Mendadak matanya kembali menghitam. Suara berdebum menyesaki ruang yang sangat bisu oleh kata. Damara terantuk langkahnya sendiri.
Kepalanya membentur lantai. Sakit. Pinggangnya nyeri. Ia enggan buru-buru bangun. Lebih leluasa membiarkan tubuhnya merebah di atas ubin yang begitu nafsu membumbui punggungnya dengan rasa beku.
Matanya memandang kosong langit-langit yang masih disinari cahaya lampu. Tangannya perlahan memegang dahi dan mengenyahkan plester kompres yang sudah tak lagi dingin.
Sayup-sayup Damara mendengar bel apartemennya ditekan oleh seseorang. Barangkali tetangganya yang khawatir sebab suara benda jatuh tadi amat sengat besar dan terasa.Â
Suara itu enggan enyah hingga bibir Damara yang kering mulai bergerak dengan hampa.
"Tuhan, di sini sakit." Damara menunjuk kepalanya yang kini mulai berdarah.
Lantas sehabisnya Damara menyentuh leher yang kemarin dicekik Kisan, "Di sini juga."Â
"Lalu, yang paling sakit ada di sini."Â
Damara menunjuk dadanya. Damara menunjuk tempat diletakkan perasaannya.
Suara bel itu tak kunjung pergi hingga suara terakhir yang bisa Damara dengar dengan jelas adalah suara ia mereguk salivanya sendiri.
Sepi.