Mohon tunggu...
Mahesa AlifAlMuntadzor
Mahesa AlifAlMuntadzor Mohon Tunggu... Lainnya - ...

...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rantai Hati

24 Februari 2021   07:40 Diperbarui: 25 Februari 2021   13:44 1043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Ambigu adalah salah satu sifat dari suatu misteri. Bukanlah suatu petunjuk melainkan suatu rintangan untuk mencapai sebuah kebenaran. Tetapi itu juga bisa menjadi suatu petunjuk bagi seseorang yang mempunyai keinginan untuk menyelesaikannya. Sehingga petunjuk itu akan berubah menjadi sebuah Metafora yang akan membantu untuk menyelesaikan sebuah misteri. 

Misteri merupakan suatu permasalahan yang rumit. Tetapi itu juga dapat membantu Manusia untuk berkembang dalam hidup meskipun mereka tidak mampu untuk menyelesaikannya. Layaknya suatu misteri dunia yang tidak akan pernah terpecahkan. Dan Mereka masih akan tetap berkembang jika dapat mampu untuk memetik sebuah inti penting untuk dirinya sendiri. 

Manusia bukanlah sebuah Tali yang rapuh melainkan Rantai Besi yang akan terus menyambung dan juga kuat. Meskipun begitu, Rantai Besi sekalipun dapat mampu untuk berkarat jika tidak pernah terurus dengan baik. 

***

Matahari terbit dan mulai menampakkan dirinya yang baru menyinari pagi hari yang dingin. Ben dengan mengenakan seragam sekolahnya yang masih terlihat kusut berantakan berlari tergesa-gesa di jalanan gang itu sembari menggigit roti yang sedikit gosong di mulutnya dengan berharap dirinya tidak terlambat. Meskipun sekolah yang ditujunya tidak terlalu jauh jaraknya dari tempat ia tinggal dan waktu baru menunjukkan pukul enam.

Di perjalanan gang itu Ben menatap dengan tajam ke arah persimpangan jalan di depannya. Apakah kali ini aku akan mendapatkan keberuntungan? Pikirnya. 

Setelah hampir mendekati persimpangan jalan, tiba-tiba ia mendengar suara dengungan suara truk dari arah kanan jalan persimpangan. Dengan terkejut, ia pun dengan cepat berhenti berlari seketika truk itu muncul di depannya. Apakah ini yang namanya keberuntungan? Ben terengah-engah setelah berhenti berlari dan merasa lega di buatnya. 

Setelah menunggu truk itu lewat, di belakang truk itu muncul seorang perempuan berambut pendek mengenakan seragam sekolah yang sama dengannya sedang berjalan. 

Di saat perempuan itu menyadari keberadaan Ben, ia langsung menyapanya."Oh! Pagi Ben". 

Ben sedikit terkejut setelah mendengar sahutan itu. "P-Pagi..". 

"Hm? Kamu tidak apa-apa?". Perempuan itu datang menghampiri Ben yang terlihat keletihan. 

"Ah.. Tidak. Aku hanya sedang tidak beruntung saja". Balas Ben dengan suara letihnya. 

"Oh. Dan kamu anggap itu hal yang biasa saja?". Perempuan itu mendekatinya sembari merapikan seragam Ben yang terlihat kusut berantakan. 

"H-Hey... Biar aku saja". Ben mulai merapikan seragamnya yang kusut berantakan itu dengan wajahnya yang sedikit merona.

Perempuan itu tiba-tiba mulai mengambil tas dari pundaknya dan membuka resleting tasnya sembari mencari-cari sesuatu di dalam tas itu. "Tunggu sebentar". Ujarnya. 

Tidak lama kemudian perempuan itu mengeluarkan sebuah kotak tisu dan mengambil satu-dua lembaran. 

"Aku bukan anakmu, Mira". Ujar Ben menatap perempuan di hadapannya itu yang tampak terlihat seperti ibu-ibu yang sedang mengasuh anaknya. 

"Ya, memang". Balasnya sembari terus mengambil lembaran tisu itu. "Tapi dari sudut pandang umur kita yang sama, apakah kita berdua terlihat seperti sepasang suami istri?". Mira menyeringai. "Ambil ini". Lalu memberikan lembaran tisu itu kepada Ben. 

"M-Mungkin….". Ben hanya bisa menjawabnya dengan suara yang kecil sehingga Mira tidak bisa mendengar apapun darinya. Ya, Kali ini aku benar-benar sedang beruntung! Ben berkata semangat di dalam benaknya. 

"Apa Emergency yang biasanya Sina berikan benar-benar membuat kamu harus terburu-buru seperti ini?". Ujar Mira sembari memasukan kotak tisu itu kembali ke dalam tasnya. 

"Bukan itu". Ben mengusap wajahnya dengan tisu yang Mira berikan. "Aku hanya ingin tahu apakah aku cukup beruntung untuk mendapatkan keberkahan di pagi hari saat berlari dengan menggigit roti di mulut. Dan sepertinya aku tidak beruntung".  

"Tidak beruntung? Bukankah tadi kamu hampir saja berpapasan dengan gerbang pintu dunia fantasi?". Balas Mira terkekeh-kekeh sembari memperhatikan truk yang lewat tadi. 

"Bukan itu". Mereka berdua mulai berjalan berbarengan menuju sekolah. 

"Hm? Oh.. Maksud kamu apakah kamu cukup beruntung untuk bertabrakan dengan seorang gadis di persimpangan jalan sembari menggigit roti di mulut?". Setelah itu Mira pun mulai tertawa terbahak-bahak. Suaranya yang menggelegar keras itu bahkan membuat orang-orang di sekitarnya terkejut dan memperhatikan tingkahnya itu. "Lain kali kamu harus mengatakan 'aku telat, aku telat' saat berlari tadi. Mungkin itu sebabnya kamu tidak beruntung". Lanjut Mira. 

"Atau mungkin mengganti roti ini dengan yang lebih baik". Balas Ben menghabiskan roti gosongnya itu dengan terpaksa. 

"Ah! Ya benar...". Mira tertawa lebih keras lagi. Sedangkan Ben hanya mengeluarkan senyuman kecilnya dan mengunyah-ngunyah rotinya itu sembari memandangi wajah Mira yang sedang tertawa-tawa.

Wajah Ben pada saat itu tampak terlihat seperti bocah yang baru mengenal rasa ketertarikan terhadap lawan jenisnya meskipun ia sudah menduduki bangku SMA. Ben sudah lama mengenal Mira sejak kecil dan mereka selalu memasuki sekolah yang sama dari SD hingga SMA. Mungkin Inilah takdir dan ikatan yang tidak akan pernah putus untuk selamanya.. Itulah yang selalu Ben pikirkan setelah ia memikirkan hubungan mereka selama ini.

Meskipun begitu setelah sekian cukup lama mereka mengenal sepertinya hanya Ben saja yang baru menunjukkan rasa ketertarikan. Dan Ben pun baru menyadari peraaaan itu ketika memasuki kelas tiga SMA di sekolahnya.

"Seperti biasa kamu selalu mudah terpengaruh dengan Anime yang baru saja kamu nonton". Ujar Mira setelah letih tertawa. 

"Apa itu buruk?". 

"Entahlah... Tapi sepertinya kamu harus belajar untuk menahan diri. Bahkan aku masih ingat ketika SMP kamu selalu bertingkah seperti sesosok ksatria pedang setiap kali kamu menemukan tongkat kayu di jalanan". Mira kembali tertawa tetapi kali ini ia menahan dirinya agar tidak tertawa lebih keras lagi, sembari mengusap air matanya yang sedikit keluar.

"Itu beda lagi. Itu sindrom remaja SMP, sesuatu yang tidak bisa aku tahan karena masa pubertasnya". 

"Oh begitu? Berarti kali ini kamu berada dalam masa sindrom remaja SMA. Dan sepertinya sindrom ini akan semakin meningkat mengikuti pertumbuhan kamu". Lalu Mira mendekati Ben dan menjinjitkan kakinya untuk membandingkan tinggi badan mereka. "Kamu semakin tinggi. Mama bangga denganmu". Mira menyeringai. 

"Hentikan… ". Ben menyentuh kepala Mira dan sedikit menjaga jaraknya. Wajahnya terlalu dekat. Pikirnya yang malu. 

Mereka berdua sudah hampir mendekati sekolah. Di depannya sudah terlihat gedung sekolah mereka yang cukup besar dari jarak mereka yang cukup jauh.

"Sindrom SMA… ". Ucap Ben sembari memperhatikan gedung sekolah di depannya. 

"Hm?". Respon Mira. 

"Mira. Kamu pernah merasakannya bukan? Sindrom SMA".

"Apa maksud kamu?".

"Yah.. Kamu tahu… Maksudku kamu pernah merasakan masa-masa dimana biasanya para remaja SMA lakukan pada masanya bukan? Masa muda remaja SMA atau semacamnya".

Mira sedikit heran. "Ya.. Tentu saja. Kamu juga saat ini sedang merasakannya bukan?". 

"Y-Ya.. Tapi maksudku seperti…. Melakukan tindakan yang tidak biasa sebelumnya kamu lakukan… seperti merasa terbebani akan sesuatu pekerjaan baru atau mencoba sesuatu hal yang baru atau…. ".  

"Atau…. ". Mira memiringkan kepalanya. 

"Percintaan". Akhirnya Ben mengucapkannya.

Mira terdiam sejenak dan lalu mulai mencebil. "Hmm… Percintaan. Aku bukan pelacur, kamu tahu itu". "Bukan itu maksudku".

"Bercanda. Glen maksud kamu?".

"Ah. Ya itu.. ".

Mira menyeringai. "Hmm… Memang kenapa kamu menanyakan hal itu--

Tiba-tiba Mira terdiam. 

"Ya…. Aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya memiliki hubungan seperti itu". Balas Ben mengharapkan sesuatu. 

Lalu Mira pun mulai menatap wajah Ben yang lalu memalingkan wajahnya kembali. "Kalau kamu ingin tahu, seharusnya kamu bertanya kepada Glen. Sesama lelaki". Ujarnya.

"Menanyakan hal itu dalam percakapan antara lelaki sungguh memalukan". 

"Hmm…. Lalu kenapa kamu menanyakan itu padaku?". 

"Yah…. Kebetulan saja saat ini aku sedang memikirkannya… ". Balas Ben yang wajahnya sudah terlihat sedikit memerah. 

Lalu Mira pun menundukkan kepalanya menatap ke arah bawah. "Aku tidak akan bisa menjelaskannya dengan baik. Karena hal itu tergantung bagaimana orang lain inginkan dalam hubungan itu. Semua orang mempunyai caranya masing-masing dalam menjalani hubungan dan hubunganku dengannya tidak akan terlalu membantumu untuk melakukan hal yang bagaimana biasanya orang lain lakukan". Mira mengatakannya dengan wajah yang sedikit suram.

Hm? Apa hubungan mereka sebelumnya tidak begitu baik? Aku tidak menduga itu. Sebenarnya Ben merasa hubungan Mira dengan Glen itu baik-baik saja, tetapi setelah mendengar ucapan Mira tadi sepertinya ada yang berbeda. 

"Apakah pertanyaan itu membuatmu merasa terganggu?". Ucap Ben yang merasa khawatir padanya. 

"Hm? Ah…. Tidak. Itu hal yang sudah biasa ketika kamu sedang mengingat-ingat sang mantan. Sedih, suram, marah atau semacamnya". Balas Mira yang sudah terlihat tenang. 

"Apa kamu yakin?". Ucap Ben yang masih merasa khawatir.

"Tenang saja. Mama tidak akan berpaling dengannya lagi. Yang paling penting sekarang, mau jadi apa kamu di masa depan nanti, nak?". Mira menyeringai dan mengelus kepala Ben. Dan Ben pun hanya membalasnya dengan senyumannya yang merasa bersyukur.

Setelah itu Ben mulai mengeluarkan handphone miliknya dari saku celananya dan membuka layar kuncinya. 

"Apa kamu benar-benar sudah membaca Emergency-nya?". Ben memulai topik pembicaraan baru. 

"Ya. Memang kenapa?".

"Ah….. Tidak. Aku kira kamu akan terlihat sedikit lebih khawatir lagi tentang ini. Tapi sepertinya tidak". Ben merasa bersyukur. 

"Hm? Biasanya juga dia selalu memberikan Emergency yang tidak terlalu penting bukan? Minggu kemarin yang berupa foto kucing hitam ternyata masalahnya hanya karena dia terkena cakaran kucing hitam itu dan lalu menyuruh kita untuk menangkapnya. Dan kali ini kunci? Aku tidak yakin ini akan menjadi masalah yang serius". Ujar Mira dengan lantangnya. 

Ben terdiam sejenak. Kunci? Hanya itu? Wajah Ben terlihat sedikit kebingungan. Lalu ia pun mulai menggerak-gerakan jari jemarinya di layar handphone miliknya dan membuka aplikasi Whatsapp. Ia melihat pesan dari dalam Group Pencari Masalah yang terlihat hanya ada empat anggota di dalamnya. 

Di dalam Group itu terdapat sebuah pesan berupa foto kunci yang di kirimkan oleh Sina dengan pesan Emergency! Jam 6 pagi! Dan di slide bawahnya terdapat sebuah foto yang satunya lagi. "Apa hanya foto kunci saja yang kamu lihat?". 

"Iya?". Jawab Mira dengan wajah yang sedikit bingung. 

"Ah.. Mungkin kamu belum membuka pesan baru tadi pagi". Lalu Ben pun memperlihatkan layar handphone-nya kepada Mira.

"Hm?". Dengan mengusap-usap matanya yang terlihat sedikit memerah, Mira lalu menatap layar handphone itu dengan teliti. 

Di dalam layar terlihat sebuah foto yang sedikit buram yang menunjukan waktu terkirim pukul lima lebih setengah. Foto itu memperlihatkan gerbang luar sekolah yang di dalamnya terdapat satu mobil polisi.

"Sepertinya Sina terlalu kesenangan saat mengambil foto buram yang satu ini-- 

Seketika itu Ben memandangi Mira yang sudah cukup lama dia menatap layar handphone miliknya. Dan ekspresi terkejutnya terlihat jelas oleh Ben ketika Mira mulai menutup mulutnya dengan kedua tangannya. 

"Mira? Kamu tidak apa-apa? ". Ben kembali merasa khawatir kepadanya. 

Lalu Mira pun mulai menatap ke arah wajah Ben dan menatap layarnya kembali dengan wajah yang mulai sedikit tenang. 

"Apa ini ada hubungannya dengan foto kunci itu?". Tanya Mira. 

"Mungkin. Kalau memang iya sepertinya ini akan menjadi masalah yang lebih serius". Balas Ben sembari memasukan kembali handphone miliknya ke dalam saku celananya. 

"Kita harus cepat-cepat kesana". Tiba-tiba Mira mulai mengenggam tangan Ben dan menariknya dengan berjalan terburu-buru.

"H-Hey…. Tenang, Mira". 

Ben merasa sedikit bingung antara khawatir atas tingkah aneh Mira atau merasa senang atas dirinya sendiri setelah tangannya di genggam erat oleh perempuan itu yang terasa dingin di sentuhnya. 

***

Seorang pria berjenggot yang pada saat itu sedang duduk santai menikmati kopi panasnya dengan sebatang rokok di tangannya mulai memperhatikan jam dinding yang tertempel di dinding dalam pos-nya. Setelah dilihatnya, ia pun mulai berdiri dari tempat kursinya dan mengambil sebuah kunci yang bergeletakan di atas meja. 

Ia keluar dari pos-nya dengan rokok yang masih berada di mulutnya dan segera berjalan menuju sebuah gerbang yang berada di depannya yang lalu setelah sampai ia mulai membuka gembok kunci yang tergantung di sana. Setelah gembok itu terbuka ia mulai mendorong gerbang itu dengan kuatnya agar terbuka. 

Suara roda gerbang yang bergelinding dengan perlahan pada saat itu terdengar kasar yang bahkan sampai terdengar keras oleh Mando yang berada di dalam kantor sekolah yang sedang memperhatikan sebuah layar handphone yang terdapat sebuah foto kunci di dalamnya. Dan di samping Mando berdiri seorang pria tinggi berkulit hitam kecoklatan dengan memakai seragam kepolisian yang sedang memperhatikan gerbang itu terbuka.

"Foto ini tidak terlalu membantu. Apa kamu yakin hanya dengan foto ini kamu bisa meyakinkan saya terhadap pelaku pencurian ini?". Ujar Mando dengan nada yang sedikit kesal sembari memberikan handphone itu kembali kepada gadis berkacamata dengan rambut pendek yang terikat ke belakang di hadapannya yang mengenakan baju tidur yang terlihat kotor. Lalu Mando pun mulai merapikan kemejanya yang di pakainya itu yang terlihat kotor juga. 

"Sabar Pak! Saya masih belum menjelaskan latar belakang dari foto ini!". Balas antusias gadis berkacamata itu. 

"Tidak ada waktu lagi untuk menjelaskan". Ucap pria tinggi beseragam kepolisian itu sembari menyentuh pundak Mando di belakangnya. "Kalau mobil itu terus di biarkan terparkir di sana. Para murid-murid di sekolah akan melihatnya dengan khawatir apa yang sebenarnya terjadi di sini". Lanjut si pria tinggi.

"Ya, anda benar". Balas Mando dengan suara yang lemas yang lalu mulai meraba-raba ke dalam saku belakang celananya. 

"Tunggu dulu Pak, saya masih belum menjelaskan apapun". Ujar gadis berkacamata itu. 

"Ya? Kalau begitu coba jelaskan terlebih dahulu kenapa kamu masih memakai baju tidurmu itu di sekolahan". Ujar si pria tinggi. 

"Itu tidak penting, partner". Balas si gadis menatap pria tinggi itu dengan berani. 

Si pria tinggi terlihat sedikit tersinggung dan mulai mengambil kacamata yang di pakai gadis itu lalu memperlihatkan dengan jelas kepadanya Nickname di seragam kepolisiannya yang bertuliskan Neur Sanjaya.

"Baca ini dengan jelas, gadis kecil". Ucap pria tinggi itu dengan nada yang mengejek karena tinggi badan mereka yang sangat jauh.

"Sebelum itu berikan kacamata itu terlebih dahulu. Saya tidak bisa membacanya dengan jelas". Si gadis menjinjit-jinjitkan kakinya untuk mengambil kacamata itu yang di angkat tinggi-tinggi oleh Neur. Sedangkan Mando sedang sibuk mencari-cari sesuatu di dalam dompet miliknya itu. 

"Kacamata ini tidak dapat mampu membantu kamu untuk melihat dengan baik. Bahkan tidak dapat mampu membantu kamu untuk mencarikan pakaian yang pantas untuk di pakai". Ujar Neur yang lalu memberikan kembali kacamata si gadis itu. 

"Ya, maaf Part-- Pak Neur". Si gadis mulai memakai kembali kacamatanya. "Aku akan menjelaskannya".

"Nanti saja penjelasannya". Ucap Mando yang tiba-tiba memberikan sebuah kertas kepada gadis itu yang bertuliskan sebuah nomor. "Nanti kamu bisa jelaskan semuanya di saat waktu pulang sekolah. Telepon nomor ini". Mando mulai menyentuh kepalanya yang terasa sedikit pusing. 

"S-Siap Pak!". Jawab gadis itu sembari memberi hormat. 

"Dan yang paling penting penjelasan tentang baju tidur yang kamu pakai itu". Pak Neur menambahkan, tetapi si gadis menghiraukannya karena sedang sibuk merapikan pakaian tidurnya yang kotor. 

Mando dan Pak Neur pun keluar dari kantor itu yang lalu masuk ke dalam sebuah mobil polisi yang terparkir di lapangan sekolah. 

"Tunggu sebentar Pak Mando!". Tiba-tiba seorang wanita muda memanggilnya yang mengenakan jaket tebal sembari membawa tumpukan map. 

Ah... Ya benar aku lupa dengan dokumen itu. Pikir mando dengan kepala pusingnya. 

Lalu Pak Neur keluar dari mobil dan membantu wanita itu dengan mengambilkan semua map-map yang menumpuk banyak itu untuk di bawanya. "Hah…. Terima kasih pak". Wanita itu mengucapkannya dengan suara letih. 

Setelah itu Pak Neur menaruh map-map yang sudah menumpuk berantakan itu di bawah dekat kursi belakang mobil karena jumlahnya yang begitu banyak. Lalu Mando pun memalingkan wajahnya untuk melihat map-map yang menumpuk di belakangnya itu. Sebanyak ini? Kepala Mando semakin bertambah pusing lagi. "Apa benar semua dokumen ini berada di dalam Lab Kimia?". Mando bertanya sembari memijat-mijat dahinya. 

"Tidak semua dokumen. Hanya ada sedikit bagian dari dokumen ini yang berada di dalam Lab Kimia. Dan sisanya berada di dalam lemari ruangan kepala sekolah". Balas Wanita itu yang sudah mulai menggigil-gigil kedinginan. 

Setelah mendengar balasan itu Pak Neur mulai menatap ke arah Mando dengan wajah sedikit terkejut. "Ternyata benar yang di katakan gadis itu". Ucapnya kepada Mando. 

"Ya". Balas Mando kepada Pak Neur. "Dan lalu Ibu tanpa pikir panjang langsung menyatukan semua dokumen ini tanpa di pisahkan terlebih dahulu". Lanjut Mando kali ini kepada wanita itu. 

"Ya... Mau bagaimana lagi, Pak. Pada saat itu saya sedang sendiri dan tidak ada yang membantu saya untuk membawanya secara terpisah". 

"Setidaknya Ibu bisa memanggil terlebih dahulu kepada kami untuk membantu. Kalau semua dokumennya di satukan seperti ini, saya akan jadi lebih susah untuk mencari yang mana saja semua dokumen ini berasal". Mando mengatakannya sembari memandangi tumpakan map itu yang lalu memijat-mijat kembali dahinya. 

"Oh. Kalau itu saya masih ingat. Tumpukan map yang berada di atas itu berasal dari ruangan kepala sekolah sedangkan yang di bawah berasal dari lab kimia". Balas Wanita itu meyakinkan. 

Lalu Pak Neur menyentuh map yang berada di paling atas tumpukan map itu. "Lalu lebih tepatnya ada berapa jumlah map yang di atas ini yang berasal dari ruangan kepala sekolah?". Ujar Pak Neur. 

"Ka-Kalau soal itu… ". Wanita itu bingung. 

"Lebih banyak dari tumpukan map yang berada di bawahnya Bu Lian". Ujar Mando sembari berpindah tempat ke belakang tempat duduk mobil untuk melihat dengan dekat map-map itu. "Ya, sudah kalau begitu kami pamit undur diri. Dan maaf sudah merepotkan". Lanjut Mando sebelum Pak Neur masuk ke dalam mobil untuk mengendarainya. 

"Ah. tidak. Seharusnya saya yang harus meminta maaf karena kecerobohan saya". Ucap Bu Lian sembari menundukkan kepalanya.

"Ibu tidak usah meminta maaf. Lagian merekalah yang sudah merepotkan Ibu". Ucap gadis berkacamata yang tiba-tiba muncul di belakang Bu Lian. 

"Hey! Jaga ucapanmu itu, Sina!". Bu Lian membentaknya.

Pak Neur menyeringai. "Ya. Dan kamu juga sudah merepotkan Bapak karena sebelumnya harus membantu menurunkanmu dari atas gerbang pintu sekolah yang tinggi itu". Ucapnya sembari memperhatikan gerbang di depannya. 

"Ah. Ya, soal itu. Maaf sudah merepotkan". Gadis itu menundukkan kepalanya. 

"Sepertinya akan lebih merepotkan lagi kalau tadi kamu kencing ketakutan dari atas gerbang itu". Pak Neur menertawainya dan sedangkan gadis itu hanya terdiam malu. 

"Apa kita bisa berangkat sekarang?". Ujar Mando yang mulai terbaring lemas di kursi belakang mobil. 

Setelah itu Pak Neur mulai menyalakan mesin mobilnya dan lalu pergi meninggalkan sekolah. 

Di perjalanan, Mando hanya bisa terbaring lemas sembari melamun dan menjaga tumpukan map itu di sampingnya agar tidak jatuh berantakan. 

"Sebelum Bapak memeriksa dokumen-dokumen itu, sepertinya lebih baik Bapak menjelaskan terlebih dahulu mengapa kasus pencurian laptop ini begitu sangat penting". Ujar Pak Neur yang sedang mengendarai mobil itu. 

Mando menghela nafas panjangnya. "Dan sebelum itu juga saya harus melaporkan kasus ini terlebih dahulu kepada atasan tanpa ada waktu untuk beristirahat". Balas Mando dengan lemas. 

"Ya. Dan jangan lupa kita juga harus menginvestigasi rumah kepala sekolah itu terlebih dahulu". Pak Neur menambahkan. 

"Soal itu….. Anda sajalah yang pergi ke rumah itu dengan orang-orang anda".

"Orang-orang..". Pak Neur mengulangi perkataan Mando. "Bapak juga masih termasuk ke dalam orang-orang itu bukan?".

Mando terdiam sejenak dan memikirkan kembali hal-hal yang sudah ia lalui sebelum mendapatkan kabar kasus ini terjadi. 

Saat itu ia sedang makan malam bersama dengan istrinya berduaan di meja makannya yang tidak lama setelah itu ia mendapatkan sebuah pesan dari handphone-nya tentang kasus pencurian itu. 

"Sudah lakukan saja. Saya punya urusan penting dengannya saat ini". Ujar Mando. 

"Baiklah". Pak Neur membalas. "Dan juga seperti biasanya. Apa saya harus berhenti di tempat biasa sebelum masuk ke dalam perumahan rumah Bapak?". Lanjut Pak Neur 

"Tidak usah, langsung masuk saja. Istri saya sudah mengetahuinya dan saya sudah lelah untuk berjalan masuk ke dalam perumahan itu". Balas Mando dengan wajah yang sudah terlihat siap untuk mendengarkan apa yang akan di katakan istrinya itu. 

***

Di dalam suasana pagi hari yang sunyi dan dingin, terdengar suara alunan musik yang bersumber dari sekolah. Musik itu berupa lagu pop barat yang di mana Sina membenci sekali mendengar alunan musik itu setiap kali ia mendengarkannya di sekolah. Lebih baik mereka memainkan musik rock band barat Numb dari Linkin Park daripada musik yang seperti ini. Pikirnya yang menganggap mempunyai selera musik yang lebih baik dari mereka. 

Pada saat itu Sina sedang berjalan menuju kelas dengan pakaian tidurnya sembari membersihkan kacamatanya yang di usap-usapkan di pakaiannya itu. 

"Apa kamu yakin sudah memberi kabar terlebih dahulu ke orang tuamu?". Ujar seorang wanita yang berjalan di sebelahnya sembari memeluk kedinginan jaket tebal yang di pakainya itu.

"Iya, Ibu…. Sudah… ". Jawab Sina yang mulai memakai kembali kacamatanya yang pada saat itu juga baru sadar ia mulai merasa kedinginan di sekujur tubuhnya. Padahal sebelumnya ia sedang bersemangat setelah mendapatkan nomor telepon dari seseorang. 

Setelah Mengingat itu kembali, Sina mulai mengambil sebuah kertas dari dalam saku celana tidurnya itu dan setelah di ambilnya kertas itu ia pun mulai memandanginya  "Ah…. Ini dia. Kasus penting pertamaku". Ujar Sina merasa sangat senang setelah sudah cukup lama ia memandangi kertas itu yang berisikan sebuah nomor.

"Kasus yang mana? Kasus tentang pencurian itu. Atau kasus pelarianmu itu?". Ujar Wanita yang berjalan di sebelahnya. 

"Sudah ku bilang. Aku tidak sedang dalam pelarian dari rumah atau semacamnya, Ibu. Anggap saja sebelumnya aku lupa memakai seragam saat berangkat menuju sekolah. Itu saja". Balas Sina sembari memasukan kembali kertas itu ke dalam saku celananya. 

"Ya. Dan juga kamu tidak sengaja memasukan seragammu itu ke dalam tas melainkan memakainya terlebih dahulu". 

"Ya. Dan terkadang seseorang akan melupakan sesuatu hal yang kecil di saat mereka sedang memikirkan hal yang lebih penting". Balas Sina saat mereka berdua sudah masuk ke dalam kelas yang masih belum ada siapapun di dalamnya. "Terima kasih Bu Lian sudah menemaniku di dalam kesenjangan ini". Lanjutnya setelah berhenti di tempat kursi duduk miliknya. 

"Bilang saja tadi kamu takut berjalan sendirian di koridor, Sina. Apa suara musik ini masih belum cukup untuk menemanimu?". Bu Lian mulai membalikan badannya kembali untuk keluar kelas. 

"Jelas tidak. Justru musik ini sudah seperti sebuah kutukan bagik--T-Tunggu dulu, Ibu". Sina mulai panik. 

"Apa lagi?". Jawab Bu Lian yang sedang berjalan menuju keluar kelas. 

"Tunggu, aku masih belum menjelaskan mengapa sebelumnya aku memanjat gerbang itu tadi". Ujar Sina sembari membuka resleting tas miliknya dan mengambil seragam sekolah di dalamnya dengan cepatnya. 

"Ya, nanti saja penjelasannya. Ibu masih ada urusan di kantor. Kamu juga tahu sekarang Ibu lagi sibuk untuk membuat soal ulangan nanti". Balasnya yang sudah berjalan di luar kelas. 

"Ibu… ". Panggilan Sina tidak bisa menggapai pendengaran Bu Lian. 

Bagaimana ini? Aku benar-benar sedang berada dalam masalah. Argh! Sial! Musik ini benar-benar mengganggu sekali! Sina benar-benar sedang merasakan penderitaan mental yang cukup rumit. 

Di dalam ruangan kelas yang tidak ada siapapun itu, Sina dengan cepat mengganti pakaiannya dengan seragam sekolahnya di bawah meja belakang kelas agar tidak terlihat dari jendela kelasnya. Tetapi tidak lama kemudian setelah itu, terdengar suara langkah kaki dari luar ruangan kelas yang suaranya itu semakin lama terdengar dengan jelas oleh Sina yang pada saat itu juga masih mengganti pakaiannya.

"Jangan bergerak!!". Teriak Sina dengan kerasnya. 

"Astagfirullah! Ada apa ini?". Suara terkejut itu terdengar seperti suara seorang pria dewasa yang sepertinya Sina mengenalinya. 

"Tunggu dulu, Pak! Jangan masuk! Bisa-bisa nanti Bapak berada dalam bahaya!". Sina memperingatkan.

"B-Baiklah….".

Lalu dengan cepat Sina pun mengganti pakaiannya itu yang setelah itu juga ia keluar dari bawah meja dengan seragam sekolah yang sudah di pakainya tidak rapi. 

"Hah…. Ternyata itu kau, Sina". Ujar seorang pria berjenggot yang mengenakan jas hitam dan buku-buku tebal di tangannya yang sedang berdiri di dekat pintu kelas. 

"Selamat pagi, Pak". Sina memberi salam kepada pria itu. 

"Sebenarnya ada apa ini, Sina? Kamu benar-benar hampir membuat Bapak jantungan". 

"Ah. Ya, maaf Pak Gid. Tapi sungguh kalau Bapak tadi masuk, Bapak akan benar-benar berada dalam bahaya".

Lalu Pria itu mulai berjalan menuju meja guru di depannya dan menaruh buku-bukunya di sana. "Bahaya dan masalah apa lagi kali ini, Sina?". Ujarnya sembari memperhatikan seragam Sina yang tidak terlihat rapi.

Setelah Sina sadar, ia langsung merapikan seragamnya itu. 

"Bapak harap masalahnya ini tidak ada hubungannya dengan kasus pencurian kali ini". Ujar Pak Gid yang lalu duduk di kursinya. "Apa kamu ingin mendengarnya? Aku yakin kamu akan senang mendengarnya". 

"Kalau itu aku sudah tahu, Pak". Ujar Sina yang pada saat itu sedang sibuk merapikan seragamnya. 

"Sudah tahu? Darimana kamu tahu itu?". Tanya Pak Gid heran. 

"Tidak penting. Yang penting aku sudah tahu kasus itu". Sina pun telah selesai merapikan seragamnya. 

"Hmm…. Begitu. Lalu apakah kasus ini ada hubungannya dengan masalahmu tadi?". Pak Gid melanjutkan pertanyaannya. 

"Ah... Tidak. Tidak ada hubungannya sama sekali dengan kasus itu". 

Lalu tiba-tiba Sina mulai mencium bau sesuatu. Bau rokok? Aku tidak akan menyangka kalau seseorang seperti Pak Gid  ternyata seorang perokok. Pikirnya sembari mengusap-usap hidungnya. 

"Hmm… Tapi sepertinya masalahmu  itu penting untuk di ceritakan. Kalau memang itu benar-benar bisa membahayakan Bapak". Ujar Pak Gid dengan nada yang sedikit tegas. 

"Aku tidak bisa menceritakannya dengan spesifik. Tapi yang pasti itu akan membuat Bapak merasa menyesal jika Bapak menyaksikannya". Sina mencoba untuk tidak menceritakan hal itu. 

"Oh, begitu? Kalau begitu Bapak sudah terselamatkan olehmu. Penyesalan itu sungguh sesuatu hal yang berbahaya untuk diri kita sendiri, bukan?". Pak Gid mengucapkannya dengan nada yang bijak. 

"Ya, benar. Itu dia". Sina merasa lega mendengar jawaban itu. "Kalau begitu aku pamit keluar kelas dulu ya Pak". 

"Sina. Bapak tahu kamu tidak akan pernah berbohong akan sesuatu masalah. Tapi kalau kamu memang membutuhkan bantuan untuk masalahmu, kamu bisa menceritakannya kepada Bapak. Paham?". Ucap Pak Gid dengan wajah yang terlihat khawatir. 

"Y-Ya Pak.... Terima kasih". 

Lalu Sina pun keluar dari kelasnya dengan perasaan yang lega. 

Saat itu matahari sudah memperlihatkan sinarnya yang menyilaukan. Suasana di sekolah itu yang sebelumnya sunyi dan hanya suara musik saja yang terdengar di sekitarnya, pada saat itu mulai sedikit ramai di saat terdengarnya suara langkah kaki para murid-murid di sekolah yang mulai memasuki gerbang sekolah. 

Sina yang pada saat itu sedang berjalan di koridor kelas mulai menatap ke arah gerbang sekolah itu untuk mencari orang-orang yang ia kenal. Karena sebelumnya ia sudah memberikan sebuah pesan Emergency kepada mereka di Chat Group-nya untuk berkumpul di sekolah. Mungkin mereka sudah berkumpul di basement….. Pikirnya yang lalu mempercepat langkah kakinya untuk pergi menuju basement . 

Di perjalanannya menuju basement itu dengan sekilas ia melihat ada seseorang memasuki ruangan Lab Kimia. Tempat itu berada cukup jauh di depannya. Karena ruangan itu berlawanan arah dengan basement yang dituju, ia harus mengubah arahnya terlebih dahulu untuk mengecek ruangan lab kimia itu karena merasakan suatu hal yang mencurigakan. 

Sesampainya di sana Sina langsung masuk begitu saja ke dalam ruangan lab tanpa memperhatikan terlebih dahulu orang yang ada di dalamnya.

"Hm? Ah…. Itu dia. Darimana saja kamu Sina? Aku sudah mencarimu di mana-mana". 

Ternyata di sana ada seorang lelaki berambut pendek rapi berseragam sekolah sedang duduk di kursi dalam ruangan itu. 

"Ben? sedang apa kamu di sini?". Tanya Sina heran. 

"Sudah ku bilang. Aku sudah mencarimu di mana-mana tapi ternyata kamu sendiri yang datang. Darimana saja kamu?". Lelaki itu lalu berdiri dari tempat duduknya. 

"Dari kelas--Tunggu, bukankah seharusnya kamu menungu terlebih dahulu di basement sebelum aku datang?".

"Coba periksa handphone-mu. Lihat jam dan juga pesan-pesan di dalam Group". 

Lalu Sina pun mulai meraba-raba semua saku di seragamnya. "Ah… Aku meninggalkannya di kelas". 

"Sekarang sudah jam enam lebih seperempat. Sebelumnya aku sudah ada di basement dengan Mira tapi tidak ada siapapun di sana. Jadi aku mulai mengabarimu di Group".

"Ah…. Maafkan aku kalau begitu".

Lalu mereka berdua pun keluar dari Lab Kimia itu dan mulai berjalan pergi menuju basement. "Dimana Mira? Dan Glen?". Ujar Sina.

"Glen belum datang. Mira tadi mencarimu di kelas dan entahlah di mana Mira sekarang". Balas Ben yang lalu membuka layar handphone miliknya. "Aku akan mengabarinya". Ben lalu memberikan sebuah pesan teks kepada Mira di Whatsapp. 

"Hm? Kenapa tidak telepon saja? Ah..… Apa kamu malu?" Sina menyeringai. 

"Ya….mau bagaimana lagi, aku belum terbiasa dengan itu". 

"Dasar bocah".

"Aku tidak ingin mendengar itu darimu". Balas Ben dengan datar. "Ah….. Ya. Tadi Mira benar-benar mengkhawatirkanmu".

"Khawatir kenapa?"

"Soal foto mobil polisi itu. Entah mengapa saat Mira baru melihat foto itu di jalan, aku merasa dia mulai bertingkah aneh. Dia mulai berjalan terburu-buru ke sekolah dan sesampainya di sekolah ia merasa khawatir kepadamu setelah melihat tidak ada satupun mobil polisi di sana. Aku kira pada saat itu kamu sudah di bawa oleh kedua orang kepolisian itu". 

Sina berpikir sejenak. 

"Hmmm….… Kedua orang kepolisian? Darimana kamu tahu itu?". Tanya Sina heran. 

"Pak Gid yang menceritakannya".

Pak Gid….… Sina berpikir keras. 

"Apa kamu benar-benar tidak mempunyai masalah dengan para polisi itu, Sina?". Tanya Ben. 

"Tentu saja, tidak. Justru akulah yang membantu mereka dalam kasus ini". Balas Sina dengan merasa bangga. 

"Hm? Membantu?". 

"Ya. Aku akan menjelaskannya nanti di basement". 

"Hmm….. Syukurlah kalau begitu. Aku kira kamu benar-benar berada dalam masalah". Ujar Ben sembari melihat handphone-nya kembali. "Ah. Katanya Mira sedang menunggu di basement sekarang". Lanjut Ben setelah melihat pesan di Whatsapp-nya . 

Sedangkan Sina pada saat itu sedang terdiam dan menundukkan kepalanya. "Kalau misalnya aku benar-benar berada dalam masalah. Apa yang akan kamu lakukan pada saat itu juga?". Tiba-tiba Sina bertanya. 

"Hm? Ya… Tentu saja aku akan membantu masalahmu itu seperti biasanya bukan?". Balas Ben. 

"Tidak, maksudku bukan masalah yang seperti biasa sebelumnya seperti Emergency atau semacamnya. Tapi masalah yang benar-benar masalah". Lalu Sina pun mulai menatap ke arah wajah Ben. "Bagaimana? Apa kamu akan membantuku? Apa kamu akan…..  Mengkhawatirkanku?".  Pada saat itu Sina mengatakannya dengan wajah yang penasaran ingin mengetahui jawaban apa yang akan di berikan Ben. 

Ben pun terdiam sejenak lalu menyimpan handphone-nya kembali ke dalam saku celananya. "Ada apa denganmu, Sina? Apakah kamu benar-benar berada dalam masalah?". Balas Ben dengan wajah yang terlihat khawatir. 

Ah…. Begitu. Lalu Sina pun memalingkan wajahnya dari Ben . "Tidak. Tidak ada. Hanya sebuah pertanyaan". Sina mulai menundukkan kepalanya sembari membenarkan kacamatanya dengan memperlihatkan tatapan yang getir. 

"Benar-benar aneh. Sebelumnya Mira dan sekarang kamu". Ujar Ben yang pada saat itu mulai memandang ke arah atas langit-langit. 

"Aneh? Bukankah kamu sudah biasa melihatku yang bertingkah…...Aneh". Balas Sina yang masih memperlihatkan tatapan getirnya. 

"Ya, tapi kali ini berbeda. Aneh di atas aneh. Dan aneh yang tidak seperti biasanya. Dan tentu saja aku akan khawatir kalau kamu benar-benar berada dalam masalah yang tidak seperti biasanya". Balas Ben. 

Lalu Sina pun mulai mengangkat wajahnya dan menatap kembali wajah Ben. "Khawatir?". 

"Ya". Balas Ben yang lalu menatap ke arah depan. "Hm? Tidak ada siapapun di dalamnya". Lanjut Ben setelah melihat ke arah jendela ruangan yang berada di hadapannya. 

Sina pun mengikutinya menatap ke arah jendela ruangan itu dan mulai mendekatinya. "Ya. Tidak ada siapapun". Ujar Sina sembari menatap ke arah kaca jendela ruangan itu. 

Lalu Ben pun mulai masuk ke dalam ruangan itu yang di atas pintunya terdapat sebuah bongkahan papan kayu yang tertulis, Ruang Sastra. Dan sedangkan Sina pada saat itu masih berdiri di luar ruangan sembari menatap ke arah kaca jendela di hadapannya. 

Saat itu Sina sedang menatapi kaca jendela ruangan itu yang terlihat sedikit sebuah refleksi wajahnya sendiri yang memperlihatkan senyuman kecilnya dengan kedua pipinya yang memerah. 

***

"Taruh saja dokumen-dokumen itu disini". Mando menyuruh Pak Neur untuk menaruh semua tumpukan map-map yang di bawanya itu di dalam bawah sebuah meja di dalam garasi yang mereka masuki itu. 

"Apa sudah semuanya? Tidak ada yang tertinggal?". 

"Sepertinya". Jawab Pak Neur yang lalu kembali ke dalam mobil polisinya yang terparkir di luar garasi. "Ya. Sudah semuanya". Lanjutnya setelah selesai memeriksa ke dalam mobilnya. 

Lalu Mando pun mulai berjalan ke arah pintu garasinya. "Baiklah, kalau begitu. Bekerjalah dengan baik". Ucap Mando yang sudah mengangkat kedua tangannya ke atas memegang pintu garasi. 

"Ya. Bapak juga". Pak Neur masuk ke dalam mobilnya yang lalu menyalakan mesinnya untuk berangkat pergi. 

Pintu garasi mulai di tariknya ke bawah sehingga ruangan di dalam garasi menjadi gelap. Lalu Mando pun mulai mencetrekan saklar lampu di sampingnya dan ruangan pun menjadi terang. Di dalam ruangan garasi itu terdapat banyak peralatan-peralatan mesin mobilnya yang masih tertata dengan rapi dan tanpa adanya satupun kendaraan di dalamnya.

Setelah ku lihat-lihat lagi sepertinya memang tidak ada satupun yang hilang. Lalu Mando pun mulai berjalan ke arah sebuah pintu di dalam sana sembari memegang kepalanya yang terasa pusing dan lalu masuk ke dalamnya. "Aku pulang….". Ucap Mando dengan suaranya yang sedikit lemas.

Saat berada di dalam ruangan itu, suasananya begitu sunyi sehingga ia tidak bisa merasakan kehadiran siapapun di dalam sana. Di sana pun ia mulai terduduk di atas sofa yang berada di dekatnya. "Kira? Apa kamu ada di rumah?". Panggil Mando tetapi tidak ada siapapun yang menjawabnya.

Setelah terdiam cukup lama, Mando pun berdiri dari sofa itu dan memutuskan untuk pergi menuju kamar tidurnya. Saat sedang berjalan ia mulai melirik-lirik di dalam sekitar ruangannya itu yang terlihat banyak sekali bingkai-bingkai foto yang kebanyakan dari foto itu berupa dirinya sendiri dan juga ada yang bersama dengan istrinya yang hanya berdua saja pada saat itu. Lalu setelah itu ia berjalan masuk ke dalam kamarnya dan setelah di lihat di dalamnya tidak ada siapapun di sana. Di sana ia pun mulai membaringkan tubuhnya ke atas kasur sembari melamun menatap ke arah atas langit-langit kamar. 

Hah….. Lalu apa yang akan aku lakukan di sini? Menunggunya pulang? Pikirnya yang mulai melupakan akan sesuatu hal yang penting. Lalu pada saat itu juga Mando mulai menutup kedua matanya. 

Setelah cukup lama ia menutup matanya, semakin lama ia mulai merasakan kenyamanan dan juga ketenangan di dalam dirinya itu yang sudah sangat lama ia inginkan. Seharusnya dan sebelumnya juga akan tetap seperti ini kalau saja aku mengabaikan pesan itu. Pikirnya setelah kemarin malam ia memutuskan untuk pergi meninggalkan meja makan-nya  untuk menyelesaikan sebuah masalah. Lalu ia pun mulai meresapi suasana di ruangan yang sepi dan sunyi itu yang sehingga membantunya untuk tidur dengan pulas. 

Setelah sudah beberapa jam Mando tertidur, ia pun terbangun. Dan saat itu pula ia mulai menyadari bahwa di atas tubuhnya ada seorang wanita berambut hitam panjang yang sedang tertidur pulas dengan memeluknya. "Kira?". Ujarnya yang sedikit terkejut. 

Tetapi Kira, istrinya, hanya terdiam dan melanjutkan kenyamanannya itu di atas tubuh Mando. 

Setelah itu Mando pun mulai memindahkan istrinya dengan perlahan di atas kasur. Dan saat ingin menyelimutinya dengan sebuah selimut, ia mulai menyadari ada sesuatu yang ganjil dengan istrinya. Pada saat itu ia memperhatikan pakaian yang di pakai istrinya itu berupa sebuah pakaian formal yang biasanya dia pakai untuk berpergian dan juga tas selendang kecil yang masih di pakainya.

Hm? Habis darimana dia? Pikir Mando yang mulai mencurigai akan sesuatu. Lalu Mando pun mulai menyelimuti istrinya itu dan bangkit dari tempat tidurnya sembari memperhatikan jam dinding di kamarnya. 

Setelah itu ia mulai terkejut di lihatnya jam itu yang sudah menunjukkan waktu pukul sembilan lebih beberapa menit. Lalu dengan cepat ia pun berjalan keluar kamarnya sembari mengeluarkan handphone dari saku celananya. Dan setelah di lihatnya handphone itu terdapat banyak sekali panggilan tidak terjawab dari Pak Neur. Lalu Mando pun mulai mencoba untuk menyambungkannya kembali panggilan itu. 

Setelah cukup lama ia menunggu, akhirnya tersambung juga panggilannya. "Pak Mando? Mengapa sebelumnya bapak tidak mengangkat panggilannya?". Ujar suara Pak Neur dari dalam handphone-nya. 

"Ah…..maaf tadi saya ketiduran. Lalu, bagaimana dengan investigasinya?". Tanya Mando dengan sedikit gelisah. 

"Benar-benar masalah. Selain kami tidak di izinkan masuk oleh si gadis dari pemilik rumah kepala sekolah itu. Di sisi lain itu juga ada Pak Rudi yang sebelumnya sudah tiba di sini". 

"Rudi? Ada urusan apa dia di sana?". Ucap Mando yang heran dan juga sedikit kesal setelah mendengar nama itu.

"Entahlah, Pak. Pria itu tidak ingin menjelaskannya sama sekali kepada saya".

"Lalu saat ini anda sedang apa?".

"Menunggu. Kami sedang menunggu terlebih dahulu agar gadis itu untuk tetap tenang. Pak Rudi yang memberi perintah kali ini".

"Apa orang itu masih ada di sana? Jika iya, saya ingin berbicara dengannya sekarang".

"Baik, Pak".

Setelah itu Mando pun mulai bergegas menuju garasi mobilnya sembari menunggu Pak Neur menyerahkan handphone-nya kepada Rudi. Sesampainya di garasi ia melirik-lirik di sekitar garasi itu yang keadaannya masih sama seperti sebelumnya. 

Lalu setelah itu ia mulai tersadar akan map-map yang sebelumnya di simpan di dalam bawah meja. Dan Ia pun mulai berjalan dengan sedikit terburu-buru ke meja itu dan seketika ia sadar pula muncul suara panggilan dari handphone-nya. "Pak Mando? Apa bapak masih ada di sana?". Muncul suara itu dari hanphone miliknya yang kali ini suaranya jelas berbeda dari sebelumnya. 

"Rudi. Apa itu kau?". Ucap Mando sembari berjalan menuju meja itu. 

"Ah… Ini dia… ternyata masih hidup juga". 

"Apa maksudmu itu, Rudi?". Mando mulai kesal. 

"Ah….. Tidak. Maksudnya saya kira handphone ini sudah tidak hidup lagi".

"Hentikan. Kau tahu maksudku".

"Ah…. Soal itu. Saya kira bapak akan langsung paham alasan mengapa saya bisa ada di sini".

"Kemarin saya sudah mendapatkan izin kembali untuk bekerja dan tidak ada alasan apapun lagi mengapa kau ada di sana".

"Hm? Hanya itu? Saya kira bapak akan bisa memahaminya lagi dengan baik".

"Katakan saja. Ada urusan apa kau di sana?".

"Ah….. Saya bisa merasakannya. Bapak sedang merasa terancam saat ini juga, saya tahu itu".

Setelah Mando tiba di meja itu, ia mulai mengecek di dalam bawah mejanya dan melihat map-map itu yang masih berada di sana. 

"Pak Mando. Jika anda ingin tahu mengapa saya berada di sini, datanglah kemari. Saya akan memberitahunya nanti".

"Mengapa begitu? Kau bisa memberitahuku sekarang juga bukan?". Mando mulai sedikit curiga. 

"Berbicara langsung secara tatap muka itu lebih baik daripada harus berbicara tidak nyaman seperti ini, bukan?".

Mando pada saat itu mulai terdiam sejenak sembari berpikir keras. "Baiklah. Sekarang kembalikan handphone itu kepada Pak Neur". Ujar Mando. 

"Saya akan dengan senang hati memberitahu alasan itu sesampainya Bapak di sini". 

Lalu berakhirlah panggilan itu. 

Merepotkan sekali, mengapa dia harus menutup teleponnya? Mando mulai merasa sedikit kesal. 

Lalu setelah itu Mando pun terdiam sejenak dan tidak lama kemudian ia pun mulai menyambungkan kembali nomor itu. "Pak Neur?". Panggil Mando sedikit waspada. 

"Ya. Ada apa, Pak?". Balas suara dari Pak Neur. 

"Baiklah, sekarang dengarkan baik-baik. Tentu saja anda sekarang masih berpihak kepada saya bukan?".

"Hm? Apa maksud Bapak?". 

"Rudi. Saat ini dia sedang menunggu saya di tempat itu untuk menahan saya. Apa yang akan anda lakukan di saat itu juga?".

"Ah….. Begitu rupanya. Seperti yang pernah saya katakan sebelumnya. Saya benar-benar sudah mempercayai Bapak. Baiklah, apa yang harus saya lakukan sekarang?".

"Untuk sekarang jangan biarkan Rudi tahu di mana lokasi rumah saya beserta orang-orang kepolisian di sana. Sampai saat ini anda masih belum memberitahu kepada siapapun lokasi rumah baru saya saat ini bukan?".

"Ya. Hanya saya yang tahu".

"Dan setelah itu anda bergabunglah dengan Rudi dan juga jangan sampai dia tahu bahwa kita saling berhubungan. Dan katakan padanya bahwa saya tidak bisa di hubungi lagi karena ada suatu masalah seperti…..". Pada saat itu Mando mulai bingung apa yang harus  dilakukan selanjutnya. 

"Pada akhirnya Pak Rudi akan mencoba untuk melacak nomor handphone Bapak". Ujar Pak Neur. 

"Ah! Ya, benar". Mando benar-benar senang mendengar balasan itu. "Kalau begitu setelah kita mengakhiri telepon ini, hapus nomor kontak saya-- 

Tiba-tiba Mando terdiam sejenak. "--dan setelah itu Rudi akan mulai mencurigai anda". Lanjutnya yang lalu mulai berpikir keras. 

"Ah….. Benar-benar sangat sulit melawan Pak Rudi di saat seperti ini". Ucap Pak Neur sembari menghela nafasnya. 

"Hancurkan handphone-nya". Ujar Mando. "Lalu katakan padanya bahwa handphone anda itu tidak sengaja terjatuh atau semacamnya. Lalu…. ".

"Lalu? ".

"Sebelum anda menghancurkan handphone itu, catatlah terlebih dahulu nomor kontak saya agar kita bisa saling berhubungan lagi. Setelah ini saya akan mengecek semua dokumen-dokumen itu dan setelah selesai, hubungi saya nanti malam lewat telepon rumah anda. Apa anda punya satu di rumah?".

"Ah…. Sayangnya tidak. Tapi soal itu saya bisa mengakalinya".

"Baiklah kalau begitu kita akhiri teleponnya sekarang. Apa anda masih ingat apa yang harus di lakukan?".

"Ya. Tentu saja". 

Lalu berakhirlah sambungan itu.

Setelah itu Mando pun terdiam sejenak menatap ke arah atas langit-langit garasi sembari memikirkan sesuatu. Ema, aku harap kamu akan memaafkan ku nanti. 

Setelah itu Mando pun mulai menatap kembali ke arah depan dengan wajah yang seperti sudah siap untuk bertempur. Lalu ia pun mulai bekerja untuk mengecek semua dokumen-dokumen itu. 

***

Mira hanya bisa duduk terdiam di halaman belakang gedung sekolah sembari melamun dan menatap ke arah pepohonan yang ada di hadapannya. Saat itu ia melihat burung-burung kecil di sana yang sedang berdiri bersama-sama di atas ranting pohon itu. Enak sekali  mereka, bisa bersama-sama seperti itu dan sedangkan aku di sini duduk sendirian tidak ada siapapun yang menemani. Pikirnya dengan wajah yang suram. 

Lalu setelah itu ia mulai mendengar suara langkah kaki yang mendekatinya. "Ambil ini". Ucap seorang lelaki berambut sedikit panjang gondrong berseragam sekolah sembari memberikan sebuah botol minuman kepada Mira.

"Terima kasih, Glen". Balas Mira mengambil botol minuman itu yang lalu mulai memasukan tanganya ke dalam saku baju seragamnya. 

"Sudahku bilang….". Lelaki itu terdiam sejenak. Lalu setelah itu pun mulai membuka tutup botol minumannya dan meminumnya. 

Mira pun mulai mengeluarkan sekumpulan uang kertas merah dalam saku seragamnya itu dan langsung memberikannya kepada Glen.

"Keras kepala. Seperti biasanya". Ucap Glen yang lalu mengambil sekumpulan uang kertas itu dari Mira. 

Mira sedikit terkejut. Hm? Dan kali ini ia baru menerima uang ini? Pikir Mira yang bingung di buatnya. "Oh….keras kepala… Lalu, bagaimana dengan kamu sebelumnya?". Lanjut Mira mengingatkan Glen yang sebelumnya sudah terlibat dalam perkelahian tadi pagi. 

Glen terdiam, lalu meminum kembali botol minumannya dan setelah itu menutup kembali botol minumannya. "Itu tidak akan terjadi jika kamu tidak ikut campur dengan urusanku. Aku sudah mengatakan kepadamu sebelumnya bukan?". Ujar Glen. 

"Ya, benar. Baiklah, sekarang aku akan menjelaskan mengapa urusanmu itu juga merupakan urusanku...". Lalu Mira mulai membuka tutup botol minumannya dan meminumnya. 

"Tidak usah. Aku tahu apa yang akan kamu katakan. Jadi ingat ini baik-baik, Aji itu bukan orang yang dengan mudahnya untuk senang di ajak bernegosiasi. Dia akan langsung cepat bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu dan juga mulai dari sekarang menjauhlah darinya". Ucap Glen yang lalu berbalik arah dan berjalan pergi. 

"Hey! Glen! Tunggu dulu!". Lalu Mira berdiri dan mulai mengikutinya.

"Kelas kita berbeda Mira. Kembalilah sekarang ke dalam kelasmu. Tidak baik bagi seorang anak kepala sekolah untuk membolos seperti ini". Glen berjalan sembari memasukan sekumpulan uang kertas yang di berikan oleh Mira ke dalam saku celananya. 

"Jangan bilang.... Kamu ingin memberikannya?". Ucap Mira dengan wajah sedikit bingung. 

"Aku berubah pikiran. Sekarang, kembalilah ke dalam kelas".

"Tunggu". Mira mengenggam tangan Glen dan lalu Glen pun memandang ke arah Mira. 

"Ah. Maaf.. ". Ucap Mira sedikit malu dan melepaskan genggamannya. "Mmm… Lalu bagaimana dengan Emergency-nya?". Lanjut Mira.

"Nanti saja pulang sekolah. Lagian perempuan itu akan menjelaskannya saat kita sudah berkumpul bersama". Balas Glen sembari memalingkan wajahnya. 

"Ya, benar. Dan lalu…. Aku ingin tahu darimana kamu bisa mendapatkan kunci itu". Ujar Mira merasa penasaran. 

Glen terdiam sejenak lalu menatap ke arah Mira. "Kebetulan. Hanya itu". Lalu Glen pun mulai berjalan pergi meninggalkan Mira. Dan setelah itu juga Mira pun mulai berjalan berlawanan arah dari Glen untuk pergi menuju kelasnya. 

Saat di perjalanan di koridor, Mira berjalan sembari menundukkan kepalanya dengan wajah yang suram dan merasa gelisah. Saat itu ia sedang memikirkan sesuatu di dalam benaknya. 

Ibu… Aku tidak percaya kalau ibu akan melakukan hal itu. Mira mulai memperlihatkan wajahnya yang semakin bertambah suram dan kelam. Tidak lama kemudian, muncul suara bel berbunyi di sekolahnya. 

Bel istirahat ya…. Setelah itu Mira pun berbalik arah dan mulai memutuskan untuk pergi ke Ruang Drama. Tempat di mana aku bisa merasa lebih baik lagi. Pikirnya sembari berjalan menuju ruangan itu. 

Sesampainya Mira di dalam Ruang Drama, ia mulai mencari-cari sesuatu di dalam sebuah lemari dalam ruangan itu untuk mencari buku dialog miliknya. Dan saat ia menemukannya, ia mulai membuka setiap lembaran buku itu dan lalu membacanya. Saat itu ia membacanya dengan nada yang gelisah. 

"Sudah tidak ada waktu lagi! Kita harus menyelesaikan semua masalah ini". Ucapnya yang lalu setelah itu mulai mengimprovisasikan suaranya dengan nada yang sedikit rendah seperti seorang lelaki. "Lebih tepatnya bagaimana? Kedua orang tua kita sudah mengetahui hubungan kita selama ini.. ". Lalu melanjutkannya lagi dengan suaranya yang semula. "A-Aku… tidak tahu lagi--

Tiba-tiba Mira terdiam dan menutup kembali buku dialog-nya. Buku ini jelas tidak membantuku sama sekali. Lalu Mira pun menyimpan buku dialog-nya itu kembali dan mencari buku dialog-nya yang lain. 

"Mira? Sedang apa kamu di sini?". 

Tiba-tiba muncul seorang lelaki mengenakan jaket merah yang sedang berdiri di belakang Mira. 

"Mesa!?". Mira terkejut tidak menyadarinya sama sekali. "Sedang apa kamu di sini?". Lanjut Mira. 

"Pertanyaan yang sama untukmu".

Lalu lelaki itu mulai berjalan ke arah sebuah tempat kursi di dekatnya dan lalu ia pun terduduk. 

"A-Aku hanya sedang ingin membaca buku ini. Itu saja". Lalu Mira pun mulai menyentuh kedua pipinya. "Lalu sedang apa kamu di sini, Mesa?". Lanjutnya dengan wajah yang sudah terlihat tenang. 

"Seperti yang biasanya aku lakukan". Ucap Mesa sembari memainkan handphone-nya. 

"Ah… Iya. Seperti biasanya, bermain Game". Mira berjalan mendekatinya dan lalu mengambil handphone itu.

"Hey! Kembalikan--

"Baca di sana". Ucap Mira sembari menunjukkan jarinya ke arah sebuah kertas yang tertempel di tembok dalam ruangan. "Rule is Rule! Apa kamu membacanya?". 

Lalu Mesa pun dengan cepat merebut kembali handphone miliknya itu dari Mira. "Ya! Dan ini untukmu: Rule is Fool! Apa kamu paham?". Ujar Mesa dengan nada yang kesal. 

"Hm? Full? Apa maksudnya?". Mira merasa bingung sembari memikirkan apa artinya itu. 

Mesa menyeringai. "Fool… ". Lalu memainkan handphone-nya kembali. 

"Mesa… Apa kamu tidak tahu apa artinya Rule? Rule adalah peraturan. Kenapa kamu masih saja memainkan handphone-mu disini?".

"Sekarang waktunya jam istirahat. Dan juga peraturan itu hanya berguna saat waktu latihan di mulai, bukan? Sekarang, apa kamu tahu artinya Fool?".

"Jangan membodohiku Mesa. Peraturan itu di buat agar tidak ada lagi orang sepertimu untuk mengulangi perbuatannya". 

Lalu Mesa pun mulai tertawa. 

"Ah…Ya, maaf. Aku tidak akan membodohimu untuk lebih bodoh lagi". Ujar Mesa dengan nada yang terdengar seperti mengejeknya.

Mira mencebil. "Hmm… Apa maksudmu itu?".

"Semakin lama kamu terikat dengan peraturan. Semakin cepat kebebasanmu memudar". Ujar Mesa sembari memainkan handphone-nya kembali.

"Kebebasan….". Mira mulai merenung. "Mesa".

"Hm?".

"Saat ini aku sedang ingin latihan sendiri di sini. Bagaimana? Apakah peraturan itu mulai berguna?".

"Ah. Soal itu… ". Mesa mulai terlihat kebingungan. 

"Rule is Rule!". Mira mengucapkannya kembali. 

"Ya… Tapi saat ini kamu bukan lagi ketua Club ini, bukan? Jadi kali ini kamu bukan lagi orang yang memerintah dan yang aku hadapi sekarang saat ini hanyalah anggota sesama Club saja". Balas Mesa. 

"Jangan begitu. Teman anggotamu di sini sudah baik untuk mengingatkan".

"Ya. Dan sekarang akulah orang jahatnya. Dan orang jahat mempunyai kebebasan untuk melakukan tindakannya. Selesai?".

"Cara kamu menyelesaikan masalah itu benar-benar aneh, Mesa".

Setelah itu Mesa tiba-tiba terdiam dan lalu mulai mematikan handphone-nya. "Ya. Aku tahu itu". Mesa pun mulai berdiri dari kursinya. 

"Hm? Kamu mau kemana?".

"Mencari tempat yang lebih nyaman". Mesa pun mulai berjalan keluar ruangan. "Ah… Iya. Tadi Ben sedang mencarimu". Lanjut Mesa sembari berjalan. 

"Hm? Ah…. Begitu ya? Aku benar-benar lupa soal itu. Lalu, di mana Ben sekarang?".

"Ruang Sastra". Mesa pun keluar dari ruangan itu. 

pada saat itu Mira pun mulai mengecek handphone miliknya dari dalam saku rok seragam sekolahnya dan mulai membuka pesan teks dari Ben di Whatsapp. 

Ah… Dia benar-benar sedang mencariku. Pikirnya setelah melihat banyak sekali pesan teks dari Ben. 

Apa aku benar-benar harus pergi kesana dan membantu menyelesaikan kasus itu? Pikirnya yang terdiam dan merasa gelisah. 

***

Cuaca di pagi hari itu benar-benar menyejukkan. Hembusan angin segar beserta suara siulan burung-burung yang saling beterbangan benar-benar melengkapi semua kesejukannya. Dan di tambah pula pot-pot tanaman segar di hadapannya yang membuatnya merasa tenang dan nyaman. Kebun sekolah… Hanya tempat inilah yang ku anggap sebagai tempat surga dunia di sekolah. Gid pada saat itu sedang berjongkok menatap ke arah pot-pot tanaman di hadapannya sembari memegang jenggotnya dengan tenang.

Saat itu ia benar-benar sedang merasakan sebuah hari yang dapat menenangkan dirinya dari suatu masalah. Hari selasa, yaitu merupakan salah satu harinya ia mengajar pelajaran seni di sekolahnya. Ia merasa senang akan hal itu. 

Dan tidak lama kemudian setelah itu, tiba-tiba muncul sebuah bola putih kecil yang menabrak dengan keras pot tanaman di hadapannya yang pada saat itu hampir terjatuh pot itu dari tempatnya. "Masyaallah! Ada apa lagi kali ini". Gid terkejut. 

"Maaf Pak! Tidak sengaja". Ujar kedua murid laki-laki yang berlari mendekati Gid. Setelah sampai mereka pun mulai mengambil bola itu di bawahnya. "Sekali lagi minta maaf, Pak". Ucap laki-laki yang mengambil bola itu. 

"Ah. Ya, sudah tidak apa-apa. Tapi lain kali kalian berhati-hatilah. Kalian juga tahu kalau kebun ini cukup dekat dengan lapangan". Ujar Gid cukup tenang. 

"Ya, Pak. Siap". Balas kedua murid laki-laki itu yang lalu pergi meninggalkannya. 

"Semuanya telah berlalu.. ". Ucap Gid yang mulai menenangkan dirinya. 

Lalu ia pun mulai memeriksa pot tanaman di hadapannya itu yang terlihat sedikit retak. Hanya sedikit. Tidak ada masalah. Pikir Gid dengan tenang. 

Setelah itu ia mulai berdiri dan mengepuk-epuk jas hitam yang di pakainya dan juga celananya yang sedikit berdebu. Setelah selesai ia pun mulai mencium-cium bau jas yang di pakainya. Sepertinya sudah tidak ada lagi bau rokok. Pikirnya yang lalu mulai berjalan ke arah koridor kelas setelah ia melewati sebuah ruangan gudang olahraga sekolah di belakangnya.

Di perjalanannya di koridor, ia berpapasan dengan murid-murid yang terus menyapanya. Selamat pagi, apa kabar, dan lain-lain. Semuanya sama seperti biasanya. Pikir Gid yang terus berjalan melewati murid-murid itu. 

"Selamat pagi, Pak".

"Pagi, Pak".

"Apa kabar, Pak".

"Selamat Pak Gid".

"Pagi, Pak".

"Ya, Selamat pagi semuanya dan baik-baik saj-- Selamat Pak Gid?". Gid seketika itu sadar ada yang aneh dari sapaan itu. 

"Ah. Maaf, Pak. Tidak fokus". Ucap seorang gadis berkacamata dengan rambut pendek yang terkucir ke belakang melewatinya yang sedang berjalan terburu-buru. 

"Sina? Hey! Tunggu sebentar...". Panggil Gid yang pada saat itu juga murid-murid di sekitarnya sedang tertawa-tawa.

Gadis itu pun mulai berbalik. "Ya, Pak? Ada apa?". Balasnya. 

"Ah…. Apa kamu tidak sadar dengan apa yang sudah sebelumnya kamu lakukan?". Ujar Gid dengan sedikit tegas. 

"Ah. Iya, Pak. Tadi aku sudah meminta maaf".

"Tidak, bukan itu. Mari ikut dengan Bapak sebentar". Lalu Gid pun mengajak gadis itu untuk mengikutinya ke dekat lapangan agar sedikit menjauhinya dari para murid-murid di sana. 

"Tidak seperti biasanya kamu seperti ini, Sina. Tadi pagi kamu tidak masuk pelajaran Bapak, apa kamu sadar?". Ucap Gid sembari menatap wajahnya. 

"Hm? Ah--Itu. Kalau soal itu… ". Gadis itu terlihat kebingungan.

"Ah….kamu ini. Ingat, kamu sudah kelas tiga SMA. Pelajaran Bapak juga termasuk ke dalam pelajaran--Tidak. Semua mata pelajaran juga penting, Sina. Apa kamu paham?".

"Ya, Pak maaf. Karena sebelumnya aku tertidur di base-- di Ruang Sastra Pak".

"Tertidur? Bagaimana bisa seperti itu?". Ujar Gid yang sedikit heran dan khawatir. "Sina. Apa kamu ingat tadi pagi bapak bilang apa? Kalau kamu benar-benar mempunyai masalah, katakanlah".

Sina pun terdiam sejenak sembari menatap ke arah bawah. "Tidak, Pak. Tidak ada". Balasnya. 

"Kamu yakin?". Ujar Gid 

Lalu Sina pun mulai menatap ke arahnya. "Ya, Pak Gid".

Meskipun begitu Gid masih terlihat sedikit khawatir. Tetapi saat itu juga ia merasa untuk tidak ingin membahasnya lagi. 

"Baiklah, kalau begitu. Lalu, dimana Ben? Apa dia juga sama tertidur denganmu di sana?". 

"A-Apa maksud Bapak?". Ucap Sina yang terlihat bingung dan gelisah. 

"Ben. Dia juga tidak masuk hari ini….Dimana dia sekarang?". Tanya Gid yang merasa penasaran. 

"Ah…. Ya, itu. Dia masih ada di Ruang Sastra, Pak".

"Apa dia masih tertidur?".

"Bukan, Pak. Bukan seperti itu. Sebenarnya dia tidak masuk bukan karena hal itu". Jawab Sina terlihat gugup. 

"Alasan baik untuk dia tidak masuk hari ini hanya itu". Sebenarnya Gid sudah menganggap Ben itu orang yang baik-baik saja. 

"Kalau soal itu…… Sebenarnya alasan itu lebih baik lagi dari--Ah. Sebenarnya tidak juga. Tunggu, aku tidak yakin dengan itu". Ujar Sina sembari berpikir. 

"Alasan yang lebih baik? Bisa kamu ceritakan?". Gid pada saat itu merasa sedikit senang mendengarnya.

"Aku…. Aku telah--Maksudnya, dia pada saat itu. Pada saat aku tertidur, dia sudah melindung--Maksudnya menjaga ku di sana". Jawab Sina terlihat gelisah dengan wajahnya yang terlihat mulai memerah. 

Mendengar balasan itu Gid terdiam sejenak dan lalu mulai mengeluarkan senyumannya. "Hmm… Apa benar seperti itu?". Ujarnya yang lalu menatap ke arah atas dan mulai memainkan jenggotnya. 

"Ya, begitulah. Kalau begitu saya izin pergi dulu ya, Pak".

"Sina". Ujar Gid sembari menyentuh pundak Sina. "Kamu benar-benar beruntung".

"Beruntung?". Gadis itu heran. 

"Ya, benar. Kamu beruntung sudah memiliki teman sepertinya. Dia itu orang yang baik, Jadi lebih akrablah dengannya".

Sina pada saat itu terdiam sejenak menatap ke arah bawah yang lalu memperlihatkan senyum getirnya. "Ya, benar. Seperti itulah dia". 

"Lalu setelah ini kamu mau pergi kemana?". Tanya Gid. 

"Mencari. Aku sedang mencari Glen".

"Glen? Temanmu?".

"Ya… seperti itulah". Balas Sina sembari memperbaiki kacamatanya. 

Lalu Gid pun mulai tersenyum kembali dan menyentuh kepala Sina. "Baiklah, kalau begitu. Dan jangan lupa untuk tetap hadir di pelajaran selanjutnya, paham?".

"Y-Ya, Pak siap". Balas gadis itu yang Lalu pergi meninggalkannya. 

Sepertinya aku terlalu mengkhawatirkannya. Pikir Gid yang setelah itu juga ia mulai memutuskan untuk pergi menuju Ruang Sastra dan menemui Ben.

Sesampainya di Ruang Sastra, ia masuk ke dalam sana dan melihat laki-laki itu di sana yang pada saat itu sedang duduk terdiam memperhatikan handphone-nya. 

"Apa semua ini bagian dari rencanamu, Ben? Membolos dari kelas untuk merenungkan sesuatu di dalam ruangan ini". Ujar Gid tersenyum. 

"Hm? Pak Gid? Ada apa, Pak?". Jawab Ben yang terlihat sedikit terkejut. 

Gid pun mulai berjalan mendekati Ben lalu duduk di kursi di sebelahnya dan merangkulnya. "Sepertinya tindakan yang sebelumnya sudah kamu lakukan telah membuat kamu melupakan sesuatu hal yang penting juga". Ucapnya sembari tersenyum akrab. 

"Ah. Soal itu…. Saya benar-benar minta maaf, Pak. Karena.... ". Ben terlihat bingung. 

"Sebelumnya kamu sedang melindungi seorang gadis kesepian di sini". Gid melanjutkannya. 

"Hm? Gadis kesepi--Ah… Sina. Tunggu. Dari mana Bapak tahu itu?". Ben terlihat sedikit malu. 

Gid menyeringai. "Penuh kasih sayang dari sang gadis". Ucapnya yang lalu memperhatikan layar handphone Ben yang sedang di genggamnya itu.

"Hm? Apa maksudnya itu? Sina?". Ben terlihat sedikit heran.

"Ya, siapa lagi? Sang gadis dan juga… ". Gid terdiam sejenak. "Ah Tunggu. Bapak tidak ingin salah paham terlebih dahulu tentang gadis yang selalu kamu bicarakan itu. Apakah gadis itu? Atau gadis ini?". Ucapnya sembari memperhatikan pesan teks di dalam layar handphone Ben. 

Saat itu Ben hanya terdiam malu sembari memalingkan wajah darinya. "Saya yakin Bapak akan tertawa mengetahui hal ini. Ya, gadis ini". Ujarnya sembari memperlihatkan dengan jelas layar handphone-nya. 

Gid melihat layar itu dengan teliti. "Mira? Gadis populer dari kelas A itu?". Ujar Gid. 

"Ya. Bagaimana pendapat Bapak?".

"Ah… Soal itu…. Bapak benar-benar sedang bingung sekarang". Ucapnya sembari merasa khawatir akan sesuatu. 

"Bingung?".

"Ya. Tapi soal itu biar bapak saja yang merasakannya dan lalu sisanya biar kamu yang mengurusinya. Bagaimana? Apa ada perkembangan?". Gid pun mulai melepaskan rangkulannya. 

"Ah….. Soal itu.…". Wajah Ben mulai terlihat muram. "Saat ini saya sedang merasakan sesuatu hal yang dapat membebani pikiran..". Ucapnya yang lalu menaruh handphone-nya di atas meja di depannya. 

"Membebani pikiran….. Sungguh kalimat yang memberatkan hati. Dan juga ya, pikiran". Ujar Gid yang lalu membenarkan kursi ke belakangnya untuk mencari posisi yang lebih nyaman dan lalu setelah itu ia mulai melipat kedua tangannya di dada. "Dan apakah itu penyebab kamu tidak memasuki pelajaran bapak hari ini?" Lanjutnya. 

"Sepertinya begitu. Tetapi…. Sepertinya tidak juga". Ucap Ben terlihat bingung. 

Setelah itu Gid pun mulai melihat ke arah jam tangannya yang sudah menunjukkan waktu pukul sepuluh kurang seperempat. "Kalau kamu benar sudah terdiam di sini sejak pagi. Kamu dan juga mungkin Sina sudah melewati tiga mata pelajaran hari ini dan sekarang sebentar lagi bel masuk berbunyi. Bagaimana? Apakah kamu bisa memberikan penjelasan yang lebih baik?". Ujar Gid yang pada saat itu mulai merasa khawatir padanya. Sepertinya dia baru pertama kali merasakan hal ini. Pikirnya yang biasanya setiap kali mendengarkan curahan Ben, dia selalu mengatakan semua curahannya itu dengan tenang dan juga bijak dan Gid selalu senang untuk mendengarnya, terutama di saat dia dapat mampu untuk membantu masalahnya.

"Tiga mata pelajaran…. Sepertinya saya sudah kelewatan…. Tapi Sina tidak. Saat itu dia hanya tertidur sebentar setelah saya mulai membangunkannya". 

"Dan itu juga tetap membuatnya tidak masuk satu pelajaran--Ah.... Ya, benar. Mengapa dia bisa tertidur tadi pagi? Tidak seperti biasanya". Ujar Gid merasa heran. 

"Soal itu, dia bilang saat kemarin malam dia sedang memikirkan sebuah masalah. Masalah tentang kasus pagi tadi yang Bapak ceritakan sebelumnya". Balas Ben yang lalu mulai menatap ke arah bawah. "Sepertinya kasus itu benar-benar membuatnya tertarik sehingga sulit untuk tidur semalaman". Lanjut Ben dengan tersenyum getir. 

"Ah…. Tidak. Seperti biasanya. Dan juga kamu". Ujar Gid menatap ke arah Ben sembari merasa sedikit tenang. 

"Hm? Apa maksud Bapak?". 

"Kamu bisa saja menyelamatkan dirimu dan juga Sina untuk tidak mendapatkan alfa di pelajaran seni. Itu pun jika kamu mampu membangunkannya dari awal". Ujarnya yang lalu melihat ke arah jam tangannya. "Apa kamu tahu mengapa kamu tidak mampu melakukannya? Bapak tahu. Dan mungkin juga kamu".

"Yah…. Saya sudah tahu itu. Melihat wajahnya yang sedang tertidur dengan pulas membuat saya…. ". Tiba-tiba Ben terdiam sejenak. "....tidak enak untuk membangunkannya". Lanjutnya yang terlihat sedikit malu. 

"Dan itulah kamu, seperti biasanya. Bagaimana? Apa menurutmu itu hal yang buruk?". Ujar Gid.

"Entahlah…. Perbuatan baik yang buruk? Saya tidak yakin dengan itu". 

Setelah itu Gid pun mulai berdiri sembari memperhatikan jam tangannya kembali. "Ketidakyakinan itu sudah menjadi hal yang biasa dalam hidup, tetapi itu juga dapat membantu kamu untuk bertahan dalam hidup. Merasa tidak nyaman akan hal itu lalu mencoba untuk menyelesaikannya". Lalu Gid pun mulai menyentuh kepala Ben. "Apa sekarang kamu merasa tidak nyaman?".

Ben terdiam sejenak. Lalu setelah itu dia pun mulai memperlihatkan senyuman kecilnya. "Ya". Balasnya. "Dan itu membuat saya bisa menjadi lebih tenang lagi". Ujarnya meyakinkan. 

"Bertahanlah dan lalu mencobanya". Gid pun mulai memperhatikan jam tangannya. "Tinggal beberapa detik lagi". Ujarnya. "Tiga…..Dua…..Satu…..Dan…..". 

Setelah itu susana di dalam ruangan pun tiba-tiba berubah menjadi sunyi.

Gid menyeringai. "Perhitungan tempo yang kurang tepat--

Bel sekolah pun tiba-tiba berbunyi. 

Mereka berdua terdiam sejenak untuk menunggu bel itu berhenti. 

Dan setelah berhenti, Ben pun mulai berdiri dari tempat duduknya yang lalu mulai mengambil handphone-nya yang berada di atas meja di sampingnya dan lalu mengecek ke dalam layarnya.

"Apa masih ada sesuatu hal yang ingin kamu bicarakan?". Ujar Gid

"Masih ada. Tetapi setelah saya pikir-pikir lagi sepertinya biarkan saja saya yang mengurusinya". Balas Ben tersenyum kecil. 

Lalu Ben pun terdiam sejenak sembari memperhatikan layar handphone-nya itu dan mulai menghela nafasnya. Setelah itu Ben pun mulai menggerakkan jari jemarinya di layar handphone miliknya. 

"Ben. Bapak ingin kamu tahu akan sesuatu hal". Ujar Gid yang pada saat itu mulai memperlihatkan tatapan getirnya. "Cinta adalah nafsu. Dan nafsu bukanlah sesuatu hal yang buruk. Tetapi nafsu juga sering kali di anggap hal yang rendah bagi orang-orang yang tidak pernah menyadari hal itu". Setelah itu Gid pun mulai berjalan keluar ruangan yang sedangkan Ben pada saat itu  sedang terdiam sembari berpikir. 

Gid pun mulai berhenti di dekat pintu dalam ruangan itu. "Bapak harap kamu paham. Jika tidak, anggap saja ucapan bapak tadi sebagai tugas untukmu karena tidak memasuki pelajaran Bapak". Gid pun mulai berjalan keluar ruangan. "Ah….Ya. jangan lupa untuk masuk ke dalam kelasmu sekarang". Lanjutnya yang sedang berjalan di luar ruangan. 

"Ya, siap Pak". Jawab Ben yang lalu setelah itu mulai mengangkat handphone-nya ke dekat telinganya. "Mmm…..Mira?". Panggilnya yang pada saat itu juga terdengar oleh Gid yang sedang berjalan di luar ruangan. 

***

Gelap, sunyi dan dingin. Sungguh aneh bagi Ema untuk merasakan sebuah kenyamanan di dalam sana. Di dalam keadaan seperti itu pula ia selalu teringat akan sesuatu hal yang sudah sangat lama ia ingin lupakan. 

Saat itu dia hanyalah seorang gadis kecil periang seperti layaknya anak-anak kecil yang sedang merasa senang dalam usia mudanya pada saat itu. Bermain rumah-rumahan, bermain petak umpet, berlarian, bersepeda, mengunjungi rumah teman, belajar, pulang ke rumah dalam keadaan lelah, makan bersama keluarga, merawat adik kecilnya, bertengkar, di marahi oleh orang tuanya, marah, kesal, benci, sedih, menyendiri, melamun, mengurung diri, mendengarkan sesuatu hal yang tidak mengenakan, merasakan kedinginan, putus asa, suram, kelam dan kegelapan. Sungguh ingatan yang sangat menyedihkan bagi perempuan muda sepertinya. 

Lalu tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka di dalam ruanganya itu. Saat terbukanya pintu itu, mulai muncul sebuah cahaya yang sedikit demi sedikit menerangi ruangan gelap di dalamnya dan juga seorang pria dengan mengenakan mantel hitam beserta topi bundar hitam yang di genggamnya itu mulai berjalan masuk ke dalam ruangan itu. 

Setelah itu juga muncul seorang wanita berseragam pelayan dengan kuciran rambut panjang ke belakang  mengikutinya masuk ke dalam ruangan yang lalu mulai membukakan semua gorden jendela di dalam sana. Tidak lama setelah itu, cahaya dari luar jendela pun ikut masuk dan menerangi semua ruangan di dalamnya.

Pada saat itu Ema sedang terdiam dan duduk di atas kursi sofanya menguraikan rambut panjangnya yang berantakan ke depan pundaknya dengan mengenakan pakaian belang, baju putih polos dan juga rok hitam polos sembari melamun menatap ke arah depan dengan wajahnya yang mulai tersenyum getir. Yah….. Tentu saja. Pada akhirnya mereka akan masuk begitu saja setelah cukup lama mereka menunggu di luar. Pikirnya yang lalu mulai menatap ke arah samping kanannya yang di sana ada seorang pria muda dewasa yang terlihat hampir seumuran dengannya tetapi mungkin lebih tua, mengenakan mantel hitam yang sebelumnya sedang berdiri di sampingnya. 

"Selamat siang, Ema. Dan senang bisa berjumpa denganmu lagi". Ucap pria itu. 

"Pak Mando". Ujar Ema yang lalu mengalihkan pandangannya. "Dimana dia…...sekarang?". Lanjutnya dengan memperlihatkan wajah yang mulai muram. 

"Dia akan datang". Lalu pria itu mulai berjalan ke arah kursi sofa di hadapan Ema dan lalu duduk di sana. "Sepertinya". Lanjut pria itu.

Pada saat itu Ema pun mulai menatap ke arah wajah pria itu dengan tatapan tajam dengan penuh kemarahan. 

"Ibu pelayan". Ujar pria itu yang tiba-tiba memanggil. "Ah. Tunggu. Siapa nama Ibu?". Lanjut pria itu menatap ke arah belakangnya di mana tempat pelayan wanita itu sedang berdiri di dekat jendela ruangan. 

"Sus, Pak. Bapak bisa memanggil saya seperti itu". 

"Baiklah, Bu Sus. Bisakah Ibu memanggil Pak Dani sekarang?". Ujar pria itu.

"Maaf, Pak. Tetapi….sebelumnya nyonya bilang….". Bu Sus terlihat sedikit gelisah. 

Lalu pria itu pun mulai memandangi Ema yang berada di hadapannya. "Bagaimana? Apa sudah tidak apa-apa?". Ujar pria itu dengan sopan kepada Ema.

"Maaf, Pak Rudi. Pada saat ini mungkin Pak Dani sedang sibuk bekerja". Ujar Bu Sus kepada pria itu. 

"Tidak. Pak Dani sedang berada di luar sekarang". Balas Rudi meyakinkan. 

Setelah mendengar itu Ema pun mulai bertambah marah. "Kau… ". Ucapnya sembari menatap pria itu. 

"Ya, Ema. Sebelumnya saya sudah memanggilnya tadi pagi, untuk kebaikanmu sendiri". Ujar pria itu yang lalu menatap kembali ke arah Bu Sus. "Lakukan saja, Bu Sus. Sebelum saya mengubah permintaan ini menjadi sebuah perintah". Ucap pria itu dengan tatapan tajamnya. 

Lalu Bu Sus pun mulai menatap ke arah Ema. "Nyonya… ". Ucap Bu Sus dengan nada yang khawatir. 

Pada saat itu Ema sedang terdiam sejenak menatap ke arah bawah. Orang ini sepertinya lebih menyebalkan dari Mira. Pikir Ema yang mulai mengingat-ingat adik perempuannya itu. 

Lalu setelah itu Ema pun mulai menatap ke arah Bu Sus dan sedikit menganggukan kepalanya. 

Bu Sus pun berjalan keluar ruangan yang tidak lama setelah itu juga kembali dengan di ikuti oleh seorang pria dewasa di belakangnya yang mengenakan jaket kecokelatan bersama dengan orang-orang berseragam kepolisian yang mengikutinya di belakang.

"Silakan masuk, Pak". Ujar Bu Sus sembari sedikit membungkukkan badannya ke arah pria di hadapannya itu. 

"Ya. Terima kasih Bu Sus seperti biasanya". Balas sopan pria berjaket kecokelatan itu.

Lalu Bu Sus pun mulai berjalan keluar ruangan. 

Tidak lama setelah itu, seorang pria dewasa tinggi berkulit hitam kecokelatan berseragam kepolisian datang menghampiri Rudi. "Apa kita bisa mulai bekerja, Pak?". Ujarnya. 

"Ya. Secepatnya". Balas Rudi dengan tegas. 

Lalu pria tinggi itu pun mulai memerintahkan orang-orangnya untuk memeriksa seluruh ruangan di dalamnya. 

Hm? Pak Neur? Apa itu benar-benar dia? Pikir Ema terkejut. 

Setelah itu Ema pun mulai sedikit membalikkan badannya ke arah belakang dari tempat ia sedang terduduk di sofa untuk melihat pria tinggi berseragam kepolisan di belakangnya itu sedang bekerja. Setelah di lihatnya, Ema pun tiba-tiba berdiri yang lalu mulai berjalan mendekati pria tinggi itu dan langsung mengenggam erat lengan seragam pria itu sembari menatapnya. "T-Tunggu sebentar". Ucapnya yang terdengar gugup.

"Hm? Ya ada apa, nak?". Balas pria tinggi itu.

Lalu Ema pun menundukkan kepalanya. "J-Jangan…..Jangan…". Ucap Ema yang suaranya terdengar semakin kecil karena ia merasa sedikit malu dan gelisah. 

Lalu tiba-tiba pria berjaket kecokelatan itu mulai menyentuh pundak Ema di belakangnya. "Ema. Tenanglah…..". Ujar pria itu sembari menenangkannya.

Ema pun mulai menatap ke arah pria itu. "Pak Dani...". Ucapnya yang mulai merasa sedikit tenang.

Pak Dani pun mulai menggenggam dengan lembut kedua tangan Ema yang lalu membantunya untuk berjalan kembali menuju kursi sofa. Setelah itu mereka berdua pun terduduk di atas kursi sofa itu bersama saling bersebelahan.

"Baiklah". Ujar Rudi di hadapannya. "Apakah Bapak dapat membantu kami untuk bisa bekerja sama?". Lanjutnya. 

"Ema.....". Ucap Pak Dani sembari menatap ke arah Ema di sebelahnya dengan wajah yang terlihat tenang. "Semuanya akan baik-baik saja. Kamu hanya perlu membantunya untuk menceritakan semua kebenarannya dan semua Ini tidak akan memakan waktu lama kalau kamu dapat bekerja sama dengannya. Dan juga ingat seperti biasa, berbicaralah dengan sabar dan jangan terburu-buru". 

Setelah itu Ema pun mulai menundukkan kepalanya dan lalu memeluk ke lengan kiri Pak Dani di sebelahnya. "Aku….Aku tidak bisa". Ucapnya sembari merasa gelisah. 

"Ema". Ucap Rudi sembari memegang topi bundar hitamnya itu ke bawahnya. "Kami datang ke sini untuk menyelesaikan semua masalah, bukan hanya satu masalahmu saja". Rudi mengucapkannya dengan nada yang sedikit tegas. 

Setelah itu Ema pun mulai kembali merasakan kemarahan dalam dirinya dan lalu mulai menatap balik ke arah pria di hadapannya itu. "Diamlah….". Ucapnya yang pada saat itu masih memeluk lengan Pak Dani. 

"Ema…... Di sini Pak Rudi bukan bermaksud untuk membuatmu merasa tidak nyaman. Seperti yang pernah Bapak bilang, kamu hanya harus tetap tenang dalam setiap percakapan dengan seseorang". Lalu Pak Dani pun mulai menyentuh tangan Ema yang berada di lengan kirinya dalam pelukannya. "Bukankah kamu pernah bilang untuk ingin menghilangkan sifat amarahmu itu?".

Ema terdiam sejenak dan mulai menarik nafasnya dengan perlahan lalu menghembuskannya. "Ya, tapi ini…. Berbeda". Ucapnya yang mulai merasa tenang.

"Berbeda? Apa maksudmu?". Pak Dani terlihat bingung. 

Maaf, Pak Dani…. Tapi aku benar-benar tidak ingin mengatakannya. Pikir Ema menundukkan kepalanya sembari memperlihatkan tatapan getirnya. 

"Pak Neur". Tiba-tiba Rudi memanggil.

"Ya, Pak?". Balas Pak Neur yang pada saat itu sedang berada di dalam ruangan kamar Ema. 

"Kemarilah". Panggil Rudi sedikit tegas. 

Lalu Pak Neur pun mulai berjalan menghampirinya. 

"Apakah handphone Bapak benar-benar tidak bisa di perbaiki lagi?". Ujar Rudi kepada Pak Neur. 

"Ya, begitulah Pak".

"Apakah Bapak tidak masalah dengan itu? Sebelumnya saya lihat handphone Bapak itu terlihat mahal...". Pada saat itu Rudi terdiam sejenak menatap ke arah bawah sembari memakai topi bundarnya itu di kepalanya. 

"Ya. Tidak masalah, Pak. Saya bisa membeli--

"Lalu tentang dokumen-dokumen itu. Apakah Bapak sudah menemukannya?". Ujar Rudi yang terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu. 

Pada saat itu Ema merasa heran apa yang sedang di bicarakan oleh mereka berdua dan juga mulai merasa sedikit khawatir akan sesuatu. Lalu Ema pun mulai menatap ke arah Pak Neur yang pada saat itu sedang terdiam sejenak. 

"Ya, soal dokumen itu--

"Bagaimana?". Ujar Rudi yang memotong perkataan Pak Neur sembari menatap ke arahnya. 

"Dokumen-dokumen itu di bawa oleh Pak Mando. Dan itulah masalahnya, saat ini kita tidak bisa menghubunginya". Balas Pak Neur dengan tenang. 

Pak Mando? Tidak bisa menghubunginya? Pikir Ema merasa khawatir tetapi di saat itu juga ia merasa senang setelah mendengar bahwa dokumen-dokumen itu berada di Pak Mando.

"Hmm…. Begitu". Ujar Rudi sembari berpikir. "Sepertinya Bapak tidak terlalu heran mengapa saya bisa mengetahui hal itu. Dan lalu…. setelah Bapak sudah selesai dari sekolah swasta itu, bagaimana bisa Pak Mando memutuskan untuk pulang ke rumahnya terlebih dahulu melainkan ikut bersama Bapak ke sini? Bukankah itu hal yang harus di utamakan? Membawa dokumen-dokumen itu terlebih dahulu ke sini dan menanyakannya kepada pemiliknya". Lanjut Rudi. 

Apa-apaan dengan orang ini? Benar-benar menyebalkan. Saat itu Ema mulai merasa kesal yang tanpa sadar juga ia mulai mengenggam erat lengan Pak Dani dengan kuat. Tetapi pada saat itu Pak Dani hanya terdiam dengan tenang yang tampak terlihat seperti sudah terbiasa dengan itu. 

Pak Dani pun mulai mengelus kepala Ema. "Dengarkan baik-baik terlebih dahulu, Ema. Semuanya akan segera selesai jika kamu mendengarkannya dengan perasaan yang tenang". Ucapnya dengan lembut dan Ema pun mulai menenangkan dirinya. 

Tiba-tiba Pak Neur mulai berjalan perlahan menuju kursi sofa di samping Rudi. "Bolehkah saya?". Ucapnya dengan sopan

"Ya, duduk saja". Balas Rudi. 

Lalu Pak Neur pun mulai duduk di sampingnya. 

"Yah…. Soal itu". Ucap Pak Neur dengan tenang. "Sebenarnya Pak Mando sebelumnya ingin melaporkan terlebih dahulu kepada atasan tentang dokumen-dokumen itu sembari membawanya ke sana agar tetap aman di sana. Dan juga beliau ingin saya untuk tetap berada di sini untuk mengamankan situasi agar tidak ada lagi permasalahan, dan Bapak juga sudah tahu soal ini. Saya sudah memberitahu kepada Bapak sebelumnya mengapa saya berada di sini, bukan?". Lanjutnya. 

"Hmm…. Begitu. Lalu setelah itu kalian berpisah. Dan Pak Mando yang melainkan seharusnya sudah berada di kantor, sebaliknya Ia memutuskan untuk pulang ke rumahnya terlebih dahulu". Ucap Rudi yang lalu mulai menatap ke arah Pak Neur. "Ada apa dengannya?". Lanjutnya. 

"Mungkin Pak Mando sedang sakit. Karena pada saat di sekolah saya melihat beliau sedang terlihat lemas". 

"Atau mungkin dia memiliki urusan yang lebih penting di rumahnya". Ujar Rudi yang pada saat itu mulai menatap dengan tajam ke arah Pak Neur. 

"Hm? Apa maksud Bapak?". Balas Pak Neur yang pada saat itu juga Ema melihat dengan jelas wajahnya yang terlihat sedikit terkejut. 

Lalu Rudi pun mulai memasukan tanganya ke dalam saku celananya dan mengeluarkan sebuah handphone dari dalamnya. Yang setelah itu ia mulai menatap ke arah Ema. 

"Ema". Ucap Rudi dengan nada getir, lalu mulai memperlihatkan layar handphone-nya kepada Ema. "Saya ingin membicarakan sesuatu hal yang penting kepadamu".

Setelah itu Ema pun mulai menatap ke arah layar handphone itu yang terlihat di dalamnya terdapat sebuah nama yang tertulis Pak Mando beserta nomor handphone di bawahnya. "A-Apa maksudnya ini….". Ema merasakan kegelisahnanya. 

Rudi pun mulai mengarahkan layar handphone-nya itu ke hadapan Pak Neur. "Maaf, saya belum memberitahukan hal ini kepada Bapak". Ujarnya yang lalu menyimpan kembali handphone-nya itu ke dalam saku celananya. 

"Bapak….. Darimana Bapak tahu nomor handphone itu?". Ucap Pak Neur terdengar sedikit gelisah.

"Istrinya". Balas Rudi yang lalu menatap ke arah Ema. "Ema, Apa kamu paham apa yang sudah sebelumnya kamu lakukan?".

Pada saat itu Ema mulai merasa gelisah dan bersamaan dengan itu juga ia merasakan kemarahan di dalam dirinya setelah menatapnya kembali. 

"Hm? Apa maksud Bapak?". Ujar Pak Dani. 

Rudi pun mulai menatap ke arah Pak Dani. "Sebagai psikolog pribadi Ema. Apakah Bapak mendapatkan sebuah pesan darinya kemarin malam?". Tanya Rudi yang mulai memperlihatkan tatapan getir. 

"Dari Ema?". Balas Pak Dani yang lalu menatap ke arah Ema. "Saya tidak menerima pesan apapun dari Ema. Memang ada apa dengannya kemarin malam?". Pak Dani mulai terlihat khawatir. 

Lalu Rudi pun menatap kembali ke arah Ema. "Ema, apakah kamu bisa--Ah. Ya, tentu saja kamu tidak akan ingin menceritakannya. Bagaimana? Apakah harus saya yang menceritakannya?". Ujar Rudi dengan tegas. 

Pada saat itu Ema sedang terdiam sejenak karena ia mulai merasa aneh di dalam dirinya. Marah? Gelisah? Bingung? Sedih? Khawatir? Kesal? Perasaannya benar-benar sangat rumit, Ia benar-benar merasa tidak nyaman di buatnya. Seolah-olah ia merasa ingin mengeluarkan semua perasaannya itu keluar dari dalam dirinya. 

Ema pun mulai menggenggam lebih erat lagi lengan Pak Dani dan menempelkan kepalanya di sana. Dan tiba-tiba keluarlah air matanya yang mulai sedikit menetes membasahi lengan jaket Pak Dani. 

"Hm? Ema?". Pak Dani terkejut. "Hey... Tenanglah, tidak apa-apa. Kamu tidak usah untuk terlalu memikirkannya". Pak Dani pun mulai mengelus-elus kepala Ema yang pada saat itu juga Ema mulai menangis tersedu-sedu. 

"Pak Rudi". Tiba-tiba Pak Neur memanggilnya dengan tegas. "Saya ingin bertanya yang sebenarnya. Darimana Bapak tahu nomor handphone itu?".

Rudi pun mulai tersenyum getir sembari menatap ke arah bawah. "Kemarin malam, dari ibu kepala sekolah"

***

"Black Cover, One Pack Man, Attack On Titanic, Neverland Saga dan juga Sword…..Mmm.… Aku lupa namanya". Ujar Mira yang terlihat bingung.

"Sword Art On Game". Balas Ben yang sedang duduk di sebelahnya di kursi taman sekolah pada saat jam istirahat keduanya. Hm? Titanic? 

"Ah! Itu dia.... SAOG". 

"Untuk yang Action kamu benar-benar sudah menonton cukup banyak. Tapi tetap saja aku yang menang".

"Kalau begitu selanjutnya yang Slice Of Life. Aku sudah menonton Honda-kun, Yuri Camp, Bakaramon, Doraemon….". Mira melanjutkan.

"Hm? Doraemon? Bukankah itu kecurangan?".

Mira pun mulai menatap ke arah Ben yang berada di samping kirinya. "Tentu saja tidak. Doraemon juga termasuk ke dalam animasi jepang, bukan? Maka Doraemon adalah Anime". Balasnya dengan nada yang meyakinkan. 

"Ah… Soal itu…. Sepertinya kamu benar. Tapi tentu saja aku yang akan menang lagi". Ben menyeringai. 

"Mmm…… Benarkah...?".

"Anime Slice Of Life bagiku sudah seperti makanan sehari-hari. Dan sepertinya aku tidak perlu untuk menyebutkan semuanya satu per satu". Ucap Ben dengan bangganya. 

"Baiklah, Kalau begitu. Yang selanjutnya adalah Romance. Aku sudah menonton--

"Oke, cukup. Aku pasti akan kalah denganmu untuk yang satu ini". Balas Ben dengan cepat. 

Mira mencebil. "Setidaknya biarkanlah aku mengatakannya, Ben". Mira lalu memukul pelan ke arah pundak lengan kanan Ben. 

"Yah…. Kalau aku membiarkannya. Kamu pasti akan bertingkah dengan angkuh, Mira".  

"Bukan angkuh. Tapi membuktikan sebuah ambisi kepadamu bahwa aku pun seorang penggemar sejati". 

Setelah mendengar itu Ben pun mulai tertawa kecil. "Ah… Ya, benar. Ambisi….".

Mira mencebil kembali. "Mmm… Dan kamu mulai mengejekku sekarang? Setelah kamu kalah di genre Isekai Fantasy?". Ucap Mira yang lalu mulai menyeringai. 

"Ah… Ya, benar. Sang penggemar Isekai Trash…..". Balas Ben menatap Mira sembari menyeringai balik. 

"Hm? Trash? Apa maksudmu?". Mira terlihat bingung. 

"Mmm…. Intinya adalah kamu itu fanatik dengan genre itu".

"Fanatik…. Tapi apakah kamu sudah lupa? Bahwa genre itu sudah banyak digemari sekarang". Ujar mira yang lalu menyeringai kembali. "Bukankah seorang penggemar sejati itu selalu mengikuti setiap perkembangan genre yang mulai pupuler?".

"Sejati….. Selama seseorang masih mengikuti genre yang di gemarinya, mereka masih tetap di sebut sebagai penggemar sejati. Baiklah, kalau begitu apakah kamu pernah menonton genre Ecchi? Apa kamu tahu itu Ecchi? Baiklah yang pertama ada Highschool--

Tiba-tiba ada seseorang yang menggenggam kepala Ben dari belakang. "Jangan berani-beraninya kamu mengatakan hal itu kepada Mira". Ujar seorang perempuan berkacamata dengan tatapan sinisnya. 

"A-Ah… Maaf. Aku sudah kelewatan". Balas Ben yang lalu dengan perlahan menyingkirkan kepalanya dari genggamanya.

"Hm? Sina? Darimana saja kamu?". Mira terlihat sedikit terkejut. 

"Mencari Glen. Dan juga pertanyaan yang sama untukmu". Lalu perempuan itu mulai berjalan ke arah kursi di depannya yang lalu duduk di sebelah Mira. "Makhluk itu benar-benar selalu menyusahkan". Ujarnya terlihat sedikit kesal. "Tapi kamu bukan salah satu dari makhluk itu, Mira".

"Yah….. Aku pun mempunyai urusanku sendiri, bukan?". Balas Mira. 

"Urusan? Seperti membolos?". 

"Membolos bukanlah suatu urusan, Sina". Ujar Ben. "Membolos hanyalah kemalasan. Dan kamu tahu Mira bukanlah orang yang seperti itu". 

"Hmm…. Dan lalu mengapa baru sekarang kamu bermalasan?". Sina menatap ke arah Mira dengan wajah yang heran. 

"Kamu salah paham. Mira sudah menjelaskannya padaku tentang masalahnya dengan Glen tadi pagi". Balas Ben yang pada saat itu juga Mira mulai menatap ke arah bawah.

"Masalah Glen". Sina membenarkan "Dan kamu tidak sengaja terlibat dengan masalahnnya, begitu?". Ucapnya kepada Mira. 

"Tidak. Aku memang bermasalah dengannya". Ujar Mira yang lalu menyandarkan kepalanya ke belakang tempat kursi sembari menatap ke arah langit. 

"Sudah ku bilang, Mira". Ujar Ben kepadanya. "Kamu tidak salah, pada saat itu kamu sudah berusaha untuk membantunya dan kamu benar".

Meskipun Ben mengatakannya, ia masih tetap merasa khawatir. 

Sebelumnya Ben sengaja untuk memulai percakapan yang ringan seusai mendengarkan penjelasan Mira tentang Glen agar Mira tidak terlalu memikirkannya. 

"Apakah kalian bisa menghentikan perkataan ambigu kalian seperti itu? Aku benar-benar tidak mengerti apa yang sedang kalian berdua bicarakan". Ujar Sina. 

"Glen sudah lama mempunyai hutang kepada Aji, teman sekelasnya". Jawab Mira yang lalu menatap ke arah depan. "Pagi tadi saat aku sudah berada di Basement sendirian, Glen datang. Tapi tidak lama setelah itu juga teman-temannya mulai mendatanginya dan mengajaknya keluar sekolah". Lanjut Mira yang mulai memainkan jari jemarinya. 

"Dan setelah itu juga kamu mengikutinya? Mengapa?". Tanya Sina terlihat heran dan khawatir. 

Lalu Mira pun menatap ke arah Sina. "Tentu saja aku akan mengikutinya. Pada saat itu aku benar-benar merasa khawatir padanya, aku takut kalau dia benar-benar sedang berada dalam masalah". Ujarnya yang lalu mulai kembali menatap ke arah bawah.

"Itu masalah Glen dan bukan urusanmu untuk ikut campur dengannya, Mira". Ujar Sina sembari menatap ke arah bawah juga .

Ben pun mulai menatap ke arah Sina. "Kalau kamu jadi Mira pada saat itu, apa yang akan kamu lakukan? Diam dan mengabaikannya begitu saja, Sina?". Ucapnya. 

"Aku akan melakukan hal yang sama. Karena pada saat itu aku bukanlah aku, tapi aku adalah Mira yang selalu ikut campur dengan urusan orang lain". Jawab Sina dengan tegasnya yang lalu mulai menatap ke arah Mira. "Bukankah aku sudah bilang padamu, Mira? Kamu juga seharusnya memikirkan dirimu sendiri". Lanjutnya dengan memasang wajah yang terlihat khawatir tetapi juga tegas. 

"Aku hanya…. Pada saat itu.. Aku benar-benar merasa tidak nyaman melihatnya". 

"Ya, tentu saja hanya itu alasan yang bisa kamu berikan. Seperti biasanya". Ujar Sina yang lalu menatap ke arah Ben. 

"Hm?" Ben merespon. 

"Seperti biasanya.. ". Gumam Sina. "Lalu setelah itu?". Lanjutnya. 

"Mira melihat Glen yang pada saat itu sedang terlihat marah kepada Aji. Dan setelah itu Mira langsung mendekati mereka dan memberi nasihat kepada mereka agar tidak membuat keributan di luar sekolah".

"Keributan…..". Balas Sina sembari menatap ke arah Mira kembali. "Apakah mereka benar-benar sedang ingin melakukan keributan?".

"Aku berpikir seperti itu, tapi ternyata aku salah. Aji hanya ingin menagih hutangnya dari Glen dan Glen menolaknya, dia merasa tidak adil di buatnya. Glen merasa bahwa Aji terlalu berlebihan menghitung jumlah harga handphone-nya itu yang tidak sengaja rusak oleh Glen saat kemarin".

"Hm? Kemarin?". Sina terlihat sedang memikirkan sesuatu.

"Ya. Tapi aku tidak tahu bagaimana detailnya. Dia….. Hanya mengatakannya seperti itu". Balas Mira sedikit ganjil. 

"Hmm… Lalu setelah Itu? Bagaimana dengan masalahmu?". Tanya Sina. 

"Aku terlalu ikut campur dengan urusan mereka karena pada saat itu aku ikut mendukung Glen. Dan tiba-tiba setelah itu juga Aji dan teman-temannya pun mulai mengancam Glen. Dan juga aku. Yang tidak lama setelah itu Glen pun melawannya dan berusaha untuk melindungiku pada saat itu juga". Jawab Mira dengan tatapan getir.

"Dia kalah jumlah. Lalu apa yang terjadi setelahnya?".

"Pada saat itu kita sedang berada di dekat perumahan rumah orang. Karena merasa terganggu, pada akhirnya kita di marahi oleh orang-orang sekitar dan setelah itu Glen pun mulai membawaku untuk melarikan diri. Menjauhi Aji dan teman-temannya di sana yang berlari berlawanan arah".

"Dan setelah itu, kalian sudah lama melarikan diri dan--Hm? Lalu bagaimana bisa kalian kembali ke sekolah?". Tanya Sina heran. 

"Aku….tahu sebuah tempat rahasia untuk masuk ke dalam sekolah melalui halaman belakang gedung sekolah ini". Jawab Mira sembari memalingkan wajahnya dari Sina. 

Sina terdiam sejenak yang lalu mulai menatap dengan tajam ke arah Mira. "Kamu… belum memberitahuku tentang ini sebelumnya". Ujarnya sedikit kesal tetapi juga penasaran. 

"Jangan beri tahu kepadanya, Mira. Kamu tahu apa yang akan terjadi kalau kamu memberitahunya". Ujar Ben merasakan kekhawatiran. Bisa-bisa Sina setiap hari akan masuk ke dalam sekolah melalui tempat itu. Pikirnya dengan waspada. 

"Kau diam saja, Ben. Ini adalah urusanku dengan Mira". Sina mulai menatap tajam ke arah Ben.

"Urusan yang mana? Tentang tempat rahasia itu?". Balas Ben. 

"Itu penting untuk di bicarakan". Balas Sina. "Ben, bukankah itu aneh kalau memang Mira benar-benar melakukan hal itu". Sina menatap kembali ke arah Mira. "Tidak seperti biasanya kamu berani melakukan hal itu. Dan juga…...darimana kamu tahu tempat semacam itu?". Lanjut Sina dengan matanya yang mulai berkaca-kaca. 

"Kalian berdua juga sudah tahu saat kecil aku pernah tinggal di sini, bukan? Dan dulu aku selalu dilarang untuk bermain keluar rumah dan ya, setelah itu…. Kamu bisa menebaknya". Balas Mira. 

"Ah…. Iya, aku baru ingat. Dan aku masih tidak menyangka kalau sebelumnya sekolah ini merupakan sebuah tempat penginapan terbesar di daerah ini". Ujar Sina. "Dan lalu? Soal tempat rahasia itu? Bagaimana bisa kamu membuat tempat rahasia seperti itu?". Sina mulai kembali merasa penasaran dan tanpa sadar juga telah lupa dengan masalah Glen.

Pada saat itu Ben pun mulai ikut merasa penasaran, karena selama ini dia masih belum mengetahui masa kecinya Mira itu seperti apa. Dilarang bermain keluar rumah? Ada apa dengan Mira pada saat itu? Pertama kali Ben bertemu dengan Mira adalah saat SD dan itu pun setelah ia baru berpindah rumah ke daerah ini.

Pada saat itu Mira pun mulai tersenyum. "Yah… soal itu. Sejak kecil aku dan kakak--

Tiba-tiba Mira terdiam. 

"Hm? Mira?". Ujar Sina heran. 

Tiba-tiba Mira pun mulai berdiri. "Itu tidak penting. Yang penting sekarang kita harus segera menemukan Glen, bukan?". Ujarnya. 

"Ah--Ya, tapi… ". 

"Mira benar, kita harus mencari Glen sekarang. Bukankah Glen memiliki salah satu bukti yang kuat untuk kasus ini, Sina?". Ujar Ben yang menahan rasa penasarannya dan juga tatapan getirnya. "Kita bisa membahas tentang ini lagi nanti".

"Ah...Ya, benar. Tapi, kita harus mencari kemana lagi? Aku benar-benar sudah mencarinya di seluruh lingkungan sekolah tapi dia tidak pernah ada". Balas Sina dengan nada sedikit kesal. 

"Yah… Kita hanya harus terus mencarinya lagi, bukan?". Ujar Mira. "Tidak mungkin dia akan hilang begitu saja".

"Mira, duduklah. Kita tidak boleh langsung bertindak begitu saja". Ujar Ben. "Kamu seharusnya beristirahat terlebih dahulu karena sebelumnya kamu sudah mencarinya dimana-mana.". Ben mulai merasa khawatir padanya.

"B-Baiklah… ". Mira pun mulai terduduk kembali sembari memalingkan wajahnya dari Ben. 

"Ah--Tunggu. Bukankah seharusnya kamu bersama Glen sebelumnya? Kamu seharusnya tahu dia saat ini ada di mana, bukan?". Tanya Sina keheranan. 

"Yah…. Sebenarnya. Aku tahu kalau dia akan menemui Aji kembali, tapi saat aku bertanya-tanya kepada teman kelasnya mereka tidak tahu apa-apa tentang hal itu". Balas Mira sembari menundukkan kepalanya menatap ke arah bawah. 

"Hm? Lalu bagaimana dengan Aji?".

"Dia juga sama tidak ada di mana-mana".

"Ah…. Sebenarnya di mana mereka?". Gumam Sina. 

Suasana di sekitar mereka pun tiba-tiba menjadi hening. Sina yang pada saat itu sedang terdiam sembari memikirkan sesuatu, Mira pada saat itu hanya terdiam sembari menatap ke arah bawah dan sedangkan Ben mulai merasa aneh di buatnya.

"Aku benar-benar merasa khawatir tentang situasi saat ini. Tidak seperti biasanya. Sebelumnya kita hanya berdiskusi tentang masalah yang kecil tapi sekarang mulai berubah menjadi masalah yang serius". Ujar Ben menatap ke arah bawah dengan tatapan getirnya. "Aku merasa…. Kita harus segera menghentikan ini". Lanjutnya. 

Sina pun mulai menatap ke arah Ben. "Kalau begitu bantulah berpikir, jangan hanya--

"Sina". Ujar Ben sembari menatap balik ke arah Sina. "Maksud ku lebih baik kita tidak ikut campur dengan kasus ini lebih lanjut. Kita biarkan saja urusan ini kepada orang dewasa".

"Lalu? Bagaimana dengan Glen? Bukankah dia mempunyai bukti kuat untuk kasus ini? Kita harus segera mencarinya...". Balas Sina yang terlihat keheranan setelah mendengar perkataan Ben. 

"Sudah ku bilang itu bukan urusan kita. Kalau memang Glen mempunyai bukti itu, biarkanlah dia yang mengurusinya. Kita tidak boleh ikut campur dengannya".

Pada saat itu Mira pun mulai menatap ke arah Ben. "Ben…. ". Ucapnya dengan suaranya yang terdengar sedikit lembut dan juga dengan tatapannya yang terlihat sedikit terkejut.

Tiba-tiba Sina pun mulai berdiri . "Sebenarnya ada apa denganmu Ben? Bukankah kamu pernah bilang akan membantu semua masalah--

"Ya. Maka dari itu kamu hanya harus diam sehingga tidak ada masalah apapun--

"Bilang saja kalau kamu tidak ingin membantu malasalahnya Ben--

"Aku benar-benar mengkhawatirkan kalian berdua!". Ben merasa sedikit kesal tetapi masih merasa khawatir. "Hari ini kalian berdua benar-benar aneh. Ya, Aneh. Tidak seperti biasanya. Dan juga tetaplah kalian terus seperti biasanya". Ucapnya sedikit tegas yang mulai menatap ke arah Sina. "Duduklah Sina, kamu seharusnya beristirahat. Kamu sudah mencari Glen di seluruh lingkungan sekolah, kamu seharusnya pasti merasa lelah karena hal itu, bukan?". Lanjutnya dengan tatapan getir. 

"A-Ah… itu.. ". Sina mulai menatap ke arah bawah dengan wajahnya yang terlihat sedikit merona dan gelisah. 

Setelah itu Ben pun mulai menatap ke arah wajah Mira. "Kamu juga Mira. Aku tahu kamu mengkhawatirkannya tapi untuk saat ini aku mohon… ". 

Pada saat itu wajah Mira mulai terlihat memerah. 

"Aku….mohon... tetaplah kamu di sini…". Lanjut Ben sembari menundukkan kepalanya dengan wajahnya yang ikut memerah setelah bertatapan dengan Mira. 

"Ben aku--

Tidak lama kemudian, Ben pun tiba-tiba berdiri sembari masih menundukkan kepalanya. Lalu setelah itu ia pun mulai menatap ke arah mereka berdua. "Itulah intinya, aku tidak ingin kalian berdua benar-benar berada dalam masalah…. ". Ujarnya kepada mereka. 

Sina mulai memalingkan wajahnya dari Ben. "Diamlah Ben…. Kalau memang kamu tidak ingin membantu, biarkan aku saja yang mengurus semuanya.. ". Lalu Sina pun mulai menatap ke arah Ben dengan tatapan yang terlihat sedih. "Aku tidak butuh bantuanmu lagi". 

Sina pun berbalik arah dan mulai berjalan pergi dari sana. 

"Hey! Tunggu Sina--

Tiba-tiba Mira mulai menggenggam tangan Ben "Duduklah Ben….". Mira pun mulai mengangkat wajahnya dan mulai menatap wajah Ben. "Tetaplah di sini…. Seperti yang kamu bilang tadi..". 

"T-Tapi--

"Aku… tidak ingin… ". Mira mulai menundukkan kepalanya kembali sembari menatap ke arah bawah. 

"Mira?". Ben mulai merasa heran dan juga khawatir kepadanya. 

Setelah itu Mira pun mulai menarik tangan Ben dengan perlahan ke arah kursi di sampingnya agar Ben terduduk di sana. 

"M-Mira? Kamu tidak apa-apa?". Ujar Ben yang mulai merasa gelisah setelah duduk di sampingnya.

"Aku…...tidak ingin kamu meninggalkanku sendiri di sini, Ben". Ujar Mira yang lalu mengangkat wajahnya dan mulai menatap wajah Ben kembali. "Mungkin…….kamu tidak tahu, tapi sebenarnya aku benar-benar orang yang sangat egois di saat seperti ini dan terlebih lagi setelah aku merasa bahwa sepertinya aku menyuka--Tidak--Maksudku….Aku…..Ingin… kamu terus bersamaku dan tetap menjadi milikku seorang". Ucap Mira terlihat sedikit gelisah dan juga merona. 

"A-Apa maksudmu, Mira? Kenapa kamu tiba-tiba--

"Aku mencintaimu, Ben…".

***

Bel sekolah berbunyi, jam sudah menunjukkan waktu pukul Dua belas lebih seperempat. Bisa terlihat oleh Mesa yang pada saat itu sedang duduk terdiam di atas kursinya dengan jaket merahnya yang di letakkan di samping kiri dekat jendela kelasnya. Ia sedang melamun di dalam kelas sendirian sembari memperhatikan jam dinding di dalam kelasnya. 

Setiap hari…...waktu semakin cepat. Begitu pula dengan bumi yang akan terus berputar dengan cepat sehingga makhluk hidup di dalamnya akan semakin mual di buatnya--Ah--Tunggu, tapi medan gravitasi tidak akan menghilang begitu saja--Tidak masuk ak--Dan lalu mengapa waktu semakin cepat setiap harinya? Sepertinya aku terlalu memikirkannya….. Hmm… .Dan lalu…...mengapa bisa aku berpikir seperti ini sekarang? Ah, ya aku hanya sedang merasa bosan sekarang. Hmm…… Ah, ya soal laptop itu apa yang harus aku lakukan--Tentu saja di diamkan Mesa--Ah, Ya tentang dokumen itu--Siapa yang peduli bukan urusanku. Hmm… Apa yang sedang aku lakukan sekarang ya--

Saat Mesa sedang melamun memikirkan sesuatu, tiba-tiba ada seseorang yang memukul meja kursinya di hadapannya. 

"Hey! Hati-hati Sina!". Ucapnya terkejut dan juga sedikit kesal. 

"Dari tadi kamu melamun terus, bisa-bisa kamu akan terhanyut di dalam pikiran untuk selamanya". Ujar perempuan berkacamata di hadapannya itu dengan nada yang kesal. 

"Ah… ya, benar. Itu ide bagus. Lebih baik aku meninggalkan dunia yang kejam ini". Ujar Mesa. 

Perempuan itu lalu duduk di depan tempat kursi di hadapan Mesa.

"Hm? Dimana Ben sekarang, Sina? Apa dia akan membolos lagi?". Tanya Mesa heran. 

"Terhanyut di dalam pikiran". Balas Sina yang lalu mulai menggerakan kursinya ke arah belakangnya ke hadapan Mesa dan setelah itu mulai menatap dengan tajam ke arah wajahnya. "Dan itu semua salahmu, apa kamu paham?". Lanjutnya yang masih dengan nada kesal. 

"Tidak, lalu?". Balas Mesa. 

Tiba-tiba perempuan itu mulai mengeluarkan handphone-nya dari dalam saku seragamnya dan membuka layarnya dengan cepat yang lalu mulai mengarahkan layarnya ke hadapan Mesa. "Bukti yang cukup kuat untuk menyebarkan kejahatanmu di 'dunia yang kejam' ini". Di dalam layar terdapat sebuah foto kunci yang bahkan Mesa tidak tahu apa artinya itu. 

"Aku hanya mengarangnya. Dunia ini tidak kejam, Sina. Dimana Ben sekarang?". Balas Mesa sembari bertanya kembali. 

"Kaulah yang kejam, Mesa!". Perempuan itu menyalak kepadanya. 

Mesa sedikit terkejut dan setelah itu mulai menyeringai. "Aku hanya jahat bukan kejam, Sina. Cukup sampai di situ saja". Lalu Mesa pun mulai menaruh lengan kanannya di atas meja dan menempelkan sikunya dengan telapak tangan yang mengepal sudah berada di pipi kanannya. "Lalu, penjelasannya?". Ujarnya setelah melihat foto yang sebelumnya sembari menatap ke arah wajah Sina yang berada di hadapannya. 

"Kemarin sore, Glen melihatmu sedang berada di Ruang Drama dan kamu tidak sengaja menjatuhkan sebuah kunci. Kunci Ini". Sina lalu mulai menyimpan kembali handphone-nya. 

"Ah… ternyata begitu. Lalu...setelah ini apa yang akan kamu Lakukan?". Ujar Mesa. 

Pada saat itu Sina hanya terdiam. 

"Saat kamu mengatakan 'Bukti yang cukup kuat' dengan lantangnya. Apa kamu tidak merasa malu setelahnya?". Lanjut Mesa yang Pada saat itu juga Sina mulai memperlihatkan tatapan getirnya sembari memalingkan wajahnya. "Diamlah… ". Ucapannya terdengar ganjil pada saat itu yang terdengar oleh Mesa. 

Tiba-tiba Mesa pun mulai mengambil kacamata yang di pakai perempuan itu. 

"Kau--

"Kau…... Terlihat lebih cantik kalau seperti ini, Sina". Ujar Mesa yang lalu mulai menggerakkan tangan kanannya yang menyentuh wajah Sina sembari memperhatikan kedua matanya. "Tatapan-mu ini….. Aku benar-benar menyukainya". Lanjutnya dengan wajahnya sendiri yang sedikit mulai memerah.

Dengan cepat Sina pun merebut kacamatanya kembali. "Kau gila--

Mesa mulai menggenggam erat kedua tangan Sina sembari menatapnya. "Apa kamu baik-baik saja, Sina?". Ucapnya yang khawatir. 

Sina pun hanya terdiam sembari menatap wajah Mesa dengan tatapannya yang mulai semakin getir. Dan lalu mulai menatap ke arah bawah. "Lepaskan".  

"Tidak". Mesa mulai menggenggamnya dengan sedikit kuat. "Kamu sendiri yang harus melepaskannya. Dengan begitu aku akan tahu apa kamu sedang baik-baik saja atau tidak".

Dengan cepat Sina pun mulai melepaskan diri kedua tangannya dari genggaman tangan Mesa. "Tidak masuk akal...". Lalu mulai memakai kacamatanya kembali. 

"Masuk akal setelah aku melihat tatapanmu tadi". 

Sina menghiraukannya karena pada saat itu ia mulai terlihat sedang berpikir keras sembari memegang kacamatanya dengan satu tangannya. 

Setelah itu Mesa pun mulai memiringkan kepalanya dan menyandarkan kembali ke atas kepalan tangan kanannya yang sembari masih menatap ke arah perempuan yang menarik perhatiannya itu. 

Dia…..benar-benar hanya seperti perempuan biasa setelah memakai kacamata itu kembali. Lalu ia pun mulai memperhatikan rambut pendek perempuan itu yang terkucir ke belakangnya. Hmm…..Aku tidak menyangka kalau dia masih memakai ikat rambut itu. Pikirnya yang mulai merasakaan kegelisahan di dalam dirinya dan dahinya yang mulai mengerut ke bawah. "Sina, mengapa kamu masih memakai ikat rambutmu itu?". Tanpa sadar ia melontarkan pertanyaan itu. 

"Diamlah…..aku sedang berpikir… ". Balasnya sembari masih berpikir keras.

"Hmm…. Ah.... Sudah ku duga. Kamu akan terlebih cantik, kalau kamu melepaskan ikat rambutmu itu dan juga kacamatanya". Ujar Mesa sembari memperhatikan penampilan sang perempuan pemikir di hadapannya itu. 

Sina hanya diam dan menghiraukannya. 

"Rambut hitam pendek--Tidak, sepertinya sedikit lebih panjang. Mungkin setidaknya…...sampai sedikit mengenai pundak. Dan lalu matamu yang…. Hmm… sebenarnya biasa saja. Tapi sepertinya akan lebih menarik lagi kalau kamu melepaskan kacamatamu itu". Lanjutnya yang kali ini mulai menatap dengan tajam dan teliti. "Ah, tentu saja aku tidak bermaksud penampilanmu yang sekarang ini tidak menarik atau semacamnya. Hanya saja…. Ya… aku hanya ingin melihatmu untuk berpenampilan lebih menarik lagi dari ini". Mesa masih melanjutkannya dan Sina pun masih terdiam dan melanjutkan pemikirannya. 

"Hmm… Sebenarnya tidak ada yang menarik dari ikat rambutmu itu. Hanya ikat rambut tidak mencolok pada dasarnya. Tapi sepertinya aku paham--

"Bisakah kau diam--

"--mengapa ikat rambut itu begitu berkesan untukmu--

"Mesa, diamlah--

"--karena Ben yang memberikannya padamu".

Sina tiba-tiba terdiam dan mulai menatap ke arah Mesa. 

"Hm? Ah, akhirnya kamu mendengarkanku juga--Dan lalu tubuh rampingmu yang elok nan mulus--

"Sudah ku bilang--

"Ah, ya. Dimana Ben sekarang?". Ujar Mesa sembari memperhatikan sekeliling kelasnya. 

Lalu Sina pun mulai sedikit mengikuti Mesa memperhatikan sekeliling kelasnya. Dan setelah sadar ia pun mulai menatap kembali ke arah Mesa. "Kau.. ". Ucapnya dengan nada kesal. 

"Hm? Apa kamu merasakan ada sesuatu yang aneh?". Ujar Mesa. 

"Apa maksudmu, Mesa..".

Mesa pun mulai menatap kembali ke arah Sina. "Tidak ada siapapun di dalam kelas ini. Seolah-olah seperti hanya kita berdua saja di dunia ini yang tersisa". Ucapnya dengan tersenyum.

Sina terdiam sejenak dan lalu mulai memalingkan wajahnya dari Mesa. Hm? Apakah efek-nya tersampaikan--

"Kau benar". Ujar Sina. "Bukankah sekarang sudah saatnya masuk kelas? Mengapa masih tidak ada siapapun di sini?". Lalu sina pun mulai memperhatikan jam dinding kelas dibelakangnya. 

Aku kira teknik yang mendadak muncul tadi akan terpengaruh padanya…. Mesa terlihat sedikit kecewa. 

"Sudah jam Dua belas lebih beberapa menit tapi masih belum juga ada yang masuk--

Tiba-tiba Sina terdiam. 

"Sekarang waktunya pelajaran fisika. Ah… ya, sepertinya... Kalau tidak salah sebelumnya mereka semua keluar kelas untuk pergi menuju lab".

Sina pun tiba-tiba berdiri. "Aku benar-benar lupa". Ujarnya yang lalu mulai menatap ke arah Mesa. "Dan kau… hanya diam dan tidak mengatakan apapun". Ucapnya yang terlihat marah. 

Mesa pun mulai ikut berdiri. "Aku benar-benar lupa. Dan juga kenapa kamu tadi menginterogasi-ku melainkan mengingatkan--

"Diamlah". Sina pun tiba-tiba mulai berjalan terburu-buru keluar kelas. 

Mesa terdiam sejenak dan lalu mulai menyeringai. Dia lupa dengan buku fisikanya. Aku benar-benar tidak sabar untuk melihat ekspresi wajahnya setelah aku memberitahunya nanti. Pikir Mesa sembari mengikutinya dan mulai melupakan sesuatu juga. "Hey! Tunggu, Sina...".

Di perjalanan di koridor kelas, Mesa pun menyusulnya dan mulai berjalan berbarengan untuk menuju ruangan lab itu. "Tenanglah, Sina. Karena setelah ini kamu harus berjalan menanjak ke atas. Bagaimana kalau nanti kamu--Ah, ya. Sebenarnya kamu boleh saja meminta pangkuanku nanti kalau kamu sudah mulai lelah". Ujarnya sembari menyeringai. 

Sina menghiraukannya dan masih terus berjalan dengan terburu-buru. 

"Keras kepala". Mesa pun langsung menggenggam tangan kirinya di belakangnya dan seketika itu membuatnya berhenti dan terkejut. Sina pun tiba-tiba berbalik arah dengan kepalan tangan kanannya yang mulai di arahkan dengan cepat ke arah perut Mesa. 

Lalu dengan cepat dan terkejut pula Mesa pun langsung menahannya dengan menangkap pergelangan tangan kanan Sina dengan tangan kirinya, yang pada saat itu juga hampir mengenai perutnya. 

Setelah berhenti Mesa pun mulai menatap dengan tajam ke arah wajah Sina. "Yang tadi itu hampir saja, Sina. Apa kamu sudah gila--

Seketika itu dengan cepat Sina pun mulai menarik kedua tangan yang di genggamnya itu ke arah nya yang lalu mulai mengangkat kaki kanannya untuk menendangnya. Tetapi sayangnya lagi-lagi Mesa mulai merasakan instingnya yang kuat sehingga ia mulai melepaskan genggamannya itu dan menghindar ke arah samping kanannya. Dan sedangkan itu, Sina yang telah lepas dari genggaman itu mulai tersungkur ke belakang dan Mesa pun mulai mencoba untuk menahannya dari samping. Tapi setelah itu Mesa pun mulai tersungkur ke belakang karena sebelah tapak kaki kanannya tanpa sadar sudah menginjak ke dasar lantai anak tangga samping kanan koridor. Sehingga ia menjadi yang paling pertama terjatuh yang bahkan sampai masuk ke dalam semak-semak yang berada di samping jalan koridor itu dan sedangkan Sina pun harus terjatuh juga ke lantai di belakangnya yang hampir saja mengenai kepala belakangnya setelah dia berhasil mengangkat sedikit kepalanya ke depan. 

Susana di sekitar mereka pun seketika itu berubah menjadi hening. Sina yang pada saat itu sedang terdiam membaringkan tubuhnya di atas lantai dengan wajah yang terlihat sedikit pucat dan posisi kacamatanya yang sudah berada di atas kepalanya sedangkan Mesa hanya sedang terdiam di dalam semak-semak sembari memikirkan sesuatu. Sebenarnya…. Apa yang terjadi? Dan mengapa hal ini bisa terja--Tunggu, apakah semua ini salahku? Sehingga membuat--Ah, tidak sebenarnya Sina lah yang………

"Sina!". Tiba-tiba Mesa pun mulai terbangun dari dalam semak-semak dengan daun-daun yang sudah berserakan di mana-mana di atas kepalanya. "Hey! Kamu tidak apa-apa?". Ucapnya dengan wajah yang terlihat sangat khawatir dan gelisah. 

Sina pada saat itu sedang terbaring lemas di atas lantai sembari melamun ke arah atas langit-langit. 

Mesa pun bangkit dari tempatnya dan dengan cepat mulai berjalan ke arah Sina yang sedang terbaring di sana. "Sina--

Seketika itu Mesa pun mulai terkejut setelah melihat Sina yang pada saat itu sedang terbaring di hadapannya mulai meneteskan air matanya ke lantai. Dengan cepat Mesa pun datang menghampirinya. 

"Berhenti!". Ujar Sina dengan keras. "J-Jangan…Kau….". Pada saat itu Sina mulai meletakkan lengan kanan di wajahnya untuk di menutupinya dengan suaranya yang mulai sedikit tersedu-sedu. 

Mesa pun berlutut ke bawah dengan kedua tangan yang terlihat siap untuk mengangkat tubuh Sina. 

"Sina, a-aku…..benar-benar minta--

"Diamlah…. Akulah seharusnya….". Suaranya yang masih terdengar sedikit tersedu-sedu dan juga air matanya yang masih terus menetes. Dan Mesa pun mulai memegang kedua pundak Sina untuk di angkatnya tetapi Sina langsung menghindarinya. "Aku bisa sendri". Dengan wajah yang sembari ditutupi itu Sina pun mulai membangkitkan tubuhnya dan duduk terdiam menundukkan kepalanya dengan kacamata yang sudah terjatuh di atas pangkuan pahanya. 

"Aku benar-benar minta maaf, Sina. Kalau saja--

"Sudah ku bilang--

"--aku tidak menggenggam tanganmu--

"Kalau saja aku tidak berniat untuk memukulmu kamu tidak akan terjatuh ke dalam semak-semak itu. Sudah cukup". Balas Sina yang pada saat itu masih mengusap-usap air matanya.

Lalu Mesa pun mulai menundukkan kepalanya dengan tatapan yang mulai getir. Ia benar-benar sedang merasa sangat bersalah atas dirinya sendiri. 

"Mesa, aku benar-benar tidak mengerti dengan dirimu itu". Ujar Sina. "Kamu adalah orang jahat. Dan juga tetaplah seterusnya kamu seperti itu". Kali ini Sina mengatakannya dengan suara yang terdengar sedikit tidak kasar. Tidak seperti sebelumnya. "Tapi apa-apaan yang sebelumnya tadi, tindakan yang ingin coba kamu lakukan sebelumnya benar-benar sudah menyimpang dari sifat aslimu itu". Lanjutnya. 

Mesa pun mengangkat wajahnya dan mulai memandangi Sina yang pada saat itu sedang terdiam menundukkan kepalanya. "Meskipun begitu, aku masih tetaplah orang jahat, Sina. Bagaimana pun tindakanku yang dulu maupun sekarang aku adalah aku. Dan jahat tetaplah jahat". Balasnya yang lalu menyentuh kepala Sina dan mulai sedikit mengacak-acak rambutnya. "Tindakanku sebagai orang jahat. Anggap sajalah seperti itu". Mesa mulai mengeluarkan senyum getirnya. 

Pada saat itu Sina pun dengan perlahan mulai tertawa sedikit histeris dan yang setelah itu berhenti. Lalu dia pun mulai menurunkan lengannya yang menutupi wajahnya itu ke bawah dan mulai menatap wajah Mesa di samping kirinya yang pada saat itu sedang mengelus kepalanya. "Kamu benar-benar orang jahat. Aku benar-benar membencimu".  

Mesa pada saat itu hanya terdiam sembari menatap wajah Sina yang pada saat itu terlihat sangat sedih, pipi di atas dekat kedua matanya terlihat sedikit memerah dan juga hidungnya. "Sina". Ucapnya sembari menatapnya. "Kamu sedang mempunyai masalah, aku tahu itu. Katakanlah". Ujarnya dengan lembut dan khawatir. 

Pada saat itu Sina terdiam sejenak dan lalu mulai memperlihatkan senyum getirnya. "Kau mengatakannya". Lalu memalingkan wajahnya dan menatap ke arah bawah. "Entah sudah sudah berapa kali aku mendengarkan perkataan yang hampir sama seperti itu". Ucapnya yang mulai terlihat sedikit menenangkan diri dan lalu mulai mengambil kacamata di bawahnya dan memakainya kembali. 

Mesa mulai menarik kembali tangannya ke bawah dari atas kepala Sina yang di sentuhnya. 

"Mesa". Sina mulai menatap kembali ke arah wajahnya yang kali ini dengan tatapan tajam dan marahnya. "Kaulah yang benar-benar mempunyai masalah, katakanlah dan mengakulah". Ujarnya.

Mesa pun mulai menatap balik ke arahnya dengan tatapan tajamnya juga. "Apa kamu yakin? Meskipun sebelumnya kamu merasa sangat senang untuk ingin menyelesaikan masalah ini? Bekerja sendiri, bekerja sama, bertanya-tanya, mencari petunjuk, seperti biasanya. Dan saat ini kamu bukanlah dirimu yang seperti biasanya dan juga pasti itu karena kamu mempunyai masalah".

"Aku sudah tidak peduli lagi, sudah tidak ada lagi yang ingin membantuku sekarang. Katakanlah".

"Ben. Dan kamu ingin bilang dia tidak peduli lagi denganmu?".

"Ini bukan lagi urusannya. Untuk saatnya Ini adalah urusanku--

"Dan urusanku. Hanya kita berdua. Saat ini kamu sudah menyerah dan mulai langsung mengatakannya padaku. Dan saat ini juga kamu berharap untuk aku mengatakannya begitu saja?".

"Aku sudah tahu kaulah orangnya, Mesa...". Tatapan Sina kali ini semakin tajam. 

Mesa terdiam sejenak dan menghela nafasnya. "Baiklah kalau begitu, aku akan mengatakannya". Lalu mesa pun mulai berdiri dan menyerahkan kedua tangannya ke arah Sina. "Apa kamu masih bisa berdiri?". Ujarnya yang pada saat itu juga Sina hanya terdiam dan mulai terlihat bingung. Sina pun mulai berdiri dengan sendirinya menghiraukan bantuannya dan setelah itu mulai menatap kembali ke arah Mesa. 

"A-Apa kamu benar akan mengatakannya?". Ujar Sina yang terlihat masih bingung. 

"Tidak. Aku hanya ingin melihatmu berdiri, itu saja". Lalu Mesa pun mulai menggenggam tangan Sina dan menariknya untuk berjalan. Sedangkan Sina hanya terdiam mengikutinya berjalan. 

"Aku harap aku mempunyai tenaga yang cukup kuat seperti lelaki dengan begitu aku akan menghajarmu sekuat tenaga sehingga membuatmu terlihat seperti perempuan lemah". Gumam Sina sembari terus menatap tajam ke arah Mesa di belakangnya. 

Tanpa sadar dia sudah menganggap kaumnya sendiri itu memang lemah. Mesa terus berjalan menariknya yang sehingga mereka sampai di sebuah tempat kursi duduk di dekat koridor. Ia pun mulai menariknya dengan perlahan untuknya dan duduk di sana. 

"Ben. Apa yang sudah dia lakukan padamu?". Setelah mereka berdua terduduk, tiba-tiba Mesa mulai melontarkan sebuah pertanyaan. 

"Lepaskan--

Sina pun mulai menarik kembali tangannya yang di genggam itu. 

"Apa kamu benar-benar ingin mendengar pengakuanku? Kalau begitu katakanlah terlebih dahulu apa yang terjadi padamu". Ujar Mesa. 

"Bukan urusanmu". Balasnya sembari memalingkan wajahnya. 

"Urusanmu dan juga kesempatanmu. Bagaimana?". Mesa terus menatapnya dan Sina pun terlihat merasa tidak nyaman di buatnya. 

"Sebenarnya apa yang kau inginkan dariku, Mesa".

"Kamu masih belum paham juga. Apa kamu sudah siap untuk memahinya?".

"Aku tidak peduli".

"Bagus. Kalau begitu setelah ini aku akan melakukan tindak kejahatan kepada Ben agar kamu peduli". Ucapnya dengan tatapan tajam. 

Sina pun mulai menatap balik dengan wajah yang terlihat sedikit terkejut. 

"Bagaimana? Dengan mengatakannya kamu bisa melindunginya dan juga dirimu sendiri". Lanjut Mesa. 

Tidak lama setelah itu Sina pun mulai menatapnya dengan tajam. "Lalu bagaimana denganmu? Setelah aku selesai mengatakannya, apakah kamu bisa melindungi dirimu sendiri?". Ujarnya dengan tegas. 

"Sepertinya kamu sudah mulai peduli denganku. Kasihan sekali, Ben".

"Aku tidak--

Sina pun terdiam yang lalu mulai memikirkan sesuatu. 

Dia sudah kembali seperti biasanya. Mesa mulai merasa tenang. "Kamu tidak usah untuk terlalu memikirkannya. Tentu saja Ben yang akan kamu pilih, bukan?".

"Tentu saja… ". Balas Sina sembari berpikir keras. 

Mesa mulai tersenyum sembari terus menatapnya. "Tenang saja, Sina. Aku dan Ben adalah teman, tidak mungkin aku akan melakukan hal itu kepadanya". Ujarnya. 

Sina pun mulai menatap ke arahnya. "Ben tidak akan pernah berteman dengan orang jahat". Ucapnya dengan jelas. 

"Kamu memang benar-benar mempercayai Ben tapi tidak denganku. Apa kamu tahu alasannya?".

"Karena Ben tidak memiliki sesuatu hal yang mencurigakan, tidak sepertimu".

"Kamu masih belum paham juga. Apa kamu sudah siap untuk memahaminya?".

Sina terdiam sejenak. "Apa maksudmu?". Ucapnya dengan heran. 

"Kamu menyukai Ben".

Tiba-tiba Sina pun terdiam, yang lalu mulai memalingkan wajahnya sembari sedang berpikir. 

"Hm? Kamu tidak terlalu terkejut--

"Tentu saja aku menyukainya, mengapa kamu baru menanyakan hal itu sekarang….". Wajah Sina terlihat mulai memerah merona sembari sedang berpikir. 

Yang tadi itu menyakitkan sekali, Sina. Setidaknya perlihatkan saja wajah malumu itu dan diam tidak mengatakan apapun. Mesa sudah membiarkan dirinya untuk menyerang dengan penuh resiko. Tidak lama setelah itu, Mesa pun mulai menyandarkan kepalanya ke belakang di atas kursi itu. "Sepertinya biar aku saja yang mengatakannya terlebih dahulu, sebelum kamu mengatakan masalahnya". 

Sina pun mulai memandang ke arah Mesa. 

"Tapi sebelum itu…..aku ingin bertanya satu hal padamu, Sina". Lalu Mesa pun mulai menatap ke arahnya. "Sebelum kamu menganggapku sebagai orang jahat dan membenciku karena hal itu. Saat itu, apa kamu merasa nyaman sudah dekat denganku?". Mesa mengatakannya dengan wajah yang sedikit datar. 

Sina memalingkan wajahnya. "Aku tidak ingin mengakuinya, tapi ya…. Menurutku sebelumnya kamu--Kau adalah orang yang baik, meskipun ka-kau selalu menyebalkan bagiku". Sina mengatakannya dengan tatapan yang getir. "Saat kemarin…. Setelah aku melihatmu di Lab Kimia itu, kamu terlihat sangat berbeda, Mesa". Ujarnya sembari menatap ke bawah. 

Aku baru tahu kalau "Kau" dan "Kamu" itu memiliki tingkat kesopanan yang berbeda. Dan juga apa-apaan dengan ketidakpendiriaan-nya tadi? Dia sungguh manis…. Pikir Mesa sembari memasang wajah yang mulai sedikit memerah. 

"'Pak Dani'..... Itulah yang kamu katakan kemarin saat sedang bertelepon… ". Gumam Sina sembari sedang memikirkan sesuatu. 

Mesa sedikit terkejut. "Hmm…. Lalu, apa lagi yang sudah kamu dengar?". 

"Hanya itu yang ku ingat yang berguna…...Pak Dani…. Sudah ku duga, sepertinya aku pernah mendengar nama panggilan itu". Sina masih bergumam. 

Apa dia benar-benar mengenalnya? Setelah mendengar itu Mesa mulai merasa sedikit gelisah.

"Ah! Ya!". Ujar Sina secara tiba-tiba yang membuat Mesa hampir terperanjat dari tempat duduknya. 

Sina mulai menatap ke arah Mesa. "Ka-Kamu pada saat itu sedang bermarahan dengan orang itu. Maka dari itu kamu mulai bertingkah aneh kemarin, apa itu benar?". Ujar Sina. 

"M-Mm.... Y-Ya, seperti itulah… ". 

"Lalu… kenapa kamu bisa berada di dalam Lab Kimia kemarin?". Tanya Sina heran. 

"Hm? Memang kenapa kalau aku berada di sana?". Balas Mesa heran. 

"Ya, maksudku…..". Sina mulai berpikir kembali. 

Pada saat itu Mesa pun mulai tersenyum kembali sembari terus memandang ke arahnya. "Sina, apa kamu melupakan sesuatu?". Ujarnya. 

"Diam… ". Balasnya. 

"Sepertinya lebih baik kita membahas soal ini lagi nanti, sebelum kita di marahi Bu Lian di Lab nanti". Mesa pun mulai berdiri dari tempat duduknya. 

"Hm? Ah! ya benar!". Sina pun tiba-tiba berdiri yang lalu mulai merapikan seragamnya yang terlihat sedikit berantakan. Dan dengan sadar pula Mesa pun mulai ikut merapikan seragamnya yang terlihat lebih berantakan dari Sina pada saat itu juga. Yah…. Walaupun sebenarnya aku tidak ingin membahasnya lagi dengan--

Tanpa Mesa sadari, setelah Sina selesai merapikan seragamnya, Sina langsung bergegas begitu saja pergi dari sana dan meninggalkannya. 

"Tunggu Sina kamu lupa…". 

Sina sudah berjalan cukup jauh darinya. 

Yah…. Lagian dia akan segera kembali, setelah dia mulai mengingat bukunya itu… Pikirnya yang pada saat itu sedang terdiam sejenak sembari memperhatikan Sina yang sedang berjalan pergi. Di saaat itu Mesa mulai melihatnya sudah berjalan melewati lapangan sekolah yang setelah itu mulai berjalan menanjak dan menaiki anak tangga yang cukup banyak di sana dan setelah mencapai puncaknya, Sina pun sudah tidak terlihat lagi. Dia benar-benar melupakannya…. 

Setelah itu Mesa pun mulai berbalik arah dan berjalan menuju kelasnya. 

Kalau begitu biar aku saja yang mengambil--Ah, ya. Lagian aku pun sama telah lupa untuk membawa buku ku sendiri. Mesa mulai menghela nafasnya sembari berjalan. Setelah itu Mesa pun mulai menatap ke arah bawah. 

Maaf, Sina….. Aku tidak akan membiarkanmu begitu saja untuk ikut campur dengan urusan ini untuk kebaikanmu sendiri--Ah, walaupun begitu aku masih belum tahu bagaimana cara menghentikannya… Apakah aku harus membiarkannya begitu saja? Setelah itu Mesa pun sampai di dekat pintu kelasnya yang lalu mulai membukanya. Sepertinya ini akan menjadi sebuah awal dari sebuah pengakhiran--Ah. Tidak, mungkin akhir dari sebuah permulaan? Hmm……. Entahlah, yang pasti ini semua merupakan awal mula bagiku untuk mencapai sebuaah akhir. Ah! Itu dia, sepertinya itu bagus…. Setelah cukup lama Mesa terdiam, ia pun masuk ke dalam kelas yang lalu mulai mengambil buku di dalam tasnya dan setelah itu berjalan ke arah tempat kursi Sina yang lalu juga mulai mengambil buku di dalam tas di sana. 

Tidak lama setelah itu, terdengar suara langkah kaki yang terdengar dengan jelas sedang menuju ke dalam kelas. Lalu Mesa pun mulai menengok ke belakangnya. Sina!? Mengapa dia bisa cepat sekali datang kesini!?

"Kau… ". Ucap Sina yang terlihat marah. 

***

Tidak masalah untuk bertindak secara spontan dan berani. Di dalam kantor kepala sekolah yang suasana di dalamnya yang di rasanya cukup menegangkan itu, Lian terus mengulangi kalimat itu di dalam benaknya dengan kegelisahannya. 

Ia pada saat itu sedang terduduk di hadapan tempat kursi meja kantor kepala sekolah sembari menunggu orang itu datang. Padahal sebelumnya aku sudah menyiapkan soal ulangan untuk anak-anak di lab nanti. Dan sedangkan sekarang aku harus menunggunya di sini dengan gelisah? Pikirnya dengan kesal sembari terus memeluk jaket tebal yang di kenakannya itu dengan sedikit gemetar. Ah, tidak-tidak. Ini bukan maksudnya kalau aku sedang gugup atau semacamnya. A-Aku hanya masih merasa sedikit kedingin--

Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Onii-cha--

"Ah… maaf, aku sedikit terlambat, Lian". Ujar seorang pria tua dewasa berbadan besar dan gemuk dengan mengenakan jas hitam rapi yang mulai berjalan masuk ke dalam ruangan tersebut. 

Seketika itu Lian pun mulai berbalik yang lalu mencebil. "Kakak menyuruhku datang ke sini, tapi Kakak sendiri yang terlambat…. ". Ucapnya sedikit kesal 

Si Kakak itu mulai berjalan ke arah tempat kursi kantor kepala sekolah di sana yang lalu terduduk berhadapan dengan Lian. "Aku hanya membuatmu menunggu beberapa menit saja, Lian. Mengapa kamu harus terlihat kesal seperti itu". Si Kakak mulai melipatkan kedua tangannya di atas meja yang lalu mulai menatap dengan tajam ke arah Lian. 

"T-Tidak, Aku hanya… ". Lian kembali mulai merasa gelisah. 

"Lepaskan jaket itu, Lian. Kamu sudah menjadi seorang guru sekarang, tidak pantas bagi seorang guru untuk mengenakan jaket tebal seperti itu hadapan murid-muridnya". Ujar Kakak dengan tegas. 

Lian pun mulai melepaskan jaketnya dengan perlahan dan setelah itu mulai menaruhnya dia atas pangkuan pahanya. Dan tiba-tiba Kakak pun mulai mengambil jaket tebalnya itu dengan perlahan yang lalu menaruhnya di belakangnya di dekat jendela ruangan. "Mengganggu…..".

Sedangkan Lian mulai memeluk dirinya sendiri dengan seragam lengan pendeknya dengan menggigil-gigil. 

"Kenapa kamu harus melakukan hal itu, Lian?". Ujar Kakak yang kali ini tatapannya menjadi getir. 

"Kakak tahu aku memang selalu seperti--

"Kemarin. Yang telah kamu lakukan kemarin, aku tahu itu kamu".

Ah… sudah ku duga. Pasti soal itu. Pikirnya yang lalu tanpa sadar juga ia mulai merasa sedikit gelisah. 

"Aku sudah bilang kepadamu, Lian. Dia tidak akan mungkin melakukan hal itu kepada Sandi, suaminya sendiri. Bagaimana pun perlakuannya, dia selalu--

"Dan sudah aku bilang padamu, Kakak…". Pada saat itu Lian mulai mengarahkan tatapan tajamnya kepada kakaknya. "Akulah yang menyaksikannya sendiri, bagaimana cara wanita itu melakukan hal yang keji kepadanya". Ucapnya dengan kemarahannya. 

Meskipun Lian tidak begitu menyukai sikap Sandi, kakak saudaranya yang satu lagi, Lian masih menyimpan perasaan simpati kepadanya. Terlebih lagi saat dia menyaksikan sendiri bagaimana istrinya itu memasukan sebuah pil obat ke dalam gelas minuman suaminya yang sehingga suaminya mulai pingsan dan teracuni setelah di minumnya. Dan itu pula terjadi tepat di hadapannya yang pada saat itu sedang terduduk di sebelahnya di dalam sebuah restoran. 

"Aku tahu yang terjadi kepada Sandi itu benar-benar suatu hal yang keji, terutama di saat kondisinya pada saat itu. Dan kamu pun tahu dia sebagai istrinya selama bertahun-tahun selalu setia padanya--

"Dan setelah sampai wanita itu menyadari bahwa kebebasannya itu semakin memudar setiap waktunya bersamanya….". Lian selalu mulai merasa kesal setiap kali mengingat-ingat wajah wanita itu.

Pada saat itu Kakak terdiam sembari menatap ke arah adiknya itu di hadapannya dengan wajah yang terlihat getir tetapi juga sedikit sedih. "Lian…. Apa yang sudah kamu lakukan kemarin itu telah merusak kesepakatan kita dengan para kepolisian". Ujarnya. 

Lian pun mulai menarik nafasnya untuk menenangkan dirinya. "Kesepakatan itu seharusnya untuk mempertahankan reputasi keluarga kita". Ujarnya sembari menatap ke arah kakaknya. 

"Ya, benar. Lalu mengapa--

"Seharusya……. Apa Kakak masih belum paham juga?". Tatapannya menjadi getir dan juga heran. 

"Kesepakatan itu memang benar seperti yang di katakan, kamu saja yang masih belum menyadarinya--

"Kesepakatan itu hanya untuk melindungi wanita itu--

"--dan kamu ingin memancingnya keluar hanya untuk kepentingan diri sendiri!". Kakak mulai terlihat kesal. "Kamu sudah berlebihan, Lian. Dan juga mulai serakah. Kamu sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan dari harta warisan yang ku berikan. Dan kamu masih ingin--

"Warisan itu memang sudah sepantasnya di berikan kepada Kakak sebagai anak tertua, bukan Kakak Sandi. Dan juga aku bukan Serakah tapi mencari keadilan untuk--

"Aku benar-benar selalu benci dengan sikap perlawanan-mu itu, Lian. Apakah kamu bisa menghentikannya". Pada saat itu Kakak mulai terlihat sedikit marah. Tatapannya semakin tajam ke arahnya. 

Lian pun mulai terdiam yang lalu menundukkan kepalanya menatap ke arah bawah dengan wajah yang terlihat ketakutan. Sebenarnya Lian masih belum terbiasa di marahi oleh kakaknya itu, karena biasanya kakaknya selalu bersikap ramah dan juga baik kepadanya. 

Kakak menghela nafasnya dan mulai menenangkan dirinya. "Maafkan aku, Lian. Tapi bukankah aku sudah bilang kepadamu untuk tidak bertindak secara berlebihan? Mengapa kamu harus melakukan tindakan itu kemarin...". Ujarnya yang mulai terlihat tenang. 

Lian mulai menatap ke arahnya. "Tidak masalah untuk bertindak secara spontan dan berani, Kakak. Mungkin Kakak sudah mendapatkan harta warisannya, tapi itu semua tidak terlihat bagi orang-orang di luar sana. Saat ini mereka melihat Kakak hanya sebagai perwakilan dari kepala sekolah, itu saja dan itu bukan yang sebenarnya".

Setelah itu Kakak mulai menatap ke arah bawah sembari merenung sedikit lama. "Aku sudah tidak peduli lagi, karena yang terpenting sekarang adalah bagaimana cara kita mempertahankan reputasi keluarga kita". Lalu mulai menatap ke arah wajah Lian. "Sekarang katakan, dimana laptop itu, Lian… ". Ucapnya dengan getir. 

Lian terdiam sejenak menghela nafasnya yang lalu mulai menatap ke arahnya. "Meskipun Kakak sudah mendapatkannya, Kakak sudah terlambat. Sekarang, dokumen-dokumen itu sudah berada di Pak Mando dan Kakak tidak akan pernah bisa untuk mendapatkannya lagi". Ujarnya dengan perasaan yang sedikit gelisah. 

Pada saat itu Kakak hanya terdiam dan mulai memperlihatkan ekspresi wajah yang terlihat sedikit terkejut. Setelah itu dia mulai kembali memperlihatkan tatapan getirnya. "Pak Rudi benar, ternyata itulah tujuanmu yang sebenarnya".

Lian mulai merasa bingung. Pak Rudi? Apa maksudnya? Pikirnya yang pada saat itu juga mulai bertambah gelisah dan keringat dingin yang mulai sedikit terasa. 

"Siapa yang sudah mengambil--Tidak, mencuri laptop itu, Lian?". Lanjut Kakak kali ini dengan tatapan tajamnya.

Pada saat itu Lian hanya terdiam yang lalu mulai menundukkan kepalanya. 

"Lian, aku benar-benar tidak ingin memaksamu untuk mengatakannya. Tapi aku bisa saja melakukannya". Kakak pun mulai menyandarkan badannya ke belakang kursi. "Dengan melaporkan kepada polisi dan mengatakan bahwa kamulah pelakunya". Ujarnya dengan tegas. 

Setelah mendengar itu Lian terkejut dan dengan cepat mulai menatap ke arah kakaknya. "Tidak, bukan aku pelakunya. Kumohon dengarkan dulu baik-baik, Kakak". Ucapnya dengan gelisah. 

"Pada akhirnya kamu akan berbohong lagi, seperti biasanya, Lian".

Lian pun mulai menarik nafasnya yang lalu mulai menenangkan dirinya. "Tidak akan, kali ini kumohon dengarkan aku". Lian akan berbohong secara natural layaknya ia sedang bernafas. "Aku hanya tahu dimana laptop itu dan bukan berarti akulah yang mencurinya". Lanjutnya. 

Kakak mulai melipatkan kedua lengannya di dada dan lalu mulai menatapnya dengan tajam. "Dimana laptop itu?". 

Lian mulai menarik nafasnya kembali. "Laptop itu berada--

Tiba-tiba Lian terdiam sembari memikirkan sesuatu. Tunggu, apakah ini tindakan yang benar? Atau ini hanya jebakan? Lian pun mulai menatap kakaknya dengan waspada. 

"Lian. Saat ini aku tidak akan mungkin membiarkan para kepolisian itu untuk mencarinya lagi di seluruh lingkungan sekolah seperti kemarin. Aku tidak ingin murid-murid di sekolah ini merasa khawatir dan mungkin juga akan mencurigai sesuatu karena hal itu, apa kamu paham?". Ujarnya dengan tegas. 

"Kakak. Untuk saat ini para kepolisian itu sedang melakukan apa sekarang?". Ujar Lian mengharapkan sesuatu. 

"Mereka sedang melakukan pencarian. Asal kamu tahu, dokumen-dokumen itu--

Tiba-tiba Kakak terdiam. 

Ah….ya, Pak Rudi…. Mengapa aku baru menyadarinya sekarang? Dan juga…. Entah bagaimana sepertinya dia sudah mengetahui tentang dokumen-dokumen itu. Lian terdiam dan terus berpikir keras. 

"Lian, yang terpenting adalah dimana laptop itu sekarang? Apakah kamu benar-benar yang menyembunyikannya?". Ucap Kakak yang terlihat sedikit mencurigakan bagi Lian. 

"Kalau aku mengatakan "Ya" dan akulah yang melakukannya, apakah Kakak benar-benar akan sanggup untuk melakukannya? Menahanku meskipun tahu aku tidak bersalah?". Lian pun mulai sedikit berdiri dan menaruh kedua tangannya di atas meja sembari terus menatap kakaknya. "Menahan adik perempuanmu sendiri? Kepentingan keluarga? Atau hanya kepentingan reputasinya saja? Apakah Kakak akan benar-benar melakukan hal itu?". Lian mulai menatapnya dengan ekspresi wajah yang memelas, meskipun di dalam hatinya tidak. 

Pada saat itu Kakak hanya terdiam dan menundukkan kepalanya dengan tatapan yang getir. "Lian, sebelumnya kamu mengatakan kalau kamu tahu dimana laptop itu berada. Katakanlah dimana laptop itu berada". Ujar Kakak. 

"Aku tidak akan mengatakannya, biarkan saja aku tertahan karena kesalahan Kakak". Setelah itu Lian pun mulai berjalan ke arah samping kursi kakaknya di sebelah kanannya dan lalu mulai menyentuh pundak kakaknya dengan merasa sedikit gelisah sembari menatapnya dengan memperlihatkan tatapan getir yang dibuatnya. "Sudah aku bilang, ini semua sudah terlambat sebelum pada akhirnya wanita itu akan menandatangani bagian dari semua dokumen-dokumen itu. Dan pada akhirnya semua harta warisan sekolah ini akan menjadi milik Kakak seorang". Ujarnya kepada kakaknya. 

Pada saat itu Kakak hanya terdiam sejenak yang lalu mulai memperlihatkan senyuman getirnya beserta ekspresi wajahnya yang sedikit kesal. "Aku….". Ucapnya.

Lian tahu bahwa sebenarnya kakaknya itu tidak memiliki sifat yang begitu tegas. Kakaknya hanya seseorang dengan memiliki sifat penyayang yang dalam yang terpaksa untuk melakukan pekerjaannya dengan baik dan Lian pun memanfaatkan hal itu. 

"Saatnya Kakak melakukan perubahan. Dan buktikan kepada ayah dan juga ibu di atas sana bahwa Kakak pantas untuk mendapatkan harta warisan itu". Ujarnya yang lalu mulai menurunkan tangannya dari atas pundak kakaknya. "Kita hanya harus menunggu dan setelah itu mendapatkannya".

Pada saat itu Kakak mulai menarik nafasnya dan menghembuskannya dengan perlahan. Tidak lama setelah itu ia pun mulai menatap ke arah wajah Lian di samping kanannya dengan tatapan getirnya. "Aku mengerti. Dan kalau begitu katakanlah di mana laptop itu sekarang".

Lian mulai terlihat heran. "Apakah Kakak tidak mendengarkannya? Semuanya sudah--

"Ya, aku mendengarkannya. Dan juga aku akan menuruti semua perkataanmu itu dan sekarang yang lebih penting dimana laptop itu?".

Suasana di dalam ruangan seketika itu mulai terasa menjadi lebih menegangkan seperti yang 

sebelumnya Lian rasakan. 

Pada saat itu, mereka berdua sudah cukup lama bertatapan dengan saling mencurigai satu sama lain. 

"Aku tidak percaya Kakak akan melakukan hal ini kepadaku--

"Tentu saja aku tidak melakukan hal apapun kepadamu, Lian. Aku….". Setelah itu Kakak mulai memalingkan wajahnya. "....benar-benar tidak ingin melakukan hal itu kepadamu". Setelah itu ia mulai memperlihatkan ekspresi wajah yang terlihat sedikit sedih. "Hanya kamu satu-satunya keluarga dekat yang aku miliki, Lian. Setelah mereka semua pergi dan sudah tidak peduli lagi dengan kita". Ucapnya. 

Setelah mendengar itu, Lian pun mulai ikut memperlihatkan ekspresi wajah sedih tetapi yang juga kesal. "Kalau begitu Kakak tidak perlu untuk mencari laptop itu… ". Setelah itu Lian pun mulai berbalik arah dan segera untuk berjalan keluar ruangan. 

"Aku akan tetap mencarinya, Lian". Ujar Kakak di belakangnya yang seketika itu Lian mulai berhenti dan menengok ke belakang. 

"Tidak dengan bantuanmu maupun para kepolisian". Lanjutnya yang lalu mulai berdiri. 

"Bagaimana caranya? Apakah Kakak akan mencarinya sendiri?". Lian bertanya dengan keheranan. 

"Osis. Aku akan melibatkan seluruh anggota Osis untuk memeriksa seluruh lingkungan sekolah dan juga seluruh murid-murid di sekolah".

"Bukankah itu sama saja akan membuat kekhawatiran di seluruh lingkungan sekolah?".

"Ini akan lebih baik daripada harus melibatkan seluruh anggota kepolisian". Kakak pun mulai mengambil jaket Lian di belakangnya di dekat jendela yang lalu mulai berjalan ke arah luar ruangan dan mendekati Lian. "Setelah selesai menemukannya, aku berjanji tidak akan menyerahkanmu kepada polisi, Lian". Setelah itu pun mulai berjalan keluar ruangan sembari membawa jaket itu di tangannya. 

Pada saat itu Lian sedang terdiam sembari mulai merasa sedikit gelisah. Tentu saja dia tidak akan menemukannya di sekolah. Tapi, soal ketua osis yang sekarang ini…. Aku khawatir kalau dia akan mencurigainya… 

Setelah itu Lian pun mulai menghela nafasnya untuk menenangkan dirinya dan mulai berjalan keluar ruangan. 

***

Sandi Sukarya, anak kedua dari keluarga Sukarya yang menerima harta warisan keluarga. Rumah penginapan Sukarya. Sekolah Swasta Sukarya. Mando terus membuka setiap lembaran kertas dokumen-dokumen itu. 

Sepertinya sudah tidak ada-- 

Seketika itu Mando mulai memperhatikan sebuah cetak foto keluarga di atas kertas dokumen yang di genggamnya itu. Radnan? Keluarga…..Radnan? Mando merasa pernah mendengar nama itu baru-baru ini. Ah…. Glen. Lelaki itu. Kalau tidak salah dia mengatakannya seperti itu…. Mando mulai sedikit menyingkirkan foto itu untuk melihat dan membaca isi kertas dokumen di bawahnya yang lembarannya tidak terlalu banyak. Hmm…. Seperti itu… pertunangan…. Vilan… Hm? Mesa? 

Pada saat itu Mando mulai mengambil tumpukan map yang berada di samping piring makanannya di atas meja terlebih dahulu untuk menurunkannya ke bawah. Di sebelah bawah meja itu ada dua tumpukan map yang sudah di pisahkan sebelumnya, di sebelah kirinya ada tumpukan map yang lebih sedikit dari yang berada di sebelahnya, di kanannya. Lalu Mando pun mulai menaruh tumpukan map itu ke atas tumpukan map yang berada di sebelah kirinya. 

Siapa dia….? Mando keheranan yang lalu mulai membacanya kembali lembaran kertas yang di genggamnya itu. Hmm…...tidak ada penjelasan apapun di sini tentang anak itu--

Tiba-tiba ia mendengar suara yang terdengar seperti suara pecahan piring dari dalam rumahnya. Mando pun mulai menaruh lembaran kertas itu di atas mejanya dan lalu berjalan bergegas masuk ke dalam karena merasa khawatir. "Kira…..?". Ucapnya dengan keras sembari berjalan. Sesampainya di dalam, ia melihat istrinya yang mengenakan pakaian baju putih polos seperti biasanya itu sedang mengambilkan setiap serpihan pecahan beling di bawahnya, di atas lantai. Dengan cepat Mando pun mulai mendekatinya dan membantu mengambilkan setiap serpihan pecahan beling itu. "Apa kamu tidak apa-apa, Kira? Tidak ada yang terluka?". Ucapnya yang khawatir. 

"Maaf… tadi aku sedang sedikit melamun...". Balasnya dengan lemas. 

Lalu Mando pun mulai memasukan serpihan itu yang berada di genggamannya ke dalam tempat sampah yang berada di sebelahnya pada saat itu. "Kira". Setelah itu mulai menggenggam kedua pergelangan tangan istrinya untuk membantunya memasukan serpihan itu yang berada di genggamannya ke dalam tempat sampah itu juga. "Biar aku urus sisanya. Kamu baru bangun, kamu harus mencuci muka terlebih dahulu di kamar mandi". Ujarnya yang lalu mulai mengambil setiap serpihan itu yang cukup banyak dan dimana-mana.

Kira mulai berdiri dan lalu berjalan ke arah belakangnya untuk masuk ke dalam kamar mandi di depannya. 

"Hati-hati dengan serpihannya..". Ujar Mando sedikit tegas dan khawatir kepadanya sembari menengok ke arahnya. 

Setelah itu Kira mulai berjalan sedikit menjinjit ke arah kamar mandinya dengan perlahan dan berhati-hati. Dan dia pun berhasil sampai dan masuk ke dalamnya.

Setelah sudah beberapa lama kemudian Mando mengambil dan membersihkan serpihan itu, ia mulai berjalan kembali ke arah tempat ruangan garasinya untuk mengecek dokumen-dokumen itu yang sudah hampir selesai di bacanya, hanya tinggal sedikit lagi. 

Suara pintu kamar mandi terbuka di belakangnya. "Mando. Kamu harus beristirahat terlebih dahulu, apa sebelumnya kamu sudah memperhatikan jam berapa sekarang?". Ujar Kira di belakangnya. 

Mando pun mulai menatap ke arah jam dinding di samping kirinya. Jam sudah menunjukkan waktu pukul Tiga lebih beberapa menit.  "K-Kira… Aku… ". Ucapnya dengan sedikit gelisah. 

Kira pun mulai berjalan mendekatinya dan setelah itu langsung sedikit menggenggam  lengan pendek kemeja Mando yang pada saat itu masih ia pakai sejak kemarin. "Aku tidak percaya ini, Mando… ". Ucapnya dengan suara lembut yang setelah itu mulai memiringkan kepalanya dan menatap ke arah wajah Mando dengan tatapan tajamnya. "Kamu sebelumnya sudah mengatakan padaku untuk akan beristirahat beberapa menit lagi setelah aku terbangun dan menyuruhku untuk memasakan makanan untukmu dan memberikannya padamu yang lalu aku kembali ke dalam rumah untuk membaca novel dan menunggumu untuk menyelesaikan makananmu dan semua dokumen-dokumen yang kamu baca itu--

"H-Hey, Tenang Kira--

"--dan setelah itu aku mengintipmu dan melihatmu pada saat itu masih mengecek semua dokumen-dokumen itu padahal aku sudah bilang padamu untuk beristirat dan awalnya aku ingin menasehatimu langsung di sana tetapi--

Terima kasih atas sedikit penjelasannya tetapi pada saat itu Mando mulai menyentuh kedua pundak Kira. "Ya, ya, Kira, aku sudah paham jadi tetaplah tenang, paham?". Ujarnya yang masih sedikit gelisah. 

Kira terdiam sejenak, yang lalu dengan perlahan mulai menyentuh kedua tangan Mando di atas pundaknya. "Aku masih belum selesai.. ". Ucapnya sembari memperlihatkan senyuman manisnya yang menyeramkan bagi Mando. 

S-Sepertinya aku harus melakukannya seperti biasa agar dia bisa tenang…. Pikirnya yang lalu dengan cepat mulai memeluk istrinya itu di hadapannya dan mulai mengelus rambut panjangnya. Setelah itu Mando pun mulai bersenandung di dekat telinga istrinya. "Aku selamanya akan tetap berada di sampingmu….". Dan semacamnya. Kira pada saat itu hanya terdiam tidak mengatakan apapun. 

Dan setelah Mando mulai berhenti bersenandung, ia pun mulai melepaskan pelukannya dan menatap ke arah wajah istrinya yang pada saat itu mulai terlihat sedang memalingkan wajahnya dari Mando dengan wajah meronanya. 

Mando mulai menarik nafasnya dengan perlahan lalu menghembuskannya. Dan setelah ini aku harus menciu--

Tiba-tiba Kira mulai berjalan mundur ke belakangnya yang setelah itu mulai menatap ke arah Mando. "Sudah cukup, aku sudah tidak peduli lagi". Ucapnya sedikit datar. 

Setelah itu Kira pun mulai berjalan melewatinya. "Lihat saja nanti, kalau kamu masih belum memakan makananmu tadi pagi". Dia pun mulai berjalan ke arah pintu yang sedang terbuka pada saat itu. 

Apakah aku sudah memakannya? Mando adalah orang yang akan mudah melupakan sesuatu di sekitarnya pada saat ia sedang bekerja. Setelah itu Mando pun mulai mengikutinya menuju ruangan garasi itu dengan perasaan sedikit gelisah. 

Sesampainya mereka di sana, Mando melihat piring makannya yang berada di atas mejanya pada saat itu sudah terlihat kosong tidak ada yang tersisa. Aku mulai merasakan kehadiran tuhan di sekitar sini….. Pikirnya dengan perasaan lega. 

Semenjak Mando sudah tinggal bersama dengan istrinya selama setahun di rumah ini, ia akan selalu mendapatkan ceramah panjang dari istrinya setiap kali ia mulai membuatnya merasa khawatir dan gelisah. 

Kira yang pada saat itu sudah berada di dekat meja di dalam ruangan garasi, seketika itu dia mulai menyentuh sebuah cetak foto keluarga yang sebelumnya Mando sudah melihatnya. "Mando, apa kamu sudah mengecek semua dokumen-dokumen ini?". Tanya-nya dengan wajah getirnya.

"Hanya itu yang belum… ". Mando pun mulai mendekati kursi di dekat mejanya dan mendudukinya. Dan sedangkan Kira mulai mengambil piring makan di atas meja itu yang lalu mulai berjalan kembali ke dalam rumah. "Sudah tidak ada waktu lagi, kamu tahu itu". Ujarnya. 

"Kira". Mando memanggil dan seketika itu Kira berhenti. "Aku ingin menanyakan beberapa hal kepadamu terkait dengan dokumen yang satu ini". Lanjutnya sembari mulai membuka setiap lembaran dokumen itu. 

Kira mulai membalikkan badan dan berhadapan dengannya. "Ya, katakanlah… ".

"Mmm….". Mando mulai mencarinya dengan teliti. "Vilan dan…….. Mesa. Ya, ini dia. Apa kamu tahu soal ini?". Ujarnya yang lalu menatap ke arah Kira. 

Pada saat itu Kira sedang terdiam sejenak, yang lalu mulai mengatakan sesuatu. "Vilan? Ada apa dengannya?". Ujarnya sembari memiringkan kepalanya. 

"Pertunangannya. Di dalam dokumen ini tertulis bahwa setiap anak dari keluarga Sukarya dan juga keluarga Radnan akan saling di jodohkan. Bertunangan. Tetapi di sini tertulis….". Mando mulai memperhatikannya dengan teliti lagi. "Vilan Radnan dan Mesa…...Mmm…. Sebenarnya siapa itu Mesa?". Ujarnya dengan wajah heran. 

Kira pun berjalan mendekatinya dan mulai memperhatikan dokumen itu yang berada di genggaman tangan Mando. Dan setelah itu mulai menyentuh sebuah cetak foto keluarga di atasnya. "Ini Vilan… ". Sembari menunjukkan jari telunjuknya ke arah gadis kecil berambut pendek di dalam foto itu. Dan setelah itu mulai menggerakkan jarinya ke arah ujung samping kanan dalam foto dan berhenti di atas anak laki-laki yang terlihat sama seumuran dengan gadis kecil sebelumnya. "Dan ini Mesa". Setelah itu Kira pun mulai berbalik arah dan berjalan kembali sembari membawa piringnya di tangan. 

"Kira. Kamu tahu kalau itu bukan sebuah penjelasan yang aku inginkan darimu". Ujar Mando dengan jelas kepada Kira. 

"Sebenarnya itu tidak terlalu penting, Mando. Pada akhirnya pertunangan antara kedua keluarga itu sudah lama di batalkan, bukan?". Balas Kira yang sudah mulai masuk ke dalam dan setelah itu langsung menutup pintunya di sana. 

Apakah itu benar-benar tidak penting? Mando benar-benar meragukannya, karena justru itu menjadi sesuatu hal yang aneh melihat seorang anak laki-laki yang bahkan bukan berasal dari kedua keluarga itu. Setelah itu Mando mulai memperhatikan kembali foto itu secara keseluruhannya, di sana terdapat sekumpulan keluarga yang sedang berdiri berhadapan bersama-sama. Berdasarkan apa yang tertulis di dalam dokumen ini, seharusnya benar bahwa orang-orang ini berasal dari keluarga Surkarya dan juga Radnan.... Mando pun mulai memperhatikan ke arah ujung samping kanan dalam foto itu yang terdapat seorang anak laki-laki sebelumnya yang Kira tunjukkan. Apakah anak ini juga berasal dari keluarga kerabatnya? Atau keluarga Sukarya? Dan setelah itu juga Mando pun mulai memperhatikan di samping kanan anak laki-laki itu yang di sana terlihat sedang menggenggam tangan seorang gadis berambut hitam panjang yang terlihat sedikit lebih tinggi darinya. Mira…. Dan… .Ema…. Kira….dan juga Pak Sandi. Mando mulai memperhatikan istrinya dengan seorang pria berjenggot di sampingnya berbadan yang terlihat lebih tinggi darinya dan mungkin juga lebih dari Mando. Pria itu sedang menyentuh satu pundak kiri dan kanannya kedua anak gadis kecil di depannya, yang satu berambut pendek di sebelah kanannya dan di sebelah kirinya berambut panjang yang sedang menggenggam anak laki-laki itu di sebelahnya. 

Pada saat itu Mando pun mulai mengerutkan dahinya dan juga dengan tatapan yang sedikit getir. Ia mulai merasakan sedikit simpati dan sedih setelah melihat foto itu, terutama setelah melihat pria berjenggot itu, Pak Sandi yang terlihat sedang tersenyum pada saat itu. Mereka semua benar-benar terlihat seperti keluarga bahagia sebelumnya… Pikir Mando yang pada saat itu mulai mengeluarkan sedikit senyumannya dengan perasaan yang mulai sedikit tenang. 

Sekitar setahun yang lalu, sebelum terjadinya sebuah kasus kematian Pak Sandi, Mando pernah di tugaskan untuk menyelesaikan sebuah permasalahan yang terjadi di dalam keluarga Sukarya. Sebagai salah satu anggota kepolisian yang terpecaya, Mando pun mendapatkan sebuah perintah langsung dari atasannya untuk menyelesaikan masalah itu, bersama dengan Rudi yang mengenakan jas hitamnya pada saat itu juga sedang terduduk di sebelahnya di dalam sebuah kantor kepolisian. 

"Aku ikut. Dan juga sudah waktunya untuk membuktikan bahwa aku pun cocok dengan pekerjaan seperti ini...". Ujar Rudi yang pada saat itu mulai berdiri dari tempat kursinya meletakkan kedua tangannya di atas meja di hadapannya. Dia pada saat itu mulai menatap ke arah seorang pria tua dewasa dengan jas hitam yang sama, di hadapannya yang sedang terduduk melipatkan kedua tangannya di atas mejanya dengan kepala setengah botaknya yang terlihat hanya ada sedikit rambut di belakangnya dengan warna keputihan yang mulai sedikit muncul menutupi kehitaman rambutnya itu. 

"Rudi". Mando mulai membisik di sebelahnya. "Dengan sikap seperti itu kamu tidak akan--

"Rudi, duduklah…. ". Pria tua di hadapannya mulai bicara dengan tatapan tajamnya yang di arahkan ke Rudi.

"Aku akan terduduk sesudah mendapatkan perintah langsung dari seorang pimpinan direktur kepolisian ini. Bukan dari seorang ayah". Balas Rudi dengan lantangnya. 

"Maafkan saya, Pak Soni". Ujar Mando kepada pria tua di hadapannya. "Tetapi Rudi memang benar. Dan sepertinya sudah saatnya dia mulai melakukan pekerjaannya untuk membuktikan bahwa dia pantas sebagai pimpinan selanjutnya". Lanjutnya dengan meyakinkan.

Pak Soni pun mulai menatap ke arahnya. "Kasus pembunuhan, Pak Mando. Sebagai seorang pimpinan untuknya dan juga sebagai seorang ayah untuknya apakah itu benar-benar sebuah keputusan yang tepat untuknya? Menugaskan tugas pertama seorang pria muda yang baru lulus dari kuliahnya ke sesuatu yang mungkin dapat membahayakannya...". Ujarnya dengan tegas. 

"Aku tidak akan melakukannya seperti yang ayah lakukan sebelumnya. Hanya diam dan memerintah dengan uang-uangnya". Rudi pada saat itu mulai terlihat sedikit kesal. 

Pak Soni mulai menatap kembali ke arah Rudi. "Itulah yang ayah maksud dengan 'Membahayakan'. Sikapmu itu tidak akan membuatmu menjadi pemimpin yang baik. Sebaliknya akan membuatmu menjadi pemimpin yang ceroboh dan bodoh".

"Bodoh… ". Rudi mulai terlihat semakin kesal sembari menatap ke arah ayahnya itu. "Akulah yang sudah menyadarinya terlebih dahulu empat tahun yang lalu tentang siapa pelaku pembunuhan dari kepala keluarga Sukarya ini. Dan ayah hanya baru menyadarinya setelah mulai mempercayaiku saat ini. Dan juga sekarang katakan, siapa yang ceroboh dan bodoh--

Tiba-tiba dengan cepat Mando langsung menggenggam lengan kanan Rudi di sebelahnya. "Kau masih belum belajar dengan baik juga, Rudi. Jagalah sikapmu..". Ucap Mando yang mulai marah kepadanya. 

Rudi mulai menatap ke arah Mando di samping kanannya yang sedang terduduk. "Jangan mencoba untuk memerintahku, Pak Mando". Ujarnya. 

"Pak Soni sudah menugaskan untuk kau belajar dariku. Dan Memerintahkan kau untuk tetap diam sudah termasuk ke dalam tugasku, Rudi".

"Ah… Benarkah? Kalau begitu apakah bapak bisa membuatku agar tetap diam sekarang meskipun aku terus menolaknya?".

"Meskipun pada akhirnya aku harus memaksa kau untuk diam bahkan dengan kekerasan jika itu perlu, aku akan melakukannya meskipun sedang berada di hadapan Pak Soni sekalipun". Mando mulai menatapnya dengan tajam begitu juga dengan Rudi. 

"Hentikan….". Pak Soni menghentikan suasana menegangkan yang mulai terjadi pada saat itu. 

setelah itu Pak Soni mulai menghela nafasnya dan melepaskan lipatan tangannya ke bawah mejanya dan terdiam sejenak menatap ke arah bawah. Pada saat itu Pak Soni tampak terlihat sedang berpikir keras dan setelah itu juga mulai berbicara. "Pak Mando. Sikap bapak yang sangat serius dan juga tegas itu memang sudah sangat membantu kami untuk bekerja dengan baik dalam kepolisian. Tetapi tidak untuk mengajarkan sesuatu dengan baik kepadanya". Ujarnya sedikit tegas kepada Mando yang setelah itu mulai menatap ke arah Rudi. "Rudi. Kamu akan ikut dengan Pak Mando ke sana dan juga harus bertanggung jawab sendiri dengan apapun yang akan terjadi padamu di sana. Kamu harus ikut membantunya dan mempelajarinya sendiri bagaimana mereka melakukan pekerjaannya". Yang lalu mulai menatap ke arah Mando. "Katakan kepada Pak Neur dan juga yang lainnya agar mereka tetap bersama Rudi di sana". Pak Soni pun mulai berdiri dari tempat kursinya dan juga Mando mulai mengikutinya juga untuk berdiri.

"Rudi". Ucap Pak Soni dengan tatapan getirnya. "Sepertinya ayah sudah tidak bisa lagi untuk membuatmu terus menurut kepada ayah. Karena pada akhirnya kamu akan terus melawan dan juga belajar akan sesuatu hal sesuai dengan keinginanmu sendiri". Setelah itu mulai berjalan ke arah Rudi dan menyentuh pundaknya yang sedikit tinggi dari Pak Soni. "Ayah harap sifatmu ini pada akhirnya akan membuatmu menjadi pemimpin yang lebih baik dari ayah". Dan lalu mulai menatap ke arah Mando di sebelahnya. "Pak Mando. Untuk sekarang cobalah untuk memulai sesuatu pengalaman yang baru dan membaur di bawah kepemimpinan yang baru di tangan Rudi, nanti". Ujarnya yang lalu mulai berjalan keluar ruangannya. 

"Ya. Siap, pak.. ". Balas Mando sedikit menundukkan kepalanya yang lalu mulai mengikutinya berjalan keluar ruangan beserta Rudi yang pada saat itu mengikutinya sembari masih terdiam tidak mengatakan apapun dengan wajah yang terlihat sedikit tegang. 

"Ini tugas yang pertama dan juga yang terpenting, Rudi. Tetaplah tenang". Ujar Mando yang sedang berjalan di sebelahnya.

Rudi mulai menarik nafasnya dengan perlahan dan menghembuskannya. Dia mulai terlihat sudah tenang dan lalu memperlihatkan tatapan yang mulai tajam dan serius. "Ya. Tentu saja". Jawabnya dengan jelas yang lalu mereka berdua pun keluar dari ruangan itu. 

Jam menunjukkan waktu pukul tiga lebih setengah. Mando sudah melihatnya di jam tangannya yang pada saat itu pun sudah selesai mengecek semua dokumen-dokumen itu di dalam ruangan garasinya. Lebih cepat daripada yang aku kira… Pikirnya yang mulai merasa sedikit lemas. 

"Jadi… Tumpukan map yang berada di sebelah kiri ini berupa dokumen-dokumen yang harus aku tanda tangani… dan sedangkan yang berada di sebelah kanan?". Tanya Kira yang pada saat itu sedang menyentuh kedua tumpukan map itu di bawahnya. 

Mando yang pada saat itu sedang menyandarkan kepalanya di atas kursi menatap ke arah atas sembari menyentuh kepalanya dengan lengan kanannya mulai menatap ke arah samping kanannya, kepada Kira. "Ah…Soal itu. Sebenarnya dokumen-dokumen itu tidak sengaja ikut tercampur dengan semua dokumen yang harus kamu tanda tangani itu..". Balasnya dengan suara yang lemas. 

Kira pun mulai mencoba untuk membuka map yang berada di atas tumpukan sebelah kanannya. "Hmm… Lalu, setelah ini apa yang akan kamu lakukan dengan dokumen-dokumen ini?". Ujarnya sembari terus melihat-lihat isi dokumen di genggamannya. 

"Tentu saja di kembalikan, bukan? Semua dokumen itu tetap menjadi pemilik dari keluarga Sukarya. Dan begitu juga dengan dokumen yang nanti akan kamu tanda tangani… ". Balas Mando yang lalu mulai menurunkan tangannya dari kepalanya ke bawah dan setelah itu mulai menyentuh pundak Kira di samping kanannya. "Dan setelah itu semuanya akan segera selesai. Sesuai keinginanmu, kita akan mulai menjalani kehidupan yang baru tanpa ada lagi permasalahan. Dengan Ema dan juga Mira". Lanjutnya yang mulai mengeluarkan sedikit senyumannya tetapi masih dengan suara yang lemas. 

Kira menyentuh tangan Mando yang berada di atas pundaknya dan juga menatapnya dengan tersenyum balik. "Ya". Balasnya dengan singkat. Dan setelah itu Kira pun mulai menaruh kembali map yang berada di genggamannya ke atas tumpukan map di sana. "Mando. Sebelumnya, saat aku baru terbangun di siang tadi aku sudah mengatakan padamu, kalau sebenarnya sebelum aku pulang ke rumah aku sedang berada di rumah keluargamu untuk mengurus pembayaran rumah kita nanti, kenapa bisa kamu mempercayai itu?". Ujarnya yang tiba-tiba saja membahas soal itu. 

"Ada apa denganmu, Kira? Tentu saja aku mempercayainya….. Bukankah pada saat itu juga aku mulai menelepon mereka? Dan apa yang kamu katakan itu memang benar…..". Balas Mando sedikit lemas dan keheranan.

Setelah sudah selesai menaruh map itu, Kira terdiam sejenak, yang lalu setelah itu mulai berjalan ke arah pintu garasi di depannya. "Ternyata begitu... Kamu langsung mempercayaiku begitu saja bahkan setelah apa yang sudah aku katakan padamu kemarin malam. Apa kamu masih ingat?". Kira sudah sampai di pintu garasi itu, yang setelah itu mulai menengok ke belakang menatap ke arah Mando yang masih terdiam dan terduduk lemas di kursinya. "Aku sudah mengatakan padamu, kalau kamu masih saja ingin membantu mereka untuk menyelesaikan kasus itu dan membiarkan harta warisan itu di berikan kepada anak tertua keluarga mereka, aku akan melakukan tindakan apapun itu agar mereka tidak bisa mendapatkannya". Pada saat itu Kira mulai mengucapkannya dengan tegas kepada Mando. 

"Kira….?". Mando mulai merasakan kegelisahan di dalam dirinya. 

Seketika itu juga, tiba-tiba Kira mulai mengetuk pintu garasi itu yang terdengar cukup keras oleh Mando. 

"Maafkan aku Mando, tapi harta warisan itu sudah sepantasnya untuk di berikan kepada anak-anak ku. Anak sah dari dari pemilik tanah itu yang sebenarnya". Ujar Kira yang mulai mengetuk pintu garasi itu dengan sedikit lebih keras lagi. 

"Sebenarnya apa yang kamu….. Kira?". Mando pun mulai berdiri dari tempat kursinya. "Apa yang sedang kamu lakukan dari tadi?". Mando mulai merasakan firasat yang sedikit buruk mengenai ini. 

Kira pun mulai berhenti mengetuk pintu itu. "Mando, duduklah kamu harus beristirahat… ". Ujarnya yang terlihat khawatir. 

Mando mulai berjalan mendekatinya dengan sedikit sempoyongan. "Jangan bilang kamu… ".

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari arah luar yang mulai mendekati pintu garasi itu. Dan Mando pun mulai berhenti dan juga terdiam dengan sedikit waspada. "Kira. Kemarilah. Aku mohon". Ucapnya dengan waspada. 

Dan seketika itu pun Kira mulai langsung membuka pintu garasi itu yang di tariknya ke atas. "Kamu pun akan mengerti nanti… ". Ujarnya yang pada saat itu juga sudah terlihat dari luar garasi itu ada seseorang pria dengan jas hitamnya yang mulai membantunya untuk membuka pintu garasi itu ke atasnya. 

Setelah pintu itu sepenuhnya terbuka, terlihat oleh Mando di hadapannya ada seorang pria dengan mantel  hitam dan topi bundar hitam yang di pakainya dengan di ikuti beberapa orang kepolisian di belakangnya. Dan ia pun mulai melihat Pak Neur di sana juga yang mengikutinya di belakang. 

Setelah itu Mando pun mulai menatap ke arah pria di hadapannya itu dengan tatapan tajam dan marah. "Rudi…. Apa yang sedang kamu lakukan di sini.. ".

Lalu pria itu mulai menurunkan topi bundarnya di depan dada. "Saya kira bapak akan bisa lebih memahaminya lagi dengan baik". Ucapnya yang sedikit getir. 

***

Tidak ada siapapun yang datang, bahkan orang-orang yang biasanya selalu melewati jalan parkiran ini pun tidak ada. Ya, sudah tidak ada lagi. Di dalam mobilnya, dengan perasaan yang terus semakin suram, Sandi pun mulai terus semakin melamun dengan tatapan kosongnya yang mengarah ke arah luar jendela mobilnya. Tetapi meskipun begitu ia masih berharap akan ada seseorang yang mendatanginya pada saat itu juga. Dani, kau lama sekali. Apa yang sebenarnya sedang dia lakukan di sana? Mencari uang? Bukankah dia hanya harus meminta kepadaku saja? Sandi pada saat itu mulai merasa semakin hilang harapannya, karena untuk saat ini hanya orang itulah yang dapat membuatnya tenang. 

Sandi mulai menyandarkan kepalanya di atas kursi mobil dengan menatap ke arah atas dengan tatapan yang masih terlihat kosong di lihat dari kedua bola matanya. Ia pada saat itu hanya memakai pakaian biasa, dengan baju hitam polosnya tetapi dengan celana Jeans yang bermerek mahal dan juga dengan penampilan wajahnya yang berantakan di lihat dari jenggotnya yang semakin tebal atau berewokan di mana-mana seperti orang yang sedang stres.

Tidak lama kemudian setelah itu, terdengar suara ketukan di samping jendela mobilnya, di jendela sebelah kirinya. "Pak Sandi?". Ujar seorang pria berkemeja putih yang mengetuk di luar jendela tadi. "Sudah saatnya… ". Lanjutnya yang juga mulai berhenti mengetuk jendela itu di saat Sandi mulai menengok ke arahnya. 

Dengan segera, Sandi pun langsung membuka pintu mobil di sebelah kirinya. "Kau lama sekali, Dani. Cepatlah masuk". Ujarnya yang merasa sedikit marah. 

Lalu pria itu pun masuk ke dalam mobil dan terduduk di sebelahnya. "Maaf, Pak Sandi. Tetapi sudah saat--

"Tutuplah pintunya". Sandi mulai mengerutkan dahinya. 

pria itu pun mulai menutup pintu mobil di sebelah kirinya. "Mereka sudah menunggu bapak di dalam..". Ujarnya dengan heran. "Ada apa dengan bapak sekarang?". Lanjutnya dengan jelas. 

"Apa saja yang sudah kau lakukan di sana, Dani? Apa kau ingin mulai bekerja lagi? Dan ingin mendapatkan uang tambahan lagi dengan bekerja di tempat restoran itu?". Tatapan Sandi mulai semakin getir. 

Seketika itu pun Dani mulai menghela nafasnya dan menenangkan dirinya. "Tentu saja tidak. Bukankah saya sudah bilang sebelumnya, bahwa saya hanya ingin untuk kembali bekerja lagi sebagai psikolog pribadi keluarga bapak, itu saja. Dan itu pun jika bapak mengizinkannya". Jawabnya dengan tenang. 

Sandi mulai menyandarkan kembali kepalanya. "Tidak. Kali ini hanya diriku sendiri, sudah tidak ada lagi keluarga bagiku". Sandi mulai mengingat-ingat kembali sesuatu hal yang dapat membuatnya kembali merasa depresi.

Dani mulai menyentuh pundak Sandi di sampingnya. "Walaupun keluarga itu sendiri sudah mempercayai bapak? Apakah bapak benar-benar yakin akan tetap masih mengatakan hal seperti itu? Baru saja saya sudah meyakinkan mereka di dalam sana untuk mempercayai bapak dan apakah bapak sekarang sudah tidak mempercayai saya lagi?". Ucapnya yang terlihat sedang berusaha untuk bersikap seperti psikolog pribadinya. 

"Kau payah Dani, dengan berkata seperti itu kau yakin akan membuatku bisa menjadi tenang? Mempercayai mereka? Apa kau serius aku harus mempercayai mereka setelah dengan lantangnya mereka mengatakan padaku bahwa akulah yang sudah membunuh keluargaku sendiri?". Sandi mulai menatap ke arah Dani di sampingnya dengan tatapan tajam dan juga getir. "Hanya karena akulah yang berada di samping ayah untuk terakhir kalinya? Dan mengatakan bahwa karena aku tidak pantas untuk mendapatkan harta warisan itu? Ah… ya benar….tentu saja seperti itu". Wajah Sandi mulai semakin mengerut sembari menatap ke arah bawah dengan tatapan yang terlihat semakin suram. "Aku hanyalah seorang anak yang menyediakan hasil usaha sendiri untuk membantu di saat kebangkrutan orangtuanya, tentu saja aku tidak pantas di bandingkan Kakak yang sudah sangat berusaha untuk mulai bekerja kembali dari penyesalannya sebagai pengangguran. Ya, tentu saja aku tidak pantas untuk mendapatkannya...". Lanjut Sandi. 

Dengan terus mendengarkannya dengan tenang, Dani pun mulai mengelus pundak Sandi untuk berusaha menenangkannya, karena pada saat itu juga Sandi mulai terlihat seperti sedang merasa kesal.

"Sepertinya aku memang harus terus lebih berusaha lagi agar ayah dapat mengakui--Ah… tidak...". Sandi mulai tersenyum dengan getir. "Tentu saja pada akhirnya ayah akan lebih memilih anak tertuanya itu di bandingkan diriku yang sudah berusaha untuk membantunya. Ya, membantunya dengan merusak tradisi keluarga sendiri karena telah mengubah tempat penginapan yang sudah tidak lagi untuk di minati itu dengan membangun sebuah sekolah yang pada akhirnya mulai sukses juga di buatnya". Sandi pun mulai menatap kembali arah wajah Dani. "Katakan padaku, apakah yang aku lakukan itu memang benar-benar salah? Meskipun pada akhirnya mereka pun setuju untuk membangun sekolah itu? Dan apakah yang ayah lakukan itu sudah benar? Membuatku menjadi kepala sekolah di sana yang sedangkan karena fasilitas sekolah itu masih ada yang terbuat dari sisa bangunan sebelumnya membuat Kakak-lah yang lebih pantas untuk menjadi pemilik sekolah itu, karena dia sudah menjadi ahli waris yang pantas untuk mendapatkannya? Oleh keputusan ayah yang lebih menyetujui pendapat ibu dibandingkan dirinya sendiri? Dan apakah yang ibu lakukan itu sudah benar? Dan juga di saat detik-detik terakhir mereka tiba. Ya, saat mereka sedang sekarat, pada akhirnya ayah lebih memutuskan untuk memberikan harta warisan itu kepadaku. Ya, di saat detik-detik terakhirnya, tepat di saat setelah itu juga mereka di nyatakan telah mengalami keracunan sesuatu di dalam tubuhnya dan di saat aku pun dinyatakan sebagai pelakunya dengan alasan aku telah memaksa mereka untuk memberikan harta warisan itu kepadaku…..  ". Sandi mulai mengeluarkan sedikit air matanya, tatapannya terlihat menjadi sedih, lesu dan yang masih getirnya juga. "Ya…. Itulah yang mereka katakan padaku dan juga dengan bukti kuat yang entahlah darimana tiba-tiba datangnya itu setelah sudah beberapa tahun lamanya, tiga--Tidak, empat tahun setelah itu. Apa-apaan itu?. Apa maksudnya itu?. Katakan padaku, Dani. Apakah itu sebuah takdir bagiku? Atau apakah itu sebuah karma bagiku karena apa yang sudah sebelumnya pernah aku perbuat selama hidupku? Keangkuhan, tidak menghargai seseorang, hubungan dengan istriku sendiri yang tidak selalu akur, perselingkuhan ku, kebencian ku, tidak menghargai tradi--Ah…. Tidak, tidak. Jangan katakan padaku Dani, kalau sebenarnya itu hanyalah merupakan sebuah kutukan bagiku karena telah mengubah dan merusak budaya dan juga tradisi keluarga sendiri selama bertahun-tahun lamanya--A-Aku...… mengapa aku--Dani, cepatlah katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi saat ini denganku….mengapa kau hanya diam saja.….? ". Setelah sudah cukup lama ia mengeluarkan semua perasaannya itu, Sandi pun mulai terdiam dan berharap mendapatkan sesuatu jawaban yang dapat membuatnya menjadi lebih tenang lagi. 

Sedangkan Dani yang sudah cukup lama juga mendengarkan semuanya itu, dia pun mulai menurunkan tangannya dari atas pundak Sandi, menghela nafasnya dan lalu mulai mengatakan sesuatu. "Bapak sudah melakukannya dengan baik, dengan mengatakan semua perasaan itu, bapak sudah berusaha untuk mendapatkan sebuah harapan agar bisa menjadi lebih baik lagi". Dani mulai sedikit memiringkan kepalanya dan menatap ke arah wajah Sandi di sampingnya yang terlihat semakin getir tatapannya. 

"Apa maksudmu itu Dani, tentu saja itu tidak akan--

"Itu sangat membantu, Pak Sandi. Mengeluarkan semua perasaan itu sehingga tidak lagi seperti sebelumnya yang terus di pendam yang akan membuat perasaan itu akan menyebar di dalam hati, yang sehingga akan berdampak kepada mental bapak". Di saat itu Sandi mulai menundukkan kepalanya, dan Dani pun mulai menyentuh kepala Sandi dan mengelusnya. "Apakah bapak masih ingat? Saya dulu pernah mengatakan, bahwa perasaan itu seperti air yang akan terus menerus mengalir dan memasuki ke dalam hati. Hati yang merupakan sebuah tempat penampungan dengan kapasitas yang terbatas. Dan kita, manusia harus menjaga keseimbangan air itu agar tidak terus menerus mengalir dan bertambah banyak di dalamnya. Dan apabila di biarkan, pada akhirnya air itu--Perasaan itu akan merusak hati, sebagai tempat penampungnya karena sudah tidak bisa lagi untuk menahannya, karena kapasitasnya. Dan tentu itu akan berdampak ke dalam tubuh ataupun fisik, lalu mental dan pada akhirnya pikiran". Dani mulai sedikit menatapnya dengan dekat. "Dan beruntungnya, Pak Sandi pun tanpa di sadari juga sudah mulai mengetahui solusi agar itu tidak terjadi, bukan? Dan itu merupakan sesuatu hal yang baik. Dengan mengeluarkan semua air itu keluar dan membuat hati tetap bertahan. Dan setelah itu mulailah menenangkan diri, mencari sebuah kenyamanan di dalam diri bapak". Dani mulai menyentuh dada Sandi sembari mengelus dengan perlahan. "Dan cobalah untuk mulai menarik nafas dengan perlahan dan nanti itu akan membuat bapak menjadi lebih tenang".

Sandi pun mulai mencoba untuk menarik nafasnya dengan perlahan untuk menenangkan dirinya. 

Dani mulai menarik tangannya kembali "dan setelah itu juga, semuanya akan menjadi lebih baik-baik saja, setelah bapak mulai merasa tenang di dalam diri bapak. Hati jernih dan pikiran pun menjadi jernih. Apakah sekarang bapak mulai merasakannya?". Ujarnya dengan memperlihatkan sedikit senyumannya kepada Sandi. Dan sedangkan pada saat itu sandi mulai terdiam sejenak untuk lebih menenangkan dirinya lagi. 

"Pikiran jernih….". Dani mulai mengucapkannya sedikit pelan dan lembut. "...akan membawa bapak ke dalam kenyamanan dan lalu ketenteraman. Dan pada akhirnya akan sampai kepada kebebasan dalam keyakinan sendiri untuk mendapatkan harapan yang di inginkan.. ".

Sandi terdiam sejenak, lalu mulai menaikkan badannya dan sedikit menegakkan badannya. Dan setelah itu pun mulai menatap ke arah Dani di sampingnya. "Harapan yang di inginkan…. sebenarnya harapan apa itu..?". Sandi mulai merasa ingin mengharapkan sesuatu jawaban yang dapat membuatnya menjadi lebih baik lagi daripada sebelumnya.

Dani mulai menegakkan badannya dan dengan perlahan menyentuh pundak kanan Sandi sembari menatapnya. "Kepercayaan. Dan seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, kepercayaan itu sudah bapak dapatkan saat ini juga. Apakah bapak sudah mulai mempercayai saya?". Ujarnya dengan jelas. 

Setelah mendengar jawaban itu, sebenarnya Sandi mulai merasa sedikit ragu. Tetapi pada saat itu juga, ia merasa yakin bahwa apa yang di katakan Dani itu memang benar. Ia benar-benar ingin mempercayai itu, ia sudah lama mengenal Dani sejak lama di saat ia menjadi psikolog pribadi istrinya dan juga semua keluarganya. Saat itu Dani selalu sangat membantu setiap kali Sandi dan begitu juga dengan keluarganya apabila mereka sedang mempunyai masalah. Itulah yang saat ini Sandi sedang pikirkan. 

Sandi mulai memandang ke arah luar jendela mobil di depannya dan menatap ke sebuah tempat makanan restoran di sana. "Dani". Ucapnya sedikit getir dan datar. "Di dalam sana. Siapa saja yang datang? Apakah benar tidak ada satupun orang-orang kepolisian itu yang terlibat?".

"Bu kira dan juga semua keluarga kerabat bapak. Dan ya, tidak ada siapapun orang-orang kepolisian itu yang terlibat kecuali Pak Mando yang selalu bapak percayai". Balasnya setelah menarik tangannya dari atas pundak Sandi. 

"Mando… Dan apakah kau mempercayainya juga?".

"Setelah semua kepercayaannya dan juga apa yang sudah dilakukannya untuk membantu bapak menjauhi dari prasangka dan tuduhan itu, tentu saja saya mempercayai Pak Mando. Seperti saya yang selama ini selalu mempercayai bapak, saya yakin pada akhirnya kita semua akan mendapatkan semua kebenarannya jika kita bisa saling bekerja sama dengan baik". Jawab Dani meyakinkan.

Sandi pun mulai terdiam sejenak. Aku harap apa yang akan aku lakukan setelah ini merupakan sebuah keputusan yang tepat. Pikirnya yang mulai berharap. 

"Aku harap kau benar". Sandi mengucapkan harapannya. 

Dani mulai sedikit membuka pintu mobil yang berada di sebelah kirinya. "Baiklah, kalau begitu. Apakah bapak sudah siap?". Ucapnya dengan meyakinkannya. 

Sandi mulai menarik nafasnya dengan perlahan dan lalu menghembuskannya. Pada saat itu kedua matanya mulai merasa sedikit tenang tetapi ia masih merasa sedikit gelisah. Tetapi pada saat itu juga ia masih berharap untuk mempercayai mereka yang akan membantunya untuk menyelesaikan semua masalahnya. 

Setelah itu Sandi pun mulai membuka pintu mobil di sebelah kanannya dan melangkahkan kakinya keluar, begitu juga dengan Dani yang mulai ikut keluar dari mobil itu. Saat sudah berada di luar, Sandi pun mulai menatap ke arah atas langit dan menaruh satu tangannya di atas wajah karena silaunya matahari pada saat itu, karena sudah cukup lama ia terdiam di dalam mobil. Dan tidak lama setelah itu juga Sandi pun mulai menatap ke arah depan dan mulai berjalan ke tempat restoran itu di depannya dengan di bimbingi oleh Dani yang berada sedikit di depannya. 

***

Sebenarnya…..apa yang terjadi? Aku benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya dia inginkan….. Pikir Glen yang merasa kesal dan juga sedikit gelisah juga setelah mulai mengingat-ingat kembali dengan apa yang sudah menimpanya sebelumnya. 

Di dalam sebuah ruangan gudang olahraga sekolahnya itu yang gelap dan hanya ada sedikit cahaya saja yang masuk ke dalam ruangan itu dari sudut jendela pintu di samping kanan ruangannya. Pada saat itu, Glen dengan seragamnya yang terlihat sedikit compang-camping itu baru tersadarkan dari pingsannya yang sudah cukup lama ia terpapar di atas matras dalam ruangan itu. Dan ia pun mulai merasakan kembali sedikit rasa sakit dan nyeri di wajahnya yang terlihat sedikit bonyok dan juga kepalanya yang terasa sedikit pusing, ia pun bangkit dan terduduk sejenak di sana dan mulai menyentuh kepalanya itu sembari menatap ke arah bawah. Dia benar-benar melakukannya…... Sialan… Glen mulai mengusap-usap rambutnya yang berantakan itu. 

Setelah sudah cukup lama Glen terdiam, tiba-tiba pintu di dalam ruangan itu mulai sedikit terbuka dari luar. Ah…. Gawat. Sepertinya sudah saatnya aku akan di marahi. Glen mulai gelisah. 

Tidak lama kemudian terbukalah pintu itu yang di tarik keluar oleh seseorang yang berada di luarnya. Cahaya senja yang sedikit menyilaukan itu mulai masuk ke dalam ruangan dan langsung menyerang kedua bola mata Glen. Ia mulai sedikit menyipitkan kedua matanya untuk melakukan pertahanan. 

Di hadapannya, ia melihat ada seorang lelaki dengan mengenakan seragam sekolah yang sama mulai berjalan masuk ke dalam dan mendekatinya. "Glen, aku bersyukur ternyata masih ada juga orang yang lebih kelewatan dariku.. ". Ujar lelaki itu sembari menatap ke bawah ke arah Glen yang sedang terduduk. 

Glen menghela nafasnya dan lalu mulai berdiri dari tempatnya. "Ah… ternyata itu hanya kau, Ben". Ucapnya yang mulai merasa lega sembari merapikan seragamnya itu. 

"Dan sepertinya kamu pun harus bersyukur, karena akulah yang pertama datang dan menemukanmu di sini". Ben mulai melirik-lirik di sekeliling ruangan itu. "Ah… tidak, sepertinya Sina lah yang terlebih dahulu datang dan mencarimu di sini. Di mana kamu bersembunyi pada saat itu juga?".

"Hm? Bersembunyi?". Glen merasa heran. "Darimana kau tahu itu?".

"Aji". Ben pun mulai berbalik dan berjalan ke arah luar. "Sudah tidak ada waktu lagi, Glen. Apa sebelumnya kamu sudah mendengar pengumuman di sekolah tadi?". Ujarnya.

Glen selesai merapikan seragam sekolahnya dan lalu mulai mengikuti Ben yang sudah berada di luar ruangan. "Tunggu. Aji? Bagaimana bisa dia tahu?". Glen merasa bingung, karena sebelumnya dan sebenarnya Glen sudah berusaha melarikan diri dari Aji dan kawan-kawannya yang lalu bersembunyi di dalam ruangan itu.

Mereka berdua sudah berada di luar ruangan dan mulai berjalan menuju lapangan sekolah yang berada cukup dekat di depannya. 

"Entahlah…. Mungkin.....dengan insting pemangsanya?". Balas Ben sedikit datar. 

Mereka berdua sampai di dekat lapangan dan di sana Glen sudah melihat banyak sekali murid-murid di sekolah sedang berkumpul berkerumunan di tengah lapangan. Sebenarnya apa yang sedang terjadi di sini? Glen memperlihatkan wajah yang terlihat bingung sembari jalan mendekati kerumunan. Dan Ben pun mulai memperhatikan Glen yang terlihat sedang kebingungan di sampingnya. "Inilah maksudku dengan pengumuman yang sebelumnya. Kamu benar-benar tidak mendengar--Ah, ya… kalau tidak salah kamu sedang pingsan sebelumnya". Ujarnya yang pada saat itu mulai berhenti di tempat barisan paling belakang lapangan sekolah yang menghadap ke arah tiang bendera di lapangan. "Glen, apa kamu bisa menutupi wajah yang bonyok itu? Bisa-bisa ada yang mencurigai--

"Ben, apa kau bisa langsung saja katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi di sini?". Glen merasa tidak ingin untuk lebih kebingungan lagi seperti sebelumnya.

"Ah… ya, tentu saja. Tapi pertama-tama tutupi terlebih dahulu wajahmu itu, bisa-bisa kamu menjadi pusat perhatian yang paling utama di sini". Meskipun Ben berkata demikian, saat ini sudah banyak murid-murid di sekitarnya sedang memperhatikan Glen. 

"Kau mengatakan seperti itu tanpa memberiku solusi terlebih dahulu, aku bahkan tidak tahu dengan apa aku harus menutupinya. Sudah biarkan saja, aku sudah terbiasa dengan ini". Balas Glen sembari menatap balik dengan tajam ke arah mereka di sekitarnya yang sedang memperhatikannya. Dan seketika itu mereka semua mulai berpaling darinya, ada yang terlihat merasa heran, aneh dan juga ada beberapa murid perempuan yang mulai bersatu dan menggosipkan sesuatu. 

"Ya, kamu benar juga". Ujar Ben dengan keyakinannya.

"Lalu apa yang sedang terjadi di sini?". Glen mulai membahasnya lagi. 

"Tentang kasus pencurian itu, sepertinya… ". Jawab Ben. 

"Masih tidak jelas. Apa maksudnya itu?".

Ben menatap ke arah depan. "Ya… sebenarnya pengumuman itu hanya mengatakan kepada para murid-murid di sekolah untuk berkumpul di lapangan karena akan ada pemeriksaan di setiap masing-masing kelas. Dan sepertinya itu ada hubungannya dengan kasus itu--Tidak, pasti ada hubungannya". Jawabnya dengan keyakinannya. 

"Hmm… begitu. Lalu bagaimana dengan Aji? Bagaimana bisa dia tahu dimana aku sedang bersembunyi? Dan mengapa kau yang datang melainkan dia saja yang datang?". Glen mengeluarkan semua kebingungannya dengan sekaligus. 

"Insting pemangsanya dan entahlah..". Bes membalasnya juga dengan sekaligus. 

Glen mulai merasa aneh dengan sikap Ben pada saat itu. Dan bersamaan dengan itu juga ia merasa sedikit kesal, karena tidak biasanya Ben bersikap seperti itu kepadanya. Lalu ia pun mulai menggenggam kepala Ben yang sedikit pendek darinya dan langsung menatapnya dengan tajam. "Kau kenapa Ben? Apa kau ingin ku hajar terlebih dahulu agar kau sadar?". Ujarnya mengancam. 

"H-Hey! Lepaskan, apa maksudmu?". Ben sedikit memberontak.

"Kau sedang bersikap aneh sekarang, apa kau sadar?".

Lalu Ben mulai sedikit menjauh darinya. "Aku tidak ingin mendengarnya darimu. Hanya aku seorang lah yang bersikap normal hari ini. Tidak dengan Sina, Mira…... Kalian bertiga lah yang aneh". Ujarnya dengan tegas dan terdengar ganjil. 

"Hm? Apa maksudnya itu?". Glen bingung. Tunggu. Mira? Bersikap aneh? Glen merasa tidak yakin dengan itu. 

Ben mulai menghela nafasnya dan menatap ke arah bawah dengan tatapan yang terlihat sedikit getir. "Sudahlah, itu tidak penting lagi". Lalu mulai menatap ke arah kerumunan di sekitarnya sembari sedang mencari-cari seseorang. "Sina sudah mencarimu dimana-mana. Tentu saja kamu masih ingat ada sesuatu hal penting yang harus di bicarakan, bukan?". Lanjutnya.

Glen merasa sedikit melupakan hal itu. "Ya, kau benar". Ujarnya dengan polos sembari melirik-lirik di sekitarnya. "Lalu…. Dimana Mira? Bukannya biasanya kau selalu bersamanya?". Lanjutnya. 

Pada saat itu Ben mulai terdiam, memalingkan wajahnya dan tidak menjawab apapun. 

Glen mulai menatapnya kembali dengan tajam. "Ben….. Kalau kau masih terus bersikap aneh seperti itu, bisa-bisa aku akan menghajarmu tanpa sadar dan membuatmu tidak sadar". Ujarnya tanpa sadar. 

Ben mulai menatap balik ke arah Glen. "Lihat? Sikap itu juga merupakan keanehan bagiku, apa kamu sadar?". Ben sadar. 

Di saat pembicaraan kedua orang aneh itu sedang berlangsung, jauh di belakang mereka, di koridor kelas, muncul sekelompok murid-murid yang sedang berjalan menuju lapangan mengenakan topi dan juga jaket berlogo OSIS yang sama. Dan pada saat itu juga, semua kerumunan yang berada di lapangan mulai memperhatikan mereka. 

"Ah… muncul juga". Ben sadar. 

Glen pun sadar dan mulai memperhatikan sekelompok murid-murid tadi di belakangnya yang mulai sudah mendekati lapangan dan berhenti di sana. Dan di sana pun Glen mulai merasa sedikit gelisah, setelah ia mulai melihat adik perempuannya yang berada di barisan paling depan sedang berjalan mendekati lapangan. Aku benar-benar lupa, kalau Vilan sekarang sudah menjadi ketua osis di sekolah ini… Glen mulai merasakan keringat dinginnya. 

Dengan rambut yang terlihat sedikit panjang dari balik topi itu dan juga tatapan tajamnya yang sudah mengarah ke arah Glen, adik perempuannya itu mulai mengangkat toa di genggamannya ke dekat mulutnya dan mulai mengalihkan perhatiannya ke arah kerumunan yang berada di lapangan dan mulai mengeluarkan suara. 

"Para murid-murid--Ehem..". Batuk. "--Teman-temanku sekalian, maaf sudah lama membuat kalian menunggu. Dan sekarang kalian semua boleh masuk ke dalam kelas masing-masing dengan tertib dan juga tidak berjalan dengan tergesa-gesa". Ujarnya dengan jelas dan singkat. 

Seketika itu pun para murid-murid yang berada di lapangan mulai membubarkan diri dan berjalan sembari mengeluarkan umpatannya secara diam-diam. Merepotkan sekali, tidak jelas, mengganggu sekali… dan lain sebagainya.

Setelah adik perempuannya itu mulai menurunkan toa-nya dan menyerahkan benda itu ke seorang perempuan dengan jaket yang sama di sampingnya dan menyuruhnya untuk pergi meninggalkannya, dia pun mulai berjalan mendekati Glen yang pada saat itu masih terdiam bersama Ben di lapangan. 

Gawat. Hanya itu yang bisa di pikirkan Glen dengan kegelisahannya. 

"Glen?". Ujar Ben. "Kenapa diam saja? Kita harus segera pergi". 

Sang adik perempuan sudah mulai mendekat di hadapan Glen dengan tatapan yang terlihat sedang marah.

"Hm? Vilan, Ada apa?". Ujar Glen berusaha untuk tenang dan Ben berusaha untuk mulai menariknya yang terlihat sedikit gelisah. 

"Glen….". Bisik Ben kepadanya. "Kita harus segera pergi..". Ben terlihat sedikit waspada sembari menatap perempuan itu yang sedang berjalan mendekatinya. 

"Sudah terlam--

"Sudah terlambat". Perempuan itu memotong ucapan Glen setelah sudah sampai di hadapannya. "Kembalilah ke dalam kelas, Ben. Aku mempunyai urusan penting dengan orang ini". Ucapnya sembari menatap tajam ke arah wajah Glen di depannya. 

"Apa kau tidak dengar?". Lanjutnya yang lalu menatap ke arah Ben yang masih terdiam di sebelahnya. "Kembalilah ke dalam kelas.. ". Ucapannya mulai terdengar tajam dan dingin. 

"B-Baiklah….". Ben terlihat sedikit takut dengannya dan mulai berjalan pergi melewati perempuan itu di depannya.

Tiba-tiba Glen mulai menyentuh kepala adik perempuannya itu di hadapannya. "Dia lebih tua darimu, Vilan. Berbicaralah dengan sopan kepadanya". Glen berusaha untuk menjadi Kakak yang baik.

Vilan pun mulai mengangkat wajahnya dan menatap tajam ke arah wajah Glen. "Aku tidak ingin mendengar kalimat seperti itu darimu.....". Vilan pun mulai menggenggam pergelangan tangan Glen di atas kepalanya dengan kuat dan menyingkirkannya. 

"Hm? Memang kenapa? Kakak-mu ini--

"Diamlah. Hanya aku saja yang boleh berbicara di sini". Vilan pun mulai memperlihatkan tatapan getirnya. "Apa-apaan dengan sikapmu--

"Aku harus pergi, aku pun mempunyai urusan yang penting--

"--Kau hanya tidak ingin mendengar ku saja, aku tahu itu…". Vilan pun mulai menggenggam tangan Glen dengan kuat. "Apakah……. Kakak sadar dengan apa yang sudah Kakak lakukan?". Vilan semakin mendekatinya dan sedangkan Glen mulai sedikit mundur sembari memalingkan wajah. "Mempermalukan keluarga... ". Ucapnya sedikit membisik dan tajam. 

Glen hanya terdiam dan memasang wajah yang terlihat tidak peduli. Dan Vilan terus menatapnya dengan tajam. "Aku benar-benar benci dengan perubahanmu ini… ". Lalu Vilan pun melepaskan genggamannya dan mulai menenangkan dirinya. 

Glen mulai menatapnya. "Dan kamu tidak pernah berubah sama sekali, sungguh kasihan dirimu ini tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan perubahan". Ujarnya sedikit getir. 

"Kependirianku masih jauh lebih baik daripada perubahanmu. Dan perubahanku akan menjadi lebih baik karena kependirianku". Balas Vilan dengan tegas dan jelas. "Sekarang, katakan semua apa yang sudah ka--Kakak perbuat sebelumnya. Sekarang. Dengan jelas".

Glen terdiam sejenak sembari menatap ke arah adik perempuannya itu, yang lalu tidak lama kemudian mulai berjalan pergi melewatinya dan menghiraukannya. 

"Glen!". Vilan membentak dan Glen pun mulai terdiam sedikit gelisah. 

Seketika itu murid-murid di sekitarnya yang masih berada di lapangan mulai memperhatikan mereka berdua. Dan Vilan pun menyadarinya yang lalu setelah itu mulai berjalan mendekati Glen di belakangnya. "Apapun yang terjadi denganmu nanti dirumah…. Aku tidak akan peduli lagi". Ucapnya dengan getir yang lalu mulai berjalan pergi meninggalkannya duluan. 

Pada saat itu Glen hanya terdiam dengan tatapan yang terlihat getir juga dan mulai mengingat-ingat ayahnya yang di rumah sedang berada di atas kasur, terbaring dan koma. 

"Glen!". Tiba-tiba terdengar suara panggilan perempuan di belakangnya. Glen pun mulai menengok ke arah belakangnya. Sial…. Dan kali ini, giliran perempuan itulah yang akan memarahiku? 

Perempuan berkacamata yang memanggilnya mulai berjalan mendekatinya, menyentuh pundaknya, mengangkat wajahnya dan menatapnya dengan tajam. "Kau harus cepat menjelaskan kepadaku apa yang sedang kalian berdua bicarakan tadi, apa kau paham?". Ucapnya dengan tajam dan Glen tidak paham apa yang di maksudnya. 

"Hanya percakapan kedua bersaudara saja, memang kenapa?". 

"Tidak tampak terlihat seperti itu bagiku. Tatapan ketua osis itu tampak terlihat seperti sedang mencurigakan sesuatu, apa kau paham maksudku?".

"Hah? Apa maksudnya itu?".

Seketika itu juga, Ben mulai berjalan mendatanginya dari belakang. "Glen, sebenarnya apa yang--

Ben terdiam sejenak

"Hm?". Respon Glen sembari menatap ke arah Ben yang tidak merespon sama sekali. 

"S-Sina?". Ujar Ben yang menatap ke arah perempuan di depannya yang pada saat itu mulai memalingkan wajahnya. 

Suasana di sekitar ketiga orang aneh yang berkumpul itu pun mulai berubah menjadi aneh sembari di tatapi oleh murid-murid di sekitarnya dengan tatapan yang aneh. 

"Kalian berdua…...kenapa?". Ucap Glen yang merasa aneh setelah melihat sikap mereka berdua yang aneh. "Kalian berdua benar-benar aneh". Glen benar-benar mengatakannya. 

Ben mulai menatap ke arah Glen. "Aku tidak ingin mendengar kalimat itu darimu". 

"Dan juga untukmu". Tiba-tiba Sina mulai mengatakan sesuatu yang sedikit aneh bagi Glen sembari masih memalingkan wajahnya dari Ben. Dan anehnya Ben hanya terdiam tidak mengatakan apapun yang membuat Glen mulai merasa semakin aneh. "Apakah kita bisa menghentikan suasana yang aneh ini?". Ya, aneh. 

Pada saat itu Ben mulai berjalan mendekati perempuan itu di depannya. "Sina. Aku benar-benar minta maaf soal yang terjadi di siang tadi". Ujarnya sedikit getir. 

Aku benar-benar di abaikan, tapi anehnya aku tidak peduli. Glen hanya terdiam dan hanya ingin mendengarkan mereka berdua saja. 

"A-Apa maksudmu..". Wajah Sina terlihat memerah. "kenapa kamu harus minta maaf kepadaku? Itu bukan salahmu dan aku….. sudah tidak peduli lagi…". Lanjutnya yang masih memalingkan wajahnya. 

Sebenarnya apa yang terjadi dengan mereka berdua? Entah kenapa saat ini aku mulai merasakan suasana yang sedikit menegangkan di sini. Pikir Glen yang mulai merasa kebingungan di dalam suasana yang sedikit menegangkan ini. 

"Aku memang salah, Sina". Balas Ben. "Aku seharusnya tidak berusaha untuk menghentikanmu, karena itulah yang kamu inginkan. Dan sebelumnya aku sudah berusaha untuk menghentikan apa yang kamu inginkan". Ucapan Ben mulai membuat suasana semakin sedikit menegangkan lagi. Dan sedangkan Sina mulai memalingkan wajahnya ke belakang. "A-Aku tidak mengerti apa maksud--

Tanpa mereka sadari, tiba-tiba di belakang Sina muncul seorang lelaki dengan mengenakan jaket merah beserta tas di pundaknya yang langsung menggenggam kepala Sina di belakangnya. "Hm? Kamu kenapa Sina? Demam?". Ujarnya yang menyeringai dan lalu mulai mengelus kepalanya. Setelah itu Sina pun langsung menggenggam lengan lelaki itu di atas kepalanya dan menyingkirkannya. 

"Hm? Kenapa kamu sudah membawa tasmu, Mesa?". Ujar Ben kepada lelaki itu. 

"Pulang". Balasnya yang masih terus menatap Sina. 

Tiba-tiba Sina mulai menggenggam lengan kanan Mesa dengan kedua tangannya. "Kau tidak akan kemana-mana, kau masih menjadi tahanan-ku sekarang". Ujarnya dengan tegas. 

"A-Ah…. Ya. Kamu benar". Mesa terlihat sangat senang. 

"Pulang dan tahanan, apa maksudnya itu?". Glen mulai berbicara. 

"Hmm…… Pulang artinya kita harus menghentikan pembelajaran di sekolah dan setelah itu kalian mulai segera melakukan interogasi kepada Tahanan ini". Balas Mesa mulai menyentuh kedua tangan Sina yang sedang menggenggam lengannya. "Aku sudah tertangkap olehnya". Ucapnya sembari menatap ke arah Sina. 

Aku masih belum mengerti... Pikir Glen bingung. 

"Aku masih belum mengerti…". Ujar Ben bingung. 

Sina mulai menyingkirkan tangan Mesa dan juga melepaskan genggamannya.

"Hm? Kamu yakin? Bisa saja aku kabur--

"Tunggu. Pulang?". Ujar Sina bingung. "Bukankah masih ada satu pelajaran terakhir lagi?". Lanjutnya kepada Mesa. 

Mesa mulai memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya. "Entahlah…. Tapi mereka bilang kita sudah di suruh untuk pulang sekarang". Jawab Mesa dengan kepastiannya. 

"Kenapa begitu?". 

"Entahlah".

Pada saat itu Sina mulai terlihat sedang berpikir. 

"Tahanan….". Ucap Ben terlihat sedikit heran. "Sina, apa maksudmu itu? Mesa?".

"Ya". Jawab Sina dengan singkat dan tidak jelas. 

Pada saat itu Glen mulai merasa sedikit kesal dengan situasi yang membuatnya masih bingung saat ini. Dan seketika itu juga ia mulai berjalan mendekati mereka bertiga di depannya yang sedang berdiri berjajar, di sebelah kiri ada Mesa yang masih terus menatap dan tersenyum ke arah Sina yang berada di tengah yang sedang berpikir dan di sebelah kanan ada Ben yang terlihat sedang bingung. Di sana Glen mulai merangkul pundak Mesa dan Ben di sebelahnya sedangkan Sina yang berada di tengah mulai sedikit terkejut di buatnya. "Kita harus segera menghentikan ini dan mulai berdiskusi bersama-sama, apa kalian paham?". Ucapnya sembari menatap tajam ke arah wajah Sina di hadapannya. 

Sina mengangkat wajahnya dan mulai menatap balik dengan tajam. "Aku tidak ingin mendengar kalimat itu dari--

"Diamlah". Glen tidak ingin mendengar kalimat itu lagi. 

Mesa yang sedang berada dalam rangkulannya pun mulai terlihat kesal kepadanya dan menatapnya dengan tajam. "Hey, Glen. Kau merangkulku terlalu kuat, aku sudah tidak kuat lagi untuk menahan--

"Diamlah". Glen tidak ingin mendengar kalimat itu. 

Ben yang sedang berada dalam rangkulannya pun mulai ikut menatap ke arahnya juga. "Glen--

"Diamlah". Glen tidak ingin mendengar. 

Tidak lama kemudian, bel sekolah pun berbunyi yang menandakan waktu pulang sekolah dan menghentikan persatuan ke-empat orang aneh itu. 

Glen mulai melepaskan rangkulannya. "Kita harus segera berkumpul ke Ruang Sastra sekarang dan mulai menjelaskan semuanya". Ujarnya. 

Sina masih menatap tajam ke arah Glen. "Aku benar-benar tidak ingin mendengar kalimat itu dari--

"Ya, Glen benar. Kita harus segera menghentikan semua ini". Ujar Ben sembari menatap ke arah Sina.

Dan Sina pun mulai menatap balik ke arah Ben. "K-Kamu pun ingin ikut membantu?". Wajah Sina yang terlihat mengharapkan sesuatu. 

Ben terlihat sedikit memperlihatkan senyumannya. "Ya. Dan juga maaf dengan ucapanku sebelumnya".

Sina memalingkan wajahnya. "B-Baguslah kalau begitu… ". Balasnya dengan senyuman meronanya. 

Mesa mulai menyentuh kepala Sina dengan tatapan tajamnya. "Dan tentu saja aku pun ikut…". 

Sina menatapnya balik. "Tidak, basement bukanlah tempat untuk orang jahat sepertimu--

"Baiklah, kalau begitu aku sudah bukan lagi menjadi tahananmu". Ujar Mesa menurunkan tangannya dan mulai berbalik arah. 

Situasi menegangkan sudah mulai terasa lagi. Glen merasakannya. 

Tiba-tiba Sina mulai menarik tas Mesa di belakangnya. "Sepertinya aku sudah melakukan kesalahan. Aku berubah pikiran, kamu pun ikut dengan kami. Dan setelah itu aku akan membuktikan kejahatanmu". Ujarnya dengan tegas. 

"B-Baiklah….. Dengan senang hati". Balas Mesa dengan senang hati. 

"Ah….ya, Satu pertanyaan lagi". Glen mulai berbicara. "Dimana Mira?". Glen merasa khawatir karena masih belum juga melihatnya sama sekali di lapangan. 

"Ah, ya benar". Ujar Sina yang lalu menatap ke arah Ben. "D-Dimana Mira sekarang, Ben?".

"M-Mira……Entahlah, mungkin dia sudah berada di dalam kelasnya?". Jawab Ben ganjil. 

Glen menghela nafasnya. "Kalau begitu aku yang akan menjemputnya ke sana". 

"Tidak dengan wajahmu". Balas Sina. "Aku saja yang akan ke sana dan kalian pergilah duluan ke basement sekarang". Lalu Sina pun mulai berjalan pergi sembari menarik tas Mesa di belakangnya. 

"A-Aku pun juga ikut?". 

"Aku tidak akan membiarkanmu kabur begitu saja".

Glen hanya terdiam. Seperti biasa perempuan itu tidak membiarkanku untuk bicara terlebih dahulu. Pikir Glen mulai kesal. 

"Glen". Ben mulai berbicara. "Aku lupa untuk menanyakanmu tentang kejadian di pagi hari tadi. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Mira pada saat itu?". Tatapan Ben terlihat getir. 

"Hm? Kau pun juga sudah tahu tentang itu?".

"Mira yang menceritakannya. Lalu, bagaimana dengan Mira pada saat itu?".

"Kau tidak menanyakan apa yang terjadi denganku, Ben".

"Kenapa aku harus peduli?".

"Kau benar-benar semakin menyebalkan Ben. Sebenarnya apa yang terjadi?".

"Kenapa harus peduli?"

Apakah aku harus menghajarnya sekarang? Atau menunggu sampai dia mengatakan sesuatu hal yang lebih menyebalkan lagi?. Glen sudah berusaha untuk menahan dirinya. 

Pada saat itu Ben mulai menatap ke bawah. "Glen, apakah kamu sadar dengan sikap Mira hari ini? Dia bersikap aneh, aku merasakannya". Getirnya. 

Glen menghela nafasnya dan menenangkan dirinya. "Bisakah kau jelaskan terlebih dahulu dengan sikap anehnya itu". Glen penasaran.

"Hmm….. Sebenarnya dia…. ". Ben terlihat sedikit bingung. "Sebenarnya aku pun tidak terlalu mengerti bagaimana cara menjelaskannya, tapi intinya dia benar-benar aneh. Terutama saat siang tadi dia….. Mengatakan…. Sesuatu….hal yang aneh". Wajah Ben terlihat sedikit memerah. 

Glen menatapnya dengan tajam. "Apakah kau bisa menjelaskannya lebih baik lagi?". Glen masih menahan dirinya. 

"Sebenarnya dia tiba-tiba menyatakan perasaannya kepadaku". Ujarnya yang sedikit memalingkan wajahnya. 

"Hah? Perasaan? Maksudmu--

Glen menyadari sesuatu. Jangan bilang…... Mira sudah…. Pikir Glen yang mulai menduga sesuatu hal yang tidak ia inginkan. 

"Ah! Tunggu, itu tidak penting. Bagaimana dengan Mira pada saat itu?". Ben mulai menanyakannya kembali. 

"Sebenarnya….… tidak ada yang begitu aneh. Seperti biasanya dia hanya berusaha untuk membantuku, hanya itu saja". Jawab Glen sembari mengingat-ingat kembali. "Ah. Tunggu. Sebenarnya ada sesuatu yang aneh bagiku, kenapa aku baru menyadarinya?". Karena baru saja terbangun dari pingsannya, Glen mengingatnya sedikit samar-samar.

"Apa maksudnya itu?".  

"Apakah Mira tidak menceritakan semuanya?".

"Mira menceritakan semuanya, tapi menurutku tidak ada sesuatu hal yang memungkinkan itu aneh…..Ah tidak, mungkin tempat rahasia di belakang gedung sekolah itu aneh bagiku".

"Hmm…. Lalu, bagaimana dengan handphone-nya? Apa itu sesuatu hal yang aneh? Bagaimana cara dia langsung bertindak begitu saja?".

Pada saat itu Ben terdiam sejenak yang lalu mulai memasang wajah yang terlihat bingung. "Apa maksudmu? Handphone-nya?".

"Ya. Aku benar-benar terkejut saat dia tiba-tiba langsung menghancurkan handphone-nya begitu saja.".

"Tunggu. Apa maksudmu?". Ben bingung

Glen terdiam sejenak sembari memasang wajah yang heran. "Jangan bilang….dia…..".

"Mira tidak menceritakannya tentang itu".

"Lalu….. Bagaimana soal uangnya? Apa dia tidak menceritakannya juga?". Pada saat itu Glen mulai merasa khawatir. 

Ben terdiam sejenak sembari memasang wajah keheranan. "Uang? Apa maksudnya itu?".

***

"Tas sekolahnya masih berada di sini dan tempat yang memungkin dia kunjungi setelah pulang sekolah selain ke basement yaitu Ruang Sandiwara, benar?". Sina sedang berdiri dan bergumam di dalam ruangan kelas A dan seorang perempuan di hadapannya yang salah satu murid dari kelas itu pun masih bertingkah sedikit gelisah terhadapnya. "Y-Ya, seperti itulah.... Tapi saat aku pergi ke ruang dram--S-Sandirawa, Mira tidak ada di sana". Ucapnya yang kegugupan.

Sina mulai menatap ke arahnya. "Kalau begitu bagaimana dengan aula lapangan? Sekarang waktunya latihan voli dan dia biasanya selalu ikut bersama mereka untuk latihan, bukan?".

"Ah…. Ya, benar pasti di sana….". Balas perempuan itu meyakinkan meskipun masih terlihat gelisah terhadapnya. 

Pada saat itu Sina mulai memperhatikan sekeliling kelas itu yang di sana para murid-murid perempuan dan bahkan lelaki terlihat mulai takut dan gelisah terhadapnya dan memalingkan wajahnya darinya.

Mereka selalu saja seperti ini, benar-benar menyebalkan…. Sina mulai merasa kesal di buatnya. 

Perempuan di hadapannya mulai mengambil tasnya di dekat kursinya. "K-Kalau begitu… aku izin pulang dulu.. ". Ujarnya yang lalu berjalan pergi dan keluar kelas. 

Mengapa dia harus meminta izin terlebih dahulu kepadaku? Pikir Sina yang mulai mengikutinya juga berjalan keluar yang di sana para murid-murid pun mulai memperhatikannya kembali. Di sana Sina mulai berhenti di dekat pintu kelas, menengok ke arah belakang dan menatap tajam ke arah mereka. Dan mereka pun mulai memalingkan wajahnya.

Seketika itu juga di hadapannya muncul seorang lelaki berjaket merah. "Mereka melihatmu layaknya seperti seorang model, Sina. Yah.... Sejujurnya, aku pun setuju dengan itu--

Sina menatapnya dengan tajam juga. "Mesa. Bagaimana dengan Mira--

"--tapi kalau begitu seolah-olah kamu seperti sedang memamerkan tubuhmu--

"--Apakah dia menjawab panggilan di handphone-mu--

"--dan aku tidak ingin tubuhmu itu menjadi milik seseorang tapi menjadi milik--

Percakapan mereka tidak saling menyambung karena pada saat itu Sina sedang merasa kesal dengan perlakukan murid-murid tadi di kelas itu sedangkan lelaki itu memang hanya aneh. 

Sina mulai langsung menutup mulut lelaki itu dengan tangannya dan yang masih menatapnya dengan tajam. "Mesa, katakan dimana Mira sekarang sebelum aku mencabut mulutmu ini dengan paksa, paham?".

Wajah Mesa mulai memerah dan lalu menganggukan kepalanya. Sina pun mulai menurunkan tangannya. 

"Mira tidak menjawabnya". Balas Mesa sembari sedang menyentuh mulutnya itu. "Tapi Ben menjawabnya dan mengatakan Mira tidak ada di sana. Di Basement…". Mesa sedikit menyeringai. 

"Baiklah kalau begitu". Sina pun mulai berjalan pergi. "Sekarang kita pergi menuju aula lapangan". Lanjutnya sembari berjalan dan sedangkan Mesa hanya terdiam di belakangnya.

"Apakah aku pun harus ikut--

Sina berhenti dan mulai menengok ke arah belakang. 

"Ah. Ya, tentu saja...". Dengan terlihat sedikit gelisah, Mesa pun mulai mengikutinya dan berjalan berbarengan.

Di perjalanan menuju aula lapangan. 

"Sifatmu yang tadi sebelumnya, masih belum berubah juga, Sina". Tiba-tiba Mesa memulai pembicaraan baru tetapi Sina hanya menghiraukannya begitu saja. 

Mesa mulai memandang ke arah atas sembari sedang berjalan. "Setelah berhenti menjabat sebagai ketua osis, aku kira kamu akan berubah menjadi murid perempuan biasa, tapi tetap saja setelah itu kamu masih menjadi sesosok perempuan yang menarik perhatianku. Dan aku pun merasa beruntung karena itu". Ucapnya yang tersenyum.

Sina mendengarnya, karena setelah mendengar kalimat ketua osis itu ia mulai mengingat kembali jabatannya itu selama satu tahun yang terasa sangat membosankan baginya. Karena selama jabatannya sebagai ketua osis, ia tidak pernah merasakan sesuatu hal yang menarik dari jabatannya selama itu.

"Dan juga selama kamu menjadi ketua osis, kamu selalu bertingkah seperti pemimpin yang selalu menyelesaikan masalah walaupun orang-orang itu justru menganggapmu sebagai orang yang selalu mencari masalah". Tiba-tiba Mesa menyambung begitu saja. "Mereka hanya tidak menyukaimu saja dan kamu tahu itu". Mesa mulai terlihat merasa kesal. "Dan kamu pun mulai bersikap dengan tegas terhadap mereka yang bahkan hingga sekarang". Mesa sudah menyelesaikan penjelasannya.

Pada saat itu Sina hanya terdiam dan mulai memperlihatkan tatapan yang getir.

"Ah. Maaf, sepertinya aku sudah membuatmu merasa tidak nyaman". Mesa mulai menyentuh kepala Sina di sampingnya dan dengan spontan Sina langsung menyingkirkannya, karena sudah terbiasa dengan itu. 

Mereka sudah sampai di dekat luar aula lapangan dan setelah itu masuk ke dalam. Di sana sudah terlihat banyak sekali orang-orang yang sedang latihan voli dan Sina pun mulai mencari-cari Mira di sana. 

"Sepertinya tidak ada". Ujar Mesa. 

"Kita hanya baru beberapa detik mencarinya. Teruslah mencarinya". Sina memerintah. 

"Percayalah dengan instingku, aku tidak pernah salah dengan hal ini".

"Insting orang jahat…". Sina mulai berjalan dekat ke arah lapangan sedangkan Mesa hanya terdiam di dekat pintu aula lapangan. 

"Sudah ku bilang Mira tidak ada di sini, Sina". Ujar Mesa di belakangnya.

Sina menyadarinya dan lalu ia pun mulai berjalan kembali ke arah belakangnya dan langsung berhenti di hadapan Mesa. "Jangan bilang kamu sudah menculiknya, Mesa". Ujarnya dengan serius. 

"Apa itu sebuah lelucon?". Jawabnya dengan serius. 

"Aku serius".

"Ya, tentu saja. Aku tidak pernah mendengarmu mengeluarkan sebuah lelucon". Mesa pun mulai berbalik arah berjalan keluar aula dan Sina pun ikut menyusulnya. "Ya, aku sudah menculik Mira. Sebelumnya aku sudah mengikatnya di atas tiang bendera lapangan tapi masih saja tidak ada seorang pun yang menyadarinya". Ujarnya dengan serius. "Aku harap sebelumnya aku benar-benar sudah mengikatnya dengan kuat".

Sina terdiam sejenak, yang lalu mulai mencebil sembari memukul lengan kiri Mesa yang langsung terkejut.

Mesa menatap tajam ke arahnya. "Hey, yang tadi itu benar-benar sak--Si-Sina…..? Apa-apaan dengan wajahmu itu?". Mesa menyadarinya. 

Sina pun mulai berjalan lebih cepat darinya. Dan Mesa pun mulai berjalan cepat juga mengikutinya. 

Dan setelah Mesa sudah menyusulnya, Sina pun mulai memalingkan wajahnya dari Mesa. Karena ada saat itu ia mulai merasa malu sudah menganggap ucapan Mesa sebelumnya itu lucu baginya sembari sedang menahan tawanya. 

Mesa pun menyadarinya dan lalu menatapnya dengan tajam dan juga terlihat heran. "Aku tidak menyangka apa yang kukatan itu benar-benar lucu bagimu, Sina".

"Di-Diamlah… ". Sina masih menahan tawanya sembari menutupi wajahnya dengan kedua tangan. 

Setelah itu Mesa terdiam sejenak, yang lalu mulai ikut menutupi wajahnya yang mulai memerah dengan satu tangannya dan juga memalingkan wajahnya. "A-Aku tidak menyangka kalau selera humormu itu sungguh payah, Sina".

Sina mulai tersinggung dan merasa kesal setelah mendengar itu dan langsung menendang kaki Mesa di sebelahnya. Dan Mesa hanya menghiraukannya, yang tampak terlihat seperti tidak sakit baginya tendangan itu.

Tanpa mereka sadari, seketika itu juga muncul Bu Lian di hadapan mereka. "Hey kalian berdua….". Ucapnya yang terlihat sedikit marah kepada mereka berdua. 

"B-Bu Lian?!". Sina terkejut dan mulai merasa gelisah. Sedangkan Mesa hanya terdiam biasa saja. 

Bu Lian menghela nafasnya. "Ah, maaf. Ibu tidak bermaksud untuk memarahi kalian lagi seperti sebelumnya". Ujarnya yang terlihat menenagkan diri. 

"Ya". Balas Mesa. "Sepertinya ibu terlalu berlebihan untuk memarahi kita hanya karena kita terlambat masuk ke dalam lab. Sebelumnya ibu kenapa? Sedang haid?". Ujarnya dengan getir. 

Sina pun mulai menendangnya lagi. 

"Ah, Sakit". Mesa mulai merasakannya dengan polos. 

"Itu benar-benar tidak sopan, Mesa". Ujar Sina sebagai perempuan.

"H-Hmm…. Kalau tidak salah kamu sedang mencari Mira, benar?". Ujar Bu Lian kepada Sina. 

"Hm? Ya, benar. Ibu tahu darimana?". Sina mulai merasa heran. 

"Ben. Sebelumnya dia sudah datang ke dalam kantor sekolah menemui ibu dan menanyakannya".

Sina terdiam sejenak, yang lalu mulai tersenyum merasa bangga kepada Ben. "Sudah ku duga, dia benar-benar bisa dapat di andalkan. Sebelumnya juga aku pun berpikir hal yang sama untuk menemui ibu setelah ini". Ujarnya. 

"Hm? A-Apa maksud kamu?".

"Hm? Ya…. Tentu saja sebagai kerabatnya, tidak aneh untuk Mira datang menemui ibu di kantor, bukan?".

"Ah… ya. Benar juga". Bu Lian terliat sedikit gelisah bagi Sina. 

"Jangan bilang… ". Ujar Sina. "Kalau Mira sedang tidak bersama ibu sebelumnya, apa itu benar?".

Pada saat itu Bu Lian mulai menghela nafasnya kembali. "Ya, begitulah. Dan sekarang ibu juga sedang mulai mencarinya. Dan juga sepertinya kalian masih belum menemukannya". Ujarnya dengan tenang. 

"Begitulah". Jawab Mesa. "Dan sekarang ibu ingin mencarinya kemana lagi?". Lanjutnya. 

"Aula lapangan. Tapi sepertinya kalian baru saja dari sana ibu sudah lihat. Jadi ibu akan mulai mengikuti kalian berdua saja dari sekarang".

"Baiklah, kalau begitu kita akan mencarinya bersama". Setelah mendengar itu, Sina mulai merasa senang karena sudah ada yang ingin mengikutinya lagi untuk membantu. 

"Hmm….. Sepertinya lebih baik kita mencarinya secara berpisah". Ujar Mesa kepada Sina. Dan Sina mulai menatapnya. 

"Kenapa begitu?". Sina merasa ingin mencarinya bersama-sama. 

"Ya, benar. Biar tidak perlu lama lagi kita mencarinya, lebih baik kita mencarinya secara berpisah". Bu Lian menyetujuinya. 

"Ya, tapi…..".

"Sina". Ujar Mesa. "Sebelumnya aku sudah melihatmu mencari-cari di seluruh lingkungan sekolah mencari Glen, benar?".

"Ya, memang kenapa--

"Lebih baik kita mencarinya secara berpisah, karena aku tidak ingin melihatmu melakukan hal itu lagi". Mesa mulai terlihat khawatir. 

"Ya benar, Sina". Ujar Bu Lian. "Kamu tidak usah untuk terlalu memaksakan diri, karena kamu bukan lagi orang yang sibuk seperti saat kamu menjadi ketua osis sebelumnya". Bu Lian mulai mengingatkan kembali Sina dengan jabatannya itu. 

"Y-Ya, benar". Sina merasa senang mendengarnya. Dan Sina pun mulai memperbaiki kacamatanya yang di pakai dengan wajah yang terlihat mulai serius. "Baiklah. Kalau begitu, aku dan Mesa akan pergi menuju selatan dan ibu ke utara".

"Apakah kamu benar-benar harus mengatakannya seperti itu, Sina?". Bu Lian tidak memahaminya. 

"Ah, maksudku.... Ibu pergi menuju ke arah dekat tempat lab kimia, lalu aku dan mesa--

"Lebih baik aku mencarinya sendiri saja, Sina". Mesa memotong. "Mencari secara berpisah ". Ujar Mesa dengan jelas. 

"Aku tidak akan membiarkanmu kabur begitu saja, Mesa". Balas Sina dengan jelas. "Sebelumnya aku sudah mengatakan kepadamu seperti itu bukan?".

Tiba-tiba Mesa pun mulai menyentuh kepala Sina. "Tenang saja, aku tidak akan melakukannya". Ujarnya.

Sina mengangkat wajahnya dan menatapnya dengan tajam. 

"Ya, tentu saja pasti akan menjadi seperti ini". Mesa menyadarinya. 

Lalu Mesa pun mulai menurunkan tangannya dari atas kepala Sina dan kali ini dia mulai menyentuh pundak kanan Sina di sebelahnya. "Tapi untuk sekarang, kamu harus percaya kalau aku benar-benar ingin membantumu saat ini. Dan juga aku pasti akan kembali kepadamu sebagai tahananmu lagi". Ujarnya dengan senyumannnya. 

Pada saat itu Sina hanya terdiam masih menatap ke arahnya. Dan setelah itu juga ia mulai memalingkan wajahnya. "Membantu?".

"Ya, tentu saja". Mesa menyentuh kepala Sina kembali dan mulai megelusnya. 

Anehnya, Sina merasa sedikit senang setelah mendengarkan ucapan Mesa sebelumnya, tetapi ia pun mulai merasa sedikit kesal setelah dia menyentuh kepalanya kembali. "Apakah kamu bisa lepaskannya?".

"Ah. Baiklah". Mesa melepaskannya sendiri. 

"Ehem!". Batuk Bu Lian. "Lalu bagaimana? Ibu akan pergi menuju arah tempat lab kimia dan lalu Mesa?". Ujarnya. 

"Aku akan pergi ke arah tempat lab fisika, Bu Lian. Dan kalau aku tidak menemukan Mira di sana, aku masih akan tetap menunggu di sana". Ujarnya dengan jelas kepada Bu Lian. 

"O-Ok Baik--

"Tunggu. Bukankah kamu tadi bilang akan kembali menjadi tahananku lagi?". Sina mengingatkan.

"Ya, tentu saja. Kamu tinggal menghubungiku saja nanti, aku pasti akan kembali dan menjadi milikmu lagi". Mesa mulai menyeringai.

Sina memalingkan wajahnya. "Aku tidak percaya". Meskipun Sina ingin mempercayainya. 

"Ah, ya benar". Mesa mulai mengambi handphone-nya dari dalam saku celananya "Kita masih belum saling bertukar nomor kontak handphone". Mesa mulai mencari kesempatan.

"Ya, lalu kenapa?". 

"Aku kan sudah bilang agar nanti kamu menghubungiku nanti". Mesa mulai memainkan layar handphone-nya.

"Sudah ku bilang, aku tidak--

"Ibu duluan". Pada saat itu Bu Lian sudah mulai berjalan pergi. 

"Sina". Ujar Mesa kepada Sina. "Kalau misalnya kamu mempunyai nomor handphone-ku. Kamu bisa saja melacak nomor handphone itu kapan saja dan kamu pasti akan segera menemukan lokasi tempat di mana pun aku sedang berada, bukan?".

"Me-Melacak? Bagaimana bisa aku melakukan hal semacam itu?". Sina merasa penasaran ingin mengetahui bagaimana caranya.

"Kamu bisa saja memberikan nomor handphone-ku kepada polisi". Mesa pun mulai memperlihatkan layar handphone-nya dan nomor kontaknya di layar. "Bagaimana?".

"Ya, kamu benar". Sina merasa senang mendengarnya dan setelah itu pun ia mulai mengambil handphone-nya yang lalu mengetik dan memasukkan nomor kontak Mesa di dalam kontaknya. "Baiklah, kalau begitu aku akan segera pergi menuju tempat ruang drama sekarang. Dan juga ingat dengan perkataanmu sebelumnya".

"Ya, aku janji. Karena aku tidak akan pernah meninggalkanmu sendirian, aku adalah milikmu". Jawab Mesa dengan meyakinkan.

"K-Kamu terlalu berlebihan, cepat pergi sana". Sina mulai merasa sedikit malu setelah mendengarnya.

"Ya, dan juga ingat, kamu pun jangan terlalu berlebihan untuk mencarinya. Kamu hanya harus mencarinya di sekitar--

"Ya, aku tahu".

Setelah itu Sina pun mulai berjalan berlawanan arah dari Mesa yang mulai berjalan di arah belakangnya. 

Saat di perjalanan, ia berjalan sembari memperhatikan layar handphone-nya. Ia sedang melihat nomor kontak handphone Mesa tadi di dalamnya dan mulai mengetik sebuah nama di dalam kontaknya. Ah, tidak. Lebih baik aku tidak memberikan namanya seperti itu. Awalnya Sina ingin mengetik nama Penjahat sebelumnya di sana tetapi entah mengapa ia merasa tidak enak dengan hal itu dan pada akhirnya ia menggantinya dengan mengetik nama Tahanan di sana. Ya, ini lebih baik.. Sina pun mulai menyimpan nama itu di dalam kontaknya.

Dan seketika itu juga, Sina pun mulai melihat sebuah nama Pak Mando di dalam kontaknya. Ah! Kalau tidak salah setelah pulang sekolah…. Setelah itu Sina pun dengan cepat mulai menghubungkan nomor kontak itu yang bertuliskan nama Pak Mando di dalamnya.

***

Seharusnya aku tidak membiarkan Glen melewat begitu saja di belakangku. Tapi mau bagaimana lagi dia benar-benar tidak menyadari keberadaanku di sini…. Pada saat itu Mira sedang berada di tempat kebun sekolah yang cukup dekat dengan lapangan sembari menyirami tanaman di depannya. Lalu ia pun mulai berjongkok kembali ke bawah yang masih menyirami tanaman itu dan mulai melamun kembali seperti yang ia sudah lakukan sebelumnya. Hari ini….. Aku benar-benar sudah membolos banyak pelajaran. Hanya satu satu pelajaran saja yang aku ikuti tadi siang. Mmm….. Kalau tidak salah Matematika? Ah, tidak. Mungkin fisika? Tunggu. Aku bahkan tidak tahu siapa yang mengajar di dalam kelas pada saat itu. Karena pada saat itu Mira hanya melamun di dalam kelas, tetapi beruntungnya pada saat itu juga memang tidak siapapun di dalam kelas yang mengajar dan begitu juga dengan murid-murid yang tidak ada di sana. Tunggu, bukankah kalau tidak salah hari ini pelajaran fisika melakukan praktek di dalam lab? Mira mulai menyadarinya. Dan setelah itu juga ia pun mulai merasa gelisah dan juga tidak merasa enak karena hal itu.

"Hm? Mira? Sedang apa kamu di sini?". Tiba-tiba di belakangnya muncul seorang pria berjenggot dengan mengenakan jas hitamnya. 

Mira pun terkejut karena tidak menyadarinya sama sekali dan hampir saja menjatuhkan penyiram tanaman yang di genggamnya itu. "P-Pak Gid? Ya, Pak? Ada apa?". Ujarnya yang lalu mulai berdiri dan merasa gelisah. 

"Seharusnya bapak lah yang terlebih dahulu menerima jawabanmu. Kamu sedang apa di sini? Bukankah biasanya hari ini kamu berada di aula lapangan untuk ikut bermain voli dengan mereka?". Ujar Pak Gid heran. 

Mira mulai menghela nafasnya dan menenangkan dirinya. "Ya… Sebenarnya aku hanya ingin sedang menyiram tanaman ini saja sekarang". Ujarnya sembari menatap ke arah tanaman di sebelahnya.

"Hm? Benarkah?". Pak Gid terlihat merasa senang setelah mendengarnya. 

Mira pun mulai berjongkok dan menyiram tanamannya kembali. "Ya. Setelah aku melewati kebun sekolah ini dan melihat tanaman-tanaman ini, aku pun mulai merasa ingin mendekatinya dan segera mulai menyiraminya". Meskipun alasan utama Mira ke sini adalah hanya untuk menyendiri saja. 

Pak Gid mulai tersenyum. "Bapak tidak menyangka, ternyata masih juga ada seseorang yang peduli dengan kebun sekolah ini". Ujarnya yang lalu mulai mengambil penyiram tanaman satu lagi yang berada di samping Mira. 

"Hm? Apa sebelumnya kebun ini tidak ada yang pernah merawatnya sama sekali?".

"Hanya sedikit orang yang peduli.. ". Balasnya sembari ikut menyirami tanaman. "Sampai saat ini, masih belum juga ada perubahan jadwal untuk siapa saja yangmengurus kebun sekolah ini".

"Ah… aku baru tahu itu. Baiklah, kalau begitu aku akan memberitahu soal itu kepada paman". Mira mulai menaruh kembali penyiram tanamannya. 

"Aku berterima kasih kepadamu, Mira. Tapi lebih baik kamu memberitahunya nanti saja, karena sekarang beliau masih sedang sibuk mengurus masalah itu. Masih ingat dengan apa yang sudah bapak beri tahu tadi pagi?".

Mira terdiam sejenak dan lalu menundukkan kepalanya. "Ya, benar juga". Mira mulai mengingat kembali tentang kasus itu walaupun ia tidak ingin memikirkannya lagi. 

"Ah ya, Mira. Apakah kamu tahu mengapa laptop itu sangat penting untuk kepentingan sekolah?". Tanya Pak Gid. 

Pada saat itu Mira menggelengkan kepalanya walaupun sebenarnya ia sudah mengetahui alasannya. "Hm? Kepentingan sekolah?". Mira heran dan mulai memandang ke arah Pak Gid yang sedang sibuk menyirami tanaman. "Pak Gid tahu dari mana kalau itu merupakan kepentingan sekolah?". Ujarnya. 

"Pak wakil kepala sekolah sendiri yang mengatakannya tadi, pada saat sedang rapat guru".

Mira mulai berdiri. "Apakah paman benar-benar memberitahunya? Bukankah kasus itu tidak boleh untuk di biarkan tersebar begitu saja?". Mira mulai mengingat kembali tentang perbuatan ibunya yang menyebabkan kasus kematian ayahnya.

Pak Gid mulai meletakkan kembali penyiram tanamannya. "Mira?". Pada saat itu dia menyadari ada yang aneh dari sikap Mira di lihat dari ekspresi wajahnya yang terlihat terkejut. "A-Apa maksudnya itu, Mira? Bukankah sebelumnya bapak menanyakan kepadamu apa alasan laptop itu begitu penting untuk kepentingan sekolah?". Pak Gid terlihat sedikit bingung. 

Mira langsung memalingkan wajahnya. "Ah….ya benar. Pak Gid bertanya seperti itu karena memang tidak mengetahuinya… ". Mira mulai tertawa kecil sedikit gelisah. 

Pada saat itu Pak Gid pun mulai berjalan mendekatinya dan lalu menyentuh pundaknya. "Mira? Apa kamu baik-baik saja?". Ujarnya yang khawatir. 

"A-Apa maksud Pak Gid….?". Jawabnya yang terdengar ganjil. 

"Hm?". Pak Gid pun mulai menengok ke arah wajahnya yang pada saat itu Mira tanpa sadar sudah mengeluarkan air matanya. "Mira? H-Hey….kamu kenapa? Apakah pertanyaan bapak sebelumnya membuatmu--

"T-Tidak Pak Gid…. Aku tidak apa-apa...". Ucapnya sembari tersedu-sedu dan mengusap air matanya. 

"Pasti ada apa-apa…". Ujarnya dengan lembut dan lalu mulai membimbingnya untuk berjalan menuju tempat ruang gudang olahraga di dekatnya. 

Sekitar lima tahun yang lalu, Mira pernah merasakan kesedihan pertama kalinya dalam hidup, yaitu ketika ia baru mendengar kabar kematian kakek dan neneknya. Pada saat itu ia sedang terduduk di ruang tunggu rumah sakit bersama ibunya dan kakak perempuannya yang di hadapannya juga ada orang-orang kepolisian yang sedang berdiri di dekat jendela ruang perawatan. Mereka pada saat itu sedang memperhatikan ke dalam jendela ruangan itu yang di dalamnya ada kakek dan nenek-nya yang sedang terbaring di atas ranjang pasien dan juga di sampingnya ada ayahnya yang sedang terduduk sendirian sembari menundukkan kepalanya. Tidak lama kemudian setelah itu, ayahnya pun mulai berjalan keluar ruangan yang bersamaan dengan itu juga dokter dan juga para perawat-perawat lainnya pun mulai memasuki ruangan itu. Dan tepat di saat itulah Mira langsung mendengarkan kabar dari ayahnya yang memberitahu tentang kematian kakek dan juga nenek-nya, Mira dan juga kakaknya pun mulai menangis memeluk ibunya dan merasa sangat sedih karena kehilangannya. Seketika itu pun ia mulai mengingat kembali di saat ia bersama Kakek dan juga nenek-nya yang selalu bermain bersama-sama sejak kecil. Dan mulai pada saat itu pun ia akan selalu merindukan hari-hari yang bahagia itu bersama kakek dan nenek-nya. 

Beberapa hari kemudian setelah selesai dari pemakamannya, Mira pun mulai absen dari sekolahnya selama seminggu bersama kakak perempuan, karena masih belum merasa enak untuk masuk sekolah dalam kondisinya pada saat itu. Dan pada akhirnya, keesokan harinya pun ia memutuskan untuk berangkat ke sekolah tetapi tidak dengan kakaknya yang terus mengurung di dalam kamarnya. 

Saat sudah berada di dalam kelasnya, banyak sekali teman-temannya yang mulai mengkhawatirkannya.

"Terima kasih semuanya karena sudah mengkhawatirkan-ku.... Tapi tenang saja, sekarang aku sudah baikan...". Ujarnya sembari menenangkan teman-temannya yang pada saat itu sedang berkumpul mengerumuninya.

"Apakah kamu yakin, Mira?". Ujar seorang murid lelaki di sampingnya yang pada saat sedang saling dorong mendorong bersama teman-teman lelakinya.

"Y-Ya… tenang saja…".

"Apakah kamu yakin, Mira?". Pertanyaan itu muncul kembali yang kali ini dengan orang yang berbeda.

"Hey! Kalian para lelaki! Hentikan itu!". Seorang murid perempuan mulai membentaknya. 

"Ya! Kalian sudah membuat Mira tidak nyaman..".

Seketika itu pun suasana di dalam kelas pun mulai ramai dan menegangkan karena pertengkaran adu mulut antara kedua kaum perempuan dan kaum lelaki. 

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu di dalam kelas. "Hey! Kalian, hentikan….". Ujar seorang murid lelaki berseragam SMP yang sama dengan mereka. 

Seketika itu pun mereka mulai berhenti. "A-Ah… maafkan kami, Glen..". Mereka tunduk. 

Glen menghela nafasnya. "Ah… ya, sudahlah… dan sekarang duduklah ke tempat kursi kalian masing-masing". Ujarnya yang lalu mulai berjalan memasuki kelas. "Bisa-bisa nanti kalian akan di marahi guru setelah melihat kekacauan tadi". Tegasnya. 

Para pembuat kekacauan itu pun mulai berjalan ke tempat kursi mereka masing-masing.

Mira pada saat itu mulai menatap ke arah Glen. "Terima kasih, Glen.. ". Ucapnya yang merasa lega di buatnya. 

"Ini sudah biasa". Glen berjalan mendekatinya. "Apakah kamu baik-baik saja? Kondisimu yang sebelumnya dan juga kondisi yang barusan terjadi?". Glen menanyakannya sekaligus. 

"Ya". Balasnya dengan singkat. 

"Syukurlah kalau begitu". Glen pun mulai berjalan ke arah tempat kursinya di barisan paling depan ujung kiri. Dan sedangkan Mira sedang terduduk di kursi paling belakang di barisan yang sama dengan Glen. 

"Ketua kelas yang sangat perhatian…". Tiba-tiba seorang murid lelaki di samping kanan tempat kursinya mulai berbicara sembari memainkan handphone-nya. 

"Ya, seperti biasanya". Balas Mira sembari menatap ke arah lelaki itu di sampingnya. "Kamu juga, Ben".

Lelaki itu mulai mematikan handphone-nya dan menatap balik ke arah Mira. "Apakah ucapanmu itu penting bagiku?". Balasnya. 

"Ya. Karena aku ingin kamu juga mengkhawatirkan-ku dan menanyakan hal yang sama seperti mereka". Mira mulai menenangkan dirinya sembari menyeringai. 

"Ah. Ya, kamu benar. Bagaimana kabarmu, Mira? Selama seminggu kamu tidak masuk sekolah apakah kamu sudah menonton anime yang aku rekomendasikan sebelumnya?". Jawab Ben dengan memasang wajah yang terlihat khawatir. 

Mira mencebil. "Hmm… Bukan itu yang ingin aku dengar darimu.. ". Lalu mulai memalingkan wajah darinya.

"Apa yang ingin kamu dengar itu sudah tersampaikan". Ben pun mulai ikut memalingkan wajahnya. Dan Mira pun mulai menatapnya kembali. 

"Hm? Apa maksudmu?". Mira bingung. 

"Tentu saja kamu sedang tidak baik-baik saja sebelumnya. Maka dari itu aku menanyakan kepadamu, apakah kamu sudah menonton anime yang sudah aku rekomendasikan?".

Mira memiringkan kepalanya sembari menatap ke arah Ben. "Aku benar-benar tidak mengerti apa yang sedang kamu maksud.. ". Ujarnya yang tidak mengerti.

Ben mulai memalingkan wajahnya lagi dari Mira. "K-Kamu kira... Aku mengirim pesan kepadamu minggu kemarin untuk apa?". Ben masih tidak jelas. 

"Kamu selalu saja seperti ini, Ben. Apakah kamu bisa mengatakannya lebih jelas lagi?". Mira masih belum mengerti. 

Pada saat itu Ben hanya terdiam dan Mira pun mulai sedikit mencubit lengan seragam Ben di sampingnya sembari menarik-menariknya. "Ayolah Ben, katakan saja… aku sedang menunggumu…". Mira seperti sedang menyemangatinya. 

Tidak lama setelah itu Ben pun mulai menatap ke arahnya dengan wajah yang terlihat sedikit kesal tapi anehnya seperti terlihat malu. "Sebelumnya di pesan aku sudah menyuruhmu untuk menonton anime yang sudah ku pilih agar kamu bisa merasa baikan". Ujarnya.

Mira mulai menarik tangannya kembali. "J-Jadi kamu bilang, kamu mengkhawatirkan-ku?". Jantungnya mulai sedikit berdegup. 

Ben memalingkan wajahnya kembali. "B-Benar-benar memalukan sekali diriku ini… ". Ucapnya.

"Ben. Apa kamu mengkhawatirkan-ku?". Mira benar-benar merasa ingin segera mengetahuinya.

Wajah Ben terlihat sedikit memerah. "Mmm… ". Balasnya sembari menganggukan kepala. 

Setelah mendapatkan balasannya, seketika itu wajah Mira terlihat mulai memerah merona. Dan Ia pun langsung menatap ke arah bawah sembari memperhatikan kedua tangannya yang sedang di main-mainkan bersamaan dengan jari jemarinya. "T-Terima kasih Ben…. ". Ucapnya.

"Mmm… ". Balas Ben. "Lalu, bagaimana? Apa kamu sudah menontonnya?".

"M-Maaf… ". Mira lupa.

Seketika itu Ben pun mulai menatap tajam ke arah Mira.

"Lalu setelah itu kamu tiba-tiba menyatakan perasaanmu kepada Ben?". Pak Gid terlihat sedikit terkejut setelah mendengar semua curahan Mira kepadanya. Pada saat itu meraka berdua sedang terduduk di atas anak tangga dekat gudang olahraga.

"M-Mmm….". Mira mulai merasa malu setelah mengeluarkan semua curahannya itu. 

"T-Tunggu, jadi sebelumnya kamu menangis bukan karena kesalahan bapak, benar?".

"Y-Ya, itu tidak ada hubungannya sama sekali...". Mira tidak terlalu berbohong soal ini. 

Pak Gid pun mulai menghela nafasnya. "Ah… Syukurlah kalau begi--T-Tunggu, kamu mengatakan apa sebelumnya?". Pak Gid mulai sadar kembali. 

"B-Ben… sebelumnya aku sudah… ". Ujarnya yang langsung menutupi wajahnya yang pada saat itu terlihat sangat memerah dan juga merasa malu.

"Ah… ya, benar. Dan lalu? Apakah ada lagi yang ingin kamu kamu katakan?". Pak Gid terlihat sedikit gelisah dan juga khawatir. 

Mira terdiam sejenak sembari menarik nafas panjangnya dan menghembuskannya untuk menenangkan diri. "A-Apakah Pak Gid….mempunyai saran apa yang harus aku lakukan selanjutnya?". Jantungnya masih berdegup dengan kencang. 

"Hmm… soal itu.. Tentu saja bapak mempunyai. Tapi sebelum itu bapak ingin bertanya, setelah kamu menyatakannya, bagaiman reaksi Ben pada saat itu?".

"Pada saat itu..… aku langsung menatap ke ara bawah. Jadi, aku tidak tahu bagaimana reaksi wajah Ben saat itu".

"Apakah Ben mengatakan sesuatu?".

"B-Be-Ben….. Bilang…. Dia tidak bisa menjawabnya sekarang….". Mira benar-benar merasa sangat malu. 

"Hmm….. Dan setelah itu pun kamu langsung melarikan diri begitu saja darinya, benar?".

Mira hanya menganggukan kepalanya. 

"Bapak yakin, pada saat itu Ben hanya sedang duduk terdiam di sana sebelumnya. Apakah kamu ingin mengetahui alasaannya?".

"Aku… T-Tidak usah… aku… ". Mira pun terdiam. 

Hanya memikirkannya saja...aku merasa malu… Pikir Mira yang mengharapkan sesuatu dari Ben yang dapat membuatnya merasa sangat malu. 

"Sebenarnya….". Pak Gid mulai memperlihatkan tatapan yang sedikit getir. "Kalu soal membicarakan sesuatu tentang percintaan, bapak tidak terlalu bisa menyarankannya dengan baik". Ujarnya. 

"Hm? Mengapa begitu?". Mira merasa heran. "Bukankah Pak Gid merupakan salah satu guru konsultasi terbaik di sekolah ini? Selain para guru BK yang lainnya?".

"Bapak hanya guru yang menganggur saja, Mira. Satu-satunya pekerjaan bapak di sini hanyalah sebagai guru seni saja". 

Mira mulai mengangkat wajahnya. Pada saat itu wajahnya terlihat sedikit mereda, tetapi pipi di atas dekat kedua matanya masih terlihat sedikit memerah dan begitu juga dengan hidungnya. "Hmm… Lalu mengapa bapak selalu mendatangi orang yang sedang bermasalah kalau begitu? Bukankah itu hampir sama saja seperti guru BK?". 

Pak Gid menghela nafasnya. "Yah… Kalau itu, sebenarnya bapak hanya merasa senang saja setelah mendengarkan semua curahan para murid-murid yang sedang ada masalah. Dan bapak pun merasa senang jika dapat membantunya juga". Pak Gid mengatakannya seperti layaknya seorang guru BK. 

"Meskipun begitu Pak Gid mengatakannya seperti layaknya seorang guru BK". Mira menyadarinya. 

"Hm? Benarkah?". Pak Gid tidak menyadarinya. 

Setelah melihat reaksinya, Mira pun mulai tersenyum dan juga lalu mulai menyeringai kepadanya. "Aku tidak menyangka ternyata Pak Gid bisa terlihat se-lugu ini..". Ucapnya yang mulai terlihat tenang. 

Pak Gid mulai tertawa kecil. "Benarkah?". Ucapnya yang lalu memandang ke arah atas langit sembari memainkan jenggotnya. 

"Ya. Dan di saat Pak Gid tidak menyadarinya, itu terlihat lucu bagiku". Mira pun mulai ikut tertawa kecil.

"Hmm…… begitu. Dan meskipun sebenarnya…...ada juga seseorang yang mengatakan bahwa bapak hanyalah seorang pedofil yang selalu mendatangi setiap murid-murid di sekolah". Ujar Pak Gid meyakinkan. 

Mira sedikit terkejut. "Hm? Siapa yang sudah mengatakan hal seperti itu?". Sebenarnya Mira sudah sedikit menduga-duga siapa orangnya.

"Mesa. Itulah yang ia katakan, di saat bapak hanya ingin berbicara dengannya saja". 

"Ah… ya, tentu saja dia...". Dugaan Mira benar. 

Pada saat itu Pak Gid mulai memperhatikan jam tangannya. "Sudah jam empat….". Gumamnya yang lalu menatap ke arah Mira. "Entah mengapa pembicaraan kita menjadi sedikit melenceng. Lalu, Bagaimana? Apakah kamu ingin meminta sebuah saran dari bapak?". 

Seketika itu Mira pun mulai bangkit berdiri dari duduknya dan menatap ke arah depan. "Hmm… sepertinya aku akan melakukannya saja sendiri dan mengatakannya secara langsung ke-kepadanya… ". Mira mulai merasa malu lagi sembari menundukkan kepalanya lagi. 

Pak Gid pun mulai berdiri sembari memperhatikan jam tangannya kembali. 

Dan lalu setelah itu ia pun mulai menyentuh kepala Mira di sampingnya. "Seperti yang bapak bilang sebelumnya. Bapak tidak bisa memberikan saran yang baik soal percintaan. Tapi sebenarnya bapak mempunyai saran yang sepertinya akan beguna untukmu". Ujarnya sembari terlihat sedang berpikir.

Mira pun mengangkat wajahnya sembari memperhatikan Pak Gid yang sedang berpikir. 

"Hmm… bapak tidak terlalu begitu ingat….". Ucap Pak Gid sembari memandang ke arah atas. "Tetapi intinya adalah…. setiap kali manusia mulai merasakan sesuatu dalam hatinya. Mereka harus segera mengeluarkannya, karenanya itu akan membuatmu merasa lebih baik lagi daripada harus di pendam". Pak Gid pun mulai menatap ke arah Mira. "Ya. Kira-kira seperti itulah yang pernah teman bapak bilang sebelumnya kepada bapak. Bagaimana? Apakah itu membuatmu merasa tenang?".

Mira menundukkan kepalanya. "Mengeluarkannya…. ". Gumamnya yang lalu mulai mengangkat wajahnya kembali. "M-Maksud bapak..… aku harus mengeluarkan semua perasaanku ke-kepadanya?". Ucapnya. 

"Ah, ya. itulah intinya. Jadi daripada kita memendam perasaan yang nanti akan membuat kita merasa gelisah, lebih kita mengeluarkannya saja agar kita merasa lega… ". Ujar Pak Gid dengan keyakinannya. 

"La-Lalu… bagaimana kalau Ben… ". Mira mulai merasa gelisah. 

Pak Gid mulai menarik kembali tangannya dari atas kepala Mira dan lalu menghela nafasnya. "Hidup itu memang penuh resiko, Mira. Dan setiap manusia pasti sudah terbiasa dengan hal itu, kenapa sekarang kamu harus ragu?". Bijaknya. 

"Lalu… mengapa hidup itu harus penuh dengan resiko, Pak Gid?".

"Karena perasaan takutlah yang selalu menyelimuti manusia dalam hidup. Alasan mengapa manusia bisa berkembang dalam hidup adalah karena rasa takut dan seharusnya kita pun tahu bahwa perjalanan manusia untuk berkembang dalam hidup itu memang penuh dengan resiko. Dan juga sekarang, apakah kamu ingin menjadi manusia yang dapat berkembang?".

"Y-Ya, tentu saja". Mira mendengarkan semuanya. 

Pak Gid pun mulai menepuk pundak Mira. "Kalau begitu, apa yang harus kamu lakukan mulai dari sekarang?". 

Mira mulai menarik nafasnya dan lalu menghembuskannya. "Hidup dan berkembang". Pada saat itu Mira mulai memperlihatkan tatapan yang tampak siap untuk menjalaninya. 

"Y-Ya, benar. Tapi intinya, sekarang kamu pun harus siap untuk menemui Ben, apakah kamu sanggup?". Sepertinya Pak Gid terlihat masih merasa khawatir kepada Mira setelah ia melihatnya sudah menangis. 

"Ya, aku siap dan sanggup". Mira mengatakannya dengan wajah yang terlihat mulai memerah kembali. Tetapi ia masih tetap merasa siap dan sanggup. 

Pak Gid menurunkan tangannya. "Baiklah, kalau begitu bapak akan pegi sekarang dan begitu juga dengan kamu". Ujarnya sembari memparhatikan jam tangannya. 

Tiba-tiba Mira pun mulai memberi hormat kepadanya, menundukkan kepala, meminta salam tangan ke dahinya, berbalik arah yang lalu mulai berjalan pergi meninggalkan Pak Gid yang pada saat itu hanya terdiam dan tersenyum sembari memperhatikan Mira yang sedang berjalan dengan kaku. 

***

"D-Dimana Mira sekarang?". Ucap Ben yang tiba-tiba saja mulai merasa gelisah. 

Sina yang sedang duduk di hadapannya pun mulai sedikit terkejut. "D-Dia… Mira bilang…..dia akan segera ke basement sekarang bersama yang lainnya". Jawab Sina setelah selesai berteleponan dengan Mira di handphone-nya. 

Pada saat itu mereka berdua berada di dalam suasana yang sedikit menegangkan di dalam ruangan sastra, basement, setelah tiba-tiba mereka mendapatkan sebuah telepon dari Mira di dalam handphone Sina. 

M-Mira akan segera datang, apa yang harus kukatakan nanti kepadanya… Setelah memikirkannya, Ben mulai merasa semakin gelisah.

"Ben? Kamu tidak apa-apa?". Sina terlihat merasa khawarir. 

Ben menghela nafasnya. "Ah, tidak. Aku tidak apa-apa". Ujarnya. "Aku hanya sedang memikirkan kembali tentang pembicaraanmu dengan orang kepolisian itu sebelumnya". Ben mulai mengalihkan pembicaraannya. 

Sina terdiam sejenak, yang lalu mulai menatap tajam ke arah Ben. "Ah… begitu. Dan s-sepertinya kamu mulai merasa senang setelah mendengarnya". Ucapnya yang terdengar ganjil. 

"Hm? Maksudmu tentang pembicaraanmu dengan Mira?". Ben mulai tidak fokus. 

Sina memalingkan wajahnya. "T-Tidak, maksudku… tentang… ". Sepertinya ada yang tidak beres di lihat dari percakapan mereka berdua.

Seketika itu juga muncul seorang lelaki yang mulai masuk ke dalam ruangan itu. 

"Ah… Glen". Sahut Ben. "Apakah kamu sudah mendegar kabar Mira? Dia sudah--

Seketika itu juga mulai muncul lagi di belakangnya seorang lelaki berambut pendek, yang hampir sama dengan Ben. 

Pada saat itu Sina mulai sedikit membalikkan badannya. "Aji.. ". Ucapnya dengan tajam. 

"Hm? Mira? Ada apa dengannya?". Glen mendengarnya dan lalu mulai berjalan mendekati mereka berdua yang sedang terduduk di ikuti dengan seorang lelaki yang sedikit lebih besar dan juga tinggi dari Glen di belakangnya. 

"Mengapa Aji harus berada di dalam sini, Glen.. ". Ucap Sina yang masih menatap tajam ke arah Aji. 

"Dimana Mira?". Tiba-tiba Aji mulai berbicara dengan sedikit tegas. 

Di sana Glen mulai memukul ke arah pundak kiri Aji di sampingnya. "Dengarkan dulu baik-baik". Ucapnya dengan tegas dan Aji pun mulai menatapnya dengan tajam. 

"Ya". Balasnya dengan singkat dan seolah-olah tidak merasakan apapun dari pukulan Glen sebelumnya. 

Aku tidak mengerti, sebenarnya hubungan mereka ini seperti apa? Ben merasa aneh melihatnya. 

Glen mulai terduduk di samping kursi kanan Ben dan sedangkan Aji berada di samping kiri Sina yang masih menatapnya dengan tajam. 

"Keluarlah dari sini, sebelum aku memaksamu untuk keluar.. ". Sina sangat berani. Dan sedangkan Aji menghiraukannya seperti sudah biasa dengan itu. 

"Kenapa kau diam saja, Ben? Bagaimana dengan Mira?". Glen melanjutkannya. 

"Hm? Ah, ya benar". Ben sadar setelah sudah cukup lama melamun. "Mira akan segera ke sini. Dia sendirilah yang mengatakannya sembari menelepon". Jawabnya. 

"Ternyata begitu. Lalu? Dimana dia sebelumnya?".

Pada saat itu Aji mulai memukul meja di depannya sedikit keras. "Hah? Telepon? Bagaimana bisa dia--

Tiba-tiba Sina pun memukul pundak kanan Aji di sampingnya karena sebelumnya Sina terlihat sedikit terkejut dan juga mulai merasa kesal juga. "Cepat keluarlah dari sini…". Ujarnya yang lalu mulai berdiri dan mencoba untuk menarik lengan Aji untuk membawanya keluar tetapi tidak kuat. "Aku harap aku mempunyai--

"Aji". Ujar Glen dengan tegas. "Keluarlah dari sini, kau tidak membantu sama sekali". Tatapan tajamnya mulai di arahkan kepada Aji. 

Dan Aji pun mulai berdiri dan menatap balik dengan tajam juga. "Glen, Apa kau dengar tadi dia bilang apa?". Ucapnya yang lalu di arahkan kepada Ben. 

"Ya. Aku akan mengurus semuanya nanti. Sekarang, keluarlah.. ". Glen memerintahkannya.

Aji terdiam sejenak sembari menatapnya sedikit lebih lama lagi. Dan tidak lama setelah itu pun mulai berbalik dan berjalan pergi menuju luar ruangan. Tetapi setelah itu juga mulai berhenti di dekat pintu dan lalu menengok ke arah belakang menatap Glen kembali. "Uang itu harus segera di kembalikan lagi kepadaku. Ingat itu". Ucapnya dengan jelas yang lalu mulai berjalan keluar ruangan. 

Di saat itu juga Sina mulai menatap ke arah Glen. "Kau seharusnya menyuruh dia untuk keluar lebih awal.. ". Ujarnya dengan tajam. 

Glen mulai menenangkan dirinya. "Aku sudah mengajaknya untuk ikut berdiskusi. Dan tindakan tadi sebelumnya sudah membuatnya gagal untuk melakukannya". Balasnya yang lalu mulai menatap ke arah Ben kembali. "Apa kau masih ingat dengan pertanyaanku sebelumnya?".

Ben mulai menghela nafas panjangnya dan segera untuk melupakan adegan tadi. "Entahlah". Singkatnya. Dan lalu mulai menatap ke arah Sina yang mulai terduduk kembali. "Apa sebelumnya Mira mengatakannya?". Lanjutnya. 

Sina mulai merasa tenang. "Ya. Dia berada di tempat kebun sekolah sebelumnya". Jawabnya. 

"Hm? Benarkah?". Glen merespon. 

"Ya. Memang kenapa?". Sina masih terlihat kesal kepadanya.

Glen mulai memegang kepalanya sendiri dengan satu tangan sembari memalingkan wajahnya. "A-Ah…. Tidak. Hanya bertanya saja". Balasannya terdengar ganjil. 

"Glen, jangan bilang yang tadi itu… ". Ben mulai mengingat kembali percakapannya dengan Glen tentang Mira sebelumnya. 

Glen mulai menatap balik dengan getir. "Ya, soal handphone itu.. ". 

"Apakah kamu bisa menjelaskannya?". Ujar Sina kepada Glen. 

"Apakah kamu masih ingat dengan ucapan Mira tadi siang? Tentang masalah Glen tadi pagi..". Ben mengingatkan. 

"Ya, lalu mengapa orang itu harus berada di sini?". 

Pada saat itu Ben mulai menatap ke arah bawah dengan tatapan getirnya. "Sebenarnya, ucapan Mira sebelumnya ada yang sedikit bohong. Atau mungkin dia lupa untuk menambahkannya". Ben merasa tidak yakin. 

"Apa maksudmu?".

"Sebenarnya aku memang sengaja sudah menghancurkan handphone Aji". Glen berbicara. "Dan juga pada saat tadi pagi dia ingin meminta bayarannya, seketika itu Mira datang mendukungku dan setelah itu dimulai lah perdebatan yang sangat panjang, semuanya saling emosi, begitu juga dengan Mira yang ikut emosi dan entah mengapa dia menyelesaikannya dengan menghancurkan handphone-nya sendiri ke tanah. Tapi setelah itu juga Aji masih merasa emosi dan tidak lama kemudian mulai mengancamku yang pada saat itu juga Mira melindungiku tapi aku berhasil mendingunginya balik, aku mulai merasa kesal, lalu perkelahian pun terjadi di sana dan selanjutnya persis seperti apa yang di katakan Mira sebelumnya kepada kalian". Glen.

Sina terdiam sejenak sembari meresapi terlebih dahulu perkataan Glen sebelumnya. 

"Hmm…. Begitu....". Sina mulai mengerti. "Dan lalu, mengapa kau harus menghancurkan handphone Aji kemarin? Dan juga mengapa Mira harus melakukan hal itu?". Dan Sina tidak mengerti hal itu. 

"Kemarin Aji tidak sengaja menjatuhkan handphone-ku dan beruntungnya aku sudah mengirimkan foto kunci itu kepadamu terlebih dahulu sebelum handphone-nya terjatuh ke dalam kolam ikan dekat ruang drama, aku pun mulai merasa kesal dan menghancurkan handphone dia juga. Dan soal Mira--

Seketika itu Sina mulai menyeringai. "Kau benar-benar melakukannya". Entah mengapa Sina terlihat merasa senang setelah mendengarnya. 

"Dan soal Mira, sepertinya itu hal yang wajar baginya untuk melakukan hal itu, kau pasti paham maksudku?". Lanjut Glen. 

"Hmm… Sepertinya...benar?". Balas Sina sembari masih berpikir. 

Aku baru pertama kali melihat mereka bisa dapat bekerja sama dengan baik seperti itu. Ben menganggapnya seperti itu dan ia pun tahu bahwa sebelumnya mereka tidak terlihat begitu akur. 

"Hm? Tunggu". Ben mulai berbicara. "Glen, kamu belum mengatakan kepadaku sebelumnya soal itu. Kunci? Darimana kamu bisa mendapatkan--Ah, tunggu. Aku bahkan tidak mengerti apa yang di maksud dengan kunci itu". Ben mulai merasa bingung. 

"Kau masih belum juga mengatakan soal itu kepadanya Sina". Ujar Glen. 

Pada saat itu Sina yang sedang menatap ke arah Ben pun mulai memalingkan wajahnya. "Itu sudah tidak penting lagi, benarkan Ben?". Sina terlihat sedikit kesal. 

"Kamu masih saja mengatakan hal yang seperti itu, Sina". Balas Ben yang tidak jelas bagi Glen yang terlihat mulai menatapnya dengan tajam. 

"Apakah kalian bisa menjelasakan--

Seketika itu juga muncul Mira yang mulai berjalan masuk ke dalam ruangan bersamaan kedua orang lagi di di belakangnya. "M-Maaf, sudah lama menunggu..". Ujar Mira yang sembari menatap ke arah Ben dengan wajah yang terlihat sedikit memerah. Dan Ben pun mulai memalingkan wajahnya. K-Kenapa Mira harus menatapku seperti itu? Ben mulai merasa malu dan merona. 

Pada saat itu Sina pun mulai menengok ke belakangnya dan menatap tajam ke arah seorang lelaki berjaket merah di sana. "Mesa, kenapa kamu harus mengambil tasku ke sini? Apa yang sedang kau rencanakan?". Ucapnya dengan tajam. 

Dan mesa pun mulai berjalan mendekati Sina sembari membawa tas itu yang berada di genggamanya dan memberikannya kepada pemiliknya. "Maaf, aku sudah mencurinya". Sepertinya Mesa bukanlah seorang pencuri yang profesional.

"Hm? Bibi?". Ujar Glen kepada seorang wanita muda dewasa yang masih terdiam di dekat pintu ruangan. 

"Bu Lian. Sudah beberapa kali ibu katakan padamu untuk memanggil ibu seperti itu di sekolah". Ujar Bibi.

"Ah ya, maksudku Bibi Lian..". Glen tidak mendengarkan. 

"Bu Lian". Balas Bibi Lian. "Sudahlah, itu tidak penting". Yang lalu mulai menatap ke arah Sina di dalamnya. "Sina, ingat untuk mengunci kembali pintu ruangannya setelah sudah selesai, paham?". Ucapnya yang terlihat kesal. 

"Ya, Bu Lian..… ". Balasnya. 

Setelah itu Bu Lian mulai menatap ke arah Mesa dengan tajam dan lalu seteleh itu pun mulai membalikkan badannya dan berjalan pergi. 

"Berhati-hatilah Bu Lian… ". Ujar Mesa kepadanya. 

Pada saat itu, Mira mulai berjalan ke arah tempat kursi di samping kiri Sina dan terduduk di sana, sedangkan Mesa masih berdiri di belakang Sina yang sedang terduduk di hadapannya dan secara natural mulai menyentuh kedua pundak Sina di belakangnya dan juga secara spontan Sina pun langsung menyingkirkannya. Di dalam ruangan, hanya ada empat kursi saja yang tersedia dan sepertinya Mesa lebih ingin berdiri saja di belakang Sina sembari memasukan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya. 

"Hm? Mesa? kenapa kamu tidak duduk?". Mira tidak fokus. 

"Karena tidak ada peraturan yang melarangku untuk melakukannya, bukan?". Balas Mesa. 

"Mira". Panggil Glen. "Apakah benar sebelumnya kamu sedang berada di tempat kebun sekolah pada saat itu?". Ujarnya. 

"Hm? Y-Ya, Memang kenapa?". Mira terlihat sedikit gelisah.

"Ah… ternyata benar itu kamu….". Balas Glen terdengar ganjil.

Ben pun mulai sadar setelah sudah menenangkan dirinya dan lalu mulai menatap ke arah Mesa. "Kenapa kamu ada di sini, Mesa?". Herannya. 

Mesa mulai berjalan ke arah samping kanan Sina dan lalu menatapnya. "Apakah kamu ingin menjelaskannya?". Ujarnya. 

Sina memalingkan wajahnya. "Tidak. Itu sudah tidak penting lagi". Balasnya sembari memperbaiki kacamatanya. 

Pada saat itu Mesa mulai terlihat merasa bingung setelah melihat Sina yang pada saat itu juga mulai terlihat merasa kesal sembari melirik ke arah Ben yang kurang mengerti karena sebelumnya ia sedang merasa gelisah memikirkan Mira yang pada saat ini juga sedang menatap ke arah Ben yang sedang tidak menyadarinya dan hanya Glen lah yang menyadari Mira yang sedang menatapnya dengan wajah yang terlihat memerah dan merona yang pada saat itu juga Glen mulai terlihat merasa sedikit kesal yang di sadari juga oleh Mesa yang pada saat itu mulai memandangi mereka berempat di sana. 

"Hmm... Apakah keberadaanku membuat kalian merasa terganggu?". Ujar Mesa. 

Ben menghela nafasnya. "Aku tidak bermaksud mengatakannya seperti itu, Mesa. Lalu, mengapa kamu berada di sini?". Ben mulai melemparkan pertanyaannya itu kepada Mesa.

Dan lalu Mesa pun mulai menghela nafasnya juga. "Yah… sebenarnya. Aku sudah di anggap sebagai penjahatnya oleh Sina, tentang kasus yang sedang kalian pecahkan itu". Balasnya sembari menatap ke arah Sina. 

Ben pun mulai memandang ke arah Sina yang masih saja terdiam dan setelah itu mulai mengarahkannya kepada Glen di sampingnya. Tetapi entah mengapa Glen pun hanya terdiam dan tidak merespon dan Ben pun mencoba untuk menatap ke arah Mira yang pada saat itu langsung memalingkan wajahnya dan juga setelah ikut terdiam. 

"Sebenarnya mereka kenapa, Ben?". Ujar Mesa, tetapi Ben tidak mendengarnya dan mulai mengikuti mereka yang terdiam dengan wajahnya yang terlihat sedikit memerah. "Glen?". Sahut Mesa.

Glen yang pada saat itu sedang memandang ke arah Mira pun mulai tersadar. "Hm? Ada apa?". Sadarnya. 

"Aku mempercayakan kepadamu untuk mengeluarkan kita semua dari situasi yang terasa canggung ini". Ujar Mesa kepadanya. 

Setelah itu Glen pun mulai memandang satu persatu ke arah mereka semua dan lalu mengetuk mejanya beberapa kali yang lalu mereka pun mulai memperhatikannya. "Lalu, setelah ini apa lagi?". Glen mulai tidak fokus lagi. Dan Mesa pun terlihat kesal di buatnya.

"Mesa". Tiba-tiba Sina mulai berbicara. "Semuanya sudah selesai dan sudah tidak perlu lagi untuk membicarakannya". Sina masih tidak jelas. 

Mesa pun mulai menyentuh kepalanya dan lalu mengelusnya. "Aku tidak terlalu mengerti dengan ucapanmu, tapi intinya berarti saat ini aku sudah bebas?". Ucapnya sembari menyeringai.

"Tidak". Balasnya dengan singkat dan lalu mulai menyingkirkan tangannya dari atas kepalanya.

Mesa menghela nafasnya kembali dan lalu menatap ke arah Glen. "Glen, apakah kamu masih menyimpan kunci milikku yang kemarin. Aku membutuhkannya". Ujarnya. 

"Hm? Kunci?". Ben bingung. 

"Ah, ya benar". Glen pun mulai meraba saku celananya dan lalu mengambil sebuah kunci yang sama persis seperti yang berada di dalam foto yang pernah Ben lihat di dalam pesan. "Semuanya sudah selesai". Ujar Glen menatap ke arah Sina sembari memberikan kunci itu kepada Mesa. 

"Hmm…. Sebenarnya kunci apa itu Mesa?". Ben masih terlihat bingung. 

Mesa pun memasukan kunci itu ke dalam saku celananya. "Kunci rumah". Dan setelah itu mulai menyentuh kepala Sina kembali. "Dan beruntungnya kemarin, aku masih mempunyai kunci cadangan di rumah.. ". Ucapnya sembari tersenyum ke arah Sina yang hanya terdiam. 

"Hm? Kunci rumah?". Mira mulai sadar dan berbicara yang lalu setelah itu mulai menatap ke arah Sina di sampingnya. "Kalau tidak salah di dalam pesan, kamu mengatakan kalu kunci itu merupakan kunci ruang drama, apa itu salah?".

"Mmm….". Balas Sina yang mulai terlihat malu. 

Mesa mulai menurunkan tangannya dan lalu menghela nafasnya kembali lagi. "Glen, apakah kamu bisa meringkasnya?". Ujarnya.

Glen merespon dan lalu menatap ke arah Mira. "Jadi intinya adalah saat aku sedang memperhatikan ke dalam ruang drama, entah mengapa aku mulai merasa curiga dengan Mesa yang selalu memperhatikan kamu, tidak lama setelah itu juga Mesa pun mulai menjatuhkan sebuah kunci pada saat ia sedang berjalan terburu-buru ke arah keluar mengikutimu dan aku mendekati kunci itu yang terjatuh, dan entah mengapa juga aku mulai ingin mengambil foto kunci itu dan mengirimnya kepada Sina". Lalu mulai menatap ke arah Sina. "Aku tidak tahu apa maksudnya dengan kunci yang kamu anggap sebagai kunci ruang drama itu?". Glen selesai. 

"Apa maksudnya dengan 'Entah mengapa' mu itu, Glen?". Mesa terlihat merasa aneh. Dan Glen hanya memalingkan wajahnya.

"Dan lalu apa maksudmu dengan memperhatikan Mira, Mesa?". Sina mulai berbicara.

Mesa menyeringai. "Kamu--

"Bukan apa yang kamu maksud". Sina langsung membalasnya. 

"Ah… sebenarnya". Ujar Mira. "Pada saat itu Mesa mulai merasa aneh kepadaku. Mesa langsung mengatakannya padaku pada saat itu juga setelah selasai latihan". Mira meyakinkan. 

"Aku mengkhawatirkan-mu itu maksudku". Ujar Mesa. 

Sina pun mulai menatap ke arah Mesa. "Mengkhawatirkannya?". Ucapnya yang terlihat tidak yakin. Dan Mesa pun hanya menyeringai kepadanya.

"Lalu soal kunci itu?". Ben membahasnya. 

Mesa merespon. "Sina menganggap kalau kunci itu merupakan sebuah bukti dan ia ingin membuktikannya dengan melihat sidik jari yang berada di kunci itu". Mesa pun mulai menahan tawanya dan sedangkan Sina hanya terdiam malu. "A-Apa itu benar?". Lanjutnya setelah memandang ke arah Sina. Dan Sina pun mulai mengangkat wajahnya dan menatap tajam ke arah Mesa.

"Diamlah.". Kesalnya. 

Mesa pun mulai menenangkan dirinya. "Baiklah, kalau begitu aku akan pergi membebaskan diri". Ucapnya dengan datar dan Sina pun menahannya untuk berjalan pergi.

"Aku belum menjelaskan pembicaraanku dengan Pak Mando". Akhirnya Sina mulai membahasnya. 

"Hm? Pak Mando?". Mira terlihat sedikit terkejut. 

Seketika itu Ben pun mulai berdiri dari kursinya. "Intinya adalah kasus itu sudah selesai, benar Sina?".

"Ya". Sina terlihat merasa tidak senang dengan itu. 

"Selesai?". Ujar Glen.

"Ya". Sina membalasnya. 

Mira sedikit terkejut juga dengan hal itu. "Hm? Kalau begitu--

"Ya".

Tanpa mereka sadari, Mesa pun mulai berjalan pergi meninggalkan ruangan. 

"Hey, Mesa... ". Sina pun berdiri dan mulai mengikutinya karena Mesa keluar sembari sedang membawa tasnya.

Dan Glen pun tanpa bicara lebih lanjut lagi mulai berdiri dan berjalan mendekati Mira sembari memberikan sekumpulan uang kertas merah kepadanya. 

Mira pun mulai terlihat heran. "Bukankah uang ini-- 

"Aku berubah pikiran. Aku seharusnya tidak memakai uangmu untuk membayar hutangku". Ujarnya yang lalu berjalan keluar begitu saja melewati Sina yang pada saat itu mulai berhenti di dekat pintu ruangan dan sedangkan Mesa sudah berjalan keluar.

Pada saat itu Ben pun mulai ingin berjalan keluar tetapi langsung berhenti setelah melihat Sina yang sedang menatapnya. "Sina?". Herannya. 

Lalu Sina pun mulai menatap ke arah Mira yang pada saat itu juga mulai sedang berdiri. "Mira". Ucapnya sedikit getir. "Apakah kamu benar-benar akan menyatakannya sekarang kepada Ben?". 

Pada saat itu Mira hanya menundukkan kepalanya dengan memasang wajah yang terlihat merona. Dan Ben pun yang mendengarnya mulai sedikit memahaminya juga dan lalu memalingkan wajahnya.

Sina mulai menghela nafasnya dan lalu menatap ke arah Ben. "Kamu sudah mendapatkannya, Ben". Ucapnya sembari tersenyum sedikit getir. "Aku harap aku mempunyai waktu yang cukup lama untuk selalu bersamamu". Sina pun mulai berbalik arah dan berjalan pergi.

Suasana di dalam ruangan itu pun mulai berubah menjadi hening dan canggung, Ben dapat merasakannya setelah di tinggalkan berduaan bersama Mira di sana. 

Sebenarnya... apa maksud dari perkataan Sina sebelumnya? Ben tidak memahaminya.

"Ben". Seketika itu Mira pun mulai berbalik arah dan menatap ke arah wajah Ben di hadapannya dengan wajah yang mulai terlihat memerah, begitu juga dengan Ben. "A-Aku…. Ingin mendengar jawabanmu sekarang". Ucapnya sembari terus menatapnya.

"Mira". Ben mulai berjalan mendekatinya dan Mira mulai menundukkan kepalanya. "Sebelum itu, apakah masih ada yang ingin kamu katakan?".

Mira hanya terdiam malu. 

"Sebenarnya aku… ". Lanjut Ben. 

Pada saat itu Mira langsung mengangkat wajahnya dan lalu menatap wajah Ben. 

"A-Aku… ingin tahu mengapa kamu memiliki dua handphone….". Ben mulai tidak fokus setelah melihat tingkah Mira tadi yang tiba-tiba saja langsung mengangkat wajahnya. Wajahnya terlalu dekat. Pikirnya yang malu. 

Mira terdiam sejenak dan lalu mencebil. "Aku menggunakannya yang satu untuk kepentingan tugas dan yang satunya lagi untuk menonton anime. Sekarang katakanlah". Mira mulai semakin mendekati wajahnya dan sedangkan Ben mulai berjalan mundur sedikit menjauhinya dengan memalingkan wajahnya. 

"A-Aku harus mengatakan apa?". Gelisahnya. 

"E-Entahlah….. Terserah kamu saja… ".

Pada saat itu Ben terdiam sejenak menarik nafas dan menghembuskannya yang lalu mulai menenangkan dirinya. "A-Aku ingin mendengarkanmu terlebih dahulu, karena aku masih belum yakin dengan apa yang sudah kamu k-katakan sebelumnya...". Ben tidak berhasil menenangkan dirinya.

Mira menundukkan kepalanya terdiam sejenak menenangkan dirinya dan setelah itu pun masih terdiam tidak mengatakan apapun. 

A-Apa yang harus ku lakukan sekarang? Mira hanya terdiam saja. Apakah harus aku yang mulai bergerak terlebih dahulu?. Ben masih belum yakin untuk bergerak secara jantan. Cinta adalah… Ben mulai mengingat sesuatu. 

"Mira--

"Ben--

Mereka berdua mulai terikat bersama. Pada saat itu Mira terlihat seperti sedang ingin mengatakan sesuatu tetapi pada saat itu juga Ben merasa tidak ingin membiarkannya dan langsung memegang kedua pundak Mira di hadapannya.

"Mira". Wajah Ben mulai memerah begitu juga dengan Mira. "Katakan…. A-Apa yang sudah sebelumnya kamu katakan pada-

"Aku mencintaimu, Ben".

Setelah mendengar itu, Ben pun langsung terdiam tidak mengatakan apapun.

Dan setelah itu juga Mira pun mulai menyentuh wajah Ben dengan kedua tangannya sembari mendekatkan wajahnya. "Apa aku harus membuktikannya?". Mira sedikit menutup kedua matanya yang bibirnya pun sudah mulai hampir saling mendekati. 

Tetapi pada saat itu juga Ben mulai sedikit mundur dan langsung saling menempelkan dahinya dengan Mira. "Aku tidak yakin kalau itu akan membuktikannya". Ben menatap ke arahnya. "Apakah dengan begitu, semuanya akan berubah menjadi arti sebuah c-ci…. ". Sungguh memalukan baginya untuk mengatakannya. 

"Aku tidak tahu itu… ". Balas Mira. "Tapi yang aku tahu adalah aku hanya ingin bersamamu dan melakukan apa yang aku inginkan, apapun itu". Wajahnya terlihat memelas. 

Dan Ben pun tanpa sadar mulai langsung mendekatkan wajahnya dengan kedua bibir mereka yang sudah saling bersentuhan. 

***

Matahari terbenam dan mulai menyembunyikan sinar cahaya senja dan menggantinya dengan sebuah selimut kegelapan. Dani pada saat itu sedang berdiri terdiam sembari memperhatikan ke arah luar jendela ruangan yang di sana ia melihat cahaya lampu yang mulai menyala di setiap sudut halaman luar depan rumah yang cukup besar itu. 

Suasana di dalam ruangan yang ia tempati itu begitu sunyi dan tampak terlihat sedikit gelap, hanya ada sedikit cahaya redup saja yang menyinari ruangan itu. Harapan yang di inginkan…. Pikir Dani yang mulai melepaskan jaket coklatnya dan menaruhnya di atas meja dekat jendela. 

Tidak lama setelah itu, terdengar suara pintu kamar yang terbuka di dalam ruangan itu. Ah… ini dia harapan yang ku inginkan…. Dani menengok ke arah belakang dan lalu mulai membalikkan badan dan menyandarkannya ke belakang dengan kedua tangan yang sudah di letakkan di dekat jendela. Di sana ia melihat seorang pelayan wanita berambut panjang yang terkucir ke belakang mulai keluar dari pintu kamar yang sudah di bukanya itu. 

"Bu Sus. Bagaimana dengan Ema di sana?". Ucapnya yang sedikit di rendahkan suaranya. 

Pelayanan wanita itu mulai berjalan mendekatinya. "Seperti biasa, mengurung diri dan menyuruh saya untuk meninggalkannya sendirian". Balasnya yang lalu mulai berjalan menuju ke arah pintu keluar ruangan itu. "Sepertinya kita harus berbicara di luar saja dan juga berkumpul dengan semua pelayan-pelayan yang lainnya". Lanjutnya. 

Dani pun mulai berjalan mengikutinya di belakang dan mengambil jaket yang berada di atas meja sebelumnya. "Saya sudah mengatakan kepada ibu sebelumnya. Hanya kita berdua saja, tidak dengan semua pelayan yang lainnya". Ujarnya sedikit tegas. 

Lalu Bu Sus pun mulai berhenti berjalan. "Kenapa begitu? Bukankah anda sudah mempercayai saya?". Balasnya yang lalu menengok ke belakang dan menatap ke arah Dani. "Kesepakatan akan tetap berjalan apabila kita sudah saling mempercayai, bukan?". Wajahnya terlihat getir. 

Dani pun mulai menyentuh pundak Bu Sus di belakangnya. "Ya, hanya untuk ibu. Tidak dengan semua pelayan yang lainnya". Ucapnya dengan jelas. 

Bu Sus hanya terdiam yang setelah itu mulai berjalan kembali ke arah pintu di hadapannya dan membukanya yang lalu keluar, begitu juga dengan Dani di belakangnya. 

Mereka berdua sudah berada di halaman luar depan rumah, yang di sana sudah terlihat banyak sekali tanaman-tanaman di sekitarnya dan juga kursi taman di depannya yang sedang mereka tuju. Setelah sampai, Bu Sus pun mulai terduduk di sana yang di ikuti oleh Dani di samping kirinya.

Dani mulai menyandarkan kepalanya di belakang dan melipat kedua tangannya di depan. "Mira". Ucapnya. "Apakah dia masih tinggal bersama mereka di sana?". Dani merasa sedikit khawatir dengannya. 

"Ya". Balas Bu Sus yang menatap ke arah depan. "Tapi tentu saja pada akhirnya Mira akan kembali lagi ke rumah ini. Apa itu benar Pak Dani?".

"Ya, tentu saja. Jika itu pun Si Kakak tertua dan juga Bu Lian benar-benar tidak mendapatkan dokumen-dokumen itu kembali".

"Ya, dan inilah yang akan kita bicarakan sekarang". Bu Sus mulai menatap ke arah bawah. "Bagaimana? Apakah semuanya berjalan dengan lancar?.

Seketika itu Dani mulai menyeringai dengan getir. "Saya tidak menyangka kalau ibu masih belum memahaminya juga.. ". Ujarnya. 

Bu Sus terlihat sedikit kesal dan mulai menatap ke arah Dani. "Bagaimana? Apakah semuanya berjalan dengan lancar?". Bu Sus mengulanginya lagi.

Dani menghela nafasnya. "Pak Rudi sudah mendapatkan nomor handphone Bu Kira. Dan menurut ibu, bagaimana Pak Rudi bisa mendapatkannya?".

"Tentu saja itu karena Pak Rudi yang kita bicarakan. Bahkan di saat kasus pembunuhan lima tahun yang lalu pun, Pak Rudi dapat langsung mengetahui siapa pelakunya".

"Lebih tepatnya dia terpancing dengan itu, apa itu benar?".

Bu Sus hanya terdiam sembari memperlihatkan tatapan getirnya. 

Dani pun melanjutkannya. "Sepertinya saya harus menjelaskannya". Dani mulai melipatkan kedua lengannya di depan dada. "Sama halnya dengan Pak Rudi, Bu Kira pun mulai terpancing untuk bertindak karena pencurian laptop itu. Kita sudah tahu bahwa Bu Kira pasti tidak akan membiarkan kasus itu tersebar begitu saja dan yang terpenting baginya juga adalah dia tidak ingin menyerahkan warisan itu di berikan kepada meraka melainkan di berikan kepada anaknya sendiri, yang tentu saja dia akan memilih Ema sebagai anak pertamanya".

"Tunggu, bukankah Bu Kira hanya tinggal langsung saja menandatangani dokumen itu dan menyerahkannya kepada Ema? Dan setelah itu semuanya akan segera selesai bukan?".

"Ya, tentu saja. Dan ibu tidak mengerti apa yang akan terjadi setelahnya Bu Kira menandatangani dokumen itu. Apakah pada saat itu Bu Lian akan membiarkannya begitu saja?".

"Ya, Bu Lian tidak akan membiarkannya begitu saja. Tapi tindakan apa lagi yang bisa Bu Lian lakukan setelah itu? Bukankah semuanya akan segera selesai apabila Bu Kira sudah menandatanganinya?".

Dani mulai menatap ke arah Bu Sus di sampingnya. "Menurut Ibu, apa alasan saya berencana untuk mencuri laptop itu? Hanya untuk sebagai pancingan agar Bu Kira menandatanganinya?". Ujarnya dengan tajam. 

Dan Bu Sus pun mulai menatapnya dengan tajam. "Bukankah memang harus sepeti itu? Bukankah itu rencanannya?". Bu Sus terlihat sedikit marah kepadanya. 

Dani memalingkan wajahnya. "Ya. Tapi bagaimana dengan Bu Lian? Pada akhirnya dia akan menyebarkan kasus itu meskipun resikonya akan berdampak kepada reputasi keluarganya sendiri".

Pada saat itu Bu Sus terdiam sejenak sembari sedang memikirkan sesuatu. "Tunggu. Bukankah laptop itu--

"Bukan Mesa yang mencurinya tapi justru saya yang menyuruh Bu Lian untuk mencuri--Tidak lebih tepatnya dia hanya tinggal untuk menyembunyikannya saja sebenarnya". Ujar Dani dengan keyakinannya. 

Bu Sus tampak terlihat marah. "Ini tidak sesuai dengan kesepakatan--

"Kesepakatan ibu yang paling utama adalah agar anak-anak tetap aman--

"Ya benar aman dari masalah yang sudah anda perbuat--

"--Dan ibu setuju dengan cara apapun yang saya lakukan agar--

"--Dan apa yang anda lakukan itu hanyalah mengikuti perasaan dendam anda--

"Berhati-hatilah dengan ucapan, Bu Sus. Saya sudah baik untuk menawarkan kesepakatan apa yang sesuai ibu inginkan". Dani mengarahkan tatapan tajamnya. 

Bu Sus mulai tampak terlihat sedikit gelisah. "Saya hanya ingin memastikan suatu hal kepada bapak. Apakah Ema dan juga Mira benar-benar akan baik-baik saja?". 

Dani menatap ke arah bawah menenangkan dirinya dan mulai memperlihatkan tatapan yang getir. "Ya, tentu saja. Sejak dulu mereka sudah saya anggap seperti anak-anakku sendiri. Mereka merupakan korban dari kesalahan orang tua--Ah, Tidak". Dani mulai merasa sedikit marah dan juga getirnya. "Hanya Pak Sandi lah yang harus disalahkan dari semua permasalahan ini". Ucapnya yang mulai mengingat-ingat kembali dengan apa yang telah orang itu perbuat.

Bu Sus pun mulai terlihat kembali sedikit marah. "Andalah yang harus di salahkan dari semua permasalahan ini, Pak Dani. Jika saja saya mempunyai bukti yang cukup kuat untuk mengungkapkan semua kejahatan anda, saya benar-benar--

Dani mulai menatap kembali ke arah Bu Sus dengan tajam. "Dan ibu pun bahkan sudah saya beri sebuah bukti yang kuat dan jelas tentang perselingkuhan orang itu dengan adik perempuan saya dan juga kematian adik perempuan saya yang di sebabkan olehnya. Setelah itu apa yang ibu lakukan? Ibu hanya diam dan mengatakan itu semua hanyalah sebuah kecelakaan yang biasa dalam proses--

"Dalam proses kelahiran itu memang sudah biasa, Pak Dani--

"Ibu sudah dengar sendiri dengan apa yang adik saya katakan sebelum itu, bukan? Dia telah di siksa olehnya, di perlakukan tidak baik olehnya karena sudah memberitahukan semua tentang hubungan mereka selama ini--

"C-Cukup, Pak Dani". Bu Sus terlihat merasa gelisah. 

"--Dan setelah itu apa saya harus diam saja? Dan membiarkan orang itu mengurusinya dengan menutupi semuanya? Demi melindungi reputasi keluarganya dan membiarkan mereka hidup dengan bahagia seterusnya? Sedangkan saya harus menahan diri dan juga menjaga rahasia tentang anak haramnya itu? Dan setelah sudah beberapa tahun saya bertahan bekerja untuk keluarga mereka mengurus anak-anaknya dan pada akhirnya saya harus di keluarkan juga setelah seluruh keluarganya sudah mengetahui--

Dani mulai terdiam. Dan tidak lama setelah itu, ia mulai menyandarkan badannya ke belakang dan menenangkan dirinya.

Bu Sus pun mulai menundukkan kepalanya dengan tatapan getirnya. "Saya mengerti, Pak Dani. Tapi tetap saja yang sudah bapak lakukan itu salah--

"Tidak, ibu masih belum mengerti juga". Ucap Dani yang masih berusaha untuk tenang. "Dulu saya benar-benar sudah sangat dekat dengan--Pak Sandi, terlepas dari sifat pemarahnya itu saya masih tetap menghormatinya. Dan juga dengan usaha dan kerja kerasnya pun sudah memberikan sebuah kesempatan bagi saya untuk bekerja bersamanya, tapi tetap saja pada akhirnya saya sudah tidak tahan lagi dengan apa yang telah di perbuatnya". Getirnya.

Suasana mulai terasa sedikit hening, karena mereka berdua hanya saling terdiam dan tidak mengatakan apapun setelah itu. 

"Pak Dani". Bu Sus mulai berbicara dengan getir. "Setelah sudah beberapa tahun lamanya dengan apa yang sudah bapak perbuat sebelumnya kepada keluarga ini, apakah bapak pernah merasakan penyesalan atau merasa bersalah karena hal itu? Meskipun hanya sekali?".

Dani melirik ke arahnya dan setelah itu mulai menatap ke arah depan dengan wajah yang terlihat tenang. "Hanya sekali. Tapi setelah empat tahun setelah kematian kedua orang tuanya, setelah itu juga saya melihat Pak Sandi yang masih menjalani kehidupan bahagia dengan keluarganya. Dan sedangkan saya yang telah berhenti bekerja bersamanya pun mulai mendapatkan sebuah 'Karma' yang menyusahkan saya untuk bekerja pada saa itu. Dan setelah itu juga, ibu tahu apa yang sudah saya perbuat kepadanya". Dani mulai menatap ke arah Bu Sus di sampingnya. "Apa yang sebelumnya ibu maksud dengan 'Dendam' itu memang benar. Tapi saya lebih menyukai kalimat yang saya sebut sebagai, Karma datang sebagai pengingat untuk karma yang lain, paham?". Ucapnya yang terdengar sedikit tajam kepada Bu Sus yang pada saat itu hanya terdiam. Dan setelah itu juga Dani mulai melanjutkannya. "Bu Sus. Seharusnya ibu merasa bersyukur karena saya tidak melakukan hal yang sama kepada ibu. Bagaimana? Apakah ibu masih mempunyai pertanyaan?".

Pada saat itu Bu Sus masih terdiam menundukkan kepalanya dengan wajah yang terlihat sedikit ketakutan dan juga gelisah. 

Sudah ku duga, semua orang itu memang sama saja….. Pikirnya yang getir. 

Dani bangkit dan berdiri yang lalu memakai jaketnya kembali karena mulai merasakan angin dingin malam yang merasuki tubuhnya. "Terkadang manusia itu butuh untuk bertindak sesuai dengan perasaannya. Setelah sekian lama saya bekerja bersama Pak Sandi, saya sudah mempelajarinya dengan baik darinya". Setelah itu ia mulai menatap ke arah Bu Sus yang masih terduduk di sebelahnya. "Sebagai pelayan yang sudah sekian lama bekerja di sini, Ibu pun sudah sangat terikat perasaan dengan keluarga Pak Sandi, yang sehingga ibu mulai bertindak secara spontan dan sesuai dengan perasaan ibu. Karena sudah mencintai keluarga ini, ibu pun mulai membenci dengan seseorang yang membenci keluarga Pak Sandi. Itulah alasan ibu membantu rencana saya, bukan?".

Pada saat itu Bu Sus mulai memegang kepalanya dengan tatapan yang terlihat kesal dan juga getir. "Katakan Pak Dani, kenapa semuanya harus menjadi seperti ini? Kenapa saya bisa menjadi seperti ini? Saya--

"Ah…. Begitu. Ternyata ibu masih belum memahaminya juga". Dani mendekati Bu Sus yang sedang terduduk lalu menyentuh pundaknya. "Itu tidak penting bagi saya, yang terpenting sekarang bagi saya, dan juga ibu adalah untuk menunggu kepastian kepada siapa Bu Kira akan menyerahkan warisan itu". Ujarnya yang merasakan sebuah keyakinan.

Bu Sus mengangkat wajahnya dan menatap Dani di hadapannya. "Lalu bagaimana dengan Bu Lian? Bukankah laptop itu masih berada dengannya?".

"Sebelumnya. Tapi sekarang, laptop itu sudah berada di tangan Mesa". Dani mulai menurunkan tangannya dari atas pundak Bu Sus. "Saya sudah menyuruh Bu Lian untuk memberikan laptop itu kepadanya. Untuk yang ini, apakah ibu sudah mulai memahaminya?".

Bu Sus terdiam sejenak sembari sedang memikirkan sesuatu. "Itu berarti…. ".

"Ya". Dani menganggap Bu Sus sudah memahaminya setelah melihat ekspresi wajahnya yang penuh dengan harapan. "Bu Sus. Kembalilah bekerja sekarang dan jagalah Ema dengan baik, saya akan segera pulang ke rumah. Mesa pasti sudah menunggu saya di sana". Tanpa ada pembicaraan lebih lanjut lagi, Dani pun mulai berjalan ke arah pintu gerbang luar rumah dan sedangkan Bu Sus pun mulai berdiri dan menundukkan kepalanya di belakang. 

"S-Selamat malam, Pak Dani.. ". Bu Sus mencoba untuk bersikap layaknya seorang pelayan. Dan setelah itu mulai berjalan masuk ke dalam rumah. 

Pada saat itu Dani sudah sampai di dekat pintu gerbang luar rumah dan lalu mulai berjalan keluar gerbang ketika sudah di bukakan oleh seorang satpam di sana. Dan seketika itu juga, Dani pun mulai merasa sedikit gelisah setelah tiba-tiba saja di depannya, di seberang jalan depan rumah itu ia melihat sebuah mobil polisi. Dan sembari menenangkan dirinya ia pun mulai berjalan mendekatinya dan menyapa orang yang berada di dalamnya. "Selamat malam, Pak Mando". Lalu mulai menatap ke arah seseorang yang berada di samping kanannya. "Pak Neur". Ujarnya sembari menundukkan kepalanya. 

"Pak Dani". Balas Pak Mando. "Bagaimana dengan Ema di sana?". Lanjutnya yang terlihat khawatir. 

"Seperti biasanya dan entahlah apakah itu di sebut sebagai baik-baik saja…". Jawabnya. 

"Jika bapak berkata demikian, sepertinya tidak ada yang masalah". Pak Mando terlihat senang mendengarnya. 

"Hmm… Lalu, dimana Pak Rudi? Apakah sekarang bapak yang menggantinya--

"Semuanya sudah selesai". Pak Mando memotong. "Kira sudah menandatanganinya dan menyerahkan semuanya kepada Ema danan sekarang, semuanya sesuai dengan keinginannya. Mira sudah di perbolehkan kembali untuk tinggal di rumah ini dan Kira akan tetap tinggal bersama saya". Ujarnya yang getir. 

Ah…. Ternyata begitu. Dani mulai memahaminya. Dan setelah itu pun ia mulai memasuki tangannya ke dalam jendela mobil itu yang terbukan dan menepuk pundak Pak Mando. "Sepertinya bapak benar-benar menyayangi anak-anaknya. Tapi sayangnya, semuanya tidak sesuai dengan harapan bapak yang sehingga mereka tidak bisa untuk tinggal bersama bapak". Ujarnya. 

Pak Mando meliriknya yang lalu mulai menatap ke arah depan. "Selama Kira merasa bahagia, saya pun akan dengan senang menuruti perkataannya. Dan anda pun sudah tahu, bahwa kondisinya saat ini yang masih juga merasa trauma dengan kejadian sebelumnya". Getirnya.

Dani pun mencoba untuk memasang wajah yang terlihat sedikit getirnya. "Ya, benar. Tapi bukankah sekarang semua tuduhan Bu Kira sampai saat ini sudah di hilangkan oleh para kepolisian? Setidaknya itu bisa menjadi sebuah kabar yang baik bagi bapak". Dani mulai mencoba menenangkannya. 

Pak Mando tersenyum sedikit getir. "Ya, benar. Dan saya pun mulai yakin bahwa tindakan Kira itu merupakan sesuatu hal yang benar". Setelah itu dia pun mulai menundukkan kepalanya. "Jika saja saya membiarkan dokumen-dokumen itu di serahkan kepada Kakak tertuanya, semuanya pasti akan menjadi lebih buruk lagi. Terutama kepada kondisi Kira nanti".

Dani mulai menarik tangannya. "Itulah kabar buruknya. Dan inilah kabar baiknya: semuanya sudah berjalan lebih baik". Ucapnya dengan jelas dan Pak Mando mulai tersenyum. 

Pak Neur pun tiba-tiba mulai menyalakan mesin mobilnya. "Saya pun mulai bersyukur, karena sudah mempercayai Pak Rudi pada saat itj". Pak Neur pun mulai menatap ke arah Pak Mando di sampingnya "Sepertinya bapak sudah baikan. Sudah siap untuk berangkat?".

Pak Mando pun memperhatikan sedikit lebih lama lagi ke arah rumah yang berada di depannya itu. "Ya". Balasnya yang lalu menatap ke arah Dani. "Bapak sudah bekerja dengan baik. dan tetaplah menjaga Ema dan Mira dengan baik juga". Ucapnya kepada Dani. 

"Ya, dengan senang hati". Balasnya dengan senyum sedikit menyeringai. 

Lalu mobil polisi itu pun mulai berjalan pergi meninggalkannya. 

Tidak lama setelah itu, Dani pun mulai berjalan pergi menuju tempat ojek pangkalan yang berada cukup dekat jaraknya dengan rumah yang ia sudah tinggalkan itu. Dan di sini pun aku sudah beruntung... Pikirnya yang sudah mulai duduk di atas jok belakang motor di depannya bersama tukang ojek di depannya dan mereka pun mulai berangkat pergi. 

Dani sudah di dekat rumahnya, memberikan uang kepada tukang ojek dan lalu mulai berjalan masuk ke dalam rumahnya yang terlihat kecil sederhana. Di dalam sana sudah ada seorang lelaki yang sedang terduduk di atas sofa sembari memperhatikan sebuah laptop di hadapan atas mejanya 

"Mesa, kenapa laptop itu masih berada di sini?". Dani sedikit terkejut dan merasa heran. 

"Dendam". Balasnya. "Aku sudah tidak peduli lagi dengan rencanamu, aku hanya ingin sebuah keadilan untuk ibuku. Sudah sepantasnya keluarga itu mendapatkan apa yang seharusnya mereka layak dapatkan". Mesa mulai tersenyum getir sembari memperhatikan layar laptop itu di hadapannya. 

Dani mulai berjalan mendekatinya sembari mulai merasa gelisah. "A-Apa maksudmu--

"Di laptop ini, aku sudah menyebarkan semua kasus yang pernah terjadi di dalam keluarga mereka... ". Mesa terdiam sejenak dan mulai menatap ke arah Dani di depannya yang sedang berdiri merasa gelisah. "Keluargaku yang sebenarnya". Ucapnya dengan jelas. "Aku sudah menyebarkan semua kasus itu di forum web sekolah dan juga media sosial".

Dani mulai merasa marah. "Mesa, bukankah bapak sudah bilang untuk tetap tenang dan tidak melakukan tindakan apapun lagi setelah ini?". Ujarnya dengan tegas. 

Mesa pun mulai menyeringai kepadanya. "Bagaimana? Apakah sekarang sudah mulai merasakan kehidupan yang penuh dengan sandiwara ini?". Mesa menatap kembali ke layar laptop itu. "Semuanya sudah selesai dan juga semuanya sudah terlambat untukmu". Mesa menutup laptopnya dan lalu mulai berdiri. "Sekarang kembalikan laptop ini sendiri. Aku sudah tidak mempunyai hubungan apapun lagi dengan ini".

"Mengapa kau harus menjadi seperti ini, Mesa". Dani menatapnya dengan tajam. 

Mesa menghela nafasnya dan menenangkan dirinya. "Aku pun mempunyai peryataan yang sama seperti itu untukmu, Pak Dani". Mesa pun mulai berjalan melewatinya untuk masuk ke dalam kamarnya. "Dan sekarang kembalilah bekerja lagi dengan baik. Dan juga kali ini jangan melibatkanku lagi dengan masalahmu nanti". Mesa pun masuk ke dalam kamarnya 

Sedangkan Dani pada saat itu masih terdiam menundukkan kepala dengan memperlihatkan tatapan getirnya. Ternyata begitu… . Pada akhirnya aku tidak bisa memperbaiki lagi semua yang telah aku perbuat. Dani mulai berjalan menuju kursi sofa dan lalu terduduk di sana sembari mulai membuka laptop itu kembali. "Semuanya sudah tersebar… ". Ucapnya yang tersenyum dengan getir setelah melihat ke dalam layarnya. 

Dani pun mulai menyandarkan kepalanya ke belakang. Semua yang sudah kulakukan ini hanyalah untuk mereka. Anak-anaknya. Setelah itu Dani pun mulai memikirkan sesuatu tindakan yang satu-satunya ia harus lakukan setelah ini. Ya, benar. Aku harus melakukannya…. Dani mulai menarik nafas panjangnya dan lalu menghembuskannya dengan perlahan. Wajahnya mulai terlihat siap untuk melakukannya. Di saat itu ia mulai mengambil handphone dalam saku celananya dan dengan segera membuka nomor kontak yang bertuliskan sebuah nama, Pak Rudi di dalamnya yang lalu mulai meneleponnya. Hmm… kalau semuanya akan menjadi seperti ini, kenapa aku tidak melakukannya dari awal saja?

Karena Dani tidak akan pernah tahu dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Layaknya misteri dunia yang tidak akan pernah terpecahklan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun