa-apa yang tak ingin manusia ingat. Tapi sudah dasarnya seleksi alam tak bisa dihindari, rasa hangat tidur bersama, berbagi cerita dan saling peduli begitu saja membuat rindu menggenang ganas, membuat air bah tanpa bisa dicegah tumpah dan meluap sewaktu-waktu, mengalir diantara sendu dan teriakan pilu.

"Segala yang lalu tak bisa diputar kembali. Apa-apa yang terjadi sekarang nikmatilah. Sayangi dan cinta apa yang ada. Karena pada saat satu entitas hilang dari lingkar hidup, suka tak suka mau tak mau, hati akan mencipta palung baru, kesedihan tiada batas. Tak terbendung. Begitu mengigit."

Redemption halaman 23.
Kisan Aswangga


Tanpa daya, Damara terduduk kikuk di atas sofa. Kedua matanya manatap bingung pada Kisan yang tengah terlelap di atas brankart, sesekali ia merasa tengkuknya meremang, Syakira tak henti-henti menatapnya dengan pandangan lekat. 

Syakira duduk di samping Damara, posisi sofa yang berada di sisi kiri ruangan membuat keduanya berhadapan dengan brankart Kisan meski harus terhalangi meja kaca kecil. Rambut Syakira yang hitam, bergelombang dan mengilat terurai sekenanya di punggung. Blus terusan berwarna putih ia pakai dengan nyaman. Kilat-kilat kelembutan dan kesucian hati memburu lewat bola matanya yang setenang telaga. Syakira meminta pada wanita yang ada di sampingnya untuk menyajikan teh, suaranya lembut tapi begitu lirih saat berbicara. 

"Jeje, nama kamu Jeremiah kan, sayang? Mama boleh panggil kamu dengan sebutan itu?" Matanya mengerjap lelah, ia menggunakan sapu tangan yang selama ini tergenggam di tangan untuk menyeka jejak air mata yang tadi begitu membadai.

Damara lalu mengangguk mengiakan. "Boleh, Tante." jawab Damara.

Syakira menarik napasnya. Lama sekali ia tahan, kemudian ia mengembuskannya dengan begitu berat. Cekungan pada matanya tak segelap milik Kisan, tapi Damara tahu, wanita ini sudah terlalu lama berjaga dan tak mengambil jeda untuk rehat.

"Kalau Jeje nggak keberatan, panggil aja dengan sebutan Mama, nak ...." 

Belakangan Damara tahu, nama wanita ini adalah Syakira Prabasari. Namanya begitu cantik dan juga indah, seperti nama ibundanya. Damara lalu kemudian mengangguk sambil tersenyum sumir. Ia tak tahu harus menanggapi perkataan Syakira dengan jawaban apa.

"Nama dia Kisan Aswangga." Syakira mulai bercerita. Tangannya membawa kepala Damara bersandar dalam pelukannya, detakan jantung Syakira berdentam-dentam seirama. Jemari lentik itu kini mulai mengusap pucuk kepala Damara dengan sayang. Damara tak merasa keberatan tapi kewaspadaan selalu kepalanya deringkan. Ia merasa nyaman didekap seperti ini. Lucunya yang mendekapnya dengan hangat adalah wanita asing yang baru saja ia temui.

"Mama punya dua anak. Kembar. Yang satu susah diajak bicara, dia mau bersuara kalau dia mau aja. Anaknya penyendiri, Mama dulu sempat takut dia kenapa-napa. Ternyata memang tabiatnya saja yang begitu." Syakira menyela pembicaraannya denyan sedikit tawa yang renyah.

"Kisan cuma mau banyak bicara sama saudaranya. Itu juga jarang dia perlihatkan dihadapan banyak orang, anaknya gengsi. Emosi anak itu stabil kalau dihadapan orang-orang. Tapi Je, tau nggak? Sebenarnya Kisan itu cengeng, kembarannya suka ngadu ke Mama diam-diam kalau lagi di dapur masak bareng-bareng. Kami sering bergosip ngomongin Kisan kalau dia lagi sibuk mandiin kucing di halaman depan. Cekikikan bareng."

Damara kembali tersenyum, wah, pantas saja ....

"Anak mama yang satu, namanya Kamala Gersa, Je. Dari lahir dia yang paling sering nangis dan aktif banget bangun tengah malam, bahkan sampai pagi! Anaknya sering banget bercanda, banyak bicara, ceria, dia ngga sungkan menunjukkan perasannya ke orang-orang. Kalau dia takut ya dia bilang takut. Kalau dia sedih suka langsung keliatan dia sedih, kalau dia senang dan mood nya lagi baik, Kamala sering banget bagi-bagi permen. Rasa stroberi, lucunya anak mama yang itu paling ngga doyan sama buah stroberi, tapi karena Kisan suka, dia jadi sering beli. Anak itu bisa mendadak jadi pendiam, tapi mama tahu, dia cuma lagi butuh istirahat karena capek energinya terkuras." 

Damara merasakan pucuk kepalanya dihujani sesuatu. Syakira kembali menangis dalam diam.

"Je, Kamala itu pelindung dan pelipur keluarga kami yang sering kesepian. Dia anak yang tangguh. Mama merasa sangat bersalah karena dia harus menanggung tanggungan untuk menjadi ceria buat ngehibur Mama atau Kisan yang lagi sedih. Je, kalau kamu ketemu Kamala kamu pasti bakal kaget, dia suka ngelakuin hal yang gak bisa kamu tebak, mama aja sering geleng-geleng kepala. Apa-apa dilakukan tanpa pikir panjang, spontan. Kamala juga paling ngga suka brokoli, tiap makan malam kalau dia nemuin sayuran itu di piringnya pasti langsung menjerit dramatis, pura-pura pingsan pas Kisan nyuruh dia makan. Kalau udah diseret sama kembarannya baru dia mau ikut gabung, meski tetap ngomel-ngomel dan makan dengan lauk yang lain."

"Je, kamu suka makanan apa?" tanya Syakira tiba-tiba.

Punggung Damara mendadak menegang. Apa ya makanan kesukaannya? Damara tidak tahu. Karena sering memakan kacang mete sembunyi-sembunyi sampai kenyang, Damara jawab saja makanan kesukaannya adalah kacang mete.

"Kacang mete, Ma." jawab Damara.

"Nanti kalau Kisan udah bisa pulang ke rumah, kamu main ke rumah Mama ya nak? Kita makan kacang mete bareng-bareng!"

Damara kemudian mengangguk antusias.

"Iya, Ma."

"Je, maaf tadi Mama lancang mengira kamu adalah Kamala. Kamu pasti kaget. Kepergian Kamala yang begitu cepat membuat Mama sering berdelusi bisa ketemu sama sosok jagoan Mama yang satu itu. Mama minta maaf ya, Je ...." 

Damara tak bersuara. Ia hanya mengangguk kecil memberi jawaban. Diusap selembut ini membuat kantuk menyerangnya dengan telak.

"Tapi meski dia begitu disayangi di dunia ini, barangkali jiwa sucinya begitu dicintai Tuhan sampai-sampai dijemput dalam waktu yang cepat. Kamala meninggal, Je. Kamala meninggal di sebuah kecelakaan tunggal. Kepulangan Kamala yang tiba-tiba itulah yang membuat Kisan kaget sampai keadaannya separah sekarang. Mama yang salah, Je. Dulu, dulu seharusnya Mama ngga minta keduanya pergi, kalau mereka nggak pergi, Mala nggak akan meninggal kan, Je? Mala pasti sekarang lagi tidur nyenyak di kamarnya dan Kisan. Baik Kiki maupun Mala pasti nggak akan merasa sedih karena dipisahkan. Mama percaya Je, anak kembar itu punya ikatan yang erat. Mereka adalah sebuah jiwa yang dibagi dalam dua raga yang berbeda. Akan tetapi Jeremiah, sekarang Mama ngerasa ikatan batin mereka yang begitu kuat malah bikin keduanya tersiksa-"

"Astaga, udah lewat tengah malam!" Syakira terperanjat. "Sayang, bangun dulu sebentar, ya ... Mama mau ke luar dulu." Syakira terpaksa melepaskan dekapannya dan menyandarkan tubuh Damara yang mulai lunglai ke sandaran sofa dengan perlahan dan hati-hati.

Pintu terkuak dari luar. Bi Amel membawa sebuah nampan yang di atasnya bertengger dua gelas teh manis dan beberapa kudapan. Tanpa kata ia meletakkan nampan itu di meja, beberapa sekon terlewat ia menatap wajah Damara dengan begitu terkesima. Syakira bangkit dari duduknya dan menepuk punggung Amel untut turut serta pergi meninggalkan ruangan.

Berada di ruangan yang sepi dan hanya terdengar suara gemuruh dari tabung oksigen dan sayup-sayup jeritan jangkrik dan tonggeret membuat Damara melamun sambil berjuang melawan kantuk.

Dalam sebuah hubungan yang dinamakan keluarga, Damara tak bisa merasakan esensi hubungan itu terikat bisa seerat apa. Makanya, saat mendengar cerita Syakira dan dua kembar tadi, Damara merasakan ada sedikit rasa kosong dan hampa yang tertinggal di dasar hatinya. Seperti pada sebermula takdirnya dilukiskan di langit, sudah sejak lahir Damara selalu lebih banyak bersinggungan dengan papa. Bercakap dengan Jihan hanya seadanya saja, wanita itu terlalu sibuk untuk merenung di halaman belakang sambil sesekali memotret merpati-merpati putih yang bertamu di danau kecil kediaman mereka menggunakan kamera analog yang usianya lebih tua dari Damara. Kinanti Jayarani, perempuan cantik itu bukan adik kandungnya. Keluarga Panji hidup dengan bongkahan permata dan rahasia yang terkubur dalam dasar samudra atau tertimbun dalam pleistosen bumi paling bawah. Damara tak mampu menjabarkan kisah hidup keluarganya yang begitu rumit bak benang kusut, tapi alangkah lebih baik jika kerumitan dan segala kesukaran yang selama ini tercecap ia telan bulat-bulat dalam kerongkongan. Kemurahan hati Panji dan Jihan begitu mengesani, Damara tak mau memelihara dengki dalam hati dan menodai nuraninya dengan serapah dan sumpah amarah. Meski tak terikat sekuat simpul mati, agaknya bisa tetap tinggal bersama meski saling diam dan terasing bisa jauh lebih baik. Setidaknya untuk sekarang.

Damara mengembuskan napas. Ia meneliti tiap inci ruangan yang lengang. Kamar ini luas dan mewah. Di tempat paling pojok ruangan ada kasur kecil yang belum terisi bantal atau selimut, oh, mungkin tempat orang yang berjaga di sini beristirahat. Ada kursi kecil di samping brankart, nakas, sofa, vas bunga, dirinya dan Kisan Aswangga di ruangan yang disesaki aroma khas rumah sakit ini.

Lamunan Damara lalu pecah seperti gelembung saat Syakira masuk ke ruangan dengan membawa sebuah bantal dan sepotong selimut bulu di tangannya. Damara buru-buru bangkit dan membantu Syakira membawakan kedua barang tersebut, diletakkanlah benda itu di sofa.

"Jeje sayang, terima kasih sudah mengantarkan Kisan. Oh iya, orangtua kamu di mana nak? Kamu ingat nomor teleponnya? Biar Mama hubungi dan meminta kamu menginap untuk sehari, sekarang sudah larut, besok Mama akan bertanggungjawab dan mengantar kamu pulang ke rumah." 

Damara lalu menceritakan soal bundanya yang meminta untuk menunggu di pasar malam yang tempatnya tak jauh dari sini. Sebab Damara meminta untuk di antarkan ke pasar malam saja dan mengatakan bahwa ibundanya telah menunggu di sana maka Syakira pun mengabulkan keinginan Damara tersebut. Ia menyerahkan sepasang alas kaki yang baru saja dibelinya karena tadi ia melihat Damara datang bertelanjang kaki. Damara mengucap terima kasih, ia senang. Kini Damara dan Syakira terjebak di ruangan yang sama. Syakira di kursi kemudi dan Damara ada tepat di sampingnya, di kursi penumpang. Damara yang memandu jalan, meminta Syakira untuk berbelok atau tetap berjalan lurus saja. Bermenit-menit berlalu, Damara meminta menghentikan laju mobil. Mereka berada pada tempat bekas keramaian yang beberapa jam lalu begitu semarak akan suara namun kini begitu sepi, tak ada orang. Hanya ada gerai dan tenda-tenda yang tutup dan wahana yang telah dibongkar seluruhnya. 

"Bunda kok ngga datang?" Damara bermonolog. Ia berjalan pelan menuju pohon kersen tua yang beberapa waktu lalu menjadi tempatnya untuk menunggu. Syakira berjalan di belakang, mengikutinya. 

Damara nampak murung saat berjongkok. "Ma ... tadi Bunda minta Jeje nunggu di sini. Tapi Bunda ngga datang."

"Jeje ngga tahu jalan pulang, Ma. Jeje ngga tahu nomor telepon Papa."

"Jeje ikut sama Mama aja yuk. Sambil nunggu pagi tiba, Jeje istirahat di sana. Besok Mama antar lagi ke sini, nunggu di sini sampai pagi gak baik untuk kesehatanmu, nak."

Damara bimbang, tapi benar kata Syakira. Siapa tahu besok Bunda datang menjemputnya. Semoga saja.

"Iya, Ma. Jeremiah ikut Mama."

Berbeda dengan Jihan yang hobi mengenakan stiletto seorang Syakira dengan penuh kesederhanaannya hanya memakai sepatu tanpa hak berwarna hitam polos. Mereka masuk ke dalam Jeep. Tak ada yang mengonsumsi percakapan. Damara keburu lelah dan tertidur di kursi penumpang. Syakira tersenyum sambil mengetuk-ngetuk kemudi.

"Jagat semesta entah sedang menguji atau memberiku sebuah pelipur hati. Tuhan, lindungilah Kamala. Sembuhkanlah Kisan, serta ... berilah kebahagiaan abadi pada sosok yang begitu rapuh ini."

Syakira melirik sekilas pada Damara yang tengah terlelap. Sedari tadi mereka berbincang, Saki merasa terlalu banyak ruang dan lengang yang mengisi sorot mata Damara. Kerapuhan terletak pada suaranya, meski punggungnya tegap tapi tetaplah saja, tetaplah saja ...

Sepandai-pandainya orang menyembunyikan duka, mata tak pernah ingkar untuk berbicara sejujur-jujurnya tanpa cela.

Remaja-remaja yang berada pada garis keturunan Adam itu memanglah perkasa dan garang pada realita. Tetapi, meski celah-celah kedewasaan perlahan muncul menyeruak pribadi, sisi melankolis dari seseorang tak bisa dienyahkan.

Baik Damara maupun Kisan, mereka sama-sama menyimpan duka yang tak bisa diperkirakan besarnya lewat hitungan biasa. Perasaan mereka sulit teraba. Biarlah perasaan luka itu abadi, meski rasa sakit yang ditinggalkan setelahnya kadang sukar untuk ditangani.

Perjumpaan mereka dimulai kala usia lima belas tahun. Saat semesta tengah merakit perasaan dan Tanah Pasundan tengah menyuarakan parade semarak nan meriah. Entah pada tahun ke berapa garis singgung yang tercipta akan terputus dan silih menjauh. Tapi, biarlah keduanya sama-sama mengobati luka meski ada yang merasa tak benar-benar diuntungkan posisinya.

-

Dini hari Damara terbangun karena kehausan. Ia menyadari bahwa dirinya kini tengah berada di atas sebuah kasur. Matanya memicing membiasakan akan cahaya dari lampu yang begitu menyilaukan. Sebuah selimut bulu terhampar di atas tubuhnya. Di sofa Damara lihat ada Syakira dan Amel yang tengah tertidur dalam posisi duduk. 

Damara menjadi merasa tidak enak dan terlalu merepotkan sekarang.

Maka setelahnya Damara pun turun dari pembaringan bersamaan dengan Kisan yang mengigau kembali menyebut nama yang masih asing di telinga Damara.

"Mala ... Mala ...." katanya.

Karena rasa penasaran begitu membuncah tanpa terasa kaki Damara melangkah menghampiri kursi yang ada di samping brankart Kisan. Ia duduk di sana tanpa suara.

Dahulu, saat Damara demam tak ada yang mengurusinya pengecualian ketika Panji tengah berada di rumah. Jihanna tak pernah merasa sudi untuk menapaki kaki jenjangnya di depan pintu kamar Damara yang temaram. Sekali waktu memang Kinanti selalu datang menjenguk, membawakan banyak boneka untuk kemudian dipakai untuk bermain bersama. Damara tak merasa keberatan, tapi yang memberati hatinya adalah ketika penghasuh Kinan datang tergopoh-gopoh dan menghalau segala kebahagiaan yang baru saja tercipta. Nampaknya Jihan terlalu khawatir Kinanti berdekatan dengan seorang Jeremiah. Maka dari itu, Damara paham betul apa arti kesepian saat tengah sendirian melawan rasa sakit.

"Kata Mama, nama kamu Kisan." Damara menggenggam tangan Kisan yang begitu panas seperti sengatan mentari di siang bolong. "Aku masih sungkan manggil beliau Mama, tapi aku gak mau tinggi hati dengan menolak permintaan beliau." 

"Aku turut berbelasungkawa atas kepergian saudara kamu. Aku juga minta maaf. Perlakuanku tadi kasar banget ke kamu."

"Merasa ikhlas kadang memang susah sih. Tapi kuharap kamu bisa tegar dan bisa menjalani hari-hari selanjutnya dengan kembali damai. Perpisahan memang selalu mengigit hati, aku tahu rasa pedihnya sesakit apa. Tapi aku juga ngga tahu sih kalau dampaknya bisa sebesar ini buat kamu. Kamala pasti saudara yang baik ya, Ki? Aku iri, kayaknya kamu ngga pernah kesepian pas tidur. Kamala pasti anak yang asyik."

"Kisan, aku turut sedih lihat keadaan kamu. Tapi, aku bukan saudara kamu, Ki. Aku bukan Kamala." Damara menunduk dalam.

"Aku punya firasat, kedepannya kita akan banyak bertemu. Aku juga punya firasat, kehadiran aku bisa begitu berharga di sini tapi begitu gak berguna di rumah aku sendiri."

"Sebelum ada janji-janji yang terucap di bibir penuh cela punyaku, aku hanya mau memperingati sebelum situasi kedepannya malah bikin kamu tambah sakit dan bikin terlena sama bayang-bayang kenyataan." 

"Ki, aku tuh bukan Kamala tahu ... meski mungkin menurutmu kami mirip tapi aku beda lho sama dia, Ki."

"Aku bukan Kamala dan Kamala bukan aku. Mendelusikan segalanya dan bikin hati kamu terbohongi apa ngga bikin capek? Apa Kamala ngga akan marah dan menuntut pembalasan ke aku kalau tahu secara gak langsung aku ambil posisi dia dalam keluarga? Aku ngga sekuat Mala, Ki ... aku yakin Kamala bukan orang tersisih di keluarga macam aku."

"Untuk sekarang ayo kita kenalan dulu. Bukan dengan nama Kamala, tapi dengan namaku sendiri."

Kisan menggeliat tak nyaman, jemarinya yang digenggam Damara mendadak bergerak dan merematnya kuat.

"Kisan, namaku Jeremiah ..." tukas Damara.

"Aku memang bukan saudara kamu dan mungkin memang bukan tempat sepatutnya untuk berbagi cerita. Tapi kalau kamu mau coba untuk berkisah, jangan sungkan untuk membaginya sama aku. Setidaknya biar beban yang menumpuk di hati kamu berkurang, Ki."

"Aku ngga keberatan kok, setidaknya dengan kamu bisa menerima aku sebagai sosok Jeremiah dan mulai jujur sama realita itu semua udah bikin aku, semesta dan Kamala senang. Soalnya kalau kamu ikhlas kita bisa sembuh bareng-bareng. Barangkali, kalau kita menghadapinya bersama rasa sakit saat Peri Penyembuh menyuntikkan obatnya ngga akan begitu terasa. Soalnya kita berdua, kamu yang berjuang untuk saudara kamu, dan aku yang berjuang untuk Bunda. Ayo jadi kuat!"

"Tumbuhlah, mari kita tumbuh meski pasti kedukaan senantiasa mengekori langkah."

"Kisan, ayo sembuh ..." Damara mengenyahkan rambutnya yang menutupi mata.

"Sembuhlah untuk Kamala, Ki. Kuatlah untuknya."

Seseorang yang terbaring di brankart mendadak membingkai sebuah senyum. Kini, ia tak mengigau lagi. Kini, matanya tak lembab lagi. Kini, desiran nafasnya tak seberat kayu jati. Kini ia telah damai, meski ada beberapa kalimat Damara yang tak mampu ia dengar. Akan tetapi, kalimat terkahir yang mampu ia tangkap barangkali dapat menjadi obat kesukaran yang begitu memasung jiwanya. Mengurungnya dengan muram. Membungkamnya tanpa akal.

*

Pagi datang menyambut. Damara dan Saki kembali menyambangi pohon kersen tua yang semalam begitu kosong. Namun tak jua mereka dapatkan pucuk hidung Jihan barang setitik debu pun. Pada siang harinya, di sore harinya, atau ketika malam tempat keriuhan tiba, Jihanna tak kunjung kembali menjemput Damara. Keesokan harinya, pada lusanya, atau saat langit mendadak menampilkan kemuraman, dua jiwa yang begitu sibuk mencari tak kunjung menemukan sosok Jihan dalam peradaban Pasundan. Ternyata, Damara dititipkan pada keriuhan guna membebaskannya pada kesepian.

Jangan, kata-katanya terlalu filosofis. Singkatnya, Damara dibuang. Pula hal tersebut adalah sebuah kenyataan yang menampar.

Damara berkecil hati. Ia didera ketakutan pada tiap detik napasnya. Kala itu, matanya tak lembab, ia berkeras untuk tidak menangis. Akan tetapi hatinya begitu berat, nuraninya hampa, pikirannya kosong.

Bunda Jihan apa sudah menyerah memilikinya?

