Stasiun Kepulangan
Gerbong-gerbong kereta meliuk-liuk seirama angin yang terhunus menuju langit. Â Pada peron-peron yang dingin, sefigur makhluk immortal membawa sebuah kabar yang akan tertelusur nantinya ke seluruh daratan bumi, dinginnya samudra, maupun tangguhnya langit yang sering terimbas petir. Seseorang telah tiada. Tanah merah gembur itulah buktinya. Tangis kering itulah saksinya. Ribuan doa dan kata tabah sering kali membuat penuh telinga. Sedihnya hari membuat kegamangan dan muram begitu meraja. Â Lewat gelas-gelas kopi yang telah raib. Tandas. Seseorang berduka lebih dari apa yang orang lain kira.
Bendera kuning dikibarkan di depan rumah. Ada yang tiada, tapi tak mengapa. Kini dirinya telah ikhlas dan tabah.
Tiga, dua, satu, selamat berbincang dengan isi hati Kisan Aswangga!
Kisan pikir: duka nestapa pasti pernah menghampiri manusia, entah entitasnya yang datang secara langsung maupun yang datang dengan cara yang paling tak disadari. Hadirnya selalu beriring dengan suka cita, entah mereka datang silih berganti dalam kurun waktu yang sangat dekat, pun bisa jadi mereka datang sebagai dua hal terpisah dengan jeda masa yang lumayan lama, berjarak hingga mencipta banyak ruang yang dengan mudahnya dirasuki kenangan. Mereka datang sebagai pembuka dan penutup.
Ada dua hal yang bisa saja terjadi. Pertama, lara datang sebagai pembuka dan suka datang sebagai penutup. Mereka yang mendapat nasib seperti ini, biasanya akan lebih mengerti arti kata 'juang' dalam hidup. Tapi karena filosofi hidup ini mirip dengan roda yang berputar, tentu manusia juga akan mengalami hal lain yang tak dapat dihindari. Ada hal lain yang pada realitanya sama-sama pahit macam hal pertama. Bagian keduanya adalah, di mana suka datang sebagai pembuka dan lara ditempatkan sebagai penutup rasa, mencipta rasa pedih tak terbatas karena jutaan kenangan terlalu banyak  terukir diantara dinding rasa. Terkoyak lalu kemudian membuat sang empu hati terpuruk.
Intinya adalah, duka dan suka merupakan satu hal yang di mana hadirnya mereka harus tetap seimbang. Jatuh-bangun-bangkit-jatuh-bangun-bangkit. Hadirnya ada untuk mengajarkan manusia tentang bagaimana rasanya sakit, juga, mengajari manusia tentang bagaimana rasanya bahagia.
Apa-apa yang terjadi di dunia ini, di semesta ini diluar kehendak manusia, semua ini tercipta dan ada karena sang Mahakuasa.
Demikian dengan rasa yang menginginkannya tetap ada, tetap bertahan, enggan melepas, enggan memisah, semua itu sudah menjadi seleksi, sudah menjadi satu kehadiran mutlak saat seorang insan begitu menyayangi.
Segala yang berlebihan memang tidak baik. Demikian dengan rasa sayang yang begitu membludaknya, bak air tanpa bendungan, akan mencipta getir yang menyiksa saat orang  yang disayang berlalu pergi. Meninggalkan. Rasa yang pernah tercipta, sudi tidak sudi, mau tidak mau, akan mencipta palung-palung lain di dalam hati.
Segalanya akan menciptakan sebuah kegetiran tak manusiawi.
Mencipta duka, mencipta perih tak terbatas.