Inilah Fire from Fringe yang sebenarnya: sebuah kebangkitan organik, tersembunyi dalam debat intelektual, narasi media alternatif, gerakan akar rumput, dan diplomasi senyap. Dunia boleh mengabaikan mereka hari ini, namun sejarah selalu menyukai kejutan dari tempat-tempat yang tak diperhitungkan.
Dan bila bara ini tak dipahami atau bahkan dibiarkan membara dalam tekanan global yang tak adil, bukan tidak mungkin, kobaran besar akan muncul---bukan sekadar sebagai protes, tetapi sebagai penantang sistem.
"The margins of empire are where its fate is often decided."
 --- Paraphrase on Toynbee's challenge-response thesis
Apakah dunia siap menghadapi kebangkitan yang tidak datang dari Washington, Moskow, atau Beijing---tetapi dari Jakarta, Islamabad, Ankara, dan Kuala Lumpur?
Itulah pertanyaan geopolitik yang menunggu jawaban, bukan dengan retorika, tetapi dengan pemodelan yang presisi dan refleksi sejarah yang mendalam.
8b. Indonesia dan Mobilisasi Kekuatan ASEAN dan Pasifik Non-RRC
Di tengah turbulensi geopolitik global yang ditandai oleh fragmentasi multipolar dan ketegangan antara kekuatan besar, kawasan ASEAN dan Pasifik non-RRC (Republik Rakyat Tiongkok) menghadirkan kompleksitas yang unik---sebuah medan tarik-ulur antara ketergantungan ekonomi, kepentingan keamanan, dan identitas kedaulatan. Dalam lanskap ini, Indonesia menempati posisi sentral, bukan hanya secara geografis, tetapi juga sebagai jangkar moral, politik, dan strategis di antara dua arus utama: hegemoni China dan kontainer resistensinya.
Namun peran Indonesia tidak hanya ditentukan oleh lokasinya, melainkan oleh kemampuannya untuk memobilisasi jejaring kekuatan di Asia Tenggara dan Pasifik yang memiliki kekhawatiran yang sama: bagaimana menjaga kedaulatan dan stabilitas kawasan tanpa terseret dalam orbit konflik RRC-AS atau terjebak dalam subordinasi ekonomi-politik terhadap satu kutub dominan.
ASEAN: Arena atau Aktor?
Sebagai motor utama ASEAN, Indonesia memiliki peluang historis untuk mengubah arah peran ASEAN: dari sekadar arena kompetisi kekuatan besar menjadi aktor kolektif yang berdaulat dan dinamis. Tantangannya adalah bagaimana membangun kesepahaman internal di tengah perbedaan rezim politik dan orientasi luar negeri negara-negara anggota.
Vietnam, Filipina, dan Malaysia, misalnya, menunjukkan sikap yang lebih tegas terhadap ekspansi China di Laut Cina Selatan. Di sisi lain, Kamboja dan Laos tampak lebih akomodatif terhadap Beijing karena keterikatan ekonomi. Indonesia, dengan pendekatan diplomasi aktif namun otonom, dapat memainkan peran jembatan strategis untuk menyatukan kepentingan tersebut, seraya membangun ASEAN centrality yang sejati---bukan hanya dalam deklarasi, tapi dalam praktik kebijakan luar negeri kolektif.
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105