Kamala tak mengacuhkan mereka. Ia berlalu pergi tak banyak ambil peduli.Â
Telinga Tadjendra yang mendengar keriuhan sontak merasa risau, ia menghampiri Kamala dan bertanya ada apa. Kamala tak menjawab, malah buru-buru berlari ke halaman belakang dengan memanggul keterdiaman yang janggal.
"Ingat! Besok, kalau tetap keras kepala, habis kamu di sekolah!" Teriakan itu membuat Tadjendra berlari ke depan, ia memberi peringatan untuk tak membuat kekacauan dan sebuah ultimatum keras agar menjauh pergi dan tidak mengganggu Kamala lagi.
Jarna berdecih tak suka, ia memberi ajakan untuk pergi, lanjut memimpin suara yang sungguh melukai hati, "Mala anak mami! Mala anak mami!" ejeknya terang-terangan.
Lengkingan suaranya yang mengarak ramai sampai pada telinga Kisan yang tengah menatap keji mereka dari jendela lantai dua kamarnya. Lelaki itu hanya diam, merasakan gelenyar amarah dan rasa pedih yang pekat dalam dada.Â
Kamala pun turut mendengar kalimat menusuk itu. Ia duduk di kursi yang kini telah kosong tak disinggahi Bi Amel sambil bergeming. Kresek pembungkus ia letakkan di meja. Ia sudah tak berselera dengan ayam kremes pemberian Sura.Â
Hei, ternyata hidup menjadi manusia rasanya agak sukar, ya?
Angin kembali menyiul, sulur-sulur kembali bergoyang. Jingga dan merah bergradasi di langit, namun, pekatnya hitam sudah terburu terbit pada pikiran manusia yang kini tengah menelungkupkan kepala dengan resah di atas meja.
Denyutan nyeri di dada ... tak kunjung berhenti meski hanya untuk sedetik saja.
-
Kisan menggeser pintu kaca perlahan. Berlakon seolah-olah baru bangun tidur, menguap lebar-lebar.Â