Tawa Sura meledak ke luar. "Ngga, bercanda. Itu buat Kisan. Gue juga beliin buat lo, tapi ini eksklusif. Ngga gue beli di Ciwidey, tapi deket alun-alun. Ayam kremes."Â
Semerbak wangi sambal kemangi menusuk telak pembau. Kamala tersenyum lebar. Sobatnya memang sangat baik. "Makasih, Renjana."Â
Sura tak menjawab dengan senyum, anggukan, atau ucapan. Ia langsung berbalik dan masuk ke dalam sedan. Kacanya ia turunkan sedikit, mata dan hidung sura menyembul dari situ. "Gue langsung balik, ya? Mau ke rumah nenek. Ngambil kacang mete."Â
"Oke, titidije. Sekali lagi, makasih banyak." Kamala tersenyum.Â
Dari dalam, Sura mengernyit. "Apaan tuh, titidije?"Â
"Hati-hati di jalan, kudet banget yang kaya gitu aja ngga tau." jawab Kamala setengah berteriak.Â
Sura hanya ber-oh ria. Ia menaikan kaca dan minta supir pribadinya untuk kembali pergi. Di dalam mobil, Sura tersenyum tipis dan berbisik pelan, "Laksanakan, Jendral!"
Saat sedan sudah melaju pergi meninggalkan kawasan perumahan, Kamala hendak masuk ke dalam, namun, sebuah batu terburu menghantam tengkorak kepalanya. Kamala mengaduh, ia membalikan badan dan berhadapan dengan orang yang amat dibenci sepenuh hati.
"Sakit? Maaf gak sengaja." Jarna yang memulai peperangan. Diikuti teman-teman yang lain, ia merundung Kamala dengan melemparinya batu-batu kerikil.
"Ngadu sana ke Mama atau kembaran kamu! Kami ngga takut, anak cemen kaya kamu emang pantas dipukul." Jarna kembali berucap.Â
"Kamu, kan, kaya. Masa diminta bayarin tiket ke kebun binatang aja ngga mampu? Pelit banget, iya nggak?" Lelaki dengan perawakan besar itu meminta suara teman-teman untuk berucap iya.