Pada akhirnya, Syakira menawarkan untuk tinggal bersama sebab ia tak tega jika harus membiarkan Damara terlunta-lunta tanpa kejelasan. Saki sudah memerintahkan orang kepercayaannya untuk mencari informasi mengenai keberadaan orangtua Damara, namun kabar ditemukannya mereka tak kunjung terdengar sebab tak cukup memiliki petunjuk. Belakangan kondisi Kisan dan Saki nampak membaik dan lebih bugar, Damara juga, ia makan dengan benar. Kabar baik yang mampu angin desaukan adalah berita bahwa Kisan sudah diperbolehkan pulang. Pemuda itu memang masih pelit berbicara tapi syukurlah kini ia sudah bisa terlelap dengan nyenyak kala tidur. Ternyata kehadiran Damara dampaknya bisa sangat luar biasa!

Tempat tinggal Kisan begitu mewah, lho! Rumahnya besar! Meski rumah Panji dan Jihan juga besar tapi yang ini lebih-lebih! Saki memutuskan untuk melakukan renovasi kecil-kecilan, posisi kamar dirombak total, kini kamar Dua Kembar tak lagi dalam satu ruangan. Kamar mereka dipisahkan meski tetap bersebelahan. Kisan awalnya menolak tapi akhirnya pasrah saja. Damara menempati kamar yang katanya milik Kamala. Ia selalu tak bisa tidur karena setiap malam kala ia terlelap selalu ada bayangan pemuda seusianya yang berceloteh panjang dalam mimpi. Meski begitu ada hal lain yang bikin Damara merasa semakin aneh dan perlahan tak kerasan, semua orang di rumah tetap bersikeras memanggilnya Kamala. Hingga sekali waktu Damara bertanya mengenai hal tersebut pada Saki, Saki hanya menjawab, bersabarlah sedikit lagi ya, Nak, kita tunggu masa hingga Kisan benar-benar pulih, katanya. Damara geregetan, sebuah tragedi terjadi ketika ia tanpa pikir panjang dilalap murka dan berbicara sinis saat Kisan terus-terusan memanggilnya dengan Kamala, Mala, Mal, pokoknya Mala lagi dan Mala terus!

Damara berkata, kan aku udah bilang, Ki, aku tuh Jeremiah, aku tuh Damara bukan Mala, katanya. Selepasnya sontak saja Kisan kembali mengamuk membuat Amel dan asisten rumah tangga yang ada di rumah dibuat kelimpungan. Soalnya Kisan sampai melempar figura berisi foto Kamala yang bertengger di atas nakas kamar Kisan. 

"Kamu itu Mala!" tegasnya.

Hal ini lantas membuat Saki mengambil sebuah langkah yang entah benar atau salah, ia menarik kembali Tadjendra dari balik jeruji, mendatangkan seorang tinggi besar yang dipercayanya untuk mengurusi Kisan saat ia lepas kendali. Ia membuat situasi kembali normal seolah-olah Kamala tak pernah pergi, semua ini Saki lakukan dengan harapan agar Kisan tak lagi lepas kendali dan mesti dilarikan ke rumah sakit lagi. Syakira terlalu takut, ia memutuskan segalanya dan hanya memikirkan kemungkinan terbaiknya saja. Hal-hal pahit yang menjadi akibat tak ia pikirkan, contohnya saja perasaan Damara.

Damara kaget melihat kekacauan dan keruwetan keluarga ini, Saki mewanti-wanti orang rumah untuk tak menyinggung soal nama Damara yang sebenarnya. Damara merasa sedikit tersentil, ia sakit hati dan tersinggung. Ia hendak melayangkan protes tapi tidak bisa, semua orang di rumah begitu mendedikasikan perannya untuk Kisan.

Suatu malam saat sang lunar begitu meruncing, Damara dan Saki terlibat dalam perbincangan yang dalam. Saki amat sangat memohon agar Damara sudi mengobati sakit Kisan dengan menjadi seorang Kamala. Damara berpikir keras sampai pening, bukankah dengan begini Kisan tak pernah bisa menerima kenyataan yang sebenarnya? Ah, tapi pada akhirnya Damara menurut saja sebab ia memiliki hutang budi atas kebaikan hati Saki untuk mengizinkannnya tinggal di sini.

Damara menguak satu informasi. Ternyata berita duka soal kepergian Kamala ditutupi dari publik. Kediaman Aswangga menutupnya rapat-rapat. Ia dulu tak sengaja mendengar informasi tersebut dari Amel dan asisten keluarga lain yang tengah bergunjing di dapur. Katanya, orang yang bernama Arkais yang memutuskan. 

Dia doyan sekali menyiksa Kamala semasa ia hidup.

A-Ah, ternyata begitu. Ooo, Damara paham. Omong-omong soal Arkais, kata Syakira ia tengah sibuk melakukan pekerjaan di luar negeri jadi hanya mampu berkomunikasi lewat telepon.

Arkais orangnya dingin. Damara merinding kala ia berbincang dengannya. Arkais mengerikan.

Waktu terus bergulir. Kini, Damara disekolahkan di tempat Kisan dan Kamala dulu menimba ilmu. Urusan identitas Saki yang mengurus, toh pihak sekolah tak menaruh curiga, pasalnya Damara benar-benar mirip dengan Kamala. Mereka mudah dikelabui. Di sanalah awal mula Damara berjumpa dengan seorang Renjana Wolu Suryaji atau katanya Kamala biasa menyapa orang tersebut dengan sebutan Sura. Orangnya galak. Datang-datang langsung menggebuk Damara keras-keras. Konyol, ia memukuli Damara sambil menangis meski Sura berdalih air mata itu keluar karena ia mengantuk Damara tak dungu dengan langsung percaya. Sura sedih, kangen, tapi gengsi.

"Ngapain lo masuk sekolah lagi?! Sana balik ke rumah, ngga usah ke sini sekalian! Gue sudah punya teman baru, ngga butuh lo!" 

Damara hanya bisa senyum cengengesan. Wow! Syakira ternyata hebat membuat skenario! Katanya selama menghilang ini Kamala sedang sakit campak. Jadi sekarang Damara harus mengenakan jaket dan masker, totalitas sekali, totalitas sampai tubuhnya gerah dan kepanasan. Oh iya, kini, rambut Damara telah dipangkas. Poninya tak lagi panjang.

Kemuraman Damara terendus hidung Sura. Sura mulanya bertanya, kenapa sekarang ia jarang berinteraksi dengan Kisan padahal dulu biasanya sering sekali bersama? Ada masalah apa, Mal, sini cerita ke gue, katanya saat jam istirahat. 

Jelas lah! Jelas ada masalah, Kisan masalahnya! Damara berteriak dalam hati.

Tentu Damara tak mengatakan itu, ia hanya menggeleng dan berucap, "Nggak papa, Sur. Lagi pengen gini aja." Sura lalu mengangguk, tapi hatinya tahu ada yang salah di sini.

Oh iya, tahun depan mereka sudah masuk sekolah menengah dan meninggalkan masa putih-biru yang penuh petaka dan bencana. Di masa putih kelabu Kisan sering sekali mengamuk, hal-hal remeh sekalipun dapat memancing sisi lain dirinya jika itu berhubungan dengan Kamala.

Karena kejadian mengamuk itu terus beruntun, setiap kali Kisan mengamuk Saki pasti akan memisahkan Damara dan Kisan, waktunya tak bisa ditentukan saat Kisan mulao tenang baru Damara akan kembali ke kedimanan Aswangga.

Kenapa ia kembali? Sebab saat masuk SMA, Damara tak tinggal bersama Syakira lagi. Ia tinggal di sebuah apartemen yang letaknya tak jauh dari sekolah maupun kediaman Aswangga. Setiap bulan ia diberi uang saku, jumlahnya besar, syaratnya hanya satu, yakni tetap jadi Kamala maka uang akan terus mengalir. Sekali lagi, hal ini yang memutuskan adalah seorang Arkais. Ia telah pulang dari perjalanan bisnisnya. Keputusan ini bikin Damara mabuk dalam pikirannya. Hidupnya berasa terombang-ambing. Lempar sana lempar sini.

Kala Damara tinggal sendiri di apartemen ia bisa sedikit mengusap dada. Soalnya di sini ia bisa jadi diri sendiri, tak merasa dituntut dan tak ada yang menuntut.

Damara pikir, Kisan itu aneh. Kelakuannya serba-serbi. Sekarang ia mengamuk, keesokannya seperti sedia kala lagi, lalu malamnya mendadak sadar jika saudaranya telah mati. Contohnya seperti hari ini, barusan Kisan pulang lebih dulu ke rumah, lalu setelahnya Damara datang karena memang mereka jarang pergi atau pulang bersama lagi.

Jantung Damara nyaris copot. Kisan tengah membakar dupa di depan pigura Kamala. Geremengan suaranya tak bisa Damara dengar semua tapi ia menangkap sepenggal kalimat.

Kamu yang tenang di sana, katanya.

Sepertinya ada yang aneh di diri Kisan. Ada yang salah di sini.

*

"Indra!" Mahabala memencet bel yang terletak di atas ranjang bertubi-tubi. Ia melirik ke arah Indra yang tengah berjaga di kursi dengan mata membola. 

"Beri tahu kak Nara! Jenggala telah siuman dari koma!"

Indra pun melesat ke luar pintu. Tak lama ada beberapa orang dokter yang memasuki ruangan. Mahabala dipersilakan keluar, di dalam Jengga tengah dicek kondisi tubuhnya menyeluruh. Berbulan-bulan ia terlelap dalam tidur panjangnya dan hari ini ia telah kembali sadar dari perjalanan mimpinya yang begitu memakan waktu.

Lunara berlari di koridor rumah sakit. Dahinya berpeluh, Indra berjalan mengekori di belakang napasnya tersenggal parah.

Bagaimana kata dokter, Kak Bas? Tanya Indra dengan isyarat tangan. Hearing aid yang tersemat di telinga ia benarkan dengan terburu.

"Dokter masih meriksa Jengga, In. Ayo kita tunggu." Dada Mahabala berguruh, ia senang tak kepalang.

"Bas, ini keajaiban!" jerit Lunara tertahan. Ia lalu memeluk Indra dan Mahabala bergantian.

"Ini keajaiban, Bas, ini keajaiban!"

Jenggala begitu garang melawan kantuknya yang begitu lama. Ia begitu perkasa saat melawan sakit yang mendera belulangnya yang patah. Ia begitu sabar menunggu sampai Tuhan mengizinkannya kembali terbangun. Meski ia ditemukan dalam kondisi bersimbah darah dan nyaris mati, nyatanya Jengga bisa bertahan di bumi lebih lama lagi.

Seperti namanya yang bermakna hutan,  Jenggala sang Penguasa Rimba telah kembali dari peradaban yang menelannya dengan hati yang berkobar menuntut jawaban atas nasib yang begitu tak berakal.

NCT 127 - White Night

Semesta menggenapkan takdir yang ganjil. Begitu saja waktu terus berotasi hingga tibalah kisah ini mesti bercerita menyoal tentang; dendam, amarah, dan gundah yang terus bergulat dalam hati.

Dua ribu tujuh belas, di tempat yang begitu gelap tanpa sinar lunar dan kejora.

Damara turun dari bus, ia hanya dituntun sebuah harapan tipis yang membuatnya memilih memberhentikan tujuan di dekat toko bunga yang pencahayaannya begitu temaram. Jaket yang Jenggala berikan ia masukkan ke dalam tas miliknya. Ia ketiduran terlalu lama. 

Damara pelupa. Ia salah naik bus.

Mestinya ia pergi ke daerah dekat alun-alun Kota Bandung. Sebab sama-sama berwarna biru Damara pikir bus ini akan membawanya pada tempat tujuan yang ia pilih.

Tapi nyatanya tidak. Keteledorannya yang pelupa ditambah situasi yang membuatnya pening bikin ia melenceng sangat jauh dan terdampar di kota yang penuh kenangan ini. Salahkan pula kantuknya, Kisan, dan Jengga sebagai sang penyebab yang menjadikan ini sebagai petaka.

Sebenarnya ini bukan masalah besar.

Yang jadi masalah adalah hatinya yang mendadak bergolak dan berang tanpa sebab. Mengobrak-abrik ketenangan hatinya tanpa tahu diri.

Pemuda itu lalu berjalan memasuki area toko yang sepi. Aromanya begitu kaya, bebauan yang begitu membuat hidung tergelitik itu terlalu adiktif hingga betah berlama-lama memenuhi paru-paru yang selalu kembang kempis tak henti. Ada banyak bebungaan segar yang mengintip dari pot-pot besar, karangan bunga yang belum jadi berada di sisi yang sedikit tersembunyi. Ketersimaan Damara menyasar pada sebuah buket bunga yang di dalamnya diisi bertangkai seruni berwarna kuning yang masih segar.

Ada bapak-bapak keluar dari bilik air di dalam. 

"Pak, seruni ini harganya berapa?" tanya Damara sembari menyentuh bunga yang begitu menggunduk.

Bapak itu menyebutkan sebuah nominal, tanpa berpikir panjang Damara menyetujui harga tersebut tanpa menawar. Baginya, seruni lebih berharga nilainya ketimbang uang. Bagi seorang Jeremiah setangkai seruni dapat menumbuhkan asa yang asalnya begitu tipis dan rapuh menjadi sebuah harapan tebal yang siapa tahu dapat terjadi di masa yang entah.

Sekarang, sebuket seruni itu tergenggam di tangan Damara yang sibuk berjalan mencari angkutan umum untuk membawanya ke Bandung.

"Seruni itu adalah bunga kesukaan Bunda." monolog Damara, bibirnya menyunggingkan senyum tipis.

"Tapi Damar lupa, Bun. Damar lupa, seruni yang Bunda suka itu sebenarnya warna apa ...."

Gejolak hatinya tiada takut terus bersenda gurau mempermainkan hati yang begitu sensitif untuk diajak bercanda.

"Bunda kenapa buang Jeremiah? Kehadiran aku yang begitu haram wujudnya apa sebegitu mengotori wajah Bunda di mata masyarakat?"

Damara tanpa tega menarik sekuntum seruni dari tangkainya dengan paksa.

"Bunda, untuk kali pertama, aku marah sama Bunda."

Seruni yang masih segar itu kemudian hancur dan koyak di telapak tangan Damara. 

"Setiap malam aku selalu berdoa agar aku bisa kembali dipertemukan dengan Bunda, Papa, Abah, dan Kinanti. Tapi apakah di sana Bunda mengumandangkan doa yang sama seperti yang selalu Damar ucapkan?"

Setetes air meluruh membasahi buket yang kini tengah Damara tatap lekat-lekat.

"Bunda ngga perlu membalas, bertemu ataupun tidak Damara sudah tahu bahwa kalimat sayang yang Bunda ucapkan pada malam itu adalah sebuah bentuk muslihat agar aku bisa enyah dan berhenti mengotori popularitas Bunda yang sungguh sangat sempurna."

Buket itu kemudian usai di sebuah tempat pembuangan. Jeremiah, sejujurnya semesta mentertawakan sikapmu yang plin-plan.

Untuk apa pula berceloteh soal keberhargaan seruni yang katamu begitu agung? Lihat, sekarang nasibnya tragis dan mesti usai di antara beratus belatung dan sampah-sampah yang sungguh sangat lembab.

Memang benar sih, seruni itu begitu berharga.

Berharga untuk menyulut kemurkaan dan kecewa yang selama ini ia kubur dalam-dalam di palung terdasar hatinya.

Berharga untuk mengingatkan diri bahwa meski kini ia begitu membenci ibunya, ada perasaan lain yang terus hidup meski hanya sedikit menyisakan ruang dan meninggalkan sebuah kelayuan tak terpelihara.

Damara tetap mencintai sang ibu, meski ia tahu orang yang ia cintai takkan pernah membalas rasa sayangnya hingga hidup Damara usai nanti.

Damara tidak tahu harus di buang ke tempat pembuangan mana sekam-sekam bekas amarah yang selama ini terus terbang di dalam hatinya. 

Akan tetapi untungnya kini ia mengerti satu hal.

Membenci orang yang begitu disayangi dalam satu waktu begitu memperkaya hatinya dengan ragam emosi yang berbeda.

Sukar dan menyiksalah salah satunya.

Hatinya dimatikan, perasaannya dibinasakan. Rasa kasih yang dulu ia persembahkan kini mulai berubah menjadi kobaran dendam yang sungguh begitu merajam tak terperikan.

-

Kisan berjalan menuruni tangga dengan pikiran yang masih terpecah ke mana-mana. Matanya langsung mendapati siluet Syakira yang tengah membakar dupa kesukaan Kamala. Ia telah berganti baju, kini Kisan mengenakan piyama bergaris hitam-putih yang sedikit mencetak tubuh tegapnya.

Kepala Kisan menimang sesuatu, tak ada perayaan sendu lagi, kini sekelumit bahagia perlahan mulai menguncup. Aswangga itu mengulas senyum lebar yang bahkan membuat malaikat penasaran. Kisan dengan langkah ringan menghampiri Syakira tanpa suara, kemudian ia menggenggam tangan sang Mama dengan tiba-tiba.

"Mama, Kiki minta dupanya satu, boleh?" 

Syakira terperanjat, tapi akhirnya ia menyerahkan sebilah dupa tersebut pada jemari Kisan.

"Boleh dong, sayang. Kisan sudah baikan sekarang? Kepalanya pusing nggak?" Dengan penuh kehati-hatian Syakira bertanya sambil mengelus bahu Kisan yang kini bahkan sedikit lebih tinggi dari bahu sempit miliknya.

"Baik, Ma. Kisan sehat." Dupa sudah dinyalakan. Hidung mancung Kisan menghidu silir-semilir kepulan asap tipis yang mulai menguasai pembaunya.

"Kisan sehat, Kisan nggak papa. Mama, dupanya wangi, Kiki jadi inget Mala." 

Syakira bergeming. Seperti pukulan godam ucapan Kisan barusan membuatnya kehilangan kata. Kelopak mata Saki kemudian terpejam, ia menghirup napas dalam-dalam sebelum membuangnya dengan ikhlas. Syakira Prabasari lantas tersenyum. Kotak tangisannya sudah habis. Ia sudah tak mampu lagi bermuram-muram dan tenggelam dalam tangis.

"Mama juga, sayang."

"Ma, piguranya jangan di taruh di sini dong. Tempatnya terlalu gelap kalau di ruang tamu. Pindahin ke kamar Mala aja ya, Ma? Biar nanti Mala bisa senang dan sering main ke sini."

Syakira memaksakan senyumnya tercetak dan malah nampak seperti topeng yang rusak. Di sisi lain ia senang dan terharu melihat Kisan bisa terbuka dan banyak angkat suara, ini adalah sebuah kemajuan yang amat sangat berarti bagi seorang ibu. Meski setelahnya ada sisi di mana polah yang dibuat Kisan sekarang begitu memainkan hatinya yang kini telah mati rasa.

"Nanti Mama taruh foto Mala yang ini di kamarnya. Tapi Kisan harus janji, foto milik Kamala jangan dibanting lagi ya sayang .... Nanti Mala sedih masa fotonya dihancurin terus."

"Iya, Ma. Janji." Kisan menyanggupi. Sekarang ia menarik sekuntum lily putih yang penuh kesetiaan terus bertengger di atas meja menemani potret Kamala yang dibalut pigura. 

Selepas itu Syakira tersenyum singkat dan menyugar helai rambut Kisan menggunakan tangan. Ia tak tahu apa yang tengah dipikirkan anaknya kini, tetapi semoga saja segalanya dapat membaik. Secepatnya.

"Mama mau ke dapur dulu, Kisan mau makan lagi nggak?" 

Kisan masih terus menghidu aroma sereh yang begitu membuatnya gila.

Entah karena aromanya memang begitu disukai Kisan atau mungkin karena segala bebauan sereh memiliki memori penting yang bersinggungan dengan kehidupan adiknya.

"Kisan cuma mau ngobrol sama Mala dulu. Makannya nanti aja."

Syakira terdiam selama beberapa detik, ia mengangguk. Kemudian berlalu begitu saja menuju dapur. Mempersibuk diri ketimbang harus berdiam dan mengisi pikirannya dengan kenangan menyesakkan hati tentang sang putra yang telah pergi.

Sepeninggal Syakira, saat ini Kisan hanya sendirian bertemankan pigura adiknya dan sebuah dupa yang masih menyala.

"Aku boleh main ke kamar kamu, nggak?"

Ruangan itu sungguh sangat hening.

"Oke berarti boleh ya. Sebentar aku mau ngambil kertas warna-warni dulu di kamar aku."

Kisan mematikan dupa. Ia meletakkan sisanya ke wadah kecil yang ada di dekat meja. Tubuh jangkungnya berderap berlari secepat angin menuju kamar miliknya yang ada di lantai dua.

Dua bungkus kertas beragam warna ia cabut dari laci. 

Kisan berjalan menuju kamar Kamala yang letaknya ada di paling ujung. 

Kenop pintu ia putar kemudian aroma bayi menyambut dirinya yang sudah lama tak bertandang. Kasur Kamala masih sama seperti dulu. Kecil. Seprai dengan motif bintang berlatarkan malam terhampar rapi membungkus kasur yang putih.

Kamar Kamala begitu lengang. Di ruangan ini hanya ada sebuah kasur, meja belajar yang semarak diisi buku-buku cerita serta setoples besar permen gula-gula berbentuk hati. Pula ada satu lemari putih yang menempel di dinding.

Pintu berdebum. Kisan yang menutupnya.

"Assalamualaikum, adik Aa yang paling kasp." Tawa Kisan mengudara mengusir sunyi yang asalnya begitu meraja.

"Aneh banget, ya, Mal."

Ada jeda sebelum Kisan melanjutkan ucapannya.

"Aku pinjam kamarmu sebentar, ya? Pengen ngobrol aja, kangen." 

Kursi kecil yang berada di bawah meja belajar Kisan tarik ke luar. Ia lalu menduduki kursi itu dan meletakkan kertas yang ia bawa di atas meja.

Terdengarlah suara sang kakak yang mati-matian mencoba menghubungkan komunikasi yang sempat terputus.

"Di sekolah ada yang ngasih aku sapu tangan. Orangnya baik tau, Mal. Tebak siapa namanya?" Dengan piawai Kisan membongkar plastik pembungkus. Selembar kertas ia tarik, tangannya mulai melipat-lipat kertas hingga akhirnya membentuk sebuah bangau yang begitu rapi.

"Namanya Nirmala." Menyebut namanya saja sudah bikin hati Kisan berbunga.

"Dia ngebordir sapu tangannya pakai nama aku. Bagus banget, kamu pasti iri." Kisan terkikik bersamaan dengan sebulir air mata lolos dari matanya.

Basa-basinya sudah cukup, ia tak kuat beramah-tamah sementara aura di kamar ini begitu membuat lehernya tercekik.

"Mala, maaf selama ini aku selalu ngerepotin kamu. Nyebelin ngga sih punya kakak harusnya kan kuat, ngga cengeng, ngga rusak kaya aku." 

Dada Kisan sesak kala matanya menemukan foto masa kecil Kamala yang tercecer di pojokan meja. Kisan mengambil salah satu foto itu. Bibirnya tersenyum tapi hatinya tak ikut berbahagia.

Kamala tersenyum begitu lebar. Senyum itu lagi, senyum yang begitu menusuk hatinya bak hujaman belati.

"Kamala kalau kamu masih hidup tolong kasih aku petunjuk. Kegilaan ini buat aku ngga waras. Aku yakin kamu masih ada, masih di sini, makanya, tolong kasih aku petunjuk." Kisan terisak hebat. Malam yang panjang begitu merestui perbincangan antara saudara yang kini, sudah terpisah.

"Damara udah bilang berkali-kali kalau dia bukan kamu. Aku tahu, aku tahu, tapi otak ini susah diajak kerja sama. Saking terbawa suasana aku malah jadi monster, Mal. Tadi, kakak kamu ini ngga sengaja hampir bikin nyawa orang melayang."

Kelebatan memori kini begitu nyata menghimpit pikirannya. Kisah-kisah yang Kisan kira mimpi ternyata adalah perbuatan nyata yang coba ia elak. Sebab merasa tak rela dan belum bersedia melepas kepergian sang adik ia jadi menipu diri sendiri dan orang-orang di sekitarnya.

Mencekik Damara, melukai Bi Amel, merusak pigura, itu bukan mimpi. Itu nyata.

Perasaan sepi yang ia endapkan melahirkan sisi lain yang begitu menciptakan kerugian. 

"Mala ayo pulang ...." Kisan menelungkupkan wajahnya di atas meja, meredam emosinya rapat-rapat.

Saat ini ia tak membanting lampu lagi, tak melukai Bibi Amel lagi. Kisan sekarang tak mencekik Damara seperti yang dilakukannya sore tadi, ia tak mengamuk, jika ia takkan pernah bisa merasa ikhlas untuk merelakan adiknya. Maka biarkan saja kedukaan menemani sisa hari yang ia jalani.

Duka memang senantiasa bersemayam. Tapi amarahnya kini telah padam.

Kisan memutuskan, esok, biarlah ia yang menanggung sendiri rasa kehilangan. Ia berjanji untuk sembuh. Ia akan bebaskan Damara dari segala tuntutan yang membuatnya terkekang. Ia akan menjadi Kisan, Kisan yang perkasa, Kisan yang mencoba baik-baik saja kala adiknya tiada.

Ia akan kembali menjadi Aswangga, Kisan Aswangga kakaknya Kamala.

Api di hatinya kini padam. 

Kita tunggu.

Bahkan bongkahan es di Antartika tak mampu menandingi kedinginan hati Kisan yang sebentar lagi akan kembali menggila.

-

Langit Cimahi begitu pekat saat ini.

Gerimis timbul tenggelam dari langit.

Jika saja Jenggala dapat memilih, pemuda itu ingin hidup menjadi sebuah nada. Kesederhanaan tanpa perlu melakukan banyak hal yang membuat hatinya lelah dan kecewa. Ia hanya perlu berdiam di salah satu tangga nada, bersama teman-temannya yang lain. Hidup di atas partitur lebih baik. Jengga akan merasa sangat senang jika dirinya turut berkontribusi dalam sebuah nada-nada yang indah. Minor pun mayor Jengga tak peduli. Ia hanya akan dipangkas sebuah garis birama, ia takkan merasa sakit, ia memang merupakan hal mati, tapi jika menjadi sebuah nada Jenggala tak akan merasakan kesakitan yang membuatnya nyaris mati.

Jenggala Sukma, lelaki itu tersenyum sumir sambil meremat tas yang digendongnya.

Sebenarnya dari tadi Jengga, Nara dan Baskara sibuk berceloteh ini itu. Membicarakan hal receh termasuk topik berat yang menyangkut soal penampilan mereka esok pagi. 

Mereka jauh-jauh datang dari Bandung untuk menjemput Chaanakya sekaligus ikut menumpang menginap di rumahnya. Esok, mereka akan membawakan sebuah penampilan, bukan hal yang spesial sih tapi ini sudah menjadi kebiasaan mereka. 

Sudah menjadi aktifitas rutin bagi Serikat Hujan untuk melagu di setiap pekannya. 

Untuk melepas penat dan dijadikan sebagai penghiburan diri bagi manusia-manusia yang tak punya tempat untuk kembali itu. 

"Rumah Chaanakya th masih jauh teman-teman. Lebih baik kita istirahat dulu, kaki aku pegel banget jalan dari tadi. Mana ini tasnya berat pisan." Saking capeknya, atau mungkin tingkah Jengga yang terlalu hiperbola, ia sampai berjalan terseok-seok sambil menundukkan badan dengan tangan yang menggantung nyaris mengenai tanah.

Baskara kemudian berceletuk yang bikin wajah Jengga kesal. "Ih, urang ada ide! Kertas gunting batu, yang kalah manggul tas punya semua, cemerlang kan?"

Jenggala menghentikan langkah, ia mengutarakan ketidak setujuan dengan sungguh-sungguh. "Ih, nggak mau. Berat banget. Ini juga satu udah bikin punggung ringkih." 

"Kumaha kalau yang dapet aku, kan kamu enak jadi ngga cape lagi. Iya kan, Kak Nara?" Baskara itu orangnya tak kenal apa itu menyerah. Dengan wajah yang dibuat semeyakinkan mungkin ia menatap Lunara, meminta agar usulannya diterima.

Lunara hanya menatap keduanya bingung, sudah pusing mau menanggapi apa lagi.

"Tuh, Nara aja ngga setuju. Berarti idenya ngga menguntungkan." Jenggala balik berjalan seperti sedia kala. 

"Menguntungkan lah, gimana mau bilang rugi kalau belum dicoba?" Baskara sebenarnya sangat ingin membanting tas gitar yang membuat bahunya kebas, tapi ia tahan-tahan. Sebab jika dia melakukan hal tersebut, formasi besok pagi bisa kacau jika tidak ada yang mengiringi.

Jenggala itu di antara semua anggota Serikat Hujan adalah orang yang paling mudah dibodohi. 

Baskara sudah terkekeh-kekeh. Ia tersenyum cerdik.

"Udah, Jengga. Pasti capek kan gendong tas berat banget? Makanya usul ini bakal sangat berguna dan menguntungkan kalau kamu menang." 

Lunara menutup kedua matanya menggunakan telapak tangan, ia mengusap wajahnya kasar.

"Bas, karunya tong di heureuyan," ujar Nara memperingati.

(Bas, kasihan jangan dibercandain)

Jenggala hanya melongo. Ah, dirinya capek meladeni Baskara hari ini, Jengga ingin segera merebah di atas karpet yang hangat. Makanya ia hanya merotasikan bola matanya dengan malas ia mengalihkan atensinya dengan mengajak Nara untuk makan di sebuah angkringan dekat pom bensin.

Baskara mengekori mereka di belakang, tanpa merasa capek mulutnya terus mengoceh.

Kuping Jengga pengang, maka ia pun menghentikan langkah dan berbalik, meladeni Baskara agar tidak berisik.

"Yaudah, hayu."

Lunara kemudian melotot kaget, ia kenal betul sifat jahil Baskara yang mendarah daging. 

"Baskara. Besok lagi mainnya." 

Baskara malah terkikik, "Nggak papa, Kak Nara. Kakak mau ikutan ngga? Sini kita hompimpa." 

"Nggak mau, udah Jengga jangan diladenin. Ayo semua kita makan dulu, becandanya nanti lagi."

Baskara merengut, ia menjawil bahu Lunara saat lelaki itu hendak menyibak kain tenda. "Ih, Kak Nara nanti dulu. Tanggung." 

"Udah nggak papa, Nara. Ayo Bas, cepet. Aku laper pengen makan."

"TUH, nggak papa, Kak. Jengga nya juga mau." 

Akal bulusnya sudah ia persiapkan rapi-rapi. Baskara kembali melukis senyum lebar sambil haha-hihi.

"Jangan curang ya, inget. Harus suportif, Jengga."

Jenggala hanya mengangguk, pemuda itu ingin segera beristirahat.

"Psst, La. Orangnya bakal ngeluarin batu tuh." 

Seorang perempuan dengan rok sekolah SMA beratasan crewneck berwarna biru langit berbisik ke telinga Jengga dengan mata yang terus tertuju pada Baskara.

"Keluarin kertas. Nanti dia yang bakal gendong tas kamu."

Jenggala menaikkan sebelah alisnya. Pemuda tersebut melirik pada udara kosong yang ada di sebelah kanan dirinya. 

Derana kembali muncul. 

Padahal dari tadi ia tak menampakkan diri. Katanya ia harus pergi ke suatu tempat untuk menuntaskan janji.

"Inget, jangan panik. Kalau sampai kamu kalah sama Baskara yang bandel itu, ngga akan kulaporin lagi keadaan saudaramu saat ini. Inget, La. Chill. Jangan tertipu sama akal bulus Baskara lagi." Derana berbisik tipis-tipis, ia mengancam Jenggala sungguh-sungguh.

"Sana, pokoknya harus menang!"

Jenggala tak menjawab, ia hanya mengangguk kecil dan berjalan sedikit lebih dekat ke posisi Baskara.

"Mulai, ya? Kertas, gunting, batu---" Baskara memotong ucapannya lalu berteriak sangat lantang sampai-sampai Lunara, Jengga dan pembeli yang sedang membayar terlonjak kaget.

"Jengga kalau buka bumbu mie, kamu buka pake apa?!" Baskara bertanya dengan cepat serta nada yang sangat tinggi. Ia berteriak yang malah membuat Jengga panik. Tak lupa tangannya ia sodorkan dalam bentuk kepalan. Membentuk sebuah batu.

"GUNTING!" Spontan saja Jengga berteriak dan mengeluarkan gunting.

"La, serius?! Padahal udah kukasih tahu!" 

Jenggala meringis ia berjongkok sambil menutup wajahnya yang merah. Entah karena marah atau tak kuasa menanggung malu karena tak sengaja latah.

Di detik selanjutnya, Derana mengilang.

Sementara itu, Baskara tertawa pongah. Ia sampai terbahak-bahak keras. Pemuda itu berjingkrak-jingkrak senang. 

"HOREEEE! NGGA MANGGUL TAS GITAR LAGI, SELAMAT TUAN MUDA JENGGALA SUKMA! KAMU BERHASIL MENDAPATKAN SEBUAH TAS GITAR DAN SEPERANGKAT RANSEL GEDE YANG BERAT BANGET." Baskara terpekik heboh, ia menyalami Jengga yang masih berjongkok.

Ya Tuhan, berilah Jengga sedikit stok kesabaran lagi ....

"Iya, Bas. Makasih lho, kamu baik banget." Jenggala mengerang frustasi. Sangat. Tanpa bisa siapapun duga, pemuda itu memiting leher Baskara di antara tangannya. Tentu saja Baskara kaget, ia langsung berkata ampun berkali-kali.

"NGGA MAU, CURANG! INI NGGA SUPORTIF, ULANG LAGI!" 

Jahil-jahil begitu, Mahabala Baska Randu memiliki tawa yang renyah dan mampu membawa sebuket kebahagiaan bagi orang di sekitarnya.

"Ampun---" ucapannya terinterupsi oleh tawa yang tak kunjung berakhir.

"Ampun, Jengga, udahan asli! Jangan miting leher, geli!" Keduanya kini duduk lesehan di trotoar jalan, menjadi tontonan bagi pengemudi atau pejalan kaki yang melintas.

Jenggala yang dongkol kemudian ganti menggelitik leher Baskara. Baskara tak berhenti mengatakan ampun, tas gitar dan ransel miliknya tergeletak di trotoar jalan. Baskara menggeliat seperti ulat dan terus mengelak dari Jenggala yang kini tengah terbahak melihat wajah temannya.

Pada akhirnya Jengga tak tega dan berhenti menggelitiki Baskara. 

Sambil mengusap sisa air mata yang keluar sebab terlalu keras tertawa, Baskara merangkul bahu Jenggala dengan ringan.

"Nah, gitu dong! Senyum! Dari tadi aku sama Kak Nara lihat kamu diem terus, ngomong kalau dipancing doang." 

Lunara merasa bahwa ini sudah cukup, kedua temannya itu harus segera mengisi perut agar tidak masuk angin. 

Ia menggiring kedua temannya untuk masuk ke dalam tenda. Jengga diminta Bas untuk masuk lebih dulu, mengikuti Lunara.

Pemuda itu memungut kembali tas gitar beserta ranselnya. Ransel Jengga yang masih tertinggal ia gendong dengan ikhlas. Meski mungkin caranya sedikit keliru, Baskara hanya ingin melihat temannya itu bahagia, tidak bermuram-muram lagi.

Sebelum menyingkap kain tenda, sekali lagi Baskara tersenyum. Ia kemudian menghampiri Jengga dan Nara yang telah duduk manis di kursi.

"Bas ganteng mau pesan cah kangkung pakai terasi!" 

Sebentar, dahi Baskara mengernyit.

Biasanya sih Jengga juga akan ikut heboh dengan berkata berapi-api bahwa ia ingin memesan ayam kremes. Tapi kali ini ia sangat senyap. Sementara Lunara nampak begitu awas dan waspada.

Ia bertanya pada Jenggala yang sibuk menunduk sambil memegangi gelang dan pinggang kirinya yang hanya ditutupi kaus hitam tipis.

"Jengga, ada apa?" Tanya Lunara sambil menepuk pelan bahu kawannya itu. Jenggala tetap senyap, ia tak mengangkat kepalanya barang sesenti pun.

Baskara pun berbalik dan melotot selebar-lebarnya saat kedua netra melihat sesosok pria yang selama ini begitu membuatnya murka.

Arkais Wira Aswangga tengah menatap Jenggala dengan lekat. 

Pria itu telah usai mengonsumsi makanannya, kini, pandangannya begitu tak teralihkan. Ia menatap Jenggala seperti kelinci yang tak berdaya. Arkais adalah pemangsa yang tak berbelas kasih.

Baskara berdiri membentengi Jengga dari pandangan Arkais yang sungguh begitu kejam. 

Dirinya menggeram penuh amarah, tangannya mengepal kuat hingga buku-bukunya memutih.

"Apa yang akan dia renggut dari Jenggala kali ini?!" Desisnya begitu tajam.

Lunara pun demikian, ia membentangkan tangannya di depan tubuh Jenggala.

"Jangan takut, Jengga. Nara sama Bas ada di sini ...."

Sungguh demi apapun, Arkais itu sangat durjana perbuatannya!

-

-
Sebuah kata-kata yang diuntai Jengga. Di atas secarik kertas warna ia menulis segalanya. Atas harapan, barangkali kilasan ingatan yang membuatnya didera ketidakberdayaan.

Berjudul Padang Tandus, ditemukan di antara hamparan bangau-bangau kertas yang jumlahnya ada seribu.

Delapan penjuru mata angin menderu membisiki hatimu, katanya, tak apa.
Ukiran pualam berkata: bersama tak seharusnya satu, kita hanya bisa menunggu nasib baik datang menjemput.

Utopis, kata semesta. Delusi.
Daksa yang tersekap bentala bersiul menggoda. Kemudian sekedipan mata kita kembali dipertemukan, bukan dalam sebuah kefanaan, tetapi: di padang tandus tempat jiwa yang telah hidup mengundi nasib.

Kita kembali dipertemukan.

Namun, dalam sebuah nelangsa yang euforianya tak lagi semangat dan semarak.

Malaikat lantas mengetuk pintu, sebuah bingkisan pos datang tanpa kabar dahulu.

Sesuatu menera dengan gamang dan malu-malu, di sebuah perjamuan ia berkata, "Pergilah tidur, aku akan menunggu ... di sampingmu."

-

Pukul lima pagi Damara dibangunkan dengan sebuah panggilan telepon yang meraung-raung. Ia tengah berbaring di kasurnya dengan sebuah lilitan erat dari selimut. 

Dari semalam ia demam.

Damara mengerang, ia menyibak selimutnya dengan lemas. Tubuhnya tak kunjung baikan padahal sebelum tidur ia sudah minum obat. Damara terbiasa mengurus diri sendiri saat sakit begini, tapi rasa-rasanya sekarang begitu merepotkan mengurusi diri tanpa bantuan orang lain. 

Ponselnya terus berdering tak henti. 

Butuh waktu baginya untuk bangkit dari kasur untuk sekadar duduk dan mengembalikan kesadarannya yang masih melayang separuh. Saat berdiri matanya tiba-tiba gelap, tangannya mesti harus mencari pegangan agar tidak ambruk. 

Hajatnya untuk makan pun ia abaikan sejak kemarin.

Rasanya begitu pusing dan panas. Matanya begitu berat. Tubuh Damara linu di sana-sini.

Meja belajar yang terletak di pojok ruangan terasa begitu jauh bak tempat tak terjangkau di luar galaksi. Segalanya nampak lebih berat dan besar, dengan perjuangan yang tak sedikit pada akhirnya jemari Damara yang bergetar dapat menyentuh ponsel si biang keladi yang menginterupsi istirahatnya pagi ini.

Nama Syakira tertera di layar.

Ada tujuh panggilan tak terjawab di kolom notifikasi. Tanpa banyak membuang waktu lagi Damara mengangkat telepon tersebut secepatnya.

Ada perlu apa Syakira menelpon pagi-pagi begini?

"Pagi, Ma?" Damara membuka ucapan dengan suara serak. Tubuhnya ia senderkan ke dinding tangannya yang satu menopang pada sisian meja yang dapat dijangkaunya.

"Pagi, Damara. Gimana istirahatnya malam ini? Tidur nyenyak?" tanya Saki dari sebrang sana.

Kemudian jemari yang sungguh gemetar itu meraba pada kantung hitam yang ada di bawah matanya. Bagaimana ia bisa tidur jika sampai semalam suntuk kepalanya seperti diduduki ribuan gajah? Berat, dingin, nyeri, Damara tak bisa merinci lagi.

Pemuda itu tersenyum sebelum menjawab. "Nyenyak, Ma." 

"Damara, maaf mama menghubungi kamu pagi-pagi begini. Nak, hari ini kamu bisa datang ke rumah dulu sebelum pergi ke sekolah?"

Lupa lah kebiasaan Damara akhir-akhir ini. Bagaimana bisa ia lupa jika hari ini ia mesti harus pergi ke sekolah?! Matanya sontak membola dan menegakkan tubuhnya sebagai reaksi keterkejutan yang kentara.

Respon Damara sangat cepat, "Bisa, Ma. Bisa." Ponsel itu kini berpindah ke telinga kanan. Damara menjepit benda tersebut menggunakan bahu, tangan-tangannya sibuk menyortir buku cetak dan catatan untuk kemudian di masukkan ke dalam tas.

"Terima kasih ya, Damar. Mama tutup panggilannya, hati-hati." balas Saki dengan suara yang ramah di telinga.

Damara tak mesti menjawab karena pasti setelah mengucap hati-hati, Saki pasti akan segera menutup panggilannya. 

Ketika tangan sang pemuda hendak mengeluarkan kacang mete pemberian Sura, kedua netra miliknya mendapati jaket pemberian Jengga yang dari semalam belum dikeluarkan.

Jaketnya sudah rusak. Akan tetapi benda itu begitu terawat dalam satu waktu, memang ada banyak baret dan bolong seperti telah disayat benda tajam, tapi kebersihan jaketnya tak perlu membuat kepala ragu. Jaketnya wangi minyak telon bayi. Sama sekali tak tercium aroma keringat.

"Orangnya aneh, tapi baik." Lelaki itu bergumam dan melipat jaket tersebut dengan rapi. Ia berniat akan mengembalikannya jika bertemu dengan Jengga nanti. Damar lalu memasukkan jaket tersebut ke dalam tasnya lagi setelah membungkusnya dengan plastik transparan.

Jam di meja belajar menunjuk pukul lima lebih sedikit. Damarantyas si pelupa lantas beranjak dan berlalu hendak membuka gorden kamarnya. 

Gorden disibak dengan cepat.

Fajar menyingsing dengan begitu elok, dari Timur sang syamsu yang begitu terang warnanya mulai mengintip dari kaki horizon yang sebagian teritori langitnya masih gelap gulita.

Keangkuhan terpuji yang dipamerkan semesta.

Damara menggeser pintu yang menuju arah balkon. Tamparan udara beku dari ketinggian mencumbui tubuh yang begitu panas. Tanah Bandung masih semarak akan taburan cahaya lampu, meskipun beberapa ada yang mati, tapi lebih banyak cahaya yang menyala. Lelaki itu menggigil dan buru-buru menyabet handuk untuk segera masuk ke dalam dan berlindung dalam kehangatan.

Mendadak matanya kembali menghitam. Suara berdebum menyesaki ruang yang sangat bisu oleh kata. Damara terantuk langkahnya sendiri.

Kepalanya membentur lantai. Sakit. Pinggangnya nyeri. Ia enggan buru-buru bangun. Lebih leluasa membiarkan tubuhnya merebah di atas ubin yang begitu nafsu membumbui punggungnya dengan rasa beku.

Matanya memandang kosong langit-langit yang masih disinari cahaya lampu. Tangannya perlahan memegang dahi dan mengenyahkan plester kompres yang sudah tak lagi dingin.

Sayup-sayup Damara mendengar bel apartemennya ditekan oleh seseorang. Barangkali tetangganya yang khawatir sebab suara benda jatuh tadi amat sengat besar dan terasa. 

Suara itu enggan enyah hingga bibir Damara yang kering mulai bergerak dengan hampa.

"Tuhan, di sini sakit." Damara menunjuk kepalanya yang kini mulai berdarah.

Lantas sehabisnya Damara menyentuh leher yang kemarin dicekik Kisan, "Di sini juga." 

"Lalu, yang paling sakit ada di sini." 

Damara menunjuk dadanya. Damara menunjuk tempat diletakkan perasaannya.

Suara bel itu tak kunjung pergi hingga suara terakhir yang bisa Damara dengar dengan jelas adalah suara ia mereguk salivanya sendiri.

Sepi.

Kesendirian yang begitu menghujam nurani.

-
Derana bergerak lamban dari tempatnya barusan, ia merotasikan bola matanya dengan amat sangat malas. Meskipun ia tahu bahwa Damara tak mampu melihatnya, tetap saja ia hanya berdiam membatu di dekat partisi. Ia berjalan pelan menghampiri Damara yang tengah melamun panjang.

Pemudi yang amat cantik wajahnya itu lalu berjongkok tepat di sisi Damara. Tangannya yang pias menyentuh lembut kepala sang pemuda. Kamar ini sudah sejak lama tak pernah diperdengarkan sorak sorai bahagia, Derana lebih banyak melihat Damara menghabiskan banyak waktu di kasurnya. Tentu dengan selimut yang menutup seluruh tubuh, atau menjadi budak buku saat sedang belajar.

Pemuda itu begitu anteng menikmati kesenyapan suasana. Tak tahu karena sudah terbiasa atau sudah kehabisan akal untuk mengatasinya.

Sang jiwa yang kini berwujud semu merasa ragu untuk bilang dirinya masih terdaftar sebagai manusia. Meski begitu, Derana tak ambil banyak peduli, tapi rasa kemanusiaan dan janji membawanya untuk selalu menemani Damar yang hari-harinya begitu monoton dan monokrom.

"Kadang aku bingung. Kenapa aku nurut aja saat Mala bilang harus menjaga kamu dengan teliti." cercanya dengan nada yang pedas.

"Kalau udah sakit begini, siapa yang repot? Kamu juga, kan? Engga, aku juga repot." Pemudi itu tetap mengelus rambut Damar dengan lembut, bertopang dagu sambil berjongkok sungguh sangat enak sekali.

"Nangis juga gak papa, kamu sebenernya punya temen yang peduli, cuma ya gak keliatan aja. Lagi pula Bunda ga ada di sisimu sekarang, feel free buat nunjukin sisi lemah kamu sama dunia. Pura-pura kuat malah bikin kamu makin lemah. Itu pikiranku, sih." lanjut Derana dengan nada yang makin pedas dan getas. Perempuan tersebut merebah di sisi Damara. Ia merentangkan kedua tangan yang sekarang menembus dada seorang yang ada di sampingnya. Rambut ikalnya terhampar di atas lantai.

"Kapan aku bisa bangun, sih? Parah, badan pasti bau asem banget." cicit si pemudi sambil mencium aroma di daerah sekitar ketiaknya.

"Menyedihkan, segalanya gak beraroma sekarang."

Derana berguling ke bawah ranjang. Pipinya menyentuh lantai dengan sempurna. Kedua manik mata jernih kepunyaannya memandang pahatan wajah sang pemuda dari samping.

Menawan. 

Derana cemberut. Ia kembali mengeluarkan gerutuan yang selama ini ia tahan-tahan.

"Nora, sesusah itukah jujur sama diri sendiri? Kamu dan Mala sama. Sama-sama bikin repot. Bikin pusing. Jalan pikiran kalian susah dimengerti." Sekarang Derana bersedekap dada sambil mengambil posisi celentang. 

"Padahal seharusnya aku ada di taman Mama Saki. Nunggu anggreknya mekar pagi ini. Kamu nambah kerjaan aku aja." Kesal sekali. Derana menendang rangka kayu yang menyangga kasur. Tak membuahkan hasil. Segalanya masih sama. Kaki jenjangnya hanya bisa menembus dan muncul di atas ranjang. 

Emosinya tak tersalurkan.

Tak lama kemudian Damara akhirnya bangun dari tempatnya dan bergegas ke kamar mandi. Langkahnya masih gontai, ia meringis dan memburu kamar mandi dengan segera. Menutup pintu lalu menyalakan keran air sekeras-kerasnya.

"Barudak bujang th jorok pisan, mun mandi teu mawa anduk," ucapnya sekaligus merutuk.

(Anak bujang jorok banget, kalau mandi ngga bawa handuk.)

Derana buru-buru melesat pergi membawa sebuah berita pada kawannya yang ia tebak masih meringkuk di kursi rumah Indra, tak bisa tidur sebab kejadian tadi malam yang begitu mengguncang kembali akalnya.

Jengga dan Damar nyatanya sama-sama disiksa oleh kesengsaraan beruntun.

Sepintas mungkin Damara terlihat baik-baik saja. Tapi Derana tahu sebenarnya pemuda itu amat butuh uluran tangan.

-

Baginya suara detik jarum jam amat mengerikan sekarang. Seuntai benang merah yang amat kuat tak kuasa diputuskan takdir. Pemuda itu menyalahi kemalangan dirinya yang begitu tak berdaya menghadapi dalang masa lalu. 

Mendengar kata Aswangga diucapkan akan membuat seluruh tubuh Jengga merinding. 

Ini menyangkut masa lalunya yang bikin isi perutnya merongrong minta dikeluarkan.

"Jengga, mau mangga teu?" tanya Baskara sambil menyodorkan sepotong daging buah mangga yang telah dikupas. Tangannya ia goyang-goyangkan.

(Teu itu artinya kurang lebih sama kaya enggak. Hehehe, Cmiiw.)

"Yeuh, udah urang kupasin. Gak tau sih ya, maneh bakal nyeuri beuteung apa engga, tapi aku udah biasa makan buah subuh-subuh. Jadi, it's okay, kalau apes paling sakit perut." lanjutnya kembali, kini perhatiannya kembali tersita pada layar televisi yang tengah menayangkan kartun yang berjudul Chalk Zone. 

(Nih, udah aku kupasin. Gak tau sih ya, kamu bakal sakit perut apa engga, tapi aku udah biasa makan buah subuh-subuh-)

Jenggala terkekeh di atas sofa, ia tak menjawab, hanya tersenyum singkat. Saat Baskara bicara begitu entah kenapa pikirannya jadi sedikit teralihkan. Pemuda yang sedang duduk di sampingnya tengah menggerogiti biji mangga yang masih menyisakan daging.

Jengga dari semalam belum makan. Bas dan Nara pun sama, sebab semalam lepas setelah Arkais mengucap sepatah kata, mereka terburu keluar guna melindungi Jengga agar tak dibawa pergi lagi.

Jengga kelaparan sebenarnya, tapi sungguh sangat tak berselera untuk makan.

Sementara Baskara dari tadi sibuk menggiling makanan apapun yang disuguhkan Indra dan keluarga. Pemuda itu bahkan memuji masakan Mama Indra yang baru selesai dimasak tadi, untuk santap sarapan nanti. Mahabala si hobi makan memang tak kenal kata kenyang.

"Jawab atuh, eta tadi kata Kak Nara kamu disuruh makan dulu ceunah. Mamanya Indra nanyain kamu, tuh. Kayaknya kamu dipinta makan duluan. Gera-gera, ayam kecapnya enak pisan!" seloroh Bas seraya bangkit dan menyodorkan daging buah yang tak jua beralih tempat. Posisinya kini Bas tengah berdiri dengan mata yang tak teralih dari adegan Rudy dan Snap yang sedang menggambar menggunakan kapur ajaib. 

(Jawab dong, itu tadi kata Kak Nara kamu disuruh makan dulu katanya. Mamanya Indra nanyain kamu, tuh. Kayaknya kamu dipinta makan duluan. Cepet sana, ayam kecapnya enak banget!)

"Kela atuh, Bas. Ini aku keur mikir jangan diganggu." jawab Jengga pada akhirnya. Sang pemuda lama-lama tertarik dengan tontonan yang dari tadi dinikmati temannya itu.

(Kela itu artinya kaya sebentar, teman-teman. Sementara keur itu bisa diartikan sebagai lagi. Cakapan yang Jengga dan Bas seperti ucapan biasa dilakukan ke teman sebaya. Hehehe.)

Baskara berbalik, ia kemudian berujar, "Nggeus tong dipikiran teuing, nanti cepet keriput mun banyak pikiran. Teu kudu pusing, aya aku jeung Kak Nara, Jengga. Mun si Om macem-macem deui, ngke sama ayahnya Indra di dor! Dor-dor! Aiguu kamchagiya!" seloroh Baskara dramatis. 

(Udah jangan terlalu dipikirin.)

"Yeuh, ah. Kudu dimakan. Urang mau sasapu dulu, gaenak sama keluarga di sini. Maneh tong ka mana-mana. Omat ieu mah, makan aja weh. Istirahat heeh, tong loba pikiran."

Baskara langsung menyumpal bibir Jengga dengan potongan buah mangga. Tanpa merasa berdosa, dirinya berlalu pergi selepas membuang biji mangga ke tong sampah yang ada di dalam kamar. Pemuda itu mencari sapu untuk membersihkan ruangan tempat mereka menginap sekarang.

Jenggala pada akhirnya mengunyah potongan mangga tersebut, ucapan Baskara memang ada benarnya. Akan tetapi, bukankah setiap orang memiliki rasa takut? Jenggala takut ada bagian tubuhnya yang dicuri lagi. Ia takut kembali diracuni. Ia takut untuk dipukuli.

Sekarang Jengga tengah memakai baju kebesaran dengan celana pendek selutut. Meski Baskara mewanti-wantinya untuk tetap beristirahat dan diam, tapi Jengga tak mau patuh.

Ia tak mau berdiam diri sementara teman-temannya sibuk membantu. Maka dari itu, dirinya kini berkacak pinggang. Memirsa tiap inci ruangan yang barangkali dihinggapi debu, selepasnya dengan gerakan secepat kilat: kasur, karpet, segalanya yang ada di kamar ini sudah kembali rapi. Sofa yang dari tadi Jengga duduki kini ia tinggalkan.

Jengga berjalan menuju serambi rumah, suara gaduh yang bercampur jadi satu membuatnya penasaran. Mulanya ia berniat membantu Indra untuk memangkas rumput hias di halaman, tapi jeritan suara Indra yang melengking bak terompet tahun baru begitu bikin dirinya penasaran.

Jenggala berlari diikuti Lunara yang baru saja selesai membersihkan diri. 

Saat sudah berada di tempat kejadian perkara, keduanya langsung terbahak-bahak. 

Baskara entah apa yang ia lakukan tapi kursi plastik yang seharusnya bisa menyangga tubuhnya dengan sempurna kini telah patah dan membuat bagian punggung dan pahanya tertanam di dalam. Sementara Indra tengah tertawa sambil duduk berselonjor kaki, memegangi perutnya yang geli.

"Tolong! Tolong!" jerit Baskara sambil berusaha untuk berdiri, namun hasilnya nihil.

Wa Iman yang sedang menyiram tanaman tergopoh-gopoh menghampiri. Tak ada yang menolong Bas yang merintih-rintih meminta untuk dilepaskan kursinya. Teman-temannya terlalu sibuk tertawa.

"Kunaon atuh kasep .... ini kursinya udah reyot makanya ditaruh di sini, mau dipindahin ke gudang." ucap Wa Iman sambil berdecak. Ia mengangkat tubuh bongsor Baskara dengan sekali coba. Pria paruh baya itu menanyai Bas ada yang luka apa tidak, Bas jawab saja tidak, padahal pahanya sakit sekali.

"Makasih ya, Wa Iman. Aduh maaf ngerepotin." kata Bas dengan wajah sungguh-sungguh. Wa Iman menanggapinya dengan biasa saja, ia kembali menyiram tanaman yang kegiatannya tadi sempat terdistraksi.

Ketiga temannya masih puas tertawa. Tak ada yang bertanya sampai pada akhirnya Lunara angkat suara.

"Kenapa bisa tigedebros gitu, sih?" tanya Lunara dengan nada yang disisipi kejenakaan.

(Tigedebros itu apa ya teman-teman artinya, susah dijelasin tapi kurang lebih kaya terperosok gitu. Cmiiw. Teman-teman mohon bantu dikoreksi jika ada translate yang keliru)

"Serius, kaget. Tadi teh mau jatoh, untung ada kursi itu, jadi aku nahan ke sana. Ternyata kursinya malah bolong, paha aku sakit, ih." jelas Baskara, dirinya kini berjongkok di atas lantai marmer yang berkilat.

Jenggala kemudian ikut berjongkok, "Bas, seharusnya ini ngga terjadi." tutur Jengga dengan wajah prihatin. 

"Harusnya Wa Iman ngga nolongin kamu, Bas. Padahal biarin aja kamu kejebak di kursi." lanjut Jengga, tawanya menyembur ke luar. 

Lunara dan Indra balik tertawa haha-hihi. Namun segera berakhir saat melihat Bas tak mengeluarkan reaksi.

"Terserah ah, urang mah mau pundung. Kaditu maneh! Awas, tong ngahalangan, urang mau sasapu!" pekik Baskara tertahan, ia mendorong tubuh Jengga hingga terjengkang, kemudian meminta maaf pada Indra yang kursinya tak sengaja ia bikin rusak.

(Terserah ah, aku mau marah. Ke sana kamu! Awas, jangan ngehalangin, aku mau nyapu!)

"Maaf ya In, ngga sengaja asli! Kursinya jadi rusak ...." 

Indra menyeka air matanya, lalu berujar pelan. "Santai." katanya.

Sesudahnya, Lunara pergi ke dapur, menyiapkan meja makan. Indra beranjak menuju kamarnya yang letaknya ada di lantai tiga, mau mandi, katanya. Sementara Baskara, seperti yang ia bilang tadi, ia mau menyapu kamar. 

Mama Indra sebetulnya sudah melarang mereka untuk bantu-bantu saat menginap, tapi anak-anak tentu tak enak hati. Tak mau manja dan banyak merepotkan. Setidaknya mereka bisa mengerjakan sedikit hal di sini.

"La, Damar mau pulang ke rumah." Di atas dipan kayu yang terletak dekat saung kecil di halaman rumah Indra, ada Derana yang mendadak bicara dengan gaya berbaring mirip orang yang tengah berjemur di pantai Kuta.

Perempuan itu kini menjatuhkan dirinya di atas hamparan rumput hijau tipis yang beraroma embun pagi. Lalu berguling-guling dengan segala kemalasan yang dimilikinya.

Jengga sedang berjalan sambil menenteng gunting rumput yang dipinjamnya dari gudang. Ia mendengarkan ucapan Derana sambil mulai memangkas rumput yang bentuknya kurang rapi. Ia sudah izin ke Mama Indra untuk memangkas rumput, jadi tidak apa-apa.

"Dia masih sering sedih ngga, Na? Kabarnya apa baik-baik aja?" tanya Jengga sambil mencomot seekor ulat yang didapati sedang rakus memakan daun.

"Boro-boro. Setiap hari apartemennya sepi banget, lebih rame kandang Titi malahan. Tadi dia jatuh. Luka. Semaleman demam." jawab sang pemudi sekenanya.

Jengala Sukma menghentikan aktifitasnya, "Lho? Aku pikir dia bakal lebih leluasa saat pindah ke apartemen dan tinggal sendiri. Nyatanya enggak, ya?" 

"Enggak." Derana menimpali.

"Dia butuh teman, dia butuh diajak bicara, setidaknya dalam yang waktu dekat dia harus bisa meluapkan isi hatinya." lanjut sang pemudi yang kini tengah mengambil posisi bersila.

"Dia kan punya Sura, Na? Kisan juga kayaknya gampang deh diajak ngomong kalau aku mau curhat." tanya Jengga dengan penuh selidik. Matanya memandang Derana yang nampak cuek mencabut rumput dan memasukannya ke dalam mulut.

"Sura udah tau kali." Derana menghilang dalam sedetik, setelahnya muncul kembali di sisi Jengga dengan jari-jari piasnya yang mencoba menyentuh daun-dauh hijau yang begitu sehat.

Jenggala memekik kaget, suaranya mendadak dramatis. "Hah?! Tahu apa?!" 

Bas yang diam-diam mengintip dari balik daun pintu mengernyitkan dahi dengan ganjil kala melihat temannya berbicara sendiri.

"Pelanin suaranya." cakap Derana.

"Bas ada di sini." lanjutnya kemudian.

Setelah mendengar Derana berucap begitu, Jenggala kembali menjalani aktifitasnya dengan wajar. Berminggu-minggu ia menanti kabar yang dibawa Derana perihal keadaan Damara. Kemarin, ia bisa bertemu dengan Damar, tapi pemuda itu sepertinya tidak sadar bahwa orang yang ada di sampingnya itu merupakan bentuk nyata dari sosok pemuda yang potretnya tercetak di pigura ruang tamu.

"Kemarin sore Sura mau main ke rumah kamu. Nganter kacang, dia ga sengaja dengar yang diucapkan Mama Saki ke Damara."

"Fatal." Jenggala bergumam. "Ini fatal banget, Na."

Derana tak banyak menjawab, tanpa perlu diberi tahu ia sudah tau ke mana ini akan berlanjut. Namun, ada kabar baik yang hendak pemudi itu sampaikan. 

Hawa kehadiran Baskara begitu jelas dirasakan kulitnya.

Derana berdecak, "Bas masih di sini. Dasar penguping!" 

Derana membalikkan badan, rambut ikalnya yang indah turut memutar seiring dengan tubuhnya yang bergerak. Memandang dingin pada Baskara yang menyembulkan kepala sambil memegang sebuah gagang sapu.

"La, ngga usah jawab. Kamu hanya perlu dengar informasi ini." Wajah Derana yang jelita sekarang menatap pada durja sang pemuda dengan sungguh-sungguh.

Angin pagi membuat rambut Jengga yang sedikit gondrong berkibar-kibar menelanjangi wajahnya dan menampakkan bulu mata yang begitu panjang. Hawa ini tak bisa dijabarkan siapa-siapa. Kumpulan perasaan yang mencipta adrenalin membuat dada Jengga berdentam-dentam seperti gendang yang ditabuh.

Netra seterang kosmik langit kini balik menatap manik Derana, matanya menyelidik kedalaman hati sang pemudi. Informasi penting akan kawannya kabarkan sekarang.

"Kamala, kebusukan Paman Arka perlahan-lahan akan terbuka." jelas Derana. Tangannya terangkat, kemudian mencengkram bahu sang pemuda dengan keras, meski ia tahu perbuatannya kini tak berguna sama sekali tapi Derana tak ayal tetap melakukannya.

"Bertahan sebentar lagi. Aku tahu, aku bukan teman yang baik, tetapi keadilan sepertinya akan berpihak pada kita, La." Derana tersenyum sumir. Ketulusan begitu kentara terbaca dari manik mata.

Jemari Derana berpindah, menunjuk pingang kiri Jengga.

"La, ginjalmu sudah damai dipeluk bumi. La, lambungmu lamat-lamat akan pulih. Kamala, sebentar lagi ... semuanya pasti akan membaik ...." bisiknya yang mampu membuat tulang punggung Jenggala mendingin.

Ah, iya.

Semesta lupa.

Bahwa seorang Kamala Gersa, belum tiada.

Kamala Gersa. Dahulu, jauh sebelum kejadian malang ini terjadi, Kamala pernah dibawa pada sebuah kebahagiaan. Di pelataran rumahnya yang kaya dihiasi pualam yang berkilat mewah dan cat-cat senantan pucat, Kamala duduk santai sambil memakan kue dadar gulung yang dibuat Amel tadi siang.

Menggigit dan menelan adalah kegemarannya saat ini. Amel begitu piawai membuat kudapan. Dari kudapan tradisional sampai membuat kue pastri yang sungguh sangat rapuh dan renyah bisa ia lakukan tanpa rasa sulit. Amelia Sumarni merupakan asisten rumah tangga senior yang paling lama menapak di tanah kediaman Aswangga. Kebetulan Amel merupakan orang kepercayaan yang lebih mengenal dekat dengan dua kembar, berbeda dengan asisten yang lain. Ah iya. Sekarang jam-jamnya sibuk. Pada Minggu sore, paviliun, taman belakang dan halaman depan kembali dibersihkan untuk kali kedua dalam satu hari. Di jam-jam segini, Amelia masih sibuk berkutat di dapur. Sekadar cuci-cuci perabot, atau masak untuk makan malam nanti.

Omong-omong soal makan, Kamala kini tengah terlena oleh rasa manis gurih dari isian kelapa dengan campuran gula merah yang melilit lidahnya tak berampun. Kulit kue yang lembut begitu nikmat saat ia kunyah, kelembutan dan segala perisa kini bersatu padu meninju hamparan reseptor pencecap rasa yang menggila akan kekayaan yang ditimbulkan. Kamala Gersa sangat menyukai makanan manis.

Jari jemarinya meraba piring yang ia pangku. Ternyata dadar gulung miliknya telah habis dilahap. Kamala tersenyum sumringah, ia segera beranjak dan berlari ke dapur. Helai lembut kelegaman malam yang mencucuk kepala turut bergoyang saat ia berjalan dengan langkah riang. Piringnya ia angkut di depan dada. 

Amel sedang mencuci piring sambil berdendang kecil. Kamala meletakan piring di meja makan, ia mendadak terkikik. Ide jahil timbul di kepala tanpa bisa diduga-duga.

"Dor!" pekik Kamala sambil memeluk Amel dari belakang. Kejahilan makhluk menggemaskan itu membuat Amel terenyak sambil merinci rentetan latah yang sepanjang rel kereta.

"Mala ... Bibi udah tua atuh, sayang. Jantung Bibi th udah rapuh ...." kata Amel. Suaranya sarat akan keterkejutan, hal ini membuat Kamala merasa bersalah. Ia bergeser posisi, guna bisa menatap wajah yang sudah banyak dihinggapi keriput-keriput tipis itu dengan saksama.

"Bibi Amel, maafin Mala. Tadi aku salah, tapi jatah dadar gulung aku jangan dikurangi, ya? Mala janji deh, ngga akan kagetin Bibi lagi kaya tadi." ucap Kamala dengan penuh penyesalan. Kedua tangan menyentuh baju orang tersayang yang sedang berada di hadapan. Iris sepekat arang miliknya seperti biasa mampu menarik atensi siapapun dengan sebuah tembakan pandangan lekat.

Amel yang telah menuntaskan aktivitasnya lanjut menanggalkan sarung tangan karet untuk kemudian dicuci dan diletakkan ke posisi semula. Ia membersihkan kedua tangan. Bibirnya membentuk sebuah kurva, menunjukan sebuah senyum keibuan yang menatap penuh manik Kamala dengan kasih.

"Dimaafkan, Mala ganteng." kata Amel seraya merapikan helai rambut Kamala yang agak mencuat di beberapa sisi. Kamala tersenyum lebar. Gigi-gigi rapinya berseri-seri. Tanpa mesti memberi aba-aba ia langsung mendekap Amel, mengirim jutaan afeksi pada sebuah persona yang sungguh begitu mengasihinya dengan sepenuh hati. 

Mata Amelia bergulir dan jatuh pada piring kosong di meja. Ia menawarkan sesuatu yang pasti akan ditanggapi semangat oleh remaja di depannya. "Kamala, mau dadar gulung lagi, nggak?" tanya Amel sambil menyesaki wajahnya dengan senyuman yang tak luntur.

Kamala mengangguk antusias. "Mau! Mau! Mau! Semuanya! Semuanya!" hebohnya mengulangi kata.

Amelia menggelengkan kepalanya gemas, ia menarik sekotak kue dari lemari kayu dekat dispenser. "Jangan semuanya, ya. Tiga punya Kisan." Amel menyerahkan kotak itu pada Kamala.

Kamala cemberut, "Bi Amel, buat Mala aja, ya, semuanya? Kiki, kan, lagi bobo. Kalau dibiarin nanti basi, kan sayang ...." ucap si tampan dengan banyak dalih dan alasan. Kesangatan inginnya disebabkan cinta mati dengan hal yang manis-manis yang tak kuasa tuk digubris.

"Ngga akan basi, kok. Nanti sama Bibi ditaruh di kulkas. Ayo, harus ingat saudaranya." jawab Amel memberi tahu. Kamala meraut ekspresi sedih, tapi tangannya sibuk memindahkan dua buah dadar gulung ke atas piring miliknya dan menyisakan tiga untuk Kisan santap nanti. 

Kamala Gersa menyerahkan kotak itu kepada Amel, "Makasih, Bibi." ucapnya tulus. Ia menunggu Amel untuk memasukan kotak itu ke kulkas menjulang yang ada di pojok ruangan. Setelah Amel berjalan menuju Kamala, sang rupawan menuntun tangan seorang Amelia Sumarni tuk dibawa ke halaman belakang rumah yang asri. 

Dahi Amelia mengerut dalam kala bertanya pada remaja yang sedang membawanya menuju suatu tempat, "Mala, mau ke mana, kasep? Bibi mau nyiram tanaman punya Mama Saki di taman depan ...."

"Bibi harus istirahat. Ayo main sama Mala di belakang! Kita makan dadar gulung. Soalnya sekarang sepi. Kiki kalau udah bobo susah dibangunin." cakap yang lebih muda. Tangan yang menuntun Amel ia lepas untuk digunakan menggeser pintu kaca lebar yang membatasi ruangan dengan kejernihan suasana sore di halaman belakang. Kamala berberat hati untuk melewati pintu samping, karena rasa takutnya terus menggeliat mengingat Arkais yang menyeretnya lewat pintu itu.

Rumput tipis yang selalu rapi terhampar luas. Kamala sebenarnya bingung mau menyematkan nama halaman atau taman di tempat ini. Di halaman rumah yang sungguh amat sangat luas, banyak bebungaan anggrek, mawar dan bunga kertas yang menginvasi sisi tersejuk tanah. Maju ke arah utara ada sabana berlatarkan polosnya hijau rumput yang menghampar luas tak dihiasi apapun lagi, itu tempat Arka biasa menghabisi Kamala. 

Lewat pintu belakang sini suasana lebih semarak akan warna. Benteng tinggi begitu subur ditumbuhi kamperfuli yang tengah berbunga. Lebah-lebah beterbangan merayu kembang-kembang manis yang telah mekar sepenuhnya. Di sisi kanan ada empat buah kursi dan sebuah meja yang berdiri anggun di atas sekotak bagian batuan kerikil putih. Kursi-kursi itu melingkari meja yang di atasnya berdiri sebuah vas antik yang diisi setangkai mawar merah yang telah rekah. Melati bintang menjamahi kanopi kaca dan memeluk sepenuhnya tempat itu, hijaunya sulur yang menjuntai-juntai di beberapa sisinya terembus pelan kala angin menyiul dari Timur. 

Kamala menuntun kembali tangan Amel. Ia membawa langkah mereka pada pijakan kayu berbentuk persegi panjang yang berujung pada kerikil-kerikil putih yang cantik. 

"Bi Amel duduk aja di sini." kata Mala sambil menunjuk sebuah kursi, "Mala mau main di sana." lanjutnya dengan mata memandang ke dekat benteng.

Amelia menggeleng, "Bibi harus nyiram tanaman, Mala. Mainnya nanti, ya?" kekhawatiran tersirat pada nadanya. Namun, kesangatan ingin seorang Kamala membuat wanita itu terduduk rikuh sambil menatap lekat wajah orang yang ada di sampingnya.

"Ini buat Bi Amel, pasti capek, kan, dari tadi Bibi udah bekerja keras? Nah, sekarang Bibi harus istirahat. Dadar gulungnya buat Bibi. Aku lagi bosen, jadi, urusan menyiram serahkan aja sama Mala." kata Kamala. Tangannya meletakan sepiring dadar gulung di atas meja. Orang itu langsung melesat ke halaman depan. Melintasi rumput-rumput, lanjut menyelinap di antara pinus-pinus yang tumbuh dengan baik. 

Dahi orang itu mengerut, hidungnya mengerut, bibirnya cemberut saat dilihatnya ada sebuah mawar yang layu. Penuh rasa kesedihan ia mulai menyirami setiap tanaman tak terkecuali, bibirnya komat-kamit mengajak bicara tiap bunga yang diberinya nama.

"Wow! Melinda, hari ini kamu tumbuh dengan baik!" Kamala memuji suplir yang sedang ia siram. Saat kakinya bergeser sedikit ke kiri, ia terpekik heboh ketika mawar merah kesukaannya mekar dengan indah. "Amazing! Ayu, hari ini kamu geulis pisan. Pengen aku petik, tapi nanti Mama sedih kalau kamu aku ambil." Tangan pucatnya menyentuh kelopak mawar dengan segala kehati-hatian. Semerbak wangi begitu kaya di tempat ini. Kamala tersenyum lebar. Menyiram tanaman telah selesai dilakukan.

Orang itu tengah memakai baju hitam kebesaran yang membungkus tubuhnya yang kurus. Bawahan celana gombrong berwarna putih ia pakai dengan bangga. Orang itu sedang berdiri menjulang, siluetnya memanjang di tanah. 

Bibir lelaki itu membentuk secetak senyum. Wajah tampan yang diwariskan kedua orangtua dikecupi sinar senja yang mulai menguar di angkasa. Hari ini libur. Besok ia mesti pergi ke sekolah lagi. Rasanya sedikit tidak ikhlas saat tahu hari liburnya telah habis waktu. Ia akan kembali dihujani tugas dan keriuhan sekolah yang sangat beragam. Jenjang tingkat dua sekolah menengah pertama dilaluinya sekarang. Bukan sekolah yang memberati hari-harinya ... tapi, gunjingan dan rundungan teman-teman yang membuat beban di dada kian bertambah.

Kamala menggulung kembali selang dan menempatkannya seperti sediakala. Suara Tadjendra dari pos penjagaan terdengar sampai ke telinga Kamala. Pria itu tengah berbincang dengan seseorang.

Ah! Barangkali itu adalah teman sebangkunya yang berjanji mau mampir kemari.

Kamala berlari menghampiri gerbang. Kata Tadjendra, ada Sura di luar. 

Kamala tersenyum senang. Ia membuka pintu gerbang lalu menghambur ke luar. Ada seorang Renjana Wolu Suryaji dengan segala kedataran ekspresi berdiri di depan sebuah sedan.

"Udah lama? Hayu masuk dulu, kita main PS. Nanti pulangnya gampang, aku anterin sama Pak Tadjendra." kata Kamala mengucap sebuah sapa.

"Ngga usah, gue mau langsung pulang aja. Nih. Oleh-oleh dari Ciwidey. Susu murni sama stroberi." kata Sura seraya menyerahkan bungkusan plastik yang sedari tadi ia genggam pada Kamala. 

Kamala memekik, menatap Sura dengan penuh selidik. "Oh, gitu ya? Makasih banyak, Sura. Besok aku tuker sama besek, ya? Susu sama stroberinya ... enak banget." Dua kata terakhir ia ucap dengan sebuah penekanan dalam. 

Tawa Sura meledak ke luar. "Ngga, bercanda. Itu buat Kisan. Gue juga beliin buat lo, tapi ini eksklusif. Ngga gue beli di Ciwidey, tapi deket alun-alun. Ayam kremes." 

Semerbak wangi sambal kemangi menusuk telak pembau. Kamala tersenyum lebar. Sobatnya memang sangat baik. "Makasih, Renjana." 

Sura tak menjawab dengan senyum, anggukan, atau ucapan. Ia langsung berbalik dan masuk ke dalam sedan. Kacanya ia turunkan sedikit, mata dan hidung sura menyembul dari situ. "Gue langsung balik, ya? Mau ke rumah nenek. Ngambil kacang mete." 

"Oke, titidije. Sekali lagi, makasih banyak." Kamala tersenyum. 

Dari dalam, Sura mengernyit. "Apaan tuh, titidije?" 

"Hati-hati di jalan, kudet banget yang kaya gitu aja ngga tau." jawab Kamala setengah berteriak. 

Sura hanya ber-oh ria. Ia menaikan kaca dan minta supir pribadinya untuk kembali pergi. Di dalam mobil, Sura tersenyum tipis dan berbisik pelan, "Laksanakan, Jendral!"

Saat sedan sudah melaju pergi meninggalkan kawasan perumahan, Kamala hendak masuk ke dalam, namun, sebuah batu terburu menghantam tengkorak kepalanya. Kamala mengaduh, ia membalikan badan dan berhadapan dengan orang yang amat dibenci sepenuh hati.

"Sakit? Maaf gak sengaja." Jarna yang memulai peperangan. Diikuti teman-teman yang lain, ia merundung Kamala dengan melemparinya batu-batu kerikil.

"Ngadu sana ke Mama atau kembaran kamu! Kami ngga takut, anak cemen kaya kamu emang pantas dipukul." Jarna kembali berucap. 

"Kamu, kan, kaya. Masa diminta bayarin tiket ke kebun binatang aja ngga mampu? Pelit banget, iya nggak?" Lelaki dengan perawakan besar itu meminta suara teman-teman untuk berucap iya.

Kamala tak mengacuhkan mereka. Ia berlalu pergi tak banyak ambil peduli. 

Telinga Tadjendra yang mendengar keriuhan sontak merasa risau, ia menghampiri Kamala dan bertanya ada apa. Kamala tak menjawab, malah buru-buru berlari ke halaman belakang dengan memanggul keterdiaman yang janggal.

"Ingat! Besok, kalau tetap keras kepala, habis kamu di sekolah!" Teriakan itu membuat Tadjendra berlari ke depan, ia memberi peringatan untuk tak membuat kekacauan dan sebuah ultimatum keras agar menjauh pergi dan tidak mengganggu Kamala lagi.

Jarna berdecih tak suka, ia memberi ajakan untuk pergi, lanjut memimpin suara yang sungguh melukai hati, "Mala anak mami! Mala anak mami!" ejeknya terang-terangan.

Lengkingan suaranya yang mengarak ramai sampai pada telinga Kisan yang tengah menatap keji mereka dari jendela lantai dua kamarnya. Lelaki itu hanya diam, merasakan gelenyar amarah dan rasa pedih yang pekat dalam dada. 

Kamala pun turut mendengar kalimat menusuk itu. Ia duduk di kursi yang kini telah kosong tak disinggahi Bi Amel sambil bergeming. Kresek pembungkus ia letakkan di meja. Ia sudah tak berselera dengan ayam kremes pemberian Sura. 

Hei, ternyata hidup menjadi manusia rasanya agak sukar, ya?

Angin kembali menyiul, sulur-sulur kembali bergoyang. Jingga dan merah bergradasi di langit, namun, pekatnya hitam sudah terburu terbit pada pikiran manusia yang kini tengah menelungkupkan kepala dengan resah di atas meja.

Denyutan nyeri di dada ... tak kunjung berhenti meski hanya untuk sedetik saja.

-

Kisan menggeser pintu kaca perlahan. Berlakon seolah-olah baru bangun tidur, menguap lebar-lebar. 

Lelaki itu berjalan menghampiri Kamala yang murung ditemankan suara malam yang tak seperti biasanya sungguh sangat sepi.

Kedatangan si sulung tak terdengar rungu, Kamala masih tetap memejamkan mata dan menenangkan hatinya yang tersayat luka.

Gemerisik suara plastik yang dikuak Kisan mengambil alih atensi Kamala sekaligus. Lelaki itu terkejut, namun lanjut tersenyum.

"Tadi Sura mampir ke sini, katanya stroberi sama susu itu buat kamu." 

Kisan tak menjawab hanya mencomot satu buah stroberi dan langsung melahapnya.

"Iya, makasih." kata Kisan.

Lelaki berhidung bangir itu menatap Kamala dengan lekat, pandangannya meminta Kamala untuk jujur dan bicara. Akan tetapi, sepertinya sang adik lebih memilih untuk bungkam dan mengonsumsi pedihnya sendiri.

"Aku mau masuk, gerah banget hehehe. Duluan ya, dadar gulung punya Kiki ada di kulkas." 

Kisan bergeming. Ia menatap punggung Kamala yang mengilang masuk ke dalam rumah. Ayam kremes dan dua buah dadar gulung teronggok di meja.

Buruk. Kala Kamala mengabaikan makanan kesukaannya, situasi hatinya pasti tengah disesaki badai petir yang sangat dahsyat.

Si sulung meradang. Bahkan ia pun tak pernah melukai Kamala barang memukul atau mencubit, sementara Jarna? 

Jagat Anarki. Perhitungan apa yang mesti Kisan balas untuk adiknya? 

-

Pukul sembilan malam waktu setempat, Syakira Prabasari baru berpulang dari pesta pernikahan kerabat bersama Arkais. Wanita itu masih berhias polesan wajah, kebaya dan kain songket yang memeluk diri serta kundai rambutnya yang masih rapi. Arkais nampak sedikit lelah, ia melepas iket yang bertengger di kepala lantas buru-buru pergi tuk membersihkan diri. 

Saki bertanya pada Amel yang kini tengah mengunci pintu. "Anak-anak sudah tidur, Bi?" 

Amelia mengangguk, "Sudah, Bu." 

Saki tersenyum, "Biasanya Kiki masih nonton televisi. Syukurlah kalau sudah tidur." kata Saki sambil mengganti sepatu berhak miliknya dengan sandal rumah.

"Bi, tadi, Kamala makannya banyak?" Ada kekhawatiran yang membersamai kalimatnya. Sebab, Kamala Gersa agak sukar untuk diajak makan.

"Teman Kamala, Sura, tadi mampir katanya, Bu. Ngasih oleh-oleh, tadi Kisan ngasih tau saya, Mala makannya lahap."

"Syukurlah ... makasih ya, Bi. Bibi istirahat, saya juga mau bersih-bersih, tadi acaranya ramai. Mari, Bi." Syakira pamit menuju kamarnya. Sementara Amelia bergerak menuju saklar lampu. Mematikan pencahayaan dan segera kembali ke kamar.

-

Kisan masih terjaga. Sementara kembarannya tengah terlelap, lebih awal. Suara dengkuran halus terdengar tipis-tipis. 

Tadi, Kisan membual pada Bi Amel soal kelahapan makan Kamala. Sedari tadi, Kamala tak berselera untuk makan lagi. Karenanya, Kisan mengangkut ayam kremes milik kembarannya ke dalam kamar diam-diam. Takut ketahuan. Sekarang, makanan itu diletakkan pada meja belajar Kisan.

Kasur Kamala disinggahi Titi, kucing berbulu putih itu merapat pada tubuh Kamala guna mencari sesendok kehangatan sambil menguarkan energi positif agar sang tuan merass baikan.  Kucing itu menemani tidurnya.

Kisan Aswangga tengah berbaring menatap langit-langit kamar yang gelap.

"Jarna sok tahu. Siapa bilang kamu pengadu? Bahkan saat dikerjai kaya tadi aja kamu masih tertutup dan ngga mau cerita." 

"Besok pokoknya mereka yang ganggu kamu bakal sakit perut. Rasain. Siapa suruh gangguin adik aku."

Kisan beranjak dan mendudukan diri di kasur milik Kamala. Tangannya terulur, mengusap benjolan yang menyembul di dahi dan belakang kepala adiknya yang masih disinggahi kemasygulan.

"Simsalabim, benjolnya bakal ngga sakit lagi, dor!" Kisan mengucap sebuah mantra. Lalu, ikut bersempit-sempit berbaring di samping adiknya.

-

Tengah malam Kamala bangun karena kelaparan. Ya ampun! Kasurnya sempit sekali. Kisan tertidur pulas dengan kepala yang menyembul di sisi kasur. Kamala bergerak untuk mencari makanan di lantai bawah, pergerakannya bahkan tak mampu membuat Kisan dan Titi terusik.

Tangan Kamala mengangkat kepala Kisan pelan-pelan, lalu meletakannya di atas bantal. Agak khawatir jika lehernya sakit.

Hendak ulam, pucuk menjulai. Kebaikan hati seseorang begitu membuat Kamala senang setelah melihat ayam kremes miliknya ada di meja belajar Kisan.

Lelaki itu mencari kursi dan langsung mendudukan diri lanjut berdoa dan melahap sambal kemangi serta ayam kremes dengan sepenuh hati. Meski sudah dingin dan tak lagi hangat, rasa sedapnya tak luntur. Enak sekali.

Derit pintu membuat Kamala menoleh. Arkais menampakkan setengah tubuhnya, iris gelapnya menusuk wajah Kamala.

"Ikut Papa." Pria itu tak mengindahkan Kamala yang tengah melakukan santap malam. Dengan keotoriteran dan segala keangkuhan nada suaranya menitah untuk mengikuti langkahnya.

Punggung Kamala mendingin. Rasa pedas dan nikmat kini telah pudar sepenuhnya digantikan dengan rasa kecut dan takut yang menggila. Arkais yang sudah mengenakan piyama berjalan menuruni tangga diikuti Kamala di belakang.

"Buat ulah apa lagi kamu hari ini? Jagat itu anak kolega papa dan kamu malah mencari-cari perkara? Dasar! Bisanya hanya buat malu dan mencoreng nama baik keluarga. Contohlah Kisan. Dia anak penurut dan tak banyak polah seperti kamu." hardik Arkais pedas. Ia melangkahkan kaki menuju tempat penyimpanan. 

Kamala menunduk dalam. "Maaf, Pa. Maaf, Kamala keliru. Besok akan Mala beri tiketnya." cicitnya pelan.

Arkais menatap Kamala dengan jijik, ia memutar kenop pintu dan mendorong bahu Kamala agar masuk ke ruangan gelap itu.

"Ini hukuman. Membusuklah kamu dalam gelap." Arkais menutup pintu lantas menguncinya. Suara geremengan Arka terdengar jelas oleh Kamala yang masih disesaki perasaan kaget.

"Matinya lama sekali, kalau aku bunuh cepat-cepat uangnya tak akan mengalir lagi." Ketukan langkah Arkais terdengar menjauh.

Sayup-sayup, sang Papa kembali bicara meski kini tak sejelas tadi. "Jihanna, anak satunya lagi jangan sampai dia buang cepat-cepat." 

Kamala tak berani berontak dan berteriak. Ia beku di tempat. Tangannya menyentuh lapisan kasar pintu yang kaya dihinggapi debu. "Aku gak suka jadi manusia." lirihnya mampu didengar oleh sofa-sofa dan perabotan tua yang hanya bisa menjadi saksi bisu.

Malam itu, ia kembali berjongkok membenamkan tubuhnya di antara lutut.

Mala itu artinya bencana. Mala itu artinya kemalangan. Ia tak mau disebut begitu, sebab ... rentetan kesengsaraan satu-satu perlahan timbul, menyeruak dari garis hidupnya. Akan tetapi jika saat nama Mala membuat Mama dan Kisan senang ia tak begitu merasa keberatan. Sesuka hati mereka, sesenang hati mereka, sebab mereka merupakan alasan yang membuat Kamala merasa bahagia.

Semua berlanjut pada sebuah kegelapan panjang. Mimpi-mimpi yang tadi diceritakan percabangan pikiran dalam kepalanya lamat-lamat mulai berusai. Mimpi-mimpi buruk yang membuat Kamala takut tak kepalang. Jiwanya yang tengah bertamasya berproses memasuki tubuh dengan pelan.

Mata Kamala mengerjap berkali-kali. Bau tanah dan darah langsung menyengat kuat. 

Ia tengah berbaring telungkup. Belukar tinggi merupakan panorama yang menyambutnya. Daun-daun kering, tanah merah dan ranting kayu memenuhi tiap inci tubuh. Jaket hitamnya koyak dibareti ranting dan dedurian tajam. Celana katun berwarna putih yang melekat di tubuh banjir darah, kaya akan warna merah. 

Kecelakaan tadi membuatnya jatuh terperosok jauh.

Kamala terbatuk, darah segar ikut terbawa ke luar. "T-tolong ...." cicitnya. Matanya kembali memberat. Ia mengerang keras merasakan sakit yang tak mampu ia tanggung lagi. Wajahnya terluka, bahunya terkilir. 

Damat gaduh suara langkah kaki orang yang jumlahnya lebih dari satu menginjak-injak ranting-ranting dan dedaunan kering. Kamala tergeletak di dekat pohon jeungjing yang luhur.

Berbuah sinar senter menyorot tubuh Kamala yang sangat sakit. Kamala merasa silau, ia mengernyit.

"Jen, lekas bedah dia dan ambil ginjalnya." redam suara Arka menggodam rungu. Adrenalin menjamahi kepala. Ia berusaha kabur dengan menyeret tubuhnya dengan tangan. Kakinya mati rasa.

Jagat semesta tak berbelas kasih, tubuh Kamala diangkat tak manusiawi membuat sang empu berteriak keras. 

"Akh."

Kamala dipanggul di bahu. Sekali lagi lelaki itu memuntahkan darah yang mengenai baju orang yang memanggulnya. 

"Menjijikan." kata Arkais. Kamala ditempeleng keras. Kesadaran lelaki itu kembali dicabut, sekarang untuk kali kedua. Ia pingsan.

-

Tindakan kriminal yang dilakukan Arkais dengan dokter bedah bernama Jenandra sungguh sangat dibenci makhluk langit. Rerumputan menyerapahi perbuatan manusia yang bahkan sangat tak berakal.

Dini hari, tindakan keji mereka telah selesai dilakukan. Setelah mendapat apa yang telah diinginkan, Jenandra dan Arkais membuang tubuh Kamala di perkebunan pohon karet dekat sebuah desa. Mereka tak begitu memikirkan kedepannya akan bagaimana, yang jelas jabang pundi rupiah telah mereka genggam.

"Hasilnya adil. Nanti kubagi dua." ucap Arkais setelah melempar tubuh Kamala sampai menabrak sebuah pohon. Daun-daunnya bergoyang. Kedua makhluk itu melesat kabur menjauhi tubuh Kamala yang koyak baik batinnya, maupun jasmaninya. Ia membuali sang istri dengan bekerja ke luar negeri. Padahal sekarang ia sedang melancarkan sebuah rencana bejat tak manusiawi.

Kumandang adzan subuh terdengar bersahutan dengan teriakan pekerja perkebunan karet milik ayah Javaskara. Kamala segera dilarikan ke rumah sakit. Nyawanya tipis-tipis. Kritis. Kamala koma akibat trauma berat di kepala dan kondisinya kian memburuk akibat perbuatan Arkais.

Kamala koma selama berbulan-bulan. Tentu ayah Javaskara sudah melapor pada pihak yang berwajib. Akan tetapi Arkais dengan kuasa dan kelicikannya membungkam mulut keamanan setempat guna tetap tak acuh dan tak mencari keluarga Kamala. 

Kemalangan datang untuk kali kesekian. 

Sebab tak ada satu pun keluarga yang datang mengaku bahwa Kamala adalah anak mereka. Ayah Javaskara yang merawat Kamala sambil terus menunggu barangkali ada yang datang.

Mereka tak tahu siapa nama anak itu, jadi mereka menyematkan sebuah asma.

Jenggala Sukma.

Manusia sekuat rimba, dengan jiwa setangguh ksatria.

Tahu tidak? Hari ini hari Sabtu. Sabtu yang amat cerah sekali sebab mentari yang tengah mengangkasa rendah sedang luput ditutupi selimut awan yang lembut. Kebetulan sekolah Bas, Jengga dan Indra hari ini libur jadi bebas sesuka hati untuk menyanyi di sebuah taman musik di daerah Bandung. Mereka berangkat dari Cimahi sekitaran pukul enam lebih. Nah, arloji di tangan baru saja menunjuk pukul tujuh kurang lima belas menit waktu setempat. Mereka masuk gerbang tol Baros, jadi memakan waktu perjalanan sedikit lebih cepat, pun sebab berangkat agak pagi jadi bisa sedikit menghindar dari kemacetan yang mengular. Pasalnya ini akhir pekan.

Jika ada yang menanyai soal Lunara, ia kebetulan baru saja lulus.
Selisih umurnya setahun dengan Jengga-Bas, dan beda dua tahun dengan Indra.

Mobil sedan yang dikemudikan sopir keluarga Bestari bergerak khidmat melintasi jalanan yang menjari. Indra duduk di samping kursi pengemudi. Sementara di kursi belakang disesaki oleh Bas-Jengga-Nara. Di dalam mobil suasana riuh sekali. Jenggala ngomel-ngomel sebab sedari awal kendaraan tersebut melaju, Bas tak berhenti mengganggunya.

Hari ini Jengga tak begitu bersemangat menanggapi lelucon yang dilontarkan Baskara. Ketika Lunara menawarinya sekeping biskuit pun Jengga menolak dengan halus. Indra sedang tenggelam dalam atensi bersama dengan ponsel pintar miliknya. Situasi dalam perut mobil memang terbilang cukup ramai.

Akan tetapi dalam kepala sang pemuda bernama Jengga begitu lain, ribut diisi oleh ujaran kebencian Arka yang berlarian tak kenal lelah.

"Jangan langkahkan kaki kotormu ke rumahku lagi! Pergi jauh-jauh dari Syakira dan Kisan, bajingan." 

Denyutan nyeri kembali berkelindan menyusuri perasaannya yang sudah carut marut tak berbentuk. 

Jenggala begitu merutuki pertemuannya dengan Arkais kemarin. 

Jalan Bali mereka lewati sekarang. Pepohonan rimbun yang tumbuh besar di sisian jalan beraspal bertumbuh kukuh dengan daun-daun hijau muda yang melambai syahdu kala angin pagi menggoda mereka tak pakai basa-basi. Pagar-pagar hitam dan sebuah gedung sekolah mencengkram tanah dengan gagah. Mobil sedan itu berbelok ke arah kanan.

Pemberhentian terakhir mereka telah sampai.

Selanjutnya, supir Indra pamit untuk kembali ke Cimahi. Indra katanya mau main di apartemen Nara, jadi jemputnya nanti saja.

Baskara bilang sinar surya cukup hangat pagi ini, ia bersin-bersin beberapa kali. Pemuda itu sedikit melupakan rasa nyeri dan malu saat terperosok di kursi kala fajar tadi. Diikuti oleh Indra dan Nara, Bas membuka bagasi mobil dan mengangkut sebuah tas gitar, satu perangkat pianika, beberapa perlengkapan pelengkap lain, pula sebadan biola yang dilengkapi sebilah bow yang begitu ramping. Jenggala turun dari mobil, ia memungut dua buah baroque recorder berwarna putih gading dari bagasi. Jengga juga ikut membantu membawakan beberapa kursi lipat untuk diletakkan di dekat patung gitar berukuran besar dengan warna merah yang sangat semarak.

Taman hanya diisi beberapa orang yang sedang duduk bersantai pun hanya untuk mengonsumsi beberapa sekon untuk bercengkrama dengan orang tersayang. 

"Jangan terlalu terbebani," gumam Lunara telanjur bicara mendristraksi kegiatan Jengga yang tengah menyusun kursi. "Kita datang untuk melepas beban. Menyanyilah sampai kamu puas. Baik aku, Indra, dan Bas paham betul bahwa lagu yang akan kita bagi hari ini adalah lagu kesukaan kamu. Mari, untuk kita semua, buat sebentar aja, buang beban-beban yang selama ini memberati hati." 

Untuk sejenak, otak seorang pemuda-Jenggala-sempat kosong barang beberapa detik. Tak memakan waktu lama, sebab setelahnya Jengga tersenyum lebar. Ia mengangguk menyetujui lalu bersuara sedikit, "Makasih, Nara."

Indra masih sibuk dengan ponselnya. Baskara yang notabene selalu serba ingin tahu lantas bertanya sedikit pada Indra.

"Ngapain, In?" tanya Baskara. Ia sedang duduk di atas coran bangku sambil menala sinar gitar akustiknya sampai dirasa nada yang dikeluarkan cocok di telinga.

Indra menoleh sebentar, lalu membuat gestur tubuh seolah mengatakan, sebentar.

"Hubungi teman. Sakka. Mau kemari, katanya," jawab Indra kemudian. Ia menunjukkan percakapannya dengan Sakka pada Bas-yang masih bertahan dengan sifat keingin tahuan yang sungguh sangat mengakar.

"Oooo. Begitu. Teman sekolah, kah?" imbuh Bas kembali. Pemuda itu telah rampung menyetem gitar kepunyaannya. 

"Adik kelas dulu pas SMP. Sekarang dia kelas tiga." Indra mengamankan ponselnya ke saku celana, lantas menjawil bahu Bas untuk ikut bergabung dengan Jengga dan Nara yang telah siap sedia untuk tampil. 

Bas tak bercengkrama lebih banyak, memilih tuk mengikuti langkah Indra dengan gitar yang tengah dibawanya dengan tangan. Baskara duduk dekat Jengga dan Nara. Sementara itu, Indra dengan gitar miliknya menjatuhkan diri pada kursi lipat di samping Jengga.

"Tunggu sebentar, deh. Ini kayaknya kita kelebihan bawa barang." Jenggala angkat suara, kepalanya memirsa satu-satu wajah temannya. "Kok ada biola?" tanyanya dengan bingung.

"Pas, kok. Temenku katanya mau ke sini. Maaf lupa ngasih kabar." Indra menimpali. Pemuda itu sekarang sudah memangku sebuah pianika berwarna biru langit dengan banyak dihiasi karakter Pororo. Ia menatap Jengga guna meyakinkan. "Lagi di jalan. Sebentar lagi kata dia bakal sampai."

Serikat Hujan hanya mengangguk sebagai jawaban. Jenggala Sukma mengetuk-ngetuk batang recorder-nya pada tempurung kepala, bikin Baskara mengernyit. "Ikut nyanyi? Asik! Nambah teman lagi," seru Jengga terlampau senang. Bas yang gatal lalu membuat sebuah gerhana dengan meletakkan tangannya di belakang kepala Jengga, menghalangi batang recorder untuk menyentuh permukaan kepala Jengga lagi. 

"Udah, jangan digetok kepalanya, kalau mental serem." Bas menarik kembali tangannya. Jenggala kemudian tertawa pelan, "Nanti, kalau mental, Bas yang ambil, ya?" timpalnya sambil terus tertawa. Baskara menatap ngeri tapi tak lagi menimpali malah tiba-tiba sibuk melamun. Entah melamunkan apa.

Indra ikut tersenyum singkat, ia lanjut menjawab pertanyaan Jengga, "Nggak nyanyi. Dia jadi pengiring aja, sudah kukasih tahu lagu yang bakal dibawa hari ini," jelas Indra kembali.

Jenggala menggulir batang recorder-nya di antara telapak tangan. Sebab agak bosan, ia pun memainkan nada dengan acak. Bas agak sedikit terganggu, jarang-jarang ia merasa seperti itu. Bas berkata, tolong kecilkan suaranya. Lantas pemuda itu kembali terhisap pada sebuah lamunan.

Dua menit setelahnya, ada seorang pemuda semampai yang mengendarai sepeda gunung berwarna kuning cerah. Pemuda itu memakai celana pendek selutut berwarna hitam yang dipadukan dengan kemeja tartan berwarna merah yang agak kebesaran. 

"Sakka, sepedanya taruh di parkiran." Suara Indra sedikit melengking. Orang yang dipanggil Sakka lalu mengangkat ibu jarinya di udara. Ia kembali menghilang untuk beberapa menit.

Indra membenarkan letak hearing aid miliknya yang tersemat di kedua telinga. Rasanya kurang nyaman. Baterainya seperti akan habis sebab suara-suara di sekitar agak sedikit samar terdengar.

Jenggala membatu di tempat. Ia memijat pelan telapak tangan yang agak sedikit mendingin.

"Sakka, ayo sini!" Suara Indra menggema dalam keriuhan dunia. Terselip di antara suara deruan angin, cakapan siswa-siswi yang satu-satu mulai memasuki gerbang sekolah, deruman knalpot motor, dan tanpa intruksi menanggalkan kewarasan Jengga untuk sejenak.

Dalam sebuah figur nyata, di hadapan sana ada seorang pemuda yang berjalan perlahan. Tiap detik yang berdetak rasanya malaikat tahan kecepatannya barang beberapa masa, karena, Jengga pikir pahatan wajah itu sungguh membuat dirinya terkejut, membangunkan kegelisahan yang tadi ia tekan agar tak mencuat dengan liar.

"Halo, Kakak- Kakak. Nama aku, Sagara. Sakka Garda Ramayana, adik kelas Kak Indra saat SMP dulu." 

Sagara. 

Figur manusia yang kini tengah beranjak dewasa. Jengga mereguk saliva yang mendadak menderas, ia menggerakkan matanya dengan segala kecanggungan yang mendominasi. Sosok anak kecil yang dulu mendorongnya di atas perosotan kini telah tumbuh. Ia tumbuh dengan amat sangat baik.

Pemuda itu lantas menyalami satu-satu anggota Serikat Hujan, mereka balik mengenalkan diri. Sakka menyisakan Jengga sebagai bagian terakhir. Ia membentuk sebuah kurva tipis, bola mata gelapnya menghunus manik Jengga yang tengah belingsatan menghindar dalam sekali tatap.

"Sagala, kak. Sagala." Sakka berucap aneh, tetapi Jengga tahu apa maksudnya.

Api menyalak-nyalak dalam hati ketika Sakka mengulurkan tangannya untuk dijabat. Jengga sekarang berkeringat deras, ia gelisah, agak ragu tangannya ketika menjabat balik tangan Sakka yang agak sedikit besar dari miliknya. 

Namun syukurlah tak ada yang menyadari kekhawatirannya.

Sakka mengetatkan genggaman, "Jenggala Sukma. Panggil saja Jengga, Sa." Jengga buru-buru menarik tangannya. Ia meremat erat batang recorder yang tak berdosa.

Kemudian setelahnya Sakka berjalan menghampiri Indra, secara otomatis Indra menyerahkan biola yang diletakkan di atas coran bangku pada temannya itu.

"Sakka, lagu pertama tadi sudah kukasih tahu, kan, apa judulnya?" tanya Indra memastikan. 

"Sudah, Kak Indra," jawab Sakka. Ia mulai meletakan badan biolanya di bahu kiri, lantas menjepit benda itu menggunakan dagu. Jemari panjangnya sudah bersiap menari-nari mencari nada-nada indah yang selalu menjadi candu bagi telinganya.

"Ayo, Jengga." Lunara berujar pelan.

Kelopak mata Jengga tertutup sebentar. Ia menarik napas panjang lantas mengembuskannnya pelan-pelan. Ia paham betul teman-temannya merasa sedikit gugup, sebab ia pun merasa demikian. Akan tetapi, tujuan mereka ke sini adalah sebagai sarana hiburan atas kepenatan duniawi, pula ada banyak perasaan yang ingin mereka sampaikan lewat kata-kata indah dan suara hati yang kali ini akan coba mereka kumandangkan sekali lagi dan seterusnya. Jenggala membuka kedua mata untuk mendapati jalanan Bali kini semakin ramai disesaki siswa-siswi. Di hadapan mereka ada lima orang manusia yang sedari tadi membisu memperhatikan mereka. Rasa penasaran membawa mereka untuk mengambil sikap hening.

Jenggala jatuh memandangi seorang kakek yang tengah mencerup sebatang cerutu di balik rimbunnya pohon di taman ini. Ia tersenyum tipis.

"Tiga, dua, satu."

Mereka semua menghela napas. Segerombol nada lolos dari gitar akustik yang tengah dipetik Baskara. Intro lagu tengah dikumandangkan dengan begitu apik, kepiawaian jemari mengantarkannya pada bait bagian awal.

Lunara dan Indra sekarang unjuk kebolehan. Jemari Lunara begitu lihai membekap dan membebaskan suara dari lubang-lubang yang tercipta. Sementara itu, dengan lihai jari Indra bergerak menjamahi tuts-tuts hitam putih guna memamerkan serangkaian nada yang elok di dengar.

Tak perlu megafon, hanya perlu ketulusan hati untuk membuat suara isi hatinya terdengar. Membersamai nada-nada indah, suara bariton Jengga menguar sempurna beriring dengan oksigen-oksigen yang menari-nari di cakrawala.

Bait pertama, pemuda itu kumandangkan dengan sepenuh hati. Lagu bertajuk Mother How Are You Today merajai rungu kali ini.

Mother, how are you today?

Lantunan suara Jenggala menyihir sekitar. Poros-poros kenangan membawanya jatuh di sebuah memori di mana Jengga sedang merawat Syakira yang tengah terbaring sakit di pembaringan. Sakka menatap Jenggala penuh, gesekan bow dengan senar biola turut serta berjalan mengarak nada dengan leluasa. Kesedihan yang membisik dari suara Jengga begitu nyata kekentalan emosinya.

Here is a note from your daughter

Kedalaman hati menyampaikan segunung rindu yang ditumpuk rapi dalam bilik hati Jengga yang nyaris penuh. Syakira, dengarkanlah isi hati dari anakmu yang penuh cela ini.

With me everything it's okay

Jenggala menutup kedua mata menghayati baitan pesan yang begitu menyayat pikirannya. Baskara yang sibuk memetik senar dan memindahkan kunci-kunci menggulirkan mata menatap Jengga yang sedang tersedot emosinya.

Atmosfer di sini mendadak sendu. Serikat Hujan merasakan itu lewat emosi yang dibawa Jengga lewat suaranya. Baskara memalingkan wajah. Pikirannya sibuk berkelana menyasar kenangan bersama orang terkasihnya, sang adik.

Lunara bergeming. Bulu romanya merinding. Jenggala, hebat sekali membuat orang merasa sedih.

Mother, how are you today? 

Sebuah pertanyaan kembali Jengga gaungkan lewat suara. Ia merasakan bola matanya mulai lembab sekarang. Maki saja bahwa Jenggala cengeng, sebab memang begitu keadaannya. Lagu ini begitu emosional, netra Jengga terbuka hanya untuk menatap lebatnya daun yang bergoyang seirama dengan lagu.

Bait kedua mulai terasuki, keadaan bertambah sendu saat lengkingan nada yang diciptakan biola begitu menginvasi telinga. Tiupan pianika Indra, petikan gitar Baskara, pula embusan nada recorder Nara bersatu padu menyayat hati lewat kesan dalam suara-suaranya.

Mother, don't worry, I'm fine

Suara Jengga begitu stabil menelisik telinga. Baskara dari sini merasa agak khawatir sebab tak seperti biasanya Jengga menangis saat menyanyikan lagu. Mencipta kontradiksi ketika Jengga merasa terpecut ribuan cambuk di hati dan pinggang kirinya.

Promise to see you this summer

Indra menatap Jengga lewat ekor matanya. Mau tak mau, entah mengapa Indra merasa ingin ikut menangis sebab lagu ini begitu mengingatkannya pada sang Ibu.

This time there will be no delay

Suara Jengga mulai sedikit bergetar, cairan yang jatuh lewat kelopak matanya kian menderas.

Nara dan Bas saling berpandang. Mereka harus segera menghentikan lagu ini. Sakka begitu tinggi kepekaannya, ia menatap Bas yang berbisik pelan, sehabis ini, langsung saja ditutup, katanya. Indra pun ikut paham. Serikat Hujan bersiap mengakhiri penampilannya.

Mother ... how are you today? 

Syahdan lagu pun kini telah dirampungkan dengan sedikit lebih cepat. Gemuruh tepukan tangan yang berasal dari manusia yang menikmati lagu mereka silih barsahutan, termasuk dengan seorang kakek yang tadi Jengga tatap. Beberapa orang ada yang menangis, beberapa lainnya ada yang terenyuh. Lagu menakjubkan itu ditutup oleh petikan suara gitar Baskara yang mulai pelan melantun.

Keberhasilan mereka yang sangat pantas tuk direkam lensa pikiran. Bukan perihal apa atau siapa, tapi ini tentang isi hati manusia-manusia yang berhasil diwakilkan dan disuarakan. Beban-beban keresahan Jengga sedikit terbang kala mengumandangkan lagu ini.

Serikat Hujan dengan segala usaha telah usai menceritakan isi hati mereka.

Beberapa pendengar ada yang mengucap terima kasih. Serikat Hujan membalasnya dengan ucapan terima kasih, termasuk dengan senyuman yang mengembang di wajah. Jengga demikian, ia tersenyum meski hanya singkat.

Hatinya masih merasa sesak, maka ia pun berpamit pada teman-temannya. Semua mengiyakan. Jenggala bergegas berlalu menjauhi taman musik. Ia melangkahkan kaki di atas trotoar jalan. Tak terasa Derana sedang berjalan bersamanya di samping. Perempuan berpakaian seterang langit itu menggumamkan sebuah nada.

I found the man of my dreams

Jenggala terbeliak, Derana melanjutkan bait ketiga lagu barusan. Tak ada iringan musik, hanya ada suara Derana yang jernih. Sendiri. Tunggal. 

Next time you will get to know him

Surai ikal Derana bergoyang saat ia berjalan riang. Perempuan itu berjalan mendahului Jengga, ia mengambil langkah mundur, matanya menatap Jengga dengan sebuah senyuman tulus. Suara Derana sangat merdu.

Many things happened while I was away

Perempuan itu menghentikan langkah kala melihat Jengga terpaku di tempat. Tak berperasaan, perempuan itu mengakhiri nyanyiannya dengan senyum yang tak henti terus merekah sempurna.

Mother, how are you today?

Derana menatap Jengga lama sekali. Perempuan itu kemudian mengalihkan pandangannya ke langit Bandung yang tengah mengharu biru. Sang pemudi memetakan beberapa kenangan yang dulu pernah terjadi di sini.

"La, tempat ini punya memori penting untukku. Di sana, di taman itu, aku pernah main bareng sama Aa. Aa dimarahin sama ibu, gara-gara paginya jatah sarapanku dia habisin semua," ceritanya dengan sesungging senyum tipis yang memulas wajahnya dengan cantik.

"Kakak aku itu orangnya nyebelin, penguping, sok tahu, berisik, sering ngajak berantem, pengin tahu terus urusan orang, tapi ... La, tahu, nggak? Meski dia kadang buat aku jengkel, tapi aku tahu, dia kakak yang baik. Dia menyayangiku."

Perempuan itu kini benar-benar menatap Jenggala dengan lekat. Bercerita pada orang lain soal kehidupan pribadinya bukan hal yang mudah bagi Derana. Akan tetapi karena Jenggala merupakan salah satu dari teman terbaik yang ia punya, ia rasa tak ada salahnya untuk membagi cerita itu barang sedikit.

"La, dari arah kanan akan datang Kisan dan Damara. Mereka datang terlambat." 

Tubuh Derana berbalik, ia mulai berjalan pelan. Meski masih setia mengonsumsi keterdiaman, Jenggala mengikuti langkah Derana dalam hening.

"Lalu?" tanya Jengga pada akhirnya.

Bukannya menjawab, Derana malah balik melempari Jenggala dengan sebuah pertanyaan, "La, kamu rindu saudaramu?" 

Hening. Jenggala bergeming. Ia terus melangkah menyusuri trotoar yang entah akan membawanya ke mana.

"Kamala, Mama Syakira sekarang lagi masak ayam kremes, lho. Makanan kesukaanmu. Tertarik buat kembali ke rumah lagi?" tanya Derana kembali. Ia seolah tak bosan menanyai Jengga dengan beragam pertanyaan.

"Nggak ...." jawab Jengga pada akhirnya.

Derana tersenyum simpul. Ia memasukkan tangan semunya pada rok kelabu yang melingkupi tubuh.

"La ... saudaramu datang. Sampai jumpa nanti." 

Sekedipan mata, setelah suara jentikan jari terdengar di telinga, Derana menghilang ditelan udara.

Desingan mesin motor memberondong telinga lamat-lamat. Di sana, Kisan duduk, figurnya yang kini tak sependek dulu tengah dibalut seragam putih kelabu. Kedewasaan memahat wajahnya. Kisan begitu lancar mengendarai kendaraan motor, dulu, seingat Jengga, anak itu bahkan sering sekali jatuh terjungkal dari sepeda. Kini ... Kisan, kembarannya telah banyak berubah. 

Di belakang, menumpang Damara dengan plester dinosaurus biru yang menguasai sisi pelipisnya. Pemuda yang memiki durja bak cerminan diri, pemuda yang kini terlihat ogah-ogahan dibonceng Kisan. 

Kamala berdiam pada tempatnya selama beberapa detik. Ketika motor itu melintas di depan dirinya, kedua mata tak henti mengantar kepergian mereka pada sebuah gerbang sekolah yang nyaris ditutup seorang satpam.

Rasa kosong di hati kembali meroket ke angkasa. Ia teringat akan ucapan Arkais. Seberapa besar pun kesangatan inginnya untuk kembali ke rumah dan merasakan kebahagiaan, rasanya, kefanaan lebih dahulu memupus keinginannya di langit sana.

Dengan berat hati, Jengga kembali berjalan menjauh. Bersama dengan rasa sesal yang kembali menggila dalam kepala mendadak saja udara disempitkan oleh suara decitan rem yang terburu dieratkan.

"Kamala!" teriak Kisan sambil menengok ke belakang. Damara kebingungan. 

Akan tetapi, kini Kamala telah raib. Tak ada Kamala di dunia ini, sebab Arkais telah mematikan kepercayaan anak itu pada rasa kasih yang dimiliki oleh sebuah hal yang dinamakan; keluarga.

Jenggala menghilang di kelokan jalan. Menjauhi kembarannya, menjauhi segalanya.

Hyena Licik dan Kelinci Murung

Dua detik, dua jam, lalu berubah menjadi dua hari, tanpa bisa diduga ia menjelma menjadi dua bulan yang tak terasa berlalunya. Waktu begitu membumi-hanguskan akal Arkais yang carut-marut memikirkan sesuatu dalam kepala. Di pelataran halaman pedesaan yang sepi, ia mencoba menghubungi Jihan. Suara panggilan telepon begitu kontras dengan irama kepakan merpati yang terbang ramai-ramai di angkasa.

Lantas ketika akhirnya suara Jihan terdengar dari sebrang sana, Arkais pada akhirnya mampu mematut wajah lebih rileks, tak segundah dan sekaku asalnya. Ia melegakan tenggorokannya dan berdeham.

"Jihan, surat wasiat milik Gusti sudah ditemukan." ucap Arkais dengan nada agak khawatir.

Telepon tak lagi mengabarkan suara Jihan, melainkan sebuah suara aneh laiknya ada sepasukan semut yang tengah menginvasi telepon tersebut.

Di sebrang sana sepertinya Jihan tengah membenarkan posisinya. Ada sebuah jeda sebelum lontaran pertanyaan bernada getas disampaikan Jihan, "Bagaimana bisa?"

"Sudah kubilang, keputusan kita saat itu begitu gegabah Jihan. Salah satu dari mereka sepatutnya dibawa ke Leiden, seperti rencana awal." 

Arkais menatap pada cakrawala yang begitu biru, desakan angin memburu tubuhnya yang dibanjiri keringat.

"Jadi sekarang kau menyalahi takdir dan melimpahkan kesalahan seluruhnya padaku? Sementara sejak mereka kita curi, kau dan kebangsatanmu begitu menikmati cuan-cuan yang kau dapat? Begitu caramu bekerjasama, Arkais?"

Suara Jihan terdengar samar-samar, dilatarbelakangi suara debuman pintu, Arkais menebak jika wanita itu kini sedang berbenah dan melesat ke kawasan Dago untuk mencabik-cabik dirinya dengan umpatan.

"Begitu lalainya engkau, Arkais. Jika mau aku balikkan, dulu kau yang sesumbar akan menghadang siapa saja agar kasus ini tak tercium siapa pun, lalu sekarang? Nyatanya suruhan Gusti masih berkeliaran dan mendapatkan bukti itu, sekarang siapa yang gegabah?" cerca Jihan, sekarang ia terdengar tengah menuruni tangga bersama dengan stilleto miliknya yang setia melingkupi kaki.

Hati Arkais berdentam menahan amarah yang nyaris meledak. Ia mengepalkan jemari, membuat amplop coklat yang berisi foto usang dua bayi laki-laki ikut teremat hingga kusut.

"Wanita munafik! Jelas-jelas ini kesalahan kita bersama! Sejak awal tidak ada yang menyalahkanmu, aku hanya berbicara soal seharusnya!"

"Yang seperti itu, pun, namanya menyalahkan, Arkais. Jangan berkilah, tandanya kau menyesali apa yang terjadi sekarang!"

Arkais menukar posisi berdirinya dengan duduk di salah satu gundukan tanah yang padat. Ia memandangi amplop coklat kusut di tangannya dengan gamang.

"Jihanna, yang terpenting sekarang adalah bagaimana caranya kita bersembunyi dari orang-orang Gusti. Aku tidak mau kehilangan apa yang telah aku raih!"

Jihanna mengumpat di sebrang sana, "Tch, kau tidak mau berkorban, Arkais. Naif sekali."

"Sebermulanya ini berawal dari keputusanmu membuang anak itu di pasar malam. Segalanya jadi goyah dan tidak berjalan sebagaimana mestinya, ia jadi dekat dan anakku dan menambah situasi menjadi runyam!" 

"Hoo, siapa yang paling pertama mengeksploitasi? Siapa yang lebih bajingan dengan merampas organ, menjualnya, lantas memalsukan kematiannya? Kau dulu bilang tingkahku kelewatan karena membiarkannya terlunta-lunta di pasar malam. Lantas kau ini harus kusebut apa sekarang, Arkais?" Kalimat bernada ejekan itu Jihan lontarkan dalam satu tarikan napas. Ia memburu, deruan udara yang keluar dari mulutnya begitu mempertegas bahwa kini ia pun sama-sama berang tak terima.

"Di mana waktu itu terjadi, keluarga Gustian akan segera mengetahui keberadaan cucunya. Yang terpenting aku sudah tidak terlibat dengan salah satu dari mereka. Nah, Arkais, selamat menikmati nerakamu. Pertanggungjawaban lah kesalahanmu, seorang diri. Sebab di masa itu terjadi, aku pastikan kau tidak akan menemukanku di negeri ini. Senang bekerjasama denganmu."

Panggilan terputus, meninggalkan Arkais yang terpaku di tempatnya.

Enigma

Juan Adi Gustian. Bisnisnya menggurita hingga mampu mencakup kawasan Indonesia bahkan ke negeri tetangga. Keberhasilannya membangun dan menjalankan bisnis properti dan kosmetik sejak masih muda begitu terbayarkan sekarang. Hingga di usianya yang kink sudah begitu senja,  ia akhirnya memutuskan untuk menikmati sisa waktunya di rumah pensiun di daerah Bali. 

Rahadi Bagus, anak dari Gusti yang kini melanjutkan bisnis ayahnya. Sebabnya, ia tidak bermukim di satu tempat dalam jangka waktu yang lama. Ada banyak perjalanan bisnis yang harus ia lakukan. Meski memiliki rumah tetap di daerah Surapati, ia lebih banyak menghabiskan waktu di apartemen bersama dengan istrinya yang sedang hamil besar. Contohnya seperti sekarang, ia dan istri terkasihnya tengah mengisi salah satu apartemen elit di kawasan Jakarta Pusat. Hanum, kini ia tengah memasuki bulan kesembilan usia kandungan. Sebagai putra satu-satunya dari Gustian, diperkirakan anaknya inilah yang nantinya akan meneruskan bisnis keluarga.

Adi tak sendirian di sini, selama perjalanan dinas ke beberapa kota maupun negara, ia selalu membawa seorang yang paling dipercayainya. Ia adalah Arkais. Arkais yang sejak kuliah sudah tersohor akan kepintaran dan kepiawaiannya untuk menghimpun mahasiswa dengan cara menjadi ketua BEM di kampusnya. Ia juga memiliki kemampuan alami di bidang bisnis yang sangat jenius. Sebab sudah satu almamater dan mengetahui bahwa Arkais ini adalah orang yang memiliki bakat mumpuni untuk perusahaan, dengan pelbagai pertimbangan Adi pun mengusung Arkais sebagai orang kepercayaannya.

Namun, perlu diketahui bahwa dalam kehidupan yang fana ini, menggantungkan harapan kepada manusia adalah sesuatu yang bisa menyebabkan keliru. Hati manusia ibarat gelap di antariksa, tak mampu terjamahi dan tak ada yang mengetahui tentang apa yang disembunyikannya. Berhati-hatilah akan sesuatu, selalu ada musuh yang menghujam dikala lengah. Berhati-hatilah soal gunting dalam lipatan.

"Hanum, kakimu pegal?"  tanya Adi ketika melihat istrinya melenguh sambil menggoyangkan kakinya yang menggantung di sofa.

"Sedikit." Hanumari tersenyum. Ia menyandarkan diri di sofa yang empuk. "Lanjutkan saja, tidak perlu khawatir." lanjutnya sambil mengibaskan tangan.

Adi tersenyum simpul, ia beranjak dari pekerjaannya memeriksa laporan dan menanggalkan jasnya sambil berjalan.

Adi mengusak pelan surai Hanum yang begitu lembut dan harum dengan sayang. Lantas lelaki itu pun mendudukkan diri di sebelah Hanumari.

"Kalau lelah bilang saja, Hanum." Adi mengangkat kaki Hanum dan meletakan di pangkuannya, membuat Hanum ikut tersenyum dan membenahi posisi duduknya menjadi menghadap ke kanan, membiarkan Adi memijit kakinya kemudian.

"Jangan sungkan untuk meminta." lanjutnya.

Mereka ini pasangan suami-istri yang dulunya sama-sama memendam rasa. Tak pernah menukar kata, hanya curi-curi pandang saat bertemu di himpunan saja. Tetapi, mereka pada akhirnya dipertemukan dalam sebuah ikatan pernikahan. Nah inilah dia alasan mengapa mereka masih malu-malu saat berinteraksi.

"Terima kasih, dua jagoan sangat senang katanya dipijat ayah!" Hanum mengusap perutnya yang sudah membesar. 

Adi tampak sangat antusias, ia tersenyum lebar dengan tangannya yang langsung menggenggam jari Hanumari. Ia bertanya dengan semangat, "Benarkah itu?" 

Hanumari tertawa pelan, Adi Bagus ini perangainya bersemangat seklai jika menyangkut soal anak mereka yang dikabarkan kembar laki-laki.

"Iya! Nah, anak-anak sekarang, sapa ayah!" Telapak tangan Adi dituntun perlahan untuk menyentuh perut Hanum. Adi tampak gugup, ia menunggu sesuatu dan kemudian...

"Whoa, bergerak!" Kata Adi nyaris terpekik. Tangannya merasakan pergerakan yang bergerak hingga membuat bagian perut Hanum agak menonjol.

Hanum yang notabene keranjingan ranger merah dan ranger hijau kemudian berkata, "Katanya mereka lagi lawan monster jahat." 

Adi mengembuskan napas pelan, kemudian menatap Hanum yang tengah mengusap perutnya dengan tatapan sedalam samudra. Ia pun lantas memeluk perut Hanumari dan membisikkan sesuatu di sana, "Jaga bunda dengan sungguh, sungguh, ya? Dua jagoan ayah pasti hebat."

Atmosfer di ruangan itu begitu hening, tapi bukan jenis sepi yang menyesakkan dada. Melainkan, mereka sama-sama terhanyut dalam kebahagiaan.

Tiba-tiba saja, ada angin baru yang menyelusup ke pikiran Hanum, ia belum memikirkan nama untuk kedua anaknya nanti, lantas ia pun bertanya kepada Adi yang kini sedang tekun memijit kakinya yang pegal.

"Aku belum terpikir soal nama anak kita." ucap Hanum mengambil seluruh atensi Adi. Lelaki itu tampak berpikir sejenak sambil mengusap dagu. Dirasa memiliki ide yang sangat amat cemerlang, ia pun kemudian berkata dengan bangga.

"Hanum, aku memiliki usulan nama yang bagus."

Hanum pun mengangguk, "Apa gerangan nama hebat yang akan kamu sematkan kepada mereka?

Adi pun menatap langit-langit kantornya yang dicat senantan pucat, ia begitu tak sabar menanti anak-anaknya lahir. Sambil membayangkan bagaimana anaknya tumbuh nanti, bermain bersama mereka, mengantarkan mereka sekolah, mendengarkan cerita yang mereka bagi, Adi pun menjawab dengan sungguh sungguh.

"Bagaimana dengan Kamala dan Damara? Bukankah itu nama yang hebat?"

Dua Sisi

Badai Guntur hilir mudik menyapa rungu. Seseorang berlari kencang menjauhi mobil yang nyaris meledak berkobar api. Peluh banjir menghiasi dahi Arkais yang masih tegang. Di dalam mobil masih ada seseorang yang terduduk tak sadarkan diri di kursi penumpang. 

Blar! 

Suara ledakan pertama terdengar dalam radius tiga puluh meter, disusul dengan ledakan berikutnya yang menyebabkan si jago merah makin berkobar melahap jiwa dan kendaraan besi yang kini sudah entah berbentuk apa. 

Kedua tangan Arkais yang terluka bergetar hebat. Setetes liquid yang jatuh dari dahi dan bajunya tercecer di jalanan aspal yang berdebu. Ia bersama dengan rekannya yang baru pulang dari Bali hendak mengirimkan surat yang berisi titah dari Gusti untuk diteruskan pada Adi dan Hanum di Jakarta.  Namun gagal. Setibanya dari bandara Tubagus, rekan Arkais, memang sudah merasa was-was akan beberapa orang yang sering berada di sekeliling mereka.

"Arkais, sebaiknya kita memutar ke jalan Nasional saja agar lebih ramai dan kondusif." Tubagus berkata dengan gurat wajah khawatir. Matanya tak berhenti memirsa kaca spion yang menampilkan siluet Rubicon hitam yang menempel di belakang mereka. 

Arkais menggeleng sambil menggenggam kemudi dengan erat. "Avanza hitam di perempatan tadi sudah menunggu, Gus. Sama saja bohong kalau kita berkeras lewat sana." Sanggah Arkais. Ia semakin dalam menginjak gas sambil beradu dengan lecutan angin Jakarta yang lembab.

"Aku bisa, Tubagus. Percayalah." Ia melirik sekilas mata Tubagus yang ramai diisi ketakutan.

Alis Arkais bertaut, kecepatan mobil terus dipacu tanpa henti. Di kelokan jalan yang sepi, mobil berbelok tajam hingga nyaris menabrak pembatas jalanan. Mereka tak memperkirakan ini akan terjadi. Sebab dari dokumen yang Gusti titipkan hanya berisi surat keluarga dan beberapa lembar pengesahan yang tidak terlalu beresiko untuk dibawa.

Ctas! 

Mobil mendadak mengalami galat kondisi. Mesin mendadak berhenti dan semakin membuat Arka berikut Tubagus pucat pasi. Rubicon di belakang menyusul kencang. Satu tangan keluar dari jendela Rubicon yang super gelap. Arkais susah payah kembali menghidupkan mesin namun yang terjadi selanjutnya hanya fungsi rem yang malah menghilang.

Dor!

Pelatuk ditarik dan ban belakang mobil Arkais langsung pecah. Sontak saja mobil semakin kehilangan kendali dan berbelok ke segala arah. Seolah bergerak dengan kecepatan cahaya, Rubicon itu kini sudah berada di samping kiri mobil.

"Arkais, awas! Menghindar!" Tubagus berteriak keras. Tas hitam ia genggam sekuatnya. Amplop-amplop itu harus aman. Harus! 

Arkais menggigit bibir. Celaka! Sudah tidak ada jalan lagi untuknya selamat. Ia menatap Tubagus lekat-lekat. "Tubagus, maaf. Kita tidak akan selamat." Sepi mengisi, hanya suara Rubicon yang menderu dan dentaman jantung yang memancarkan adrenalin dengan kuat.

Tubagus Ginyarti, rekan kerja Arkais yang sudah membersamainya sejak lama menggeleng sambil tertawa sumbang. "Jika memang mereka orang suruhan pesaing Pak Gusti, saya hanya bisa berdoa pada Sanghyang Widhi agar kita selamat, Arkais." 

Nadanya entah mengapa mendadak putus asa. "Mungkin jalanku sudah berakhir di sini." Tubagus melempar tas hitam berisi dokumen tersebut pada pangkuan Arkais. "Bertanggungjawablah." Imbuhnya kemudian. Sesuatu itu menjalankan tugasnya dengan rapi, secepat darah terpompa menuju letaknya jiwa bersemayam, jendela Rubicon sekelam malam itu kembali dibuka. Mulut pistol tampak berkilau tertimpa sinar rembulan. Sebelum berondongan peluru terdengar, Tubagus mengacungkan jarinya, "Menundukkan Arkais!"

Suara pecahan kaca terdengar selanjutnya, kemudian letupan pistol, dan suara antara besi dan tulang yang saling beradu. Kematian menghampiri dengan sangat cepat, melebihi cahaya dengan kecepatannya. Darah terpercik ke segala arah, menuju jendela, kursi, turun mengotori baju, dan menggenang menelanjangi kewarasan Arkais hingga matanya melotot tak percaya akan apa yang ia lihat.

Brak!

Mobil menghantam pembatas jalan sebelah kanan, kepulan asap mulai membumbung keluar dari kap mesin. Air bag sudah dikembangkan, menyelamatkan Arkais namun tidak untuk seorang Tubagus yang kepalanya sudah dilubangi peluru. Dahi Arkais membentur pintu. Tangannya kaya akan darah Tubagus yang berusaha ia hentikan pendarahannya. Jauh seperti apa yang ia kira, Rubicon itu malah melesat jauh setelah memberondong dan nyaris menghilangkan dua orang nyawa.

Arkais membatu, masih mencerna apa yang terjadi barusan. Api mulai terpercik. Dengan mata yang menyiratkan segalanya, ia menatap Tubagus untuk terakhir kali. "Tubagus, maaf, aku gagal." Ia merangsek pintu yang telah penyok seluruhnya. Keluar membabi buta membawa tas hitam dan menjauh sejauh mungkin dari mobil yang kini mulai terbakar.

Arkais menangis. Entah benar-benar menangis atau pura-pura menunjukkan sisi kemanusiaanya. Sebab pada saat mobil itu meledak, maupun ketika Tubagus benar-benar raib setelah prosesi kematiannya, ia tidak benar-benar menyesal dan bahkan bersyukur atas kejadian itu.

"Kepada Adi, dari Ayahmu, Gusti.


 Bagaimana kabarmu dan Hanum? Saya sudah mendengar mengenai kabar bahwa menantu tercintaku akan segera melahirkan dalam waktu dekat ini. Kamala dan Damara, ya? Syukurlah. Semoga persalinan Hanum dilancarkan Tuhan. Jaga istrimu, Adi. Jaga cucu-cucuku dengan sungguh-sungguh. Janganlah berisau tentang apapun, yang terpenting sekarang adalah kamu dan keluargamu dapat sehat dan bahagia. Saya sudah cukup tua, jadi kelolalah perusahaan untuk kedepannya. Jika cucu-cucuku sudah besar, nawalah mereka ke Seminyak. Ada beberapa hal yang hendak saya bagi. Teruslah bahagia, Adi. Semoga Tuhan melindungimu. Berkabarlah dengan deras."

Surat dari Gusti, yang membuat bahtera kisah Dua Kembar berlayar seluruhnya.

Dua Ibu serupa Malaikat

Hari Sabtu sore, Hanum sedang bersantai di serambi rumah bertemankan secangkir teh bunga telang dan alunan suara Chrisye yang diputar dari piringan hitam. Ini bulan kesembilan kehamilannya, dan itu berarti hari kelahiran dua kembar sudah ada di depan mata. Hanya tinggal menunggu saja. Akhir-akhir ini ia sering merasakan kontraksi kecil yang kadangkala membuat Adi kalang kabut khawatir. Dirinya juga kadang sering merasa lelah dan letih. Namun itu semua tak begitu ia ambil peduli, sebab kedua buah hati yang kini tengah bersiap keluar dari rahimnya begitu kaya membuat hati senang tak terkira.

Hanum berniat untuk berdiri, namun, cairan bening yang melewati betisnya membuat ia tertahan di tempat. Ia meminta tolong pada asisten pribadinya untuk menelepon Adi sesegera mungkin. Pada akhirnya Hanumari dibawa ke rumah sakit guna menjalani proses persalinan.

Adi baru tiba di rumah sakit beberapa menit setelah Hanumari datang. Ia berlari kencang dan segera menghambur Aliyah, asisten pribadi Hanum, "Di mana istri saya, Aliyah?!" Tanyanya tak sabar. Peluh mengalir dari tubuhnya membasahi setelan yang ia pakai. 

"Sedang ditangani dokter di ruang, tindakan, Pak. Mari, sebelah sini." Aliyah berjalan mendahului menuju sebuah ruangan. Pintu ruangan terbuka dan seorang dokter lalu bertanya, apakah Adi adalah suami pasien, maka masuklah Adi ke dalam ruang tindakan menemani Hanum yang suda terbaring di brankart. Tanpa kata, ia menggengga erat tangan Hanum, mengecup lama dahi istrinya, dan kemudian berbisik tepat di telinga, "Saya ada di sini, Hanum. Saya ada di sini." 

Hanumari tersenyum menatap Adi. Wajahnya pucat dan dipenuhi peluh. Adi tak dapat membayangkan betapa tak karuannya perasaan Hanumari sekarang, betapa sakitnya yang Hanumari rasakan tak mampu terbayang di pikiran Adi. Ia tak tahan menahan tangis kala melihat dan  menjadi saksi betapa besar perjuangan Hanumar di pembukaan kesepuluh. Hanumarinya berjuang begitu tangguh.

Adi mengusap pelan rambut Hanumari sembari tersenyum menguatkan. Istrinya kelelahan dan nyaris menyerah sekarang. "Hanumari sayang, lihat saya." Hanumari lantas menurut dan menatap Adi dalam pandangan sayu. "Hanumari pasti bisa." Pandangan Adi turun pada perut Hanumari yang membuncit, "Anak-anak ayah yang tampan, Ayah sama Bunda sudah ngak sabar, lho, lihat kalian. Jadi ayo, berjuang bareng Bunda, ya?"

Seolah paham dengan apa yang Adi katakan, pada perjuangan Hanumari kemudian, dua kembar berhasil lahir dengan sehat. Nmun, di hari yang sama, Syakira Prabasari, istri dari Arkais, harus merasa berduka sebab kehilangan salah satu dari anak kembarnya pasca proses persalinan berjalan.

-

"Arkais, tolong bawalah serta anakku..." sang pria berbicara sekuat tenaga, berlomba akan ajalnya yang segera datang.

"Arkais, saya mohon dengan sungguh-sungguh, bawalah mereka pergi... Bawalah mereka ke Seminyak sesegera mungkin!" jerit sang wanita meraung-raung dengan air mata berlinangan.

"Jihan, kau bawa saja anak yang ini, perihal uang, waris dan sebagainya kita bagi menjadi dua. Kau bawa mereka ke Leiden. Jangan sampai hal ini tercium Pak Gustian."

"Jangan khawatir, tak ada yang mengetaui ini semua kecuali kita, Jihan."

"Mohon maaf, Pak Arkais, salah satu dari putra bapak kami kabarkan telah meninggal dunia pada pukul satu dini hari."

"Rahasiakanlah dari istri saya, suster." Arkais berlutut sembari memangku tubuh mungil Kamala yang masih terbalut kain. Uang berkata soal segalanya, lantas begitu saja, kabar mengenai kematian salah satu putra Syakira tak pernah terdengar sampai ke telinga, sebab yang ia tahu putranya tetap lengkap, dua, Kisan dan Kamala.

"Sebelum Pak Gustian meninggal, ia meninggalkan sebuah surat dan beberapa dokumen mengenai kedua cucunya. Buanglah surat wasiat di manapun itu, buatlah takdir diantara mereka terputus sampai-sampai kedua anak itu tidak boleh kembali bertemu."

 Arkais bergerak dengan gelisah, jiwanya seolah ditarik paksa dari tubuhnya. Pada situasi malam yang sunyi, ia terbangun dari tidurnya dalam keadaan yang buruk. Perasaannya dihantui ketakutan dan rasa tidak nyaman. Ketika melirik ke sampingnya, didapatilah Syakira yang masih terlelap dengan sempurna. Arkais merasa bahwa perasaannya cukup membaik meski hanya sedikit. Tangannya terangkat perlahan guna mengusak surai Syakira yang lembut.

Terpeliharannya dendam kesumat yang ia simpan semasa masih kuliah pada Rahadi Bagus karena merebut wanita pertama yang ia cintai, Hanumari, membuat sosok Arkais menjadi gila akan hasrat yang dimiliki. Ia menyusup menjadi orang yang paling bia dipercaya oleh Adi, memeonopoli perusahaan dan bertekad untuk membuat Adi dan keluarga, bahkan hingga sampai ke keturunannya menderita seumur hidup. Ia merasa sangat jahat karena menikahi seorang Syakira hanya untuk main-main saja, namun semakin banyak bumi berotasi, Arkais semakin paham bahwa ia ternyata bisa mencintai Syakira seperti halnya sekarang. Jika boleh dibilang, ketika ia bekerja sama dengan Tadjendra untuk mencelakai Kamala dan memalsukan kematiannya, ia begitu rapuh tak tega melihat Syakira menderita. Melihat istrinya menangis, merenung bahkan hingga sampai di titik lelah untuk hidup sungguh membuat Arkais terkoyak. Kendati demikian, perangai seorang Arkais itu begitu sulit ditafsirkan oleh manusia. Kemanusiannya patut dipertanyakan, dan keimpulsifannya janganlah diragukan. Seperti pada saat ini ketika daksa yang asalnya masih bernyawa itu, mendadak saja berubah menjadi segumpal daging tanpa jiwa yang tergeletak di ruang kerjanya sendiri.

Arkais menyudahi segalanya dan berlari dari apa yang telah ia lakukan ketika mendapatkan kenyataan bahwa anakbuah Gusti sudah memasuki area Bandung untuk menangkap dirinya. Jihanna yang telah terbang ke Leiden bersama dengan Panji dan anak perempuannya. Itu semakin membuat dirinya frustrasi dan ketakutan.

"Bertangggungjawablah, Arkais. Pertanggungjawabkanlah dengan seluruh hati."

Itulah bisikkan terkahir dari hatinya sebelum kematian datang menyapa beberapa detik setelahnya.

Stasiun Keberangkatan

Lantunan suara Yasin dan  untuk kali kedua datang menghampiri kediaman Syakira. Pada pagi hari yang murung itu, tak terdengar siulan burung maupun pendar sang surya yang biasanya sudah duduk menunggu di muka pintu. Geremengan orang-orang yang menangis dan berbicara hilir mudik menyapa kembali telinga. Rasa duka itu semakin ditunjukkan oleh bumi kepada para manusia yang sedang terluka. Perlahan-lahan, hujan datang menyusuri lapisan genting yang dingin berembun. Udara begitu menusuk kala tubuh Arkais yang sudah dikafani diletakkan di ruangan tengah rumah yang kini ramai dipenuhi sanak-saudara maupun tetangga yang datang untuk melayat. Syakira Prabasari terduduk lemah di samping Kisan. Air matanya sungguh kering, wajahnya bersih tanpa disesaki jejak-jejak lara. Si dulung yang kini tengah memberikan sebuah dekapan guna menguatkan hanya bia berdiam menatap sang Ibu yang seperti kehilangan jiwanya sendiri.

Kisan duduk membatu, diam mengusap tubuh sang ibu yang tak jauh dingin dari suhu tubuhnya. Tak ada yang lebih pedih dari kehilangan sorang ayah yang ia sayangi. Kisan tak mampu menerjemahkan rasa pedihnya melalui emosi. Maka yang bisa ia lakukan hanyalah bungkam dan membisu. Matanya begitu kosong. Hendak meminta pertanggungjawaban kepada siapakah ia atas kematian ayahnya yang sungguh secara tiba-tiba?

Damara duduk tak jauh dari mereka, ia hanya termangu sambil ikut mengaji untuk Arkais yang telah pergi.

Diamnya Syakira dapat Kisan pahami sebagai salah satu bentuk rasa sedihnya yang sangat. Wanita itu perlahan memirsa pada foto dimana wajah Kamala diletakkan di antara lily-lily putih yang segar, lama sekali ia menatap hingga pandangannnya mulai berkaca-kaca. Kemudian matanya beralih pada Arkais yang kini sudah siap dikebumikan.

Dalam pandangan mata Syakira, yang ia yakini adalah satu hal. Bahwa suami dan putranya adalah tidak benar-benar tiada.

Di waktu itu pula, seketika tubuh Syakira dibawa pada ketidaksadaran.

-

Kabar mengenai kepulangan Arkais sudah sampai ke telinga Jengga. Kini ia sedang mengurung dirinya di apartemen Kak Nara. Ia masih memproses rasa duka yang selama ini ia tahan sekuatnya. Tak pernah terbayang bagaimana rasa sakitnya sang Bunda dan saudaranya mendapati orang terksih telah pergi untuk selama-lamanya.

"Jenggala." Suara ketukan pintu kembali menarik atensi Jengga. Itu suara Kak Nara. Segeralah ia bangkit berdiri dan membuka pintu. Wajah Kak Nara tampak hangat ketika memberi sebuah bungkusan kresek dan mengopernya ke tangan Jengga.

"Sarapan dulu, ya. Bas sama Indra ada di ruang tengah, nanti kalau  kamu udah mau bicara, kami ada di sana, oke?" Seolah mengerti akan apa yang di rasakan Jengga, Kak Nara memberikan sebuah ruang untuk Jengga mengonsumsi dukanya sendiri. Jenggala tersemyum sumir kemudian berucap terima kasih. Ia kembali jatuh pada lamunannya, akan sehancur apa perasaan keluarganya nanti?

-

Ini sudah hari ketujuh, dan Jengga belum juga mampu untuk kembali menampakkan diri ke kediaman Syakira. Ia seolah tak bernyali, ada banyak hal yang memersuasi dirinya akan hal ini. Namun, ucapan Derana di sore hari itu kembali memberikan angin baru bagi Jengga untuk datang menemui dan berbela sungkawa.

"Jenggala, mereka membutuhkanmu." Hanya lewat kata-kata Derana itulah yang mampu membuat  Jengga dan anggota Serikat Hujan datang berdiri di hadapan gerbang sebuah rumah yang ramai oleh karangan bunga bernada dukacita dan bendera kuning yang diterbangkan angin dengan perlahan.

Baskara dengan wajah khawatirnya berkata perlahan, "Tapi aku masih takut, nanti gimana kalau Jengga diperlakuin nggak manusiawi kaya dulu?" Kekhawatirannya akan tingkah Arkaisdi masa lalu memang mempunyai alasan, namun yang terpenting sekarang adalah setidaknya Jengga ingin menguatkan Mama dan saudaranya meski untuk terakhir kali. Bahu Baskara ditepuk pelan oleh Lunara, "Bas, teu nanaon. Di dalam ada saudaranya, sekarang nggak mungkin ada yang bikin Jengga sakit kecuali nahan rindu buat ngga ketemu Ibunya dalam waktu yang sangat lama. Kita hargai keputusan Jengga, ya?"

Mahabala Baska Randu sudah sejak dulu mudah menuruti ucapan Kak Nara, dengan begitu, ia pun mundur beberapa langkah dan mempersilakan Jengga untuk masuk ke rumahnya.

Lantunan suara pengajian, menjelang petang masih dengan jelas terdengar bahkan sampai ke halaman rumah. Jenggala sukma berjalan dengan perlahan, dibersamai oleh suara jantungnya yang tak karuan. Kepada apa pemandangan yang terhampar di sebuah taman kecil, suplir-suplir itu, mawar milik Syakira banyak kenangan masa kecil yang berkelebat masuk dalam kepalanya. Jenggala menangis dalam keterdiaman. Ia begitu merindukan rumah ini dan penghuninya lebih dari apapun.

Para tetangga yang sedang duduk di bawah sebuah tenda banyak melempar pandangan terkesima ke arahnya. Namun Jengga--tidak, maksudnya Kamala tetap abai. Ia memakai pakaian serba hitam, di saku-saku celana hitamnya ramai diisi bungkusan permen berbentuk hati. Pada sudut hatinya ramai disesaki doa dan rasa rindu untuk medniang ayah dan keluarganya yang kini hendakia sambangi. Sefigur daksa remaja itu datang hendak memasuki mulut pintu, tak banya yang ia bawa, hanya sebuah buku yasin dan aroma sereh yang sampai saat kini tak jua berubah. Ia mengampun atas nama Tuhan karen atak kuasa melawan nyalinya yang pengecut untuk menemui ibunya di rumah ini sejak lama. Betapa lalainya ia meninggalkan ibunya didera kesedihan sendirian. Dikurung oleh kenangan seorang diri, dan hanya memikirkan atas kepedihan dirinya sendiri. Namun, kini Kamala ingin meminta ampun. Kepada Tuhan, juga pada Ibunya yang sangat ia cinta.

Rindu sudah menumpuk tumbuh bersama jiwanya. Kamala menyiapkan hati, dirasakan sekujur tubuhnya kedinginan karena takut dan juga tegang.

Kaki kanannya melangkah mulai masuk muka pintu. Seseorang di belakang tiba-tiba kut berjalan dengan tergesa di sampingnya. 

"Assalamualaikum...." Kedua persona itu, mengucap salam bersama-sama.

Laiknya mimpi, ruangan itu tiba-tiba senyap sunyi suara. Kamala terperangah kemudian melirik orang yang tepat berada di samping dirinya. Sefigur manusia dengan pahatan wajah yang membuat  Kamala merasa seolah-olah seperti sedang berkaca. Damara juga demikian, sebuket seruni yang ia bawa, juga bertangkai-tangkai lily putih permintaan Syakira terjatuh begitu saja ke lantai.

Suara teriakan menggema di seluruh ruangan. Syakira wanita itu lama menatap pada Kamala yang kini tengah menunduk, Bi AMel yang duduk di muka pintu diam seribu  bas menatap pada dua manusia yang seolah bak pinang dibelah dua. 

Syakira berhenti melantunkan pepujian, ia menutup bukunya, kemudian bangkit berdiri dengan kaki yang bergetar. Matanya seolah hendak menangis kapan saja. Jejak kerinduan jelas terpatri di sana. Wanita itu berjalan dengan terseok, demikian dengan Kamala yng perlahan berjalan kemudian mendadak ambil berlari memburu mengecup kaki ibunya untuk meminta ampun. Ia sedikit tergelincir, membuat suara debuman yang cukup keras yang membuat  Kisan yang berada dilantai atas buru-buru turun sebab mengira ibunya kembali terjatuh pingsan.

"Ma, tolong ampuni Kamala." lirih Kamala sambil terisak di tempat.

Syakira Prabasari terlalu terkejut akan apa yang dilihatnya, namun ia berbisik berkali-kali pada Tuhan Maha Pengasih yang  telah mengabulkan doa-doanya selama ini. "Tuhan terima kasih,terima kasih telah memelihara anakku, terima kasih telah membawanya pulang kembali." Syakira meluruh dan membawa Kamala dalam pelukan, tidak erat, sebab ia takut anaknya akan dibawa pergi lagi, dipisahkan dari dirinya lagi. 

Kamala terisak sejadi-jadinya, balas memeluk dekapan ibunya dengan erat, membayar semua rindu yang sedari lama ia pendam. 

"Ya Tuhan, kamu pulang, nak?" Syakira melepas pelukan kemudian menangkup pipi anaknya yang kini berubah semakin tirus, tiak segembul dulu lagi. Digantikan oleh garis rahang tegas dan brubah semakin tampan saja. Kamala menganguk kuat-kuat sambil tersenyum. Air matanya masih meluruh deras. "Iya, Ma, Kamala pulang, Kamala di sini." Tangan pemuda itu menggenggam jemari sang mama yang masih ada di pipinya. Saki kembali membawa kamal dalamsebuah dekap. "Kamala, kalau ini mimpi, mama lebih memilih untuk tidak bangun kembali."

Kemudian ruangan itu kembali ramai oleh geremengan suara orang orang yang beradu. Damara masih tertahan di tempatnya, begitu pula Kisa yang menatap tubuh sang adik yang kini tengah berada di pelukan ibunya. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa ini buakanlah mimpi ataupun delusinya saja. Kamala yang itu? Kamala yang menyebalkan, Kamala yang cerewet, Kamala yang benci brokoli pada akhirnya pulang kembali? Kisan menunduk kemudian tersenyum. Air matanya meluruh tanpa terasa. Bagaimana mungkin semesta begitu kejam memberikan Kisan kepergian dan kepulangan orang terkasihnya dalam satu waktu?

-

Syakira begitu bersyukur hari ini. Pengajan telah usai, yang artinya hanya ada ia, Kamala dan Damara yang ada di rumah. Sampai sejak kamala datang, Kisan enggan ditemui dan malah pergi entah kemana. Saki sudah beberapa kali mendial Kisan, namun yang didaati bahwa ponsel anaknya itu sedang tidak aktif. Padahal ia inginmemberi tahu bahwa adiknya sudah kembali, ke rumahnya, hadir dalam figur nyata.

Jauh tak terkira rasa bahagia yang ingin ia ceritakan pada Arkais bahwa ini anakanya ternyata betul-betul pulang ke rumah dengan selamat.

Ayam kremes kesukaan Kamala sudah terhidang di meja. Namun Syakira ingin sesuatu yang lebih spesial. Ia kembali berkutat memasak makanan kesukaan Kisan dan Damara juga. Wanita itu betul-betul tak mengizinkan Kamala untu membantunya di dapur dan sebagai gantinya menyuruh Kamala untuk duduk di ruang keluarga bersama dengan Damara. Berdua saja.

Atmosfer di sini agak canggung. Kamala tersenyum simpull pada Damara yang betah memasang wajah kaku. Derana, pemudi itu tiba-tiba  muncul di samping Kamala seraya berujar, "Malu-malu meong dia, La." ujarnya ringan. Lantas pemudi itu malah pergi meninggalkan mereka dan lebih tertarik melihat atraksi Mama Saki yang tengah memasak di dapur.

"Halo. Aku Kamala, tapi lebih sering disebut Mala, sih. Hehehe, salam kenal, ya, Damara." Kamala menjulurkan tangan untuk dijabat, namun Damara malah melotot ngeri. Orang di depannya ini betulan, Kamala, ka, bukan hantu atau semacamnya?

Merasa bahwa mungkin, Damara terlalu terrkejut oleh sikapnya yang tiba-tiba Kamala pun memberinya ruan dan pamit pergi ke taman belakang.

"Barangkali kamu butuh yang manis, permen yupi ini bakal sangat membantu," kelakar Kamala sambil berlalu pergi. Pemuda itu tersenyum dan menghampiri Saki di dapur untuk pamit ke bagian sisi rumah yang ingin ia sambangi.

Damara semakun terpaku, Kamala itu, persis seperti apa yang Saki ceritakan.

-

Pintu kaca tersebut digeser perlaham. Kamperfuli itu ternyata masih berada di sini setelah sekian lama, udara malam yang menyambut Kamala di luar terasa betul menelisik tubuh. Kamala menghirup udara perlahan, mengizinkan kenangan masa kecilnya kembali diputar. Dahulu, jika Kamala ingi merehatkan diri dan pikiran biasanya ia akan langsung pergi ke sini. Yang pasti taklama kemudian, Kisa akan datan menemani. Ah, betul-betul nostalgia yang sangat ia rindukan.

Gemerisik kaki-kaki telanjangnya yang menginjak rerumputan terdengar oleh Kisan yang sedang melamun di pojokan kanopi sambil memejaman mata. Kala melihat sosok yang amat sangat ia kasihi, saudaranya, ada di depan mata, Kamala terlonjak satu langkah. 

"Eh!" Ia terkejut.

Kamala meremat saku celananya yang  berisi beberapa bungkusan permen. Ia tersenyum kemudian duduk di sebelah Kisan dengan segera. Pemuda itu menapas lega, baru sajaia akan berbicara, sudah terlebih dahulu dipotong oleh ucapan Kisan yang demikian pedas.

"Kalau kamu nyuruh aku buat makan malam, aku nggak berminat. Pergi sana!" ucap Kisan dingin sambil masih setia memejamkan matanya. Kamala terhenyak. Ada sedikit rasa perih yang perlahan menguasai perasaannya.

"Kiki... ini Mala,"cicit Kamala pelan.

"Bohong!" Kelopak mata Kisan terbuka perlahan. Pandangannya kemudian menghunus telak bola mata Kamala yang harap-harap cemas menanti respon kakaknya sedari tadi. "Semuanya bohong! Kamala, kamu dulu bilang bakal nepatin janji, kan? Halah, omong kosong." cibir Kisan sambil mengibaskan tangan.

"Gak usah pulang sekalian, anak cengeng!" cerca Kisan kembali. Ia menatap adiknya tanpa berkedip. Stok air matanya untuk menangisi bocah ini sudah habis! Kesabarannya sudah habis! Ia bukannya tak tahu bahwa yang berada di sampingnya ini adalah adiknya, namun Kisan gemas betul ingin menjahili setelah beberapa tahun berlalu tak bertemu dengan sang adik.

Kamala menatap kakinya sendiri dengan pandangan kosong. Kemudian tanpa bisa Kisan duga, raut kesal adiknya kini begitu mendominasi. Dengan kesal Kamala meraup bungkusan permennya dari saku kemudian melempar mereka ke pangkuan Kisan begitu saja.

"Aku juga males ketemu sama orang jelek kaya kamu! Kisan jelek!" Kamala langsung berlalu pergi masuk ke dalam rumah. Kisan bahagia luar biasa, ia tertawa sesukanya, kemudian menyusul masuk ke rumah sembari menggenggam berbungkus-bungkus permen di kedua tangannya.

Ia berbisik pada langit, menitipkan rasa terima kasih pada Tuhan yan begitu ia cinta, "Terima kasih."

Hanya lewat kata-kata itu, hatinya menjadi lapang kembali. Meski ia tidak tahu, kedepannya, akan ada berbagai enigma yang menunggu untuk ia pecahkan kembali.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun