Rasanya begitu pusing dan panas. Matanya begitu berat. Tubuh Damara linu di sana-sini.
Meja belajar yang terletak di pojok ruangan terasa begitu jauh bak tempat tak terjangkau di luar galaksi. Segalanya nampak lebih berat dan besar, dengan perjuangan yang tak sedikit pada akhirnya jemari Damara yang bergetar dapat menyentuh ponsel si biang keladi yang menginterupsi istirahatnya pagi ini.
Nama Syakira tertera di layar.
Ada tujuh panggilan tak terjawab di kolom notifikasi. Tanpa banyak membuang waktu lagi Damara mengangkat telepon tersebut secepatnya.
Ada perlu apa Syakira menelpon pagi-pagi begini?
"Pagi, Ma?" Damara membuka ucapan dengan suara serak. Tubuhnya ia senderkan ke dinding tangannya yang satu menopang pada sisian meja yang dapat dijangkaunya.
"Pagi, Damara. Gimana istirahatnya malam ini? Tidur nyenyak?" tanya Saki dari sebrang sana.
Kemudian jemari yang sungguh gemetar itu meraba pada kantung hitam yang ada di bawah matanya. Bagaimana ia bisa tidur jika sampai semalam suntuk kepalanya seperti diduduki ribuan gajah? Berat, dingin, nyeri, Damara tak bisa merinci lagi.
Pemuda itu tersenyum sebelum menjawab. "Nyenyak, Ma."Â
"Damara, maaf mama menghubungi kamu pagi-pagi begini. Nak, hari ini kamu bisa datang ke rumah dulu sebelum pergi ke sekolah?"
Lupa lah kebiasaan Damara akhir-akhir ini. Bagaimana bisa ia lupa jika hari ini ia mesti harus pergi ke sekolah?! Matanya sontak membola dan menegakkan tubuhnya sebagai reaksi keterkejutan yang kentara.