8c. Aliansi Negara-Negara Afrika: Bangkitnya Sang Raksasa Terlupakan
Selama berabad-abad, Afrika dipandang dunia sebagai benua luka---disayat kolonialisme, dikoyak perang saudara, dan digiring dalam narasi ketertinggalan. Namun kini, dari reruntuhan sejarah dan debu ketimpangan global, mulai terdengar denyut baru: gerakan kolektif menuju kemandirian strategis dan artikulasi kepentingan bersama. Sebuah aliansi perlahan tumbuh, bukan hanya sebagai reaksi terhadap ketidakadilan global, tetapi sebagai tanda kebangkitan geopolitik yang patut dicermati dengan seksama.
Dari Fragmentasi Menuju Integrasi Strategis
Aliansi negara-negara Afrika bukanlah entitas tunggal yang lahir dari keseragaman ideologi atau sistem politik, melainkan jaringan dinamis berbasis kepentingan bersama dalam menghadapi tantangan global seperti eksploitasi sumber daya, ketimpangan perdagangan, dan dominasi teknologi oleh negara-negara Global North.
Uni Afrika (AU), yang dulu lebih bersifat simbolik, kini mulai mengukuhkan peran geopolitiknya. Inisiatif seperti African Continental Free Trade Area (AfCFTA) menunjukkan ambisi besar untuk mengintegrasikan 1,3 miliar manusia dalam pasar tunggal yang akan menyaingi Uni Eropa dalam skala dan potensi pertumbuhan. Lebih jauh, diplomasi kolektif Afrika di forum internasional---seperti di PBB, WTO, dan G20---kian tegas dan konsisten dalam memperjuangkan redistribusi kekuasaan global.
"We are not beggars at the table of global order; we are builders of a new table."
 ---Paul Kagame, Presiden Rwanda
Kekuatan Sumber Daya dan Posisi Geostrategis
Afrika bukan hanya kaya sumber daya alam---kobalt, litium, emas, tanah subur, dan energi terbarukan---tetapi juga memiliki posisi geostrategis di persilangan rute perdagangan dunia: dari Terusan Suez, Samudra Hindia, hingga Selat Mozambik. Ketika dunia beralih ke energi hijau dan ekonomi digital, ketergantungan terhadap Afrika justru meningkat, menjadikannya sebagai medan magnet baru perebutan pengaruh antara RRC, Rusia, AS, dan Eropa.
Namun berbeda dari masa lalu, banyak negara Afrika kini lebih sadar akan nilai strategisnya. Mereka tidak lagi hanya membuka pintu bagi investor asing, tetapi mulai menetapkan syarat: transfer teknologi, industrialisasi lokal, dan proteksi terhadap eksploitasi sumber daya tanpa kompensasi adil.
Negara seperti Nigeria, Ethiopia, Kenya, Ghana, dan Afrika Selatan mulai memainkan peran sebagai "anchor states" dalam mengarahkan aliansi regional. Bahkan, muncul inisiatif poros selatan global baru yang memperkuat hubungan Selatan-Selatan (Global South), memperkuat suara Afrika dalam isu keadilan iklim, reformasi arsitektur keuangan global, dan tata kelola digital.
Aliansi Baru: Islam, Afrika, dan Maritim
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